Wednesday, 7 January 2015

Para Putra Mahkota Joseon Tanpa Takhta



Dinasti Joseon adalah dinasti terakhir yang memerintah Korea, yang terbentuk pada tahun 1392 dan berakhir pada tahun 1897 dengan raja pertamanya adalah Raja Taejo dan raja terakhirnya adalah Raja Gojong. Raja Gojong dari Joseon lalu mengubah nama Joseon menjadi "Kekaisaran Han Raya" sebagai pertanda lepasnya Korea dari pengaruh Dinasti Qing yang telah runtuh. Putra Gojong, Raja Sunjong atau Kaisar Yanghui lalu menjadi penguasa terakhir Joseon yang telah menjadi "Kekaisaran Han Raya" dan menjadi penguasa terakhir Kerajaan Korea karena negeri itu dicaplok oleh Jepang pada tahun 1910. Meskipun berubah nama, namun Dinasti Joseon tetap diakui sebagai dinasti terakhir di Korea. Dinasti ini memerintah Korea selama lebih dari 500 tahun dengan ibukota di Hanseong/Hanyang atau Seoul. Joseon juga merupakan Dinasti yang menganut ajaran Kongfusius terlama di dunia. Seperti kerajaan-kerajaan lainnya didunia, Joseon juga mengalami pasang-surut. Selain mencatatkan banyak prestasi dan pencapaian dibidang budaya dan seni yang mengagumkan, sejarah Joseon juga dihiasi oleh banyak konflik. Percobaan kudeta bahkan kudeta berdarah, juga penggulingan beberapa orang ratu, dan pengasingan beberapa anggota kerajaan, dan masih banyak lagi konflik menjadi bagian dari catatan-catatan sejarah Joseon.  

Ada banyak kisah menarik tentang keluarga kerajaan Joseon, baik itu kisah cinta para raja-nya, persaingan para ratu dan selir kerajaan, dan juga kisah anak-anak raja. Sayangnya, tidak banyak tulisan mengenai para putri raja, sebaliknya ada banyak sekali tulisan mengenai para pangeran.

Banyak kisah manis mengenai para pangeran Joseon, namun tidak sedikit juga yang memiliki hidup yang tragis. Ironisnya, beberapa Putra Mahkota Joseon tidak luput dari kehidupan tragis ini.

Para Putra Mahkota Joseon hidup dibawah tekanan karena status yang disandang mereka. Tekanan-tekanan itu tidak jarang mempengaruhi kesehatan mereka. Banyak putra mahkota yang mampu bertahan, namun ada juga yang harus mengalah pada penyakit dan meninggal sebelum mewarisi takhta. Beberapa dari mereka meninggal ditangan ayahnya sendiri, sang Raja Joseon, dan ada juga yang terbunuh akibat sang ayah diturunkan dari takhtanya, bahkan ada dari mereka yang dibunuh oleh saudara kandungnya karena takhta. Beberapa dari para putra mahkota ini tetap dikenang oleh keturunannya dan diberi penghormatan layaknya seorang raja, namun ada juga yang dilupakan ditempat pengasingannya.

Inilah kisah para Putra Mahkota Joseon yang tidak memperoleh takhta-nya.




1. PUTRA  MAHKOTA  UI'AN (Putra  Raja Taejo)

Saat membicarakan tentang Para Putra Mahkota yang tidak pernah menjadi raja, maka Putra Mahkota Ui’an berada diurutan pertama dalam daftar ini.

Putra Mahkota Ui’an dilahirkan pada tahun 1382 dengan nama Yi Bang-seok. Ia adalah putra kedelapan dari Raja Taejo, yang dilahirkan oleh Ratu Sindeok dan merupakan putra kedua dari Ratu Sindeok. Kakak kandungnya bernama Yi Bang-ban (Pangeran Besar Mu’an) dan adik kandungnya bernama Putri Gyeongsun.

Yi Bang-seok diangkat menjadi Putra Mahkota Joseon pada tanggal 7 September 1392 saat ia masih berumur 10 tahun. Ia merupakan putra kesayangan Raja Taejo. Ibunya meninggal 4 tahun setelah dia diangkat sebagai Putra Mahkota, yaitu pada tanggal 15 September 1396. Pangeran Yi Bang-seok baru berusia 14 tahun ketika ibunya wafat.

Posisi Pangeran Yi Bang-seok sebagai Putra Mahkota didukung oleh Jeong Do-joen, perdana menteri Joseon saat itu. Ancaman terbesar bagi posisi Pangeran Yi Bang-seok adalah kakak tirinya, Yi Bang-won (Raja Taejong). Saat itu, banyak orang merasa bahwa Yi Bang-won adalah putra Taejo yang paling pantas menjadi pewaris takhta. Yi Bang-won yang sangat ambisius juga sangat menginginkan takhta. Ditambah lagi dia memiliki banyak prestasi. Namun, ketika Yi Bang-won akan diangkat menjadi pangeran pewaris, Jeong Do-jeon menggunakan pengaruhnya atas raja untuk meyakinkannya memilih putra yang paling dicintai oleh Taejo, bukan putra yang dirasa Taejo yang terbaik untuk kerajaan.

Setelah Pangeran Yi Bang-seok diangkat menjadi pangeran pewaris, perseteruan antara Jeong Do-jeon dan Yi Bang-won justru semakin runcing. Jeong Do-jeon lalu melakukan konspirasi untuk membunuh Yi Bang-won dan saudara-saudara kandungnya untuk mengamankan posisi Pangeran Yi Bang-seok dan posisi Jeong Do-jeon sendiri di istana. Sialnya, Yi Bang-won mengetahui konspirasi itu. Yi Bang-won pun segera melakukan pemberontakan dan mengacaukan istana. Dia membunuh Jeong Do-jeon dan para pengikutnya.

Pangeran Yi Bang-seok yang tidak ingin melanjutkan pertikaian dengan kakaknya langsung menghadap raja dan ditemani oleh kakaknya, Pangeran Mu’an (Yi Bang-ban). Pangeran Yi Bang-seok lalu menanggalkan gelarnya sebagai Putra Mahkota. Ketika itu, ia berpikir emosi Yi Bang-won akan mereda. Namun bagi Yi Bang-won, kedua pangeran bersaudara ini tetaplah merupakan ancaman. Ketika Pangeran Mu’an dan Pangeran Yi Bang-seok keluar dari istana, mereka dihadang oleh para pembunuh atas perintah Yi Bang-won. Kakaknya, Pangeran Mu’an, dibunuh oleh Jo Juni, sedangkan Pangeran Ui’an dibunuh oleh Yi Geo-yi yang merupakan ayah mertua dari saudara tirinya, Putri Gyeongshin (adik kandung Yi Bang-won). Mereka berdua dibunuh di Gerbang Yeongchumun di Istana Gyeongbok.

Pangeran Yi Bang-seok wafat pada tanggal 6 Oktober 1398 di usia yang sangat muda, 16 tahun. Kakaknya, Pangeran Mu’an wafat diusia 17 tahun.

Setelah kematian mereka, suami dari Putri Gyeongsun (satu-satunya saudari seibu mereka) yang bernama Yi Je juga tewas dibunuh karena merupakan pengikut dari Jeong Do-jeon. Tak lama setelah pembantaian itu, Pangeran Yeong'an (Yi Bang-gwa, yang kelak akan menjadi Raja Jeongjong) yang terkenal murah hati meminta Putri Gyeongsun untuk meninggalkan istana bersama putranya, Pangeran Heung’an demi keselamatan sang putri dan keturunan yang berasal dari garis Ratu Sindeok (ibu Yi Bang-seok).

Kelak, pada 14 September 1406 Raja Taejong (Yi Bang-won) memberikan gelar anumerta "Pangeran Sodo" pada Pangeran Yi Bang-seok (berbeda dengan Pangeran Sado putra Raja Yeongjo). Sedangkan kakaknya, Pangeran Mu’an diberikan gelar anumerta "Pangeran Gongsun". Taejong tidak pernah mengakui fakta bahwa adik bungsu-nya itu pernah menjadi Putra Mahkota. Taejong pun mengharamkan nama Jeong Do-jeon dimuliakan dalam sejarah Joseon, dan hal ini berlaku hingga masa pemerintahan Raja Sukjong. Pada tanggal 21 Agustus 1680, Raja Sukjong memulihkan nama anumerta mereka, dan memberikan gelar Putra Mahkota Ui'an pada Yi Bang-seok & Pangeran Besar Mu'an pada Yi Bang-ban.

Pangeran Ui’an sempat muncul dalam drama Tears of The Dragon, Drama Jeong Do-jeon, dan beberapa drama yang mengambil latar pemerintahan Raja Taejo.





2. PUTRA  MAHKOTA  UIGYEONG  (Putra Raja Sejo)

Putra Mahkota Uigyeong lahir pada tahun 1438 dengan nama lahir Yi Jang. Dalam sejarah, dia lebih dikenal dengan nama Pangeran Dowon. Ia adalah putra sulung Raja Sejo dari Ratu Jeonghui, dan kakak kandung dari Raja Yejong. Dia juga adalah ayah dari Raja Seongjong dan kakek dari Yeonsan-gun. Istri Uigyeong kelak terkenal dengan nama Ratu Insoo. Kelak istrinya dibunuh di masa pemerintahan Yeonsan-gun oleh sang cucu sendiri, Yeonsan-gun. Setelah Yeonsan-gun dikudeta, cucu-nya yang lain, Pangeran Besar Jinseong, diangkat menjadi raja Joseon dengan nama Raja Jungjong.

Selain Pangeran Haeyang (Raja Yejong), Putra Mahkota Uigyeong memiliki banyak saudara dan saudari. Saudara-saudara seibunya adalah Pangeran Haeyang, Putri Uisook (1442-1477), Putri Uiryeong, dan Putri Uihwa. Sedangkan saudara berbeda ibu adalah Pangeran Deokwon (1449-1498), Pangeran Changwon (1458-1484), dan seorang pangeran yang tak tercatat namanya dalam catatan sejarah yang lahir pada tahun 1458 dan wafat pada tahun 1463.

Sejak awal, Pangeran Uigyeong tidak tertarik pada pemerintahan karena dia lebih tertarik pada seni. Dia tidak menyangka akan menjadi seorang Putra Mahkota. Namun, nasib membawanya memasuki istana seiring dengan kudeta yang dilakukan oleh ayahnya terhadap saudara sepupunya, sang raja terdahulu, Raja Danjong. Sang ayah berharap banyak pada Pangeran Uigyeong namun perubahan itu terlalu cepat bagi Uigyeong. Sedari awal, Uigyeong memiliki tubuh yang lemah dan kekacauan politik serta tekanan sebagai Putra Mahkota membuat kesehatannya menurun. Uigyeong-pun sering jatuh sakit.

Pada bulan September 1457 di tahun ketiga pemerintahan Raja Sejo, Uigyeong menghembuskan napas terakhirnya. Ia wafat di usia yang masih sangat muda, 20 tahun.

Saat itu, banyak sekali cerita yang mengatakan bahwa kematian Uigyeong adalah kutukan bagi keluarga Raja Sejo akibat kudeta berdarah yang dilakukannya. Kutukan itu seakan-akan terus berlanjut ketika adik laki-laki Uigyeong yang menggantikan Raja Sejo, yaitu Raja Yejong juga wafat di usia muda. Istri Uigyeong, Ratu Insoo hidup selama masa pemerintahan empat orang raja (Raja Sejo, Raja Yejong, Raja Seongjong, dan Yeonsan-gun).

Setelah kematian Uigyeong, Sejo mengangkat adik Uigyeong, Pangeran Haeyang sebagai Putra Mahkota dan kelak menjadi Raja Yejong, namun setelah Raja Yejong wafat takhta tidak diwariskan pada putra Raja Yejong, melainkan pada putra Uigyeong, yaitu Raja Seongjong. 

Pangeran Uigyeong menerima gelar anumerta sebagai Raja Deokjong dari putra keduanya, Raja Seongjong pada tahun 1471. Meskipun dia tidak pernah menjadi raja Joseon namun suksesi atas takhta Joseon berasal dari garis keturunannya, bukan dari garis keturunan sepupunya, Raja Danjong, juga bukan pula dari garis keturunan sang adik, Raja Yejong yang menggantikan sang ayah sebagai raja.

Aktor yang memerankan Putra Mahkota Uigyeong

Putra Mahkota Uigyeong sempat diceritakan dalam drama The Princess’s Man, namun drama yang paling detail menceritakan tentang Putra Mahkota Uigyeong adalah drama Queen Insoo. 






3. PANGERAN  HWANG  (Putra Raja Yeonsan)

Ayahnya adalah Yeonsan-gun, raja Joseon yang tiran, dan ibunya adalah Lady Munseong (1472-1537) dari klan Shin. Dia adalah cicit dari Putra Mahkota Uigyeong. Saudara se-ibunya adalah Pangeran Besar Changnyeong dan Putri Donsu, sedangkan saudara-saudara lainnya yang berbeda ibu adalah Pangeran Yangpyeong, Pangeran Yi Don-soo, dan dua orang saudari. 

Saat sang ayah diturunkan dari tahta melalui kudeta pada tahun 1506 nasib buruk pun menimpa Pangeran Hwang dan saudara-saudaranya. Pamannya, Pangeran Besar Jinseong diangkat oleh para pemberontak sebagai raja Joseon yang baru. Dia dan semua saudara-saudaranya dibunuh. Ayahnya wafat setahun setelah kudeta, sedangkan Ibunya, Lady Munseong mampu bertahan hidup dalam kemalangan selama beberapa tahun setelah kudeta dan wafat pada tahun 1537. Karena Pangeran Hwang wafat diusia belia dan ayahnya diturunkan dari takhta melalui kudeta maka tidak banyak catatan sejarah yang menuliskan tentangnya.

Walaupun banyak film yang menceritakan tentang sang ayah, namun hampir tidak ada film atau drama yang menceritakan tentang Pangeran Hwang.




4. PANGERAN  SUNHOE (Putra Raja Myeongjong)

Pangeran Sunhoe lahir pada tahun 1551 dan wafat pada tahun 1563. Dia adalah putra tunggal raja Myeongjong dan ratu Insoon dari klan Shim Cheongsong. Sayang, sang pangeran wafat karena sakit di usia sangat muda (13 tahun) dan memutuskan garis suksesi dari Raja Myeongjong. Kematian Pangeran Sun-hoe merupakan ironi bagi Raja Myeongjong karena Raja Myeongjong menjadi raja setelah kakaknya, Raja Injong wafat tanpa memiliki keturunan. Raja Injong meninggal secara tiba-tiba dan diduga diracun oleh paman-paman Raja Myeongjong atas perintah dari ibunda Raja Myeongjong. Empat tahun setelah kematian Sunhoe, sang ayah, Raja Myeongjong wafat tanpa memiliki pewaris. Oleh karena itu saudara sepupunya, Pangeran Haseong menggantikan ayahnya dan menjadi Raja Seonjo. Ibunya, Ratu Insoon wafat 12 tahun setelah kematiannya, yaitu pada tanggal 12 Februari 1575.

Karena tidak banyak drama yang fokus menceritakan tentang sang ayah, sedikit drama atau film yang memunculkan tokoh Pangeran Sunhoe. Satu dari sedikit kemunculan tokoh Pangeran Sunhoe adalah dalam drama "Mirror Of The Witch" yang dibintangi oleh Yoon Shi-yoon dan Kim Saeron.




5. PANGERAN  JI (Putra Raja Gwanghae)

Pangeran Ji dilahirkan pada tanggal 15 Agustus 1598. Dia adalah satu-satunya putra Gwanghae-gun. Ibunya adalah Ratu Munseong dari klan Yu. Walaupun ayahnya adalah Raja yang bijaksana dan termasyur namun intrik-intrik politik membuat sang ayah dikudeta dari takhtanya pada tahun 1623. 

Sejarah mencatat bahwa Gwanghae-gun dan keluarga-nya dibuang ke pulau Ganghwa dan lalu ke Pulau Jeju, namun sayangnya Pangeran Ji meninggal ditahun yang sama dengan kudeta terhadap ayahnya (saat atau sesudah kudeta), yaitu pada tanggal 22 Juli 1623 ketika dia berusia 25 tahun. Sang ayah, Gwanghae-gun wafat di pulau Jeju pada tahun 1641, sedangkan sang ibu, Ratu Munseong telah wafat tak lama setelah kematian Pangeran Ji, yaitu pada tanggal 31 Oktober 1623. Pangeran Ji hanya memiliki seorang saudari yang lahir pada tahun 1619, saudarinya adalah putri ayahnya dari Lady Yoon. Saudarinya ini tercatat wafat pada tahun 1664.

Tokoh Pangeran Ji sempat muncul dalam drama "The King's Face" (saat ketika Gwanghae-gun akan diturunkan statusnya dari posisi Putra Mahkota).





6.   PUTRA  MAHKOTA  SOHYEON (Putra Raja Injo)

Putra Mahkota Sohyeon (5 Februari 1612 - 21 Mei 1645) adalah anak pertama dari Raja Injo. Sohyeon terpilih sebagai putra mahkota pada tahun 1625 ketika ayahnya, Raja Injo naik takhta melalui kudeta (yang menjatuhkan Gwanghae-gun) pada tahun 1623. Pada tahun 1627, ia menikah dengan putri dari Kang Seok-gi (generasi ke-17 keturunan dari Jendral Gang Gam-chan).

Putra Mahkota Sohyeon adalah satu dari dua Putra Mahkota yang paling populer dalam sejarah Joseon. Putra Mahkota lainnya yang populer adalah Pangeran Sado.

Pangeran Sohyeon adalah seorang pangeran yang sangat cerdas dan menaruh minat yang tinggi pada ilmu pengetahuan barat termasuk agama Kristen. Memang, agama Katolik/Kristen pertama kali masuk ke Joseon pada era Gwanghae-gun, namun Pangeran Sohyeon adalah anggota keluarga kerajaan pertama yang bersentuhan dengan agama ini. Pangeran Sohyeon adalah satu-satunya Putra Mahkota Joseon yang memeluk agama Kristen. Dia mengamalkan iman Kristen-nya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pernikahan dengan hanya memiliki seorang istri, tanpa mengambil satu-pun selir. Pangeran Sohyeon adalah satu dari sedikit keluarga istana Joseon yang hanya beristri satu tanpa memiliki selir. Raja-raja Joseon yang hanya beristri satu dan/atau tidak memiliki selir adalah Raja Danjong dan Raja Injong, serta adik serta keponakan Sohyeon yaitu, Pangeran Bongrim (Raja Hyojong) dan Raja Hyeonjong (ayah Raja Sukjong), juga Raja Gyeongjong (menikah kedua kali setelah istri pertamanya meninggal). Pangeran Sohyeon dan beberapa bangsawan yang disandera oleh Dinasti Qing adalah orang-orang yang membawa agama Katolik ke Joseon, dan berhasil menembus kelas bangsawan sehingga membuat agama ini dapat bertahan dibawah penindasan selama berabad-abad di Joseon. Andaikan Sohyeon tidak meninggal dan menjadi raja Joseon, maka agama Katolik akan berkembang sangat pesat dan modernisasi di Joseon akan berlangsung lebih cepat dari yang sekarang tercatat dalam sejarah.

Awal mula Pangeran Sohyeon menjadi sandera di dinasti Qing adalah akibat invasi Manchu ke Joseon. Sohyeon sempat melarikan diri ke Benteng di pegunungan Namhan bersama ayahnya pada invasi Kedua Manchu Korea tahun 1636, setelah itu mereka melarikan diri ke Pulau Ganghwa. Sohyeon-pun berperang dengan Manchu untuk mempertahankan pulau Ganghwa, namun peperangan itu dimenangkan oleh Manchu. Ketika pasukan Putra Mahkota Sohyeon kalah dan Pulau Ganghwa direbut oleh Manchu, Raja Injo menyerah kepada pemimpin Manchu, Huang Taiji. Pihak Manchu meminta sandera berupa para putra raja sebagai perjanjian perdamaian setelah invasi Manchu ke Joseon tahun 1636. Sohyeon secara sukarela menyerahkan diri untuk menjadi sandera bersama dengan istrinya, adiknya (Pangeran Bongrim), dan beberapa pejabat Korea lainnya di Shenyang, ibukota Dinasti Qing.

Selama menjadi sandera, Pangeran Sohyeon bekerja tanpa lelah sebagai mediator antara Joseon dan Dinasti Qing. Dia melakukan banyak usaha untuk memastikan bahwa Qing tidak akan lagi memusuhi Korea. Dia melindungi rakyatnya yang berada di China, seperti Kim Sang-heon yang dituduh oleh pihak Manchu sebagai mata-mata anti-Qing. Sohyeon juga berjasa dalam proses pemulangan para budak dari Joseon yang ditawan oleh pihak Manchu. Pangeran Sohyeon juga belajar bahasa Mongol dan membantu Dinasti Qing untuk menaklukan perbatasan Barat.

Walaupun Sohyeon sangat cerdas, namun dia memiliki kelemahan, yaitu ketidak-mampuannya dalam bertarung. Pada saat berperang melawan Manchu, Sohyeon memang merupakan ahli strategi tapi bukanlah beliau bukanlah seorang yang berpengalaman sebagai prajurit perang. Selama pengasingan Sohyeon di China, ia selalu dilindungi oleh adiknya, Pangeran Bongrim (kelak menjadi Raja Hyojong). Saat Pangeran Sohyeon bekerja keras mewakili Joseon di China, Pangeran Bongrim justru bekerja keras melindungi kakaknya dari ancaman dinasti Qing. Huang Taiji dan pasukan Manchu-nya masih berperang melawan dinasti Ming dan juga terlibat dalam pertempuran dengan bangsa Mongol dan orang-orang Muslim di China. Berkali-kali, Kaisar Qing meminta Pangeran Sohyeon untuk pergi ke medan perang dan membantu pasukan komando melawan musuh Manchu. Hal ini membuat Pangeran Bongrim khawatir karena kakaknya adalah pewaris tahta Joseon. Pangeran Bongrim selalu menggantikan Sohyeon untuk berperang melawan musuh-musuh Qing. Pangeran Bongrim juga mengikuti Sohyeon ke pertempuran melawan Uyghur dan bangsa Muslim di bagian barat. Karena selalu bersama-sama melalui begitu banyak masalah-masalah berat yang disebabkan oleh Dinasti Qing, kedua Pangeran ini berjanji untuk melakukan balas dendam pada dinasti Qing saat kelak nanti Sohyeon menjadi raja dan berhasil memodernisasi Joseon.

Pangeran Sohyeon kemudian pindah ke Beijing pada 1644 selama 70 hari, dan bertemu dengan para misionaris Jesuit, salah-satunya adalah Johann Adam Schall von Bell dari Jerman. Melalui para missionaris inilah ia diperkenalkan pada agama Katolik Roma dan budaya Barat. Johann Adam Schall von Bell memberinya buku tentang ilmu Barat dan buku-buku tentang pengetahuan yang didasarkan pada iman Katolik yang sangat menarik minat sang pangeranSohyeon pun mengabarkan hal ini pada ayahnya, namun Raja Injo dan para menteri terdekatnya mengutuk perilaku Sohyeon dengan tuduhan pro-Qing. 

Joseon memang menjadi negara bawahan Qing namun Joseon sejatinya tetap mendukung dinasti Ming. Sohyeon pun demikian, namun jika Sohyeon terang-terangan menentang Manchu, maka nyawanya dan nyawa rakyat Joseon di China akan terancam dan mungkin juga akan menyebabkan Joseon akan kembali diserang oleh Manchu. Pangeran Sohyeon rupanya meniru gaya diplomasi pendahulu ayahnya, Raja Gwanghae yang tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak Manchu sehingga selama masa pemerintahan Gwanghae, tidak ada peperangan antara Joseon dengan negara lain. Tetapi, diplomasi Pangeran Sohyeon tidak mendapatkan dukungan dari pihak istana Joseon, dia mendapatkan banyak oposisi. Meskipun Pangeran Sohyeon kembali ke Korea pada tahun 1645 dengan berbagai prestasi namun ayahnya tetap menghina dia karena berhubungan baik dengan Manchu dan mencoba untuk memodernisasi Korea dengan membawa agama Katolik dan ilmu pengetahuan Barat.

Setibanya di Joseon, Pangeran Sohyeon mendesak ayahnya untuk memodernisasi Joseon dan mengkaji kebudayaan dan pengetahuan barat. Sohyeon juga meminta ayahnya untuk mengijinkan agama Katolik dapat dengan bebas berkembang di Korea. Namun, sang ayah murka atas ide-ide Sohyeon, terlebih lagi pada kenyataan bahwa Sohyeon adalah penganut Kristen yang taat. Iman Kristen-nya inilah yang memperparah konflik antara dirinya dan sang ayah.

Pada tanggal 21 Mei 1645, Pangeran Sohyeon ditemukan tewas di kamar Raja karena pendarahan parah di kepala. Legenda mengatakan bahwa Injo membunuh anaknya sendiri dengan memukul kepala Putra Mahkota Sohyeon menggunakan botol tinta yang dibawa oleh Putra Mahkota dari China. Namun beberapa sejarawan mengatakan ia diracun karena ada fakta bahwa ia memiliki bintik-bintik hitam di seluruh tubuhnya setelah kematiannya dan tubuhnya membusuk dengan cepat.

Banyak orang, termasuk istrinya berusaha mengungkap apa yang terjadi pada putra mahkota, namun Injo langsung memerintahkan mengadakan upacara pemakaman. Upacara yang dilakukan juga bukanlah upacara pemakaman yang layak untuk memakamkan seorang Putra Mahkota. Pangeran Sohyeon dimakamkan di Goyang, Gyeonggi.

Jauh di China, sang adik, Pangeran Bongrim sangat berduka akibat kematian sang kakak. Pangeran Bongrim lalu dipanggil pulang ke Korea. Setibanya di Joseon, Raja Injo menunjuk Pangeran Bongrim sebagai Putra Mahkota baru (yang kemudian menjadi Raja Hyojong) ketimbang menunjuk anak tertua Pangeran Sohyeon, yaitu Pangeran Gyeongseon yang berada diurutan kedua setelah Pangeran Sohyeon dalam daftar suksesi.

Kematian mendadak Pangeran Sohyeon juga memupuskan harapan Johann Adam Schall von Bell untuk membawa agama Katolik ke Joseon secara langsung.

Segera setelah itu, Injo memerintahkan pengasingan tiga putra Pangeran Sohyeon ke Pulau Jeju. Kelak, hanya putra bungsu-nya, Pangeran Gyeon-gan yang kembali ke Hanyang dalam keadaan hidup. Istri Sohyeon, Putri Mahkota Minhoe yang terus meminta diadakannya pengusutan atas kematian suaminya, dihukum mati dengan tuduhan pengkhianatan.

Setelah Pangeran Bongrim menjadi raja, dia berusaha menyingkirkan para pejabat yang menghasut ayahnya, dan bahkan menghukum mati salah seorang selir ayahnya yang juga menghasut ayahnya sehingga memperparah hubungan raja dan Putra Mahkota Sohyeon. Beliau juga melanjutkan ide-ide sang kakak termasuk modernisasi Joseon tapi modernisasi itu sudah terlambat untuk mewujudkan janjinya dengan sang kakak dulu, yaitu menyerang dinasti Qing. Dinasti Qing sudah terlalu kuat bagi Joseon. Namun, modernisasi itu membuat dinasti Qing mengurungkan niatnya untuk mencoba kembali menyerang Joseon sehingga Joseon dapat menjalankan pemerintahannya sendiri walaupun Joseon masih menjadi negara bawahan Qing.

Pangeran Bongrim juga menjamin keselamatan para penganut Katolik yang semakin banyak di Joseon. Ide-ide Sohyeon yang dijalankan oleh Pangeran Bongrim menjadi cetak biru pada masa keemasan Joseon yang kelak diawali oleh cucu Pangeran Bongrim, Raja Sukjong.

Beberapa Aktor Yang Memerankan Pangeran Sohyeon


Putra Mahkota Sohyeon diceritakan dalam banyak film dan drama meskipun hanya sedikit film dan drama yang mengisahkan sang putra mahkota sebagai tokoh utama. Pangeran Sohyeon selalu digambarkan sebagai seorang pangeran yang murah hati dan cerdas serta pandai berdiplomasi. Beliau sempat diceritakan dalam drama Horse Doctor, Chuno, Iljimae, The Strongest Chilwoo, dan The Return of Iljimae. Beliau juga muncul dalam drama Tamna The Island. Namun, drama yang paling detail menceritakan tentang Putra Mahkota Sohyeon adalah drama Cruel Palace: War Of Flower dan drama The Three Muskeeters (diperankan oleh Lee Jin-wook dan dibintangi oleh Jung Yong-hwa dari CN.BLUE). Film yang menceritakan tentang dirinya adalah film Intruder Midnight (1969).

Kisah Putra Mahkota juga Sohyeon sangat mirip dengan kisah Putra Mahkota Junghyun dalam drama Scholar Who Walks The Night yang diperankan oleh Lee Hyun-woo dan dibintangi oleh Lee Joon-ki. Kemiripannya adalah Putra Mahkota Junghyun dan keluarganya dicap sebagai pengkhianat, serta istrinya dihukum mati. Putra Mahkota Junghyun juga dibunuh. Hanya ada tiga putra mahkota yang dibunuh pada masa Joseon yaitu Putra Mahkota Ui'an, Putra Mahkota Sohyeon, dan Putra Mahkota Sado. Putra mahkota Sohyeon dan Putra Mahkota Sado meninggal karena campur tangan ayah mereka. Namun, hanya putra mahkota Sohyeon yang setelah meninggal, seluruh keluarganya dicap sebagai pengkhianat dan juga istrinya dihukum mati. Jika kisah Putra Mahkota Junghyun dalam drama "Scholar Who Walks The Night" mengambil kisah Putra Mahkota Sohyeon, maka alur drama itu menjadi pas karena kisah putra mahkota lainnya yang menjadi salah satu tokoh dalam drama tersebut, yaitu Putra Mahkota Yi Yoon (diperankan oleh Changmin TVXQ) memang benar-benar ada dalam sejarah Joseon. Pangeran Yi Yoon dalam drama tersebut mengambil tokoh Raja Jeongjo saat masih menjadi seorang pangeran karena Raja Jeongjo adalah satu-satunya Raja Joseon yang ayahnya (Putra Mahkota Sado) dihukum mati oleh kakeknya (Raja Yeongjo) dan Raja Jeongjo hidup lebih dari seratus tahun setelah kematian Putra Mahkota Sohyeon.

Tokoh Putra Mahkota Sohyeon juga sempat diceritakan dalam komik yang berjudul "Vampire from The East" karya Jo Joo-hee dan Han Seung-hee.






7.   PANGERAN  HYOJANG (Putra Raja Yeongjo)

Pangeran Hyojang adalah putra pertama Raja Yeongjo dari Selir Jeong. Ia lahir pada tahun 1719 namun wafat sembilan tahun kemudian di tahun 1728. Kematiannya menimbulkan duka yang mendalam bagi kerajaan khususnya bagi Raja Yeongjo. Tujuh tahun setelah kematiannya barulah Joseon  memiliki seorang pewaris yaitu Pangeran Sado.

Pangeran Hyojang yang wafat diusia belia tidak sepopuler adiknya, Pangeran Sado, dalam sejarah Joseon, oleh karena itu hampir tidak ada film atau drama yang memunculkan tokohnya.






8.  PANGERAN  SADO  (Putra Raja Yeongjo)



Pangeran Sado lahir pada tanggal 13 February 1735. Nama lahirnya adalah Yi Seon. Sado adalah nama gelar pangerannya. Dia adalah putra raja Yeongjo dari selirnya, Lady Sönhui (1696-1764), dan ayah dari Raja Jeongjo. Pangeran Sado merupakan Putra Mahkota yang paling populer dalam sejarah Joseon.

Selama beberapa tahun setelah kematian putra pertama Raja Yeongjo (Pangeran Hyojang, yang wafat 1728), Joseon tidak memiliki pewaris tahta. Ratu So-Chöngsöng (1692-1767), tidak memiliki anak, sementara selir kesayangan Raja, Lady Sönhui justru melahirkan banyak putri. Namun, pada bulan Februari 1735 Lady Sönhui melahirkan Pangeran Sado yang membuat seluruh istana bergembira.

Sado mulai menjalankan etiket keluarga istana Joseon sejak dia lahir. Setelah 100 hari, Pangeran Sado mulai dijaga oleh pengasuh, kasim, dan pelayan di "Istana Putra Mahkota" yang letaknya agak jauh dari paviliun raja, ratu, dan ibunya. Jauh dari pengawasan orang tua, sang Pangeran kecil tumbuh besar dan bertindak sesuka hatinya. Ibunda Sado, Lady Sönhui yang mengunjungi Sado setiap hari berusaha untuk bersikap tegas dengan selalu memberikan perintah yang mendahului kasih sayangnya sehingga membuat Sado takut pada ibunya dan sangat berhati-hati pada ibunya sendiri.

Pada 1743, Raja dan Ratu memilih calon istri Sado, Lady Hong (1735-1815). Saat itu Lady Hong berusia 8 tahun. Dia adalah putri dari Hong Pong Han (1713-1778), seorang sarjana yang brilian namun berasal dari klan bangsawan miskin. Meskipun demikian, Lady Hong tercatat sebagai keturunan raja karena leluhur ayahnya berasal dari garis keturunan Putri Jeongmyeong (putri Raja Seonjo, kakak kandung dari Pangeran Besar Yeongchang, dan adik tiri dari Raja Gwanghae). Lady Hong dan Pangeran Sado menikah pada tanggal 27 April 1744. Kelak, Lady Hong lebih dikenal dengan nama Lady Hyegyeong. Lady Hyegyeong adalah nama resminya setelah dia menjadi putri mahkota.

Penyakit mental Pangeran Sado dimulai saat dia sakit parah menjelang akhir tahun 1745. Saat itu, Sado terserang demam dan juga panas tinggi selama berhari-hari. Sejak saat itu, Sado mulai menunjukkan perilaku yang tidak biasa. Namun, itu baru 'gejala awal'. Sang pangeran yang menyadari kekurangannya berusaha menutupi semua itu dengan berusaha mempelajari banyak hal dan meningkatkan pengetahuannnya. Pada bulan Januari 1746, Sado dan istrinya untuk sementara pindah ke istana lain yang lebih dekat dengan kediaman ibunya, dan disana Sado belajar dengan sungguh-sungguh. Dia juga terampil dalam teknik memanah dan pedang, namun dia juga gemar membaca karya-karya mitos & takhyul. Sayangnya, perkembangan positif dari pangeran Sado kurang mendapat pujian dari sang ayah. Entah mengapa, sang ayah, Raja Yeongjo selalu merasa tidak senang pada Sado dan selalu memarahinya juga selalu mengkritik tajam semua yang dikerjakan Sado. Raja Yeongjo memang dikenal pemarah dan kemarahannya justru selalu memuncak jika bertemu Sado, apapun yang Sado lakukan. Inilah awal mula Sado menjadi seorang yang sangat idealis dan mengambil sikap dan pendapat yang berbeda dari ayahnya, dan juga semakin mengganggu mentalnya. 

Meski memiliki kelainan mental, Sado sangat dihormati kakak-kakak dan adik-adik perempuannya. Sado memiliki banyak sekali saudara. Saudara-saudari seibu adalah Putri Hwapyeong (1727–1748), Putri Hwayeop (1733–1752), dan Putri Hwawan (1738–1808). Sedangkan yang berbeda ibu adalah Pangeran Hyojang, Putri Hwasoon, Putri Hwayoo (1741–1771), Putri Hwaryeong (1752–1821), dan Putri Hwagil (1754–1772).

Diantara semua saudara-saudaranya, ia paling menyayangi adik perempuannya, Putri Hwayeop (1733-1752) karena sang putri sangat mirip dengan dirinya, sama-sama tidak mendukung Raja. Puteri Hwahyeop (1733–1752) merupakan putri ketujuh Raja Yeongjo yang lahir dari Lady Seonhui. Ia lahir pada tanggal 7 Maret 1733 dan secara resmi diberikan gelar "Puteri Hwahyeop" (yang artinya 'harmoni') pada tahun 1743. Pada tahun yang sama ia menikah dengan putra calon perdana menteri Sin Man yang bernama Sin Gwang-su. Puteri Hwahyeop sangat cantik dan saleh pada orang-tuanya namun Raja Yeongjo sangat dingin terhadapnya. Mungkin karena kecewaan sebab ia bukan seorang anak laki-laki. Walaupun memiliki hubungan yang baik dengan adik-adiknya dan juga dihormati oleh saudara-saudaranya namun hubungan Sado dan ayahnya memiliki jarak yang sangat besar dan sangat tidak dekat, meskipun Sado tetap menjalani rutinitas untuk menemui sang raja tiap minggu. Peraturan istana yang sangat ketat mewajibkan Pangeran Sado dan istrinya harus memberikan hormat berupa salam pagi kepada Raja, Ratu, Ratu Dowager (janda raja terdahulu), dan Lady Sönhui beberapa kali dalam seminggu, tapi hal itu tidak membantu mempererat hubungannya dengan sang raja meskipun Sado sangat dekat dan disayangi oleh Ratu (ratu pertama Raja Yeongjo) dan Ratu Dowager. Kerenggangan hubungannya dengan raja selalu membuat Sado berperilaku sangat kaku pada pertemuan-pertemuan seperti ini.

Pada bulan April 1747, Sado dan istrinya pindah ke tempat yang lebih jauh, yaitu ke Chüphüi-dang Hall. Akibatnya, Pangeran sangat jarang bertemu ibu dan saudara-saudara perempuannya sehingga pangeran mulai mencari hiburan bagi dirinya. Tapi itu tidak berarti bahwa Sado tidak berniat untuk menjadi seorang Pangeran Joseon dan pria serta suami yang bermartabat. Pada 1749, ketika Sado baru berusia 14 tahun ia memutuskan bahwa ia harus memulai hidup sebagai seorang pria yang telah menikah dengan sungguh-sungguh. Tahun berikutnya, anak pertama Sado, Pangeran Uiso lahir namun sayangnya pangeran kecil itu meninggal 2 tahun kemudian. Tidak lama kemudian, Lady Hong melahirkan Pangeran Yi San yang kelak akan menjadi raja Jeongjo (1752-1800). 

Tahun 1752, epidemi campak mewabah. Para dokter istana meminta agar Putra Mahkota dan cucu raja dipindahkan ke tempat lain untuk menghindari penyakit. Saat itu, Pangeran Yi San berusia kurang dari tiga minggu. Namun, Pangeran Sado dan istrinya terlanjur tertular penyakit ini bersama dengan semua pelayan istananya sehingga Lady Sönhui datang secara pribadi untuk menjaga Sado. Untungnya, sakit Sado cukup ringan walau suhu tubuhnya sangat tinggi. Begitu pangeran pulih, istrinya-pun mulai pulih dari proses karantina penyakit, dan sang bayi Yi San juga pulih tanpa banyak kesulitan. Akan tapi adik kesayangan Sado, Putri Hwayeop meninggal akibat wabah ini. Sado yang selalu penuh perhatian terhadapnya sangat berduka atas kematiannya. Sado mengarang beberapa elegi berkabung untuk adik kesayangannya. 

Karena mulai mengidap penyakit parah pada usia 10 tahun dan terus berulang pada tahun-tahun berikutnya, gangguan mental Sado semakin parah sehingga ia sering menunjukkan perilaku yang tidak normal. Sado mulai menderita delusi dan mimpi buruk dan mengatakan bahwa ia bisa melihat penampakan dewa guntur yang membuat dia sangat takut melihat langit dan gambar atau karakter tentang 'guntur' dan 'petir'. Jika badai muncul di musim dingin, Sado akan menjadi sangat takut dan khawatir jika Raja akan menyalahkan dia karena hal itu. Sado mulai menderita ketidak-stabilan mental parah tahun 1752 dan 1753. Tetapi rakyat Joseon tidak mengetahui hal ini karena meskipun Sado sering sakit parah dan mempengaruhi psikologisnya, namun dia tetap mampu tampil normal dihadapan publik dan juga saat menghadiri acara-acara resmi kerajaan. Dia mampu berdialog dengan rakyatnya, dan dipuji sebagai seorang pangeran yang bijak. Rasa ingin tahu-nya yang tinggi pada perkembangan dunia luar membuat Sado dipuji banyak orang sebagai seorang yang modern. Dia juga memiliki pemikiran yang lebih moderat ketimbang bangsawan-bangsawan Joseon lainnya. Berbeda dengan ayahnya yang menganggap pengaruh Eropa adalah hal tabu, Sado justru menyukainya. Dia tidak mempermasalahkan pertumbuhan kaum Kristen di Joseon, namun sang ayah rupanya memiliki pemikiran yang berbeda dengan menghukum-mati para penganut Kristen. Sado memang memiliki banyak perbedaan dengan ayahnya. Raja Yeongjo lebih dekat dengan partai Noron karena partai Noron adalah partai pendukungnya saat ia masih penjadi pangeran, sedangkan Sado justru dibenci oleh Noron dan didukung oleh partai Soron (partai pendukung, Raja Gyeongjong dan lawan politik Raja Yeongjo). Namun, ada satu persamaan dalam hal politik antara Sado dan ayahnya, mereka berdua sangat membenci Dinasti Qing. Sado bahkan pernah berjanji bahwa dia tidak akan tunduk pada mahkota Qing, sehingga ayahnya menjadi sangat khawatir pada masa-depan Joseon jika kelak dipimpin oleh Sado.

Sebenarnya, Sado adalah seorang anak yang penurut meskipun sejak kecil dia cukup nakal. Dia selalu menaati perintah ayahnya dan menuruti permintaan ibunya. Pada dasarnya, Sado bukanlah orang yang suka pada hingar-bingar kota besar. Sado justru selalu ingin melihat daerah pedesaan, tapi ayahnya selalu tidak memberikan izin. Saat Sado kembali meminta ijin untuk mengunjungi daerah pedesaan, sang ayah tetap tidak memberikan ijin dan malahan semakin keras pada Sado. Ratu dan Ratu Dowager sangat prihatin melihat Sado. Raja-pun ditegur oleh ratu dowager, tetapi teguran ratu dowager ini membuat raja semakin kesal pada Sado. Hubungan raja dan Sado semakin memburuk saat ibu Sado, Lady Sönhui jatuh sakit pada bulan Desember 1755 dan Sado mengunjunginya. Entah kenapa, Raja Yeongjo marah saat melihat Sado dan berteriak-teriak membentak Sado. Saking takutnya, Sado melompat keluar lewat jendela dan kembali istananya dalam keadaan tertekan. Ini membuat kondisinya memburuk dan ia mulai menjadi gagap. Hal ini membuat Ratu Dowager murka pada raja, yang justru membuat hubungan antara raja dan Sado semakin memburuk, dan mulailah mereka bertengkar secara intens. Posisi Sado semakin sulit karena ayahnya sangat tidak senang jika dia mengunjungi ratu dan ratu dowager. Disaat yang bersamaan, tekanan dari para menteri dan bangsawan serta lawan-lawan politiknya juga semakin membuat Sado frustasi. Namun, semua itu masih bukan 'masalah besar' bagi Sado hingga bencana yang sebenarnya datang pada musim semi tahun itu. Musim semi 1756, Sang Ratu dan Ratu Dowager meninggal di waktu yang hampir bersamaan. Kematian dua orang yang sangat disayanginya itu semakin membuat Sado frustrasi hampir melebihi perasaan sedihnya. Dia sedih karena kehilangan orang-orang yang dianggap mengerti dirinya, juga sangat ketakutan karena tidak ada lagi orang-orang yang menjadi tempat perlindungannya. Sejak saat itulah Sado mulai menjadi kejam dan mulai menganiaya pelayan-pelayannya yang dimulai tidak lama setelah pemakaman kerajaan. Dia membunuh kasim yang bertugas dan menancapkan kepalanya pada tongkat dan menunjukkannya pada dayang istana. Jika seorang dayang istana tidak segera mengabulkan permintaannya, ia akan menjadi marah dan memperkosanya. Segera setelah itu, ia membunuh banyak pembantu secara acak. Semua orang yang melayani Putra Mahkota benar-benar ketakutan. Istrinya mencoba menenangkan dirinya sebisa-mungkin namun tidak berhasil, hingga suatu waktu saat Sado sedang mengejar hamba-hambanya, istana-nya terbakar. Lady Hong yang sedang hamil berhasil menyelamatkan Pangeran Yi San tepat pada waktunya.

Dimasa-masa yang sulit ini, Sado dihibur oleh kehadiran putri-putrinya ditahun 1754 dan 1756, yaitu Putri Chöngyön dan Putri Chöngsön. Saat itu, keadaan seakan-akan membaik bagi Sado, meskipun hanya sementara.

Pada musim panas 1756, Sado akhirnya diizinkan untuk menemani ayahnya dalam perjalanan ke makam orang-tua raja, tetapi sepanjang jalan turun hujan lebat. Raja-pun berpikir bahwa "Surga menunjukkan ketidaksenangan mereka", dan menganggap bahwa Sado-lah penyebabnya. Ia-pun mengirim Sado kembali ke istana. Pangeran sangat sedih dan menyatakan: "Tidak ada cara saya bisa terus hidup sekarang". Sado menjadi depresi sehingga membuatnya jatuh sakit setelah dia pulang dari perjalanan itu. Raja yang telah pulang dari kunjungannya mengunjungi Sado dan melihat Sado sedang kebingungan (karena gangguan mental). Raja yang geram menuduh anaknya sedang mabuk dengan meneriaki dan memukulnya sehingga membuat Sado sangat trauma.

Nasib buruk kembali menimpa Sado. Musim dingin ditahun yang sama (1756), Sado terserang cacar. Lady Hong merawatnya dan ia sembuh segera setelah itu. Namun, panas tinggi akibat cacar dan trauma akibat perlakuan kejam dari sang ayah membuat kondisi mental Sado semakin memburuk. Jika penyakit jiwa-nya kambuh, Sado hampir tidak menyadari keberadaan istri dan anak-anaknya, tetapi jika dia sedang tenang, ia selalu membanggakan putra sulungnya, Pangeran Yi San.

Keadaan semakin memburuk bagi Sado pada tahun 1759. Tahun itu, Raja Yeongjo menikahi Kim Chöngsun (1745-1805), yang 10 tahun lebih muda dari Sado. Sado bukannya berusaha menjalin hubungan yang baik dengan ratu baru, dia malahan membuat masalah baru. Pada musim gugur ditahun yang sama, seakan-akan ingin menantang ayahnya, Sado menjalin hubungan dengan seorang penjahit yang bernama Ping-ae. Sado membawa Ping-ae ke paviliun mewah. Ketika Raja tahu, raja menjadi sangat marah dan hampir membunuh Sado. Putra Mahkota yang sangat ketakutan nekat loncat ke dalam sumur. Karena sumur itu penuh dengan es, para pengawal istana dapat dengan mudah menyelamatkannya. Ping-ae melahirkan anak laki-laki, sehingga Raja Yeongjo menjadi semakin marah. Pada Januari 1761, penyakit gila Sado kambuh dan secara tidak sengaja dia melukai Ping-ae yang membuat Ping-ae meninggal tak lama kemudian. 

Ping-ae mungkin adalah alasan mengapa Sado menjadi terobsesi dengan pakaian. Jika ia ingin memilih baju baru, hamba-hambanya harus menyiapkan 10 atau 20 atau bahkan 30 set pakaian baru. Kadang-kadang, ia membakar beberapa pakaian sutra sebagai persembahan kepada sosok roh sebelum akhirnya bisa menentukan pakaian mana yang akan dipakainya. Jika pelayannya membuat kesalahan sekecil apapun saat membantu Sado berpakaian, Sado akan merasa jijik untuk mengenakan pakaian itu, dan akan menjadi sangat gelisah.

Sado sebenarnya berusaha menyembuhkan penyakit-nya. Dia mengunjungi Istana Onyang pada suatu musim panas dan tinggal disana selama seminggu untuk memulihkan kesehatannya terutama sakit mentalnya, tapi selalu ada yang membuat dia menjadi depresi lagi sehingga dia memutuskan segera kembali ke Istana Changdeok. Pada Mei 1761 Sado mengunjungi provinsi P'yöngyang. Namun, ia justru menderita malaria selama beberapa bulan dan membuat penyakitnya semakin parah. Serangan penyakit demi penyakit semakin mengganggu pikirannya. Pangeran Sado lalu dituduh terlibat dalam percobaan pembunuhan suami mendiang adik kesayangannya, Putri Hwahyöp. Sado yang kesal pada adik iparnya memang sempat membicarakan niatnya untuk membunuh adik iparnya itu. Dia mungkin marah karena menganggap adik-iparnya itu tidak setia pada adik kesayangannya. Sado juga menggangu adik perempuannya, Putri Hwawan sehinga sang putri yang ketakutan memarahi serta menyumpahi Sado. Puteri Hwawan (lahir tahun 1737) merupakan putri ketiga Yeongjo dari Lady Sönhui. Dia mulai bersitegang dengan dengan Putra Mahkota Sado sejak sang putri menikah dengan seorang pria dari partai Noron (lawan politik Sado). Suami Putri Hwawan mati muda sehingga ia menjadi seorang janda, namun sang putri tetap dekat dengan partai Noron yang mendominasi pemerintahan saat itu. Sado sangat iri pada Putri Hwawan, namun bukan karena kedekatan sang putri dengan partai Noron melainkan karena hubungan dekat Putri Hwawan dengan ayah mereka. Hal itu yang menjadi awal kekesalan Sado karena Putri Hwawan lebih disayang ayahnya ketimbang adiknya, Putri Hwayeop.

Pada tahun 1762, Sado kembali terserang penyakit dan menjadi cacat. Ia lalu membunuh dokter kerajaan, penerjemah dan pekerja istana, sehingga setiap hari beberapa mayat dibawa keluar dari istana. Pada bulan Mei, Lady Sönhui datang mengunjungi Sado. Melihat kondisi Sado saat itu membuat sang ibu menangis saat meninggalkannya. Pada bulan Juni di tahun yang sama, Raja Yeongjo menerima dokumen dari salah satu menterinya yang memberitahukan tentang kesalahan Putra Mahkota. Salah satu tuduhan adalah bahwa ia telah melanggar peraturan istana dengan "membawa seorang biksu wanita ke istana dan hidup bersama dengan dia", namun tuduhan itu diragukan kebenarannya. Raja yang marah lalu memerintahkan menteri itu disiksa dan dihukum mati. Hal ini menunjukkan kasih-sayang Raja Yeongjo pada Sado sebagai seorang ayah yang tidak diketahui Sado, selain juga karena sang raja harus menjaga wibawa keluarga kerajaan. Namun, upaya-upaya sang raja tidak cukup mampu untuk menyelamatkan anaknya. 

Petisi dari para menteri untuk menghukum mati Pangeran Sado dengan tuduhan penkhianatan semakin gencar, namun raja tidak boleh menghukum-mati anaknya sendiri karena konstitusi Joseon yang mengadopsi konstitusi Dinasti Ming menyebutkan jika seorang anak dan/atau ayah dihukum mati dengan tuduhan penkhianatan pada raja atau negara maka ayah dan/atau anak dari orang tersebut juga akan dianggap berkhianat. Itu artinya jika Sado dihukum mati kafrena berkhianat maka sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu, raja sebagai ayah putra mahkota akan dianggap berkhianat, yang dapat membuat raja digulingkan. Alasan yang sama inilah yang membuat Putra Mahkota Sohyeon tidak dapat dihukum-mati meskipun dia dianggap sebagai pengkhianat karena berusaha mengganti filsafat negara (kongfusius) dengan filsafat barat (Kristen), sehingga dia meninggal dibunuh dan kematiannya tidak boleh diusut karena jika dia dianggap dihukum-mati dengan tuduhan pengkhianatan maka raja sebagai ayahnya juga adalah pengkhianat menurut hukum. Putra-putra dari Putra Mahkota Sohyeon juga harus diasingkan karena pada kenyataannya Putra Mahkota Sohyeon tetap dicap sebagai seorang pengkhianat dan tidak boleh menjadi raja.

Kisah Sado seakan mengulang tragedi Pangeran Sohyeon. Dia semakin disudutkan oleh lawan politiknya terutama oleh saudarinya yang dendam padanya, yaitu Putri Hwawan, yang berkomplot dengan lawan abadi Pangeran Sado, Ratu Jeongsun. Dua wanita ini lalu bekerja-sama untuk menjebak Sado, dan jebakan itu-pun berhasil. Saat itu, Sado dituduh berusaha membunuh raja dan juga dituduh mendoakan kematian raja dengan menggunakan pakaian berkabung, walaupun pada kenyataannya Sado menggunakan pakaian berkabung karena masih berduka atas kematian Ratu dan Ratu Dowager. Tapi, hal ini dianggap terlalu mengada-ada karena ratu pertama dan ratu dowager meningal 8 tahun lalu. Kenyataan itu justru adalah momentum yang ditunggu-tunggu oleh para menteri dan lawan politik Sado untuk menyudutkan Sado dengan tuduhan pengkhianatan pada raja dan negara. Akhirnya pada tanggal 4 Juli 1762, Sado dipanggil oleh Raja Yeongjo. Raja yang marah, memukul lantai dengan pedangnya dan menyatakan Putra Mahkota digulingkan. Selanjutnya, raja memerintahkan pegawai istana untuk mengambil kotak kayu yang berat yang digunakan untuk menyimpan beras atau gandum. Sado dimasukkan ke dalamnya dan ditutup sangat erat. Di penjara yang sempit ini, Sado dibiarkan kelaparan.

8 hari kemudian, pada tanggal 12 Juli 1762, katak kayu itu dibuka dan Pangeran Sado ditemukan dalam keadaan sudah meninggal. 

Seluruh kasim, penjaga istana, pegawai istana, dan penasehat spiritual yang bertugas melayani Pangeran Sado dihukum mati atas perintah raja. Status istrinya, Lady Hyegyeong diturunkan menjadi rakyat biasa dan dikembalikan ke rumah keluarganya. Selama tiga tahun, ia terpisah dari anaknya, Yi San.

Semua orang terdekat Pangeran Sado sangat frustasi dan tertekan. Lady Hyegyeong menjadi sangat frustasi dan sering sakit. Ibu Sado, Lady Sonhui, meninggal dua tahun setelah kematian Sado, yaitu pada tanggal 23 Agustus 1764. Hampir semua guru dan seluruh mentor Pangeran Sado melakukan bunuh-diri sebagai bentuk penyesalan mereka. Sedangkan, kepala pengawal Pangeran Sado mengundurkan diri dari posisinya dan hidup menyendiri. Dia lalu membuat tugu kecil dirumahnya berupa palang-pintu dan memberi hormat pada tugu itu setiap hari sebagai tanda penghormatannya pada Pangeran Sado.

Sado dimakamkan di pemakaman kerajaan. Awalnya dia dimakamkan di Baebongsan, Yangju, namun makamnya dipindahkan oleh putranya, Raja Jeongjo, ke Suwon. Raja Jeongjo membangun benteng Suwon untuk menghormati Pangeran Sado. Benteng itu mulai dibangun pada tahun 1794 dan selesai pada tahun 1796.

Putra Pangeran Sado, Yi San lalu menggantikan Yeongjo menjadi raja Joseon. Pada tahun 1819, Pangeran Sado diberi gelar anumerta "Raja Yangjo" dan istrinya, Lady Hong, diberi gelar, Ratu Heonyeong. Persekongkolan Putri Hwawan dan sang Ratu diketahui oleh Raja Jeongjo. Putri Hwawan dibuang ke pengasingan. Ia diijinkan untuk kembali ke istana kerajaan pada tahun 1782, namun dikirim ke pengasingan secara permanen pada tahun 1784 dan meninggal di Paju pada tanggal 17 Mei 1808 di tahun kedelapan masa pemerintahan Raja Sunjo dari Joseon. Ratu Jeongsun yang sangat ambisius masih berupaya membunuh Raja Jeongjo. Namun, pada akhirnya ia kehilangan seluruh pengikutnya dan terpaksa tinggal di tempat yang paling kecil di istana sebagai anggota keluarga kerajaan tanpa pengaruh apapun dan baru kembali meraih kekuasaan pada masa pemerintahan cicit Sado, Raja Sunjo. Keputusan Ratu Jeongsun yang memilih seorang putri dari klan Andong-Kim sebagai permaisuri Raja Sunjo menjadi cikal-bakal berkuasanya klan Andong-Kim di Joseon yang menjadi penyebab langsung keluarga kerajaan Joseon nyaris musnah. Klan Andong-Kim ini jugalah yang menyebabkan lambannya modernisasi di Joseon yang menjadi penyebab runtuhnya Dinasti Joseon. Selama hidup Ratu Jeongsun, dia selalu bermusuhan dengan Lady Hyegyeong. Pada tahun 1816, Lady Hyegyeong wafat dan dimakamkan di makam yang sama dengan Sado.

Selama abad ke-19, ada rumor bahwa Pangeran Sado tidak sakit mental tetapi telah dijebak. Namun, rumor tersebut dibantah oleh istrinya, Lady Hyegyeong dalam bukunya "The Memoirs of Lady Hyegyeong". Namun demikian, ada banyak sekali catatan yang menuliskan konspirasi para lawan politik Sado yang bersekongkol dengan Ratu untuk menjebaknya, dan mereka berhasil menjebaknya.

Di masa kini, masyarakat Korea menaruh simpati yang besar pada Pangeran Sado dan menganggapnya sebagai korban pertikaian politik. Dia dianggap sebagai pangeran malang yang tidak mendapat kasih sayang ayahnya dan dibunuh oleh ayahnya sendiri. Kematian Sado tetap menjadi perdebatan mengenai apakah kematiannya adalah pembalasan bagi kesalahan yang sebenarnya atau apakah dia adalah korban dari sebuah konspirasi lawan-lawan politiknya.

Kisah Pangeran Sado ini sangat mirip dengan kisah Pangeran Yinreng, Putra Mahkota Dinasti Qing pada masa pemerintahan Kaisar Kangxi, yang wafat sepuluh tahun sebelum kelahiran Pangeran Sado.


Beberapa Aktor Yang Memerankan Pangeran Sado

Tokoh Putra Mahkota Sado sempat muncul dalam drama "Warrior Baek Dong-soo" (dibintangi oleh aktor Ji Chang-wook dan aktor Yoo Seung-ho), dan drama "Secret Door". Namun, film yang paling detail menceritakan tentang Putra Mahkota Sado adalah film "Sado" (dibintangi oleh Yoo Ah-in sebagai Pangeran Sado dan Song Kang-ho sebagai Raja Yeongjo). Karakter Pangeran Sado yang sebenarnya (sesuai dengan catatan sejarah) sangat sulit untuk diperankan karena beliau tercatat sebagai seorang pangeran yang bijak, baik, dan murah hati tapi memiliki kejiwaan yang sangat labil dan sangat berbahaya. Namun, Yoo Ah-in dalam film Sado (The Throne) mampu memerankan Pangeran Sado dengan baik dan menjiwai karakter sang pangeran yang terkenal memiliki emosi yang berubah-ubah ini.

Kisah pemberontakan Ratu Jeongsun yang gagal dan juga pengucilan Ratu Jeongsun yang dilakukan oleh putra Pangeran Sado dapat ditonton dalam film "Fatal Encounter" (dibintangi oleh aktor Hyunbin sebagai Raja Jeongjo).

Tokoh Pangeran Sado juga sempat diceritakan dalam komik yang berjudul "Vampire from The East" karya Jo Joo-hee dan Han Seung-hee. Tokoh Sado juga kemungkinan besar adalah tokoh utama, Pangeran Yi Seon, dalam drama "Ruler: The Mask" yang diperankan oleh aktor Yoo Seung-ho (juga dibintangi oleh aktris Kim So-hyun dan idol L-Infinite).






9.   PANGERAN MUNHYO (Putra raja Jeongjo)

Pangeran Munhyo lahir pada tahun 1782 dengan nama Yi Hyang. Dia adalah putra tertua Raja Jeongjo yang lahir dari selir Raja Jeongjo, Lady Seong. 

Pada bulan November 1782 diangkat menjadi pangeran pewaris dengan nama Pangeran Munhyo. Dua tahun kemudian, pada tanggal 2 Juli 1784, Pangeran Munhyo diangkat menjadi Putra Mahkota, namun Pangeran Munhyo wafat dua tahun kemudian (11 Mei 1786) karena sakit. 

Empat bulan setelah kematianya, sang ibu, Lady Seong, juga menyusulnya. Lady Seong meninggal saat hamil, sehingga Raja Jeongjo juga kehilangan anak yang dikandung oleh Lady Seong. Sang ibu kemudian dimakamkan di makam yang sama dengan Pangeran Munhyo di Hyochangwon, Seosamneung. 

Awalnya, makamnya berada di Yong-San (Taman Hyo-Chang), namun dipindahkan pada masa pendudukan Jepang oleh pemerintah Jepang pada tahun 1944.


Aktor yang memerankan Putra Mahkota Munhyo


Putra Mahkota Munhyo sempat muncul dalam drama Yi San.





10. PANGERAN MUNJO (Putra Raja Sunjo)




Putra Mahkota Munjo lahir pada tanggal 18 September 1809, dengan nama Yi Yeong. Nama resminya sebagai putra mahkota adalah Putra Mahkota Hyeomyeong. Dia adalah putra pertama dari raja ke-23 Dinasti Joseon, Raja Sunjo, dan cucu dari Raja Jeongjo. Ibunya adalah Ratu Sunwon dari klan Andong Kim. Putra Mahkota Munjo kemudian menikahi istrinya, yang kelak dikenal dengan nama Ratu Shinjeong dari klan Cho Poong-yang, dan memiliki putra yaitu Pangeran Yi Hwan, yang kelak akan menjadi Raja Heonjong.

Dari lukisan-lukisan resmi Kerajaan Joseon tentang Pangeran Munjo, kita dapat mengetahui bahwa Pangeran Munjo adalah seorang pangeran yang berwajah sangat tampan.

Lukisan kerajaan tentang pernikahan Pangeran Munjo

Pangeran Munjo adalah satu dari tiga Putra Mahkota Joseon yang mendapatkan nama anumerta layaknya seorang raja meskpun mereka tidak pernah menjadi raja. Dua putra mahkota lainnya adalah Putra Mahkota Uigyeong (gelar anumertanya adalah Raja Deokjong) dan Putra Mahkota Sado (gelar anumertanya adalah Raja Yangjo).

Pangeran Munjo sangat disayangi oleh ayahnya. Ayahnya memerintahkan setiap aktivitasnya di lukis oleh pelukis istana. Ini membuat data-data dan lukisan tentang Pangeran Munjo lebih banyak dibandingkan beberapa raja Joseon. Sesuai dengan potretnya pada lukisan kerajaan, Pangeran Munjo adalah seorang pemuda yang sangat tampan, dan digambarkan sebagai pemuda yang visioner melalui tatapan matanya.

Dalam catatan-catatan sejarah tertulis bahwa Pangeran Munjo sangat berbakat dibidang seni. Dialah yang menciptakan "Tarian Resmi Istana Josoen" (Hyangak Jeongjae) pada tahun ke-28 dan ke-29 masa pemerintahan ayahnya. Tarian ini adalah penyempurnaan dari tarian istana Dinasti Qing (Dangak Jeongjae). Ini merupakan prestasi Munjo yang sangat dibanggakan oleh ayahnya dan tercatat sebagai salah satu warisan budaya Korea yang berasal dari masa pemerintahan ayahnya. Karena bakatnya ini, Pangeran Munjo (bersama dengan Pangeran Anpyeong, putra Raja Sejong) dikenal sebagai pangeran seniman Joseon.

Putra Mahkota Munjo menamatkan pendidikannya di Universitas Sungkyunkwan pada tahun 1817. Dua tahun kemudian, ia dinobatkan menjadi Putra Mahkota Joseon dan berada di-urutan pertama dalam daftar suksesi raja Joseon berikutnya. Sayangnya, ia meninggal pada tanggal 25 Juni 1830 dalam usia yang sangat muda, 21 tahun. 

Setelah kematiannya, istrinya, Ratu Shinjeong tinggal bersama putra mereka, Yi Hwan (kelak menjadi Raja Heonjong) dan wafat pada tahun 1890. 

Putra Mahkota Munjo dan Ratu Shinjeong dimakamkan di Makam Kerajaan Sureung, salah satu bagian dari Makam Kerajaan Donggureung yang terletak di Donggureungno, Inchang-dong, Kota Guri, Provinsi Gyeonggi. 

Pada tahun 1900, Putra Mahkota Munjo diberikan gelar Anumerta dengan nama Raja Munjo, alias Raja Ikjong oleh raja Joseon, Raja Gojong.

Aktor yang memerankan Pangeran Munjo

Drama yang memunculkan tokoh Pangeran Munjo sebagai tokoh utama adalah drama "Moonlight Drawn By Clouds". Drama ini adalah yang pertama mengambil fokus menceritakan kehidupannya dan mengambil tokoh Pangeran Munjo sebagai tokoh utamanya.

Drama "Moonlight Drawn By Clouds" ini memang tidak sesuai dengan fakta sejarah, tapi ide dari drama ini adalah tentang pengandaian jika Pangeran Munjo bisa hidup lebih lama dan menjadi raja. Sejarawan memang memprediksi bahwa banyak hal yang bisa berubah jika Pangeran Munjo berhasil naik tahta. Salah-satu dugaannya adalah percepatan modernisasi Joseon. Imbas dari modernisasi Joseon adalah kemampuan Joseon mempertahankan kelangsungan kerajaan ini, karena walaupun Jepang pada akhirnya akan mampu menguasai Korea tapi setidaknya pada tahun 1910 Joseon masih berdiri dan mampu terus mempertahankan kerajaan mereka walaupun dari tempat pengasingan.



Artikel lain tentang Joseon:

Artikel lainnya tentang Sejarah Korea:




------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.
JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA" 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture: wikipedia.org, www.executedtoday.com, Journal Art of Joseon SBS, MBC, KBS


Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media


Daftar Pustaka:
Chandeok Palace; Korea Tourist & Culture Department
Design Seoul Story
East Asia And 15th-19th Century Joseon; Kang Sung-ho; Sunchon National University
Gyeongbuk Palace; Korea Tourist & Culture Department
- Hanok, Where Science Meets Art; Jung Dong-muk; Korea (magazine) Edisi Maret, 2011
Jongmyo (Royal Shrine): Iconography Of Korea; Han Eun-ri
Joseon King's Personal Belief in Buddhism And Its Political Significance; Pu Nam Chul; Youngsan University
Joseon's Royal Heritage (500 Year of Splendor); Korea Essential No.7; Korea Foundation
Korea Food & Stories; Korea Tourist & Culture Department
- Korea Travel Guide; Korea Be Inspired
Marginalization Of Joseon Buddhism And Methods Of Research; Thomas Kim Sung-eun
Portrait Of The Joseon Dynasti; Journal Of Korean Art Vol.5; 2011
- Shaping Korea For 21st Century; Tariq Hussein
- Unexpected Treasures From Asia; National Library Of Australia; Edisi Juni 2011
- Verification Of The Calender Days Of The Joseon Dynasti; Lee Ki-won, Ahn Young-sook, Min Byeong-hee; Journal Of Korean Astronomical Society; 2012


Sumber Website:
http://moe-hankook.blogspot.com
http://inisajamo.blogspot.com
www.wikipedia.com
http://www.newworldencyclopedia.org
www.ncbi.nlm.nih.gov

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------