PERJUANGAN MENJADI GURU
Nama lahir Petrus Kafiar adalah Noseni. Bagi masyarakat Papua atau masyarakat non-Papua yang pernah tinggal di Papua seharusnya tidak asing dengan nama Petrus Kafiar. Beliau adalah guru pertama yang asli Papua. Beliau melayani orang-orang Papua di bidang agama, pendidikan, dan pembentukan moral dimasa-masa yang sangat sulit, yang menjadi salah-satu era tersulit di Papua pada masa lalu.
Ketika itu, belum ada orang-orang dari Jawa dan Sumatera yang mau ke Papua, atau setidaknya bisa ditemukan di Papua. Hanya orang-orang Sulawesi (suku Minahasa/Manado, Bugis, Makassar, dan Sangir) dan orang Ternate yang bisa ditemukan di Papua, itupun hanya ditemukan di pesisir-pesisir barat, di sekitar Sorong dan Fak-fak, sedangkan di pesisir utara baru bisa ditemukan di Mansinam. Sebagian besar orang Makassar, Bugis, dan Ternate datang ke Papua adalah sebagai pelaut yang kapalnya disewa oleh perusahaan Belanda atau oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga membuat mereka bukanlah pemukim tetap. Hanya sedikit yang menjadi pemukim-pemukim tetap di Papua. Para pendatang dan pemukim tetap dari Sulawesi dan Ternate biasanya adalah mantan budak yang ditebus oleh para misionaris Belanda dan Jerman dengan alasan kemanusiaan. Orang Minahasa/Manado (Sulawesi Utara) sangat mahir mengolah kayu-kayu dari pohon kelapa sehingga mereka dipekerjakan sebagai tukang kayu dan tukang bangunan, sedangkan orang Makassar dan Bugis sangat berpengalaman sebagai pelaut dan pembuat kapal sehingga mereka biasanya dipekerjakan untuk membuat perahu dan berlayar membantu para missionaris. Adapun orang Ternate dan Ambon adalah orang-orang yang paling berpengalaman dengan orang-orang Eropa secara turun-temurun sehingga mereka sering bekerja sebagai tangan kanan para missionaris. Orang-orang ini sudah menjadi orang merdeka, yang tetap mau bekerja dengan para missionaris sebagai bentuk balas budi dari mereka.
Para pemukim baru sering menemui kemalangan sebab pada masa itu alam dan masyarakat Papua masih sangat ganas. Tidak sedikit dari mereka tewas karena wabah penyakit, seperti wabah cacar dan flu, dan juga penyakit-penyakit khas Pulau Papua, khususnya Malaria. Selain menghadapi wabah penyakit, mereka juga menghadapi ganasnya alam Papua, seperti badai yang sering melanda pemukiman di daerah pesisir utara yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Cuaca juga sering membuat para pelaut terdampar di pulau-pulau tidak berpenghuni, atau yang lebih parah adalah terdampar di pulau berpenghuni lalu dirampok dan dibunuh.
Situasi seperti itulah yang dihadapi dan yang membesarkan Petrus Kafiar. Latar belakang seperti itu jugalah yang memotivasi Petrus Kafiar untuk melayani rakyatnya melalui agama (Kristen) dan pendidikan.
MASA KECIL DI KEPULAUAN BIAK
Kepulauan Biak
Noseni berasal dari sub-suku Armbor dari suku besar Biak dan dilahirkan di Pulau Supiori. Suku Biak adalah suku terbesar di Papua yang mendiami seluruh Kepulauan Biak dan juga kepulauan Raja Ampat. Mereka dikenal sebagai salah satu suku petarung dan pelaut ulung dari Papua. Fisik tubuh mereka lebih tinggi dari rata-rata tinggi orang Papua, dan juga rata-rata memiliki tubuh yang lebih tegap.
Pulau Supiori, yang menjadi tempat kelahiran Petrus Kafiar adalah bagian dari Kepulauan Biak. Kepulauan Biak sendiri terdiri dari tiga pulau utama yaitu Pulau Biak, Pulau Supiori, dan Pulau Numfor, dan kemudian Kepulauan Padaido. Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak adalah Schouten Eilanden (kepulauan Schouten), sesuai dengan nama orang Belanda yang pertama mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Kepulauan Biak terletak di Teluk Cenderawasih (0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT) dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di atas permukaan laut (id.wikipedia/biak) dan lokasinya dekat dengan garis katulistiwa. Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara rata‐rata 86,3% (id.wikipedia/biak) sehingga membuat kepulauan ini menjadi tempat terpanas di Papua. Sejak Papua bergabung dengan wilayah Republik Indonesia, wilayah administratif kepulauan Biak hanya memiliki satu kabupaten yang bernama Kabupaten Biak-Numfor (yang terdiri dari Pulau Biak, Pulau Supiori, dan Pulau Numfor, dan kemudian Kepulauan Padaido) namun sekarang Kepulauan Biak telah terpecah menjadi dua kabupaten (Kabupaten Biak-Numfor dan Kabupaten Supiori) setelah masyarakat wilayah Pulau Supiori memilih memisahkan diri dari pemerintah Kabupaten Biak-Numfor.
Suku Urmbor dan Kehidupan di Kampung Maudori
Pada masa itu, orang-orang Papua masih gemar berperang satu-sama lain, saling merampok pemukiman-pemukiman suku-suku lain dan juga sering menjadi bajak laut, terutama suku-suku di pantai utara. Diantara suku-suku di pantai utara Papua, suku yang paling terkenal sebagai pelaut tangguh dan bajak laut yang ditakuti adalah suku Biak, sukunya Petrus Kafiar. Petrus Kafiar sendiri berasal dari sub-suku Urmbor, yang dipandang oleh suku-suku Biak lainnya sebagai suku terkuat sebab tubuh orang Armbor lebih tinggi, besar dan tegap, dan letak geografis kampung mereka juga sangat sulit dicapai (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 5, tahun 2008).
Suku Armbor adalah sub-suku di Biak yang mendiami Pulau Supiori, tepatnya di Teluk Maudori yang letaknya di bagian barat Pulau Supiori. Pulau Supiori adalah salah-satu pulau yang mayoritas penghuninya adalah suku Biak, selain Pulau Numfor dan pulau-pulau di Raja Ampat. Letak pulau ini adalah disisi utara Pulau Biak dan berdempetan dengan Pulau Biak. Pulau ini juga menghadap langsung ke Samudra Pasifik. Karena Suku Urmbor mendiami Teluk Maudori maka nama kampung mereka disebut Kampung Maudori. Orang-orang Urmbor membuat pemukiman Kampung Maudori diareal tanah datar yang dipagari oleh bukit-bukit batu yang sangat terjal yang memisahkan Kampung Maudori dan pesisir pantai (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 5, tahun 2008). Bukit-bukit terjal itu juga memagari sisi lain dari Kampung Maudori. Pesisir pantai Maudori sendiri dilindungi oleh muara sungai yang luas dan dalam serta pulau-pulau yang garis terluarnya dilindungi dan dihubungkan oleh selat yang sempit dan berarus deras. Dengan letak geografis seperti ini, Suku Armbor sangat sulit diserang sehingga membuat tempat mereka menjadi sangat aman. Mereka juga tidak kekurangan makanan sebab wilayah mereka kaya akan hasil laut terutama ikan, penyu, dan kerang laut. Jika kampung mereka kekurangan makanan, maka mereka cukup menyeberang ke Pulau Myosbefondi disisi barat laut Pulau Supiori untuk mengambil, pisang, sagu, dan ubi-ubian (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008). Kondisi yang aman dan tergolong makmur inilah yang membuat orang-orang Urmbor hidup tenang dan memilih menjadi suku yang defensif ketimbang agresif pada suku lain.
Keluarga Noseni
Noseni adalah putra bungsu kepala suku sekaligus panglima perang suku Armbor saat itu. Sebagai kepala suku, ayahnya sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya Nama lahirnya adalah Noseni, sedangkan nama asli ayah dan ibunya tidak diketahui. Gelar ayahnya yang diberikan oleh Sultan Ternate adalah “Sengaji”, yang dalam lafal orang Biak disebut sebagai “Senadi” atau “Sanadi”. Nama “Sanadi” kemudian menjadi salah-satu nama marga di Biak. Nama asli ibunya tidak diketahui tetapi nama baptisnya adalah Lidia, yang diambil dari nama ibu angkat Petrus Kafiar di Mansinam (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 75, tahun 2008). Kakak tertuanya dinamai “Jurumudi” yang dalam lafal orang Biak disebut sebagai “Dermudi”. Nama “Jurumudi” berarti pengemudi perahu atau pengemudi kapal (Inggris: helmsman). Nama ini diberikan Sanadi pada putra sulungnya sepulangnya beliau dari Tidore sebagai kenang-kenangan akan kunjungannya ke Tidore (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008) sebab banyak orang Ternate yang menjadi pelaut, dan Sanadi menganggap profesi seorang jurumudi kapal sangat gagah. Nama baptis Dermudi sendiri adalah Konstantein. Nama kakak laki-laki kedua dan juga nama saudari Noseni tidak diketahui.
Sama seperti masyarakat Papua dan suku Biak pada umumnya ketika itu, keluarga Noseni menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dewa atau roh yang disembah ayahnya diukir dalam wujud sebuah patung, yang dinamakan “Patung Mon”.
Patung Mon adalah salah-satu patung nenek moyang dari Papua. Patung Mon biasanya dimiliki oleh kepala suku atau seorang ‘hobatan’ (petenung, dukun gaib). menurut kepercayaan pada jaman itu, Patung Mon dapat ditanyai untuk dimintai petunjuk, dan dia akan bergerak jika setuju. Roh dalam Patung Mon juga bisa merasuki si penanya, enggoncang-goncangkan tubuh si penanya, dan membuat si penanya meracau atau juga membuat si penanya mengucapkan kata-kata yang dipercaya sebagai kata-kata dari roh Patung Mon. Proses yang diyakini seperti inilah yang membuat orang-orang hobatan/dukun di Biak disebut juga “Snon Bena Mon”, yang artinya “orang ber-roh/petenung dari Mon” (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008).
Bencana di Kampung Maudori & Kematian Ayahanda Noseni
Suku Urmbor dan Kampung Maudori terkenal sangat sulit diserang. Wilayah mereka makmur sebab kaya akan hasil pertanian dan komoditas laut, dan aktif berdagang dengan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Karena berhadapan langsung dengan Samudra Pasifik, wilayah Maudori memiliki banyak komoditas laut yang langka di wilayah-wilayah lain. Kokohnya benteng pertahanan alam di Kampung Maudori membuat suku-suku lain kesulitan menyerang kampung ini, tetapi juga membuat mereka selalu penasaran, dan menunggu kesempatan terbaik untuk menyerang.
Pada tahun 1880, tujuh kapal suku Urmbor melaut menuju ke Pulau Myosbefondi dengan tujuan mengambil bahan makanan di kebun-kebun mereka di Pulau Myosbefondi. Tujuh kapal suku Urmbor ini membawa banyak pemuda-pemuda Urmbor, dan merupakan pemuda-pemuda terkuat yang bertugas sebagai prajurit. Pada masa itu, mereka dianggap sebagai Ksatria-ksatria Urmbor dari suku Biak yang paling kuat. Mereka berlayar menuju Pulau Myosbefondi tentunya untuk memenuhi kembali lumbung-lumbung mereka sebab walau Kampung Maudori memiliki lahan subur tetapi luasnya lahan pertanian masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk karena tanah pertanian di Pulau Supiori sangat minim. Sama seperti Pulau Biak, Pulau Supiori adalah pulau yang terbentuk dari batu karang sehingga lahan pertanian di pulau ini sangat terbatas. Walau demikian, pulau-pulau disekitar Pulau Supiori dan Pulau Biak memiliki tanah yang cukup untuk ditanami tanaman-tanaman pangan. Para pemuda Urmbor itu berlayar untuk memenuhi lumbung makanan kampung mereka.
Usai mengambil makanan dari Pulau Myosbefondi mereka lalu menyeberang kembali untuk pulang. Oleh karena itu, mereka harus melewati Teluk Maudori. Malang bagi para pemuda perkasa itu sebab cuaca berubah menjadi sangat buruk dan gelombang laut-pun sangat tinggi. Tujuh kapal yang ditumpangi mereka-pun terhempas gelombang dan tenggelam. Para pemuda Urmbor tersebut tidak pernah kembali lagi dan diyakini telah tewas ditelan gelombang laut. Jasad mereka juga tidak pernah ditemukan.
Kabar malapetaka itu mengguncang kampung Maudori dan menjadikan masa-masa itu menjadi hari-hari perkabungan yang panjang dan sangat menyedihkan sebagai banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat musibah itu, apakah kehilangan anak, ayah, cucu, adik, kakak, atau suami yang menjadi salah-satu dari para pemuda yang hilang ditelan gelombang.
Kabar malapetaka dari Maudori ini juga menyebar keseluruh Pulau Supiori dan Pulau Biak. Diluar kampung Maudori, musibah ini justru disambut dengan sukacita sebab bagi mereka kampung kuat itu sudah kehilangan ksatria-ksatria mereka dan menjadi sasaran berikutnya yang akan diserang.
Musibah ini membuat ayah Noseni sebagai kepala kampung menjadi sangat syok dan bahkan jatuh sakit. Beliau sangat khawatir pada pertahanan kampungnya sebab sebagian besar pemuda terkuat adalah orang-orang yang hilang saat pelayaran itu. Walau masih ada pemuda-pemuda lain yang juga adalah ksatria-ksatria kuat tapi jumlah mereka sudah tidak banyak dan dikhawatirkan akan kalah jika ada sejumlah besar perompak yang menyerang. Karena terlalu khawatir, ayah Noseni menjadi tertekan dan jatuh sakit.
Tidak diketahui apa penyakit ayah Noseni, tetapi sakitnya sangat serius dan semakin parah. Semua tabib dikampung dikumpulkan untuk mengobati penyakit ayahnya ini. Mereka berusaha mengobatinya dengan semua prosedur pengobatan tradisional yang mereka ketahui. Berbagai obat herbal Papua, yang terdiri dari berbagai daun, kulit dan akar pohon, dan umbi-umbian diberikan pada ayah Noseni, tetapi semakin banyak obat yang mereka berikan semakin parah penyakit ayahnya. Akhirnya para tabib kampung sampai pada satu kesimpulan bahwa penyakit ayahnya ini akan berujung pada maut. Untuk itu, mereka menganjurkan agar keluarga Noseni segera memanggil orang hobatan (petenung atau dukun gaib) untuk mengobati ayah Noseni dengan bantuan ‘roh halus’. Orang-orang hobatan lalu dikumpulkan bersama dengan patung-patung mon mereka. Mereka lalu menggunakan berbagai cara gaib dan menanyai patung-patung mon mereka untuk memperoleh jawaban tentang asal muasal penyakit ayah Noseni dan bagaimana cara mengobatinya tetapi hasilnya nihil dan kondisi ayah Noseni justru memburuk dan tidak sadarkan diri. Tapi, orang-orang hobatan ini, dan juga keluarga Noseni, tidak mengurungkan usaha mereka menyembuhkan ayah Noseni.
Sayangnya, ayah Noseni akhirnya meninggal dunia.
Setelah ayah Noseni meninggal maka posesi adat-pun dilakukan. Rambut para wanita dalam keluarga, yaitu sang istri yang menjadi janda, saudara perempuannya, dan juga putrinya, dicukur habis sebagai tanda berkabung. Hari perkabungan-pun ditetapkan sesuai kebiasaan pada saat itu yaitu hari-hari sebelum pekuburan jenasah (4-5 hari), hari pemakaman jenasah yang ditandai oleh sebuah upacara kebesaran pengiringan jenasah ke tempat peristirahatan terakhir, dan kemudian masa-masa berkabung setelah jenasah dimakamkan, dan lalu diakhiri dengan pesta peringatan bagi almarhum.
Selama awal masa-masa berkabung, sang janda dan saudari ayah Noseni diberikan kain hitam dab kain putih pada leher dan tangan yang diambil dari baju-baju mendiang sebagai tanda cinta pada almarhum dan sebagai tanda keluarga yang berkabung. Pada masa ini, seluruh handai taulan ditempat yang jauh berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum dan untuk menghibur keluarga almarhum. Dan, ketika hari pemakaman tiba maka jenasah almarhum ditekuk kakinya dengan lutut mengarah keatas (karena kepercayaan saat itu bahwa jika kaki jenasah dibiarkan lurus maka kematiannya akan diikuti kematian anggota keluarga yang lain), dan juga mata almarhum ditutupi oleh kepingan-kepingan piring atau juga kulit kerang dengan tujuan agar tidak bisa melihat orang yang datang melayat yang dipercaya akan membahayakan hidup orang yang melihat matanya (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 11, tahun 2008).
Pada hari pemakaman, maka jenasah akan diiringi oleh rombongan keluarga, kerabat, dan orang sekampungnya hingga tiba dipemakaman dan dimakamkan. Setelah dimakamkan maka acara perkabungan masih terus berlangsung bagi keluarga almarhum dan dilanjutkan oleh pemindahan kerangka almarhum yang dilakukan setelah para tetua menghitung waktu sebagai perkiraan bahwa tubuh almarhum ayah Noseni telah hancur bersatu dengan tanah dan hanya tersisa kerangkanya saja. Kerangka almarhum ayah Noseni lalu dipindahkan ke Pulau Myosbefondi dengan diantar oleh sebagian orang besar dewasa dari Kampung Urmbor yang lalu meletakan kerangka almarhum bersama dengan kerangka leluhur-leluhur yang telah meninggal.
Orang-orang yang mengantar jenasah tidak langsung pulang melainkan tinggal di Pulau Myosbefondi untuk beberapa waktu karena harus melakukan doa-doa dan juga untuk menunggu angin yang baik agar bisa berlayar dengan selamat. Sedangkan, orang-orang dewasa lainnya yang tetap tinggal di Kampung Urmbor juga melakukan posesi lainnya sesuai dengan adat orang Urmbor saat itu, yaitu semua harta benda milik ayah Noseni, selaku kepala suku, dihancurkan termasuk rumah perkabungan, dan perabotan termasuk piring-piring besar yang berharga. Pohon-pohon pisang, pohon kelapa, dan tanaman-tanaman milik ayah Noseni juga ditebang dan dibuang. Hal ini dilakukan karena saat itu suku Urmbor menganggap semua harta benda itu sudah tidak berguna sebab pemiliknya sudah meninggal sehingga semua harus dimusnahkan, sama seperti tuannya yang sudah tiada. Hal yang sama juga berlaku pada semua benda yang dipakai sebagai tanda berkabung oleh keluarga almarhum (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 9, tahun 2008). Kemudian, sesuai adat saat itu ibu Noseni, sebagai janda ayah, lalu dinikahkan kepada saudara laki-laki ayahnya meskipun paman Noseni itu sudah memiliki istri sebab menurut adat saat itu adalah ibu Noseni sudah menjadi milik keluarga ayah Noseni sebab mas-kawinnya telah dibayar lunas.
Noseni melihat semua itu dengan hati yang diliputi kekecewaan yang luar biasa pada yang dianggap olehnya sebagai ‘yang mahakuasa’ sebab tidak mampu menyelamatkan nyawa ayahnya. Dia lalu mengambil sebilah parang dan mengambil patung nenek-moyang yang dikeramatkan, lalu membelah-belahnya dan dibuang olehnya ke laut, sambil berkata,
“Aku sudah tidak mempercayaimu lagi mulai dari sekarang, sebab engkau tidak mampu menyelamatkan nyawa ayahku dari bahaya maut!” (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 9, tahun 2008).
Saat itu Noseni baru berusia tujuh tahun.
Apa yang dilakukan oleh Noseni ini dianggap sebagai pembawa malapetaka oleh orang-orang suku Urmbor, dan mereka meyakini Noseni akan mendapat kesialan seumur hidupnya. Bagi mereka, apa yang akan terjadi pada Noseni setelah hari itu hanyalah permulaan malapetaka dalam hidup Noseni.
Keluarga Noseni dan seluruh Kampung Urmbor masih berkabung atas kematian kepala keluarga dan kepala suku. Kabar dukacita ini tersiar luas ke seluruh penjuru Kepulauan Biak. Rupanya, ada orang-orang jahat yang ingin mengambil kesempatan dalam kesedihan yang dialami oleh orang-orang di Kampung Urmbor.
Ketika itu, masa-masa perkabungan masih berlangsung namun hanya menyisakan posesi terakhir, yaitu pesta peringatan bagi almarhum ayah Noseni. Sebagian besar orang dewasa masih ada di Pulau Myosbefondi menanti waktu dan cuaca yang tepat untuk pulang sehingga hanya sebagian kecil pria dewasa yang tinggal di Kampung Urmbor bersama para wanita dan anak-anak disana.
Tiba-tiba, munculah perahu besar yang membawa banyak orang, yang turun di Pantai Maudori dengan persenjataan lengkap, berupa panah, parang, dan tombak. Mereka adalah para perompak yang datang dari Kampung Korido untuk menjarah Kampung Urmbor.
Lamanya masa perkabungan ayah Noseni dan juga kebiasaan orang Urmbor dalam memakamkan jenasah sudah diketahui oleh banyak kampung di Kepulauan Biak sehingga ketika kematian seorang kepala Kampung Urmbor itu terdengar oleh kampung-kampung lain, termasuk oleh para perompak, maka hal itu justru memperpanjang masa-masa berkabung di Kampung Urmbor.
Orang-orang Korido tersebut menyerbu Kampung Urmbor dari seluruh sisi yang mengarah ke pantai yang dihadapan Kampung Urmbor. Jumlah para perompak terlalu banyak sehingga para laki-laki dewasa yang tersisa di Kampung Urmbor tidak mampu menahan serbuan mereka dan dikalahkan oleh para perompak. Para wanita dan anak-anak terpaksa lari dan menyembunyikan diri ke hutan sehingga para perompak-pun menjadi lebih leluasa menjarah seluruh kampung.
Dalam kekacauan itu, Noseni menjadi salah-satu orang yang terlambat lari ke hutan, dan Noseni-pun diculik oleh para perompak itu.
Masa Penawanan di Korido
Serbuan orang-orang Korido ke Maudori berlangsung dengan sangat cepat. Setelah puas menjarah, mereka lalu meninggalkan Kampung Urmbor sesegera mungkin untuk mendahului kepulangan orang-orang Urmbor lainnya dari Pulau Myosbefondi yang jumlahnya lebih banyak dan rata-rata adalah para petarung tangguh. Kepergian mereka disertai oleh nyanyian-nyanyian perang sebagai ungkapan kemenangan mereka.
Tidak banyak catatan mengenai serbuan ini, baik dari kesaksian Noseni maupun dari kesaksian saudara-saudaranya, namun cerita-cerita mereka mengindikasikan bahwa hanya Noseni seorang yang tertawan dalam penyerbuan itu.
Diatas perahu yang mengangkut Noseni dan para penculiknya, Noseni pun mulai ditanyai oleh mereka perihal nama dan nama keluarganya. Noseni-pun memberitahukan namanya dan asal keluarganya, sehingga membuat para penculiknya terkejut. Pada masa itu, menurut adat setempat bukanlah hal yang biasa-biasa saja jika anak seorang kepala suku diculik sebab suku korban penculikan itu pasti akan membalas dendam. Para penculik Noseni memiliki pikiran untuk mengembalikan Noseni kembali ke Kampung Urmbor dengan jalan mengajukan tebusan. Cara itu adalah yang paling aman bagi para penculik untuk mengembalikan Noseni, namun saat itu mereka sudah berlayar terlalu jauh dari Kampung Urmbor dan sangat berbahaya jika mereka kembali, sebab selain masalah cuaca, keselamatan mereka juga terancam oleh orang-orang Urmbor yang kemungkinan sudah kembali dari Pulau Myosbefondi.
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tetap membawa Noseni ke Korido.
Tibalah Noseni di Kampung Korido. Kampung ini adalah kampung yang asing bagi Noseni sebab selain tidak pernah mengunjungi kampung ini, tempat itu juga sangat jauh dari Kamupung Urmbor. Saat itu, nasib Noseni belum jelas sebab mereka masih khawatir menahan dia namun mereka juga tidak tahu bagaimana caranya untuk mengembalikan Noseni, sebab jika mereka ingin berlayar ke arah Urmbor maka saat itu mereka harus melewati daerah Sowek wilayah sub-suku Arwakon, sukunya ibu Noseni. Ini berbahaya bagi mereka sebab sesuai dengan kebiasaan pada masa itu, orang Arwakon yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Noseni pasti juga akan menuntut balas, dan tentunya kabar mengenai hilangnya Noseni sudah terdengar oleh mereka saat itu.
Tidak beberapa lama setelah Noseni tiba di Kampung Korido, salah seorang warga Kampung Korido yang dulunya ikut serta menyerbu Kampung Urmbor tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang-orang Korido lalu menganggap bahwa kematian orang itu adalah karena karena di bunuh oleh ‘suanggi’ (jin) yang dikirim oleh orang-orang Urmbor untuk membalas penyerbuan orang Korido. Kematian orang tersebut membuat orang-orang Korido sepakat bahwa Noseni tidak perlu lagi dikembalikan ke Urmbor sebab ‘nyawa sudah dibayar dengan nyawa’. Nasib Noseni-pun kini menjadi jelas, yaitu sebagai budak orang Korido.
Sebagai seorang budak, Noseni harus melakukan banyak hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang bocah berusia tujuh tahun. Dia harus mengangkat air padahal tempat air bersih di pulau itu sangat jauh sebab seluruh pulau itu terbentuk dari karang. Dia harus mencari kayu bakar dihutan, juga ikut melaut sebagai penimba air atau pemegang kemudi (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 15, tahun 2008). Pekerjaan-pekerjaan itu sangat melelahkan namun Noseni harus melakukannya secara rutin sebab dia tidak bisa melawan. Dia melakukan pekerjaannya dengan baik dan membuat orang yang menjadi tuannya merasa sangat senang.
Pada suatu hari, saat Noseni mengikuti orang-orang dewasa melaut untuk mencari ikan, perahu yang membawa mereka terombang-ambing dihempas gelombang. Rupanya lautan tempat mereka berada sedang dilanda oleh badai. Entah mengapa, perihal adanya badai yang mungkin menghantam mereka hari itu luput diperkirakan oleh para pelaut tangguh itu. Badai itu nyaris membuat perahu yang mereka tumpangi tenggelam. Ditengah-tengah ketakutan karena begitu kuatnya badai tersebut dan tampaknya perahu yang mereka tumpangi akan tenggelam, maka berserulah para pelaut itu kepada nama-nama leluhur mereka masing-masing dan juga pada nama-nama roh-roh halus yang mereka sembah dan mereka percaya agar membantu mereka dan menghentikan badai besar itu. Ditengah-tengah berbagai seruan dan berbagai nama yang keluar dari mulut para pelaut itu, tiba-tiba salah-satu pelaut itu menyerukan sebuah seruan dan menyebut sebuah nama yang asing sekali bagi mereka,
“Manseren Yesus e wa batulung nu...... Manseren Yesus e wa batulung nu......”, yang artinya,
“Oh Tuhan (Manseren) Yesus tolonglah kami.....”
Tidak ada satupun yang mengerti dan tahu siapa yang dipanggil oleh orang yang menyerukan seruan yang ‘aneh’ itu, demikian hal juga dengan Noseni sebab saat itu adalah untuk kelai pertama Noseni mendengar nama Yesus. Hal ini dikarenakan Kekristenan belum memasuki Kepulauan Biak saat itu. Rupanya, orang yang berseru-seru itu adalah orang Korido yang sering mengunjungi Mansinam, pusat Kekristenan di Papua saat itu. Di Mansinam, orang itu sering mengikuti ibadah di gereja dan mendengar khotbah para pendeta yang meminta para jemaat untuk mengganti kepercayaan animisme dan dinamisme mereka dengan agama Kristen dan lebih menyebut nama Yesus jika sedang dalam bahaya dibandingkan menyebut nama arwah leluhur atau roh-roh halus yang mereka percayai. Ini artinya saat sebelum tahun 1880 dan sekitar kurang dari 10 tahun setelah tahun itu (<1890), agama Kristen belum masuk ke Kepulauan Biak.
Tidak diketahui berapa lama Noseni diperbudak di Korido. Namun, dari kesaksian orang-orang dia berada disana hingga usia remaja. Mungkin diusia awal belasan tahun.
Noseni disenangi oleh tuannya dan orang-orang yang sering bekerja bersama dengannya sebab dia sangat rajin. Namun, ada masalah baru muncul saat itu, yaitu perihal orang Korido yang meninggal tak lama saat Noseni diculik. Pada saat itu, menurut adat dan kebiasaan orang Korido (dan rata-rata suku Biak dan Papua) bahwa jika ada orang yang mati karena dibunuh (oleh manusia atau roh halus) maka nyawa orang itu harus dibayar dengan benda-benda adat yang berharga atau juga berupa sejumlah uang dari yang membunuh atau keluarga si pembunuh. Keluarga orang yang meninggal itu menuntut hal yang serupa pada Noseni. Mereka tidak peduli pada kenyataan bahwa bukan Noseni yang membunuh, dan juga meskipun tidak bisa dibuktikan apakah orang Urmbor-lah yang mengirim ‘jin’ untuk membunuh orang tersebut. Intinya, pihak Noseni harus membayar ganti rugi, dan karena mereka tidak mungkin menghubungi keluarga Noseni maka Noseni-lah yang harus menanggung semua ganti rugi itu.
Pada masa itu, perdagangan budak masih lumrah terjadi dan belum ada hukum yang melarang. Walaupun sudah ada kerajaan-kerajaan yang membuat hukum perihal pembatasan kepemilikan budak namun perdagangan budak adalah salah-satu perniagaan yang dilegalkan. Noseni-pun menjadi korban perniagaan hitam ini.
Pihak keluarga orang Korido yang meninggal tersebut lalu menuntut pada tuan yang mempekerjakan Noseni agar Noseni membayar ganti-rugi berupa barang-barang yang berharga atau sejumlah uang sesuai kesepakatan ada. Karena Noseni tidak memiliki apapun di Korido maka satu-satunya cara adalah bahwa Noseni harus dijual. Sampai disitu, mulailah terjadi pertentangan diantara orang-orang Korido, yaitu antara keluarga orang Korido yang meninggal dengan orang yang menjadi tuannya Noseni dan orang-orang Korido yang sering bekerja bersama dengan Noseni. Tuannya Noseni dan keluarganya ingin menjadikan Noseni sebagai anggota keluarga mereka dengan alasan bahwa Noseni adalah tawanan dari Urmbor dan kematian orang Korido itu adalah akibat mereka menawan Noseni sehingga baik nyawa Noseni dan nyawa orang Korido itu dianggap impas sehingga tidak perlu lagi pihak Noseni memberikan ganti-rugi. Mereka menyayangi Noseni sebab Noseni sangat rajin dan setia. Namun, keluarga orang Korido yang meninggal tersebut tetap memnuntut ganti-rugi dan tampaknya mereka memiliki banyak pendukung. Untuk menghindari kekacauan maka para tetua adat Korido-pun bermusyawara dan menyepakati keputusan bahwa Noseni harus dijual.
Orang-orang Korido yang akan membawa Noseni pun menyiapkan perahu besar, dan itu adalah perahu yang sama yang membawa mereka menyerbu Kampung Urmbor. Mereka lalu berlayar menyeberang ke Pulau Numfor dan melanjutkan perjalanan melewati Teluk Doreh (wilayah Manokwari sekarang) dan tiba di kota tujuan mereka, Mansinam (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 18, tahun 2008).
Itu adalah kali pertama Noseni meninggalkan Kepulauan Biak, dan awal-mula kisahnya hingga berhasil menjadi seorang guru.
KEHIDUPAN DI MANSINAM DAN MENJADI KRISTEN
Pulau Mansinam
Mansinam adalah salah-satu wilayah yang kini menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Pulau ini bukanlah daratan pertama yang diinjak oleh para penjelajah Eropa, tapi pulau ini adalah tempat pertama dua misionaris utama dan pertama di Papua, Ottow dan Geissler, menginjakan kaki mereka pada 5 Februari 1855. Pulau Mansinam lalu menjadi basis pekabaran Injil di Papua, dan menjadi perwakilan sementara pemerintah Hindia Belanda di Papua yang saat itu dimasukan kedalam wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda di Ternate.
Sebagai basis pekabaran Injil di Papua, otomatis Pulau Mansinam adalah pusat aktifitas Zending di Papua sehingga membuat tempat ini ramai oleh orang-orang Eropa (khususnya Belanda dan Jerman) dan orang-orang Indonesia bagian Timur yang bekerja bagi Zending. Zending adalah badan misionari Kristen Protestan yang berpusat di Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, Zending kemudian bertransformasi menjadi PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia), dan gereja-gereja yang dulunya bernaung dibawah Zending lalu menjadi gereja-gereja protestan daerah, seperti GPM (Gereja Protestan Maluku) di Maluku, GKJ (Gereja Kristen Jawa) di Pulau Jawa, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Sumatera Utara, GMIM (Gereja Masehi di Minahasa) di Sulawesi Utara dan Gorontalo, GPIB (Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat) di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan, serta GKI (Gereja Kristen Indonesia). Gereja-gereja di Papua yang bernaung dibawah Zending sebelumnya berada dibawah naungan GPM di Maluku, lalu kemudian menjadi mandiri dan memakai nama GKI (Gereja Kristen Injil) yang berbeda dengan GKI (Gereja Kristen Indonesia) wilayah barat Indonesia.
Ramainya Pulau Mansinam oleh aktifitas Zending membuat tempat itu menjadi wilayah Papua yang menjadi tujuan perdagangan utama kerena mennjadi tempat berkumpulnya para misionaris dari Eropa yang memiliki hubungan langsung dengan Ternate (kesultanan terbesar di Indonesia Timur), Makassar (kota terbesar di Indonesia Timur), dan Batavia (Jakarta). Kota-kota lain di Papua belum terlalu ramai dengan orang-orang asing sehingga menjadikan Mansinam sebagai tujuan dagang utama para penduduk Kepulauan Biak jika mereka tidak mampu berlayar ke Ternate.
Di Mansinam, Noseni berhasil dijual dengan harga yang sangat memuaskan orang-orang Korido, yaitu seharga 50 kepeng.
Terjualnya Noseni di Mansinam mengakhiri masa perbudakannya yang tragis di Korido dan menjadi langkah awalnya menjadi seorang guru.
Keluarga Angkat Noseni
Orang yang membeli Noseni adalah seorang pria yang berasal dari Halmahera (Maluku) yang bernama David Keizier. Tidak diketahui latar-belakang lainnya atau apakah nama lahir beliau, namun nama David kemungkinan besar adalah nama baptisnya yang diambil dari nama raja terkenal dalam Alkitab, yaitu Raja David (Indonesia: Daud), sedangkan nama Keizier adalah nama atau marga Belanda yang diberikan oleh orang yang membaptisnya. Ayah angkatnya adalah seorang tukang kayu yang bekerja bagi Zending di Mansinam. Kemungkinan besar sebelumnya ayah angkat Noseni ini menjadi anak-angkat orang Belanda dan menggunakan marga keluarga angkat Belanda-nya itu. Tidak tertutup kemungkinan jika David Keissier juga adalah mantan budak yang lalu ditebus oleh misionaris yang bekerja bagi Zending.
David Keizier tidak memiliki putra sehingga saat dia melihat sosok Noseni, bocah laki-laki yang berbadan tegap dan terlihat sebagai anak yang baik, dia langsung jatuh hati dan menebus Noseni. Noseni-pun dibawa pulang oleh David dan diperkenalkan pada istrinya yang bernama Lidia, yang diambil dari nama salah-satu wanita yang sempat disebutkan di Alkitab. Tidak diketahui darimana asal Lidia, dan apakah beliau ataukah David yang lebih dulu menjadi Kristen, namun besar kemungkinan jika Lidia juga berasal dari Maluku.
Suami istri ini menyambut kehadiran Noseni dengan gembira sebab mereka tidak memiliki anak laki-laki. Noseni lalu diperkenalkan kepada putri mereka yang bernama Margareta. Tidak ada catatan mengenai usia Margareta, apakah dia lebih tua atau lebih muda daripada Noseni, juga tidak ada catatan-catatan lain mengenai asal-usul keluarga Keizier saat masih di Halmahera.
Kehidupan Awal di Mansinam
Noseni diperlakukan sebagai anak oleh keluarga Keizier dan tidak membeda-bedakan perlakuan mereka pada Margareta dan Noseni. Mereka memberikan Noseni pakaian yang layak dan makanan yang sama dengan yang mereka nikmati. Di rumah, Noseni mendapatkan kamarnya sendiri dan duduk makan di meja makan yang sama dengan mereka. Noseni lalu diajar berbicara bahasa Melayu dan diajari pelajaran-pelajaran dasar seperti mengenal huruf dan angka, juga diajak mengikuti ibadah di gereja. Pada saat ke gereja di Mansinam inilah untuk pertama-kalinya Noseni bertemu dengan mentornya, Pendeta J.L Van Hasselt.
Pendeta Van Hasselt adalah pembimbing rohani Noseni. Oleh beliau, Noseni-pun dibaptis, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1887 (sesuai dengan buku catatan gereja) dan diberikan nama baptis “Petrus”, yaitu bentuk Latin untuk nama Belanda, Pieter (Inggris: Peter, Italia: Pietro, Prancis: Pierre, Spanyol & Portugis: Pedro), yang diambil dari nama salah-satu dari 12 rasul Yesus, yaitu rasul Petrus. Setelah dibaptis, beliau tidak menggunakan nama “Noseni” lagi melainkan nama “Petrus”, dan menggunakan nama keluarga ayah angkatnya, Kazier (baca: Kai-shier), yang oleh lafal orang-orang Biak lebih mudah disebut “Kafiar”. Inilah awal mula nama Petrus Kafiar dikenal.
Tidak beberapa lama setelah diangkat sebagai anak dan sudah bisa beradaptasi, Petrus-pun didaftarkan untuk masuk sekolah. Rupanya, Petrus adalah anak yang cepat belajar dan cepat tanggap. Di kelasnya, Petrus adalah yang paling pandai membaca dan menghitung sehingga membuat gurunya saat itu, Pendeta Van Balen, meminta Petrus membantu mengajar teman-temannya membaca dan berhitung. Pendeta Van Balen yang baru datang dari Wondesi sangat kagum pada Petrus sebab saa itu adalah kali pertama baginya melihat seorang anak asli Papua yang sangat pandai membaca dan berhitung.
Sepertinya, Petrus dibaptis saat beliau sudah diatas usia 12 tahun sebab ketika itu beliau ditunjuk oleh Pendeta Van Hasselt untuk membantu mengajar baca-tulis dan berhitung pada orang-orang dewasa Papua di pulau itu yang masih buta huruf. Hal itu tidak mungkin dilakukannya jika saat itu dia masih kecil sehingga ini artinya Petrus cukup lama diperbudak di Korido dan baru berada di Mansinam saat dia sekurang-kurangnya seumuran dengan anak SMP pada masa sekarang. Kelebihan dan pelayanan Petrus ini membuat kedua orang-tua angkatnya menjadi sangat gembira dan bangga.
Sayangnya, ditengah-tengah kebahagian ini, saudari angkat Petrus yang bernama Magareta sakit keras. Kala itu, Margareta memang sudah lama menderita penyakit kronis dan keadaannya semakin memburuk akibat cuaca di Papua yang tidak menentu juga kurangnya obat-obatan. Ada kemungkinan juga jika Margareta terserang penyakit malaria, atau setidaknya penyakitnya diperparah juga oleh malaria. Malang bagi keluarga Petrus sebab Margareta akhirnya meninggal dunia. Keluarga Petrus sangat sedih, demikian halnya juga Petrus, namun mereka berusaha tabah dan berserah kepada Tuhan. Tapi, ada banyak hal mengenai kematian Margareta yang membuat Petrus sangat heran sebab barang-barang milik Margareta tidak ikut dimusnahkan seperti kebiasaan orang-orang Biak. Dia heran mengapa tanaman-tanaman di kebun yang ditanam oleh Margareta tidak ikut dibakar, juga mengapa baju-baju Margareta tidak dibakar, dan yang lebih penting lagi adalah mengapa Margareta dimakamkan tidak lama setelah kematiannya, dan hanya diiringi oleh ibadah singkat pelepasan jenasa dan ibadah malam penghiburan bagi keluarga almarhum. Petrus menanyakan perihal itu kepada kedua orang-tua angkatnya dan mereka menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah karena sesuai kebiasaan orang Kristen, yaitu bahwa orang yang meninggal tidak berkuasa lagi atas orang yang hidup dan keluarga yang ditinggalkanlah yang seharusnya dihibur dan diurus. Petrus akhirnya paham mengenai kebiasaan-kebiasaan baru yang dilihat dan dialaminya.
Kegiatan lain Petrus selepas dari sekolah dan pelayanannya bagi orang-orang buta huruf adalah membantu ayah angkatnya sebagai tukang kayu. Ayah angkatnya mencurahkan semua kemampuan dan memberikan semua ilmu tentang pertukangan pada Petrus dengan harapan agar kelak bisa meneruskan profesi ayahnya yang pada masa itu termasuk profesi yang mapan dan sangat terhormat bagi orang lokal. Petrus-pun mampu membangun bangunan-bangunan dari kayu, mengerjakan perabotan kayu, dan sebagainya yang sangat penting bagi kegiatan Zending di Mansinam. Keahliannya ini kelak akan sangat membantunya saat dia ditugaskan ditengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki infrastruktur yang memadai.
Berkat kecerdasannya, Petrus berhasil menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat, dan menjadi orang asli Papua pertama yang berhasil lulus dari sekolah rakyat.
JENJANG PENDIDIKAN & MENJADI GURU
Panggilan Menjadi Seorang Guru (sekolah di Ternate dan tugas di Ambarbaken)
Kepandaian Petrus di sekolah dan pelayanan-pelayanannya ditengah-tengah masyarakat sebagai pembantu pengajar bagi masyarakat buta huruf memunculkan cita-cita dalam hati Petrus. Namun, rupanya Petrus memiliki cita-cita yang tidak sejalan dengan keinginan ayahnya, sebab Petrus tidak ingin mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang tukang kayu melainkan memiliki cita-cita lain yaitu menjadi seorang guru.
Awalnya, David mendukung keinginan Petrus untuk melanjutkan pendidikan ke Ternate sehingga kemudian Petrus berlayar menuju ke Ternate untuk melanjutkan pendidikannya. Petrus sekolah di Ternate disebuah sekolah Melayu pemerintah, yaitu sekolah Gubernemen Kelas Dua, selama satu tahun. Setelah setahun belajar di Ternate, Petrus kembali ke Mansinam dan semakin terlihat kepandaiannya. Beliau adalah orang asli Papua pertama yang sekolah dan menamatkan pendidikannya diluar Papua.
Ayahnya semakin berharap banyak bahwa putra tunggalnya itu akan melanjutkan profesi ayahnya, dan benih-benih pertengkaran antara ayah dan anak inipun muncul.
Perbedaan pendapat antara Petrus dan David mengenai masa depan dan cita-cita Petrus ini menguat tatkala pemerintah Hindia Belanda ingin membuka perkebunan-perkebunan di Amberbaken, yang memiliki lahan yang lebih subur dan lebih luas dari pada Mansinam, untuk keperluan ekspor ke Eropa dan wilayah lain. Pemerintah Hindia Belanda lalu meminta bantuan dari pihak Zending agar bisa menyediakan tukang-tukang kayu yang bekerja bagi Zending untuk membantu membangun pemukiman baru disana sebab letak Pulau Mansinam lebih dekat ke Ambarbaken ketimbang letak basis Belanda di Kepulauan Maluku, apalagi di Sulawesi dan Jawa. Maka, ayah angkat Petrus-pun ditugaskan ke Ambarbaken oleh Zending. Ketika itu, David ingin membawa Petrus ke Ambarbaken untuk membantu beliau sekaligus untuk menambah pengalaman dengan harapan kelak Petrus bisa menjadi seorang kepala tukang (mandor), sebuah profesi bergengsi saat itu. Namun, Petrus menentang keinginan ayahnya dengan alasan bahwa dia tidak ingin ke Ambarbaken sebab dia ingin belajar agar bisa menjadi guru. Dibandingkan pergi ke Ambarbaken, Petrus lebih ingin pergi ke Ternate atau ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan karena Mansinam hanya memiliki sekolah rakyat sedangkan di Ternate atau di Jawa dia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Perbedaan pendapat ini membuahkan pertengkaran yang kemudian semakin meruncing sampai-sampai harus ditengahi oleh Pendeta Van Hasselt.
Akhirnya, atas bantuan Pendeta Van Hasselt dicapailah kesepakatan yang dianggap sebagai jalan tengah, yaitu Petrus tetap harus berangkat ke Ambarbaken untuk membantu ayahnya menjadi tukang kayu yang mengerjakan proyek pemukiman baru, namun diwaktu luang, khususnya pada hari Minggu, Petrus dapat melakukan pelayanan di gereja sebagai penginjil dan juga sebagai guru bantu yang mengajar masyarakat yang buta huruf. Pendeta Van Hasselt selalu mendukung cita-cita Petrus tetapi pada saat itu tidak mudah bagi orang non-Eropa untuk mengenyam pendidikan yang tinggi walaupun saat itu politik etis telah dijalankan. Jika ada orang pribumi yang ingin mengenyam pendidikan yang tinggi dan setara guru maka orang tersebut harus berasal dari kalangan bangsawan lokal atau anak orang kaya, yang mana kedua syarat itu tidak bisa dipenuhi oleh Petrus. Syarat lainnya adalah jika ada undangan khusus dari pemerintah Belanda atau dari lembaga pendidikan terkait. Syarat-syarat inilah yang sangat berat dipenuhi oleh Petrus sehingga membuat ayahnya beranggapan bahwa cita-citanya sangat mustahil dan memilih membawa Petrus ke Ambarbaken dan Pendeta Van Hasselt pun menganjurkan hal yang sama sehingga mereka bersepakat bahwa ke Ambarbaken adalah pilihan yang logis.
Seusai kesepakatan yang dicapai tersebut maka berangkatlah Petrus dan David ke Ambarbaken. Di Ambarbaken, Petrus bekerja sebagai tukang kayu sekaligus sebagai penginjil dan guru bantu. Meskipun sibuk, beliau tidak pernah melupakan cita-citanya menjadi guru, demikian juga halnya dengan Pendeta Van Hasselt yang tidak pernah melepaskan Petrus dari pantauannya.
Kesempatan Untuk Belajar di Sekolah Seminari Depok
Petrus melakukan semua tugas-tugasnya di Ambarbaken dengan sangat baik, dan diapun sudah memiliki banyak pengalaman, baik sebagai seorang tukang maupun sebagai penginjil dan guru bantu.
Saat itu, mungkin hanya Petrus dan keluarga Van Hasselt yang masih berharap bahwa seorang Petrus, anak asli Papua, putra angkat dari seorang tukang kayu bernama David Kaisier, akan mampu menjadi seorang guru, sebab masalah dana dan surat undangan bukan dua hal yang paling utama yang menjadi penghalang bagi Petrus melainkan statusnya sebagai orang asli Papua. Saat itu, sentimen negatif terhadap kepemimpinan orang pribumi masih sangat tinggi, dan ironisnya sentimen negatif tertinggi pada kepemimpinan orang pribumi, khusus di wilayah timur Hindia Belanda (sekarang Indonesia) justru berasal dari sesama orang pribumi.
Mengapa?
Mungkin kalimat dari dua orang Papua, anggota majelis jemaat, di Mansinam yang bernama Akwila dan Bernard kepada Petrus bisa menjelaskan hal itu,
“Ah kamu-orang (=engkau) hitam (kulitnya) sama dengan (=seperti) kita-orang (kami)! Mana mungkin bisa mengajari kita-orang?! Lebe baik (=lebih baik) tutup saja mulut (-mu) itu!”
Begitulah tantangan terbesar yang dihadapi oleh Petrus untuk meraih cita-citanya, sebab bukan orang Belanda atau orang Ambon atau orang Sulawesi atau orang Jawa yang tidak mempercayai cita-cita dan kemampuannya untuk mengajar mereka melainkan orang-orang Papua sendiri, yaitu sukunya sendiri.
Diantara semua orang yang menentang cita-citanya, Pendeta Van Hasselt adalah satu-satunya yang mendukung Petrus. Itulah sebabnya, saat Petrus masih bekerja dan melayani di Amaberbaken, ketika tiba surat dari negeri Belanda yang dikirim oleh U.Z.V yang meminta agar pihak Zending di Mansinam mencari orang-orang asli Papua yang dianggap mampu untuk mengikuti pendidikan di sekolah seminari Depok, maka orang pertama yang muncul dibenak dan mulut Pendeta Van Hasselt adalah Petrus.
Tidak perlu waktu lama bagi Pendeta Van Hasselt untuk memutuskan menghubungi Petrus di Amaberbaken. Petrus sangat gembira mendengar berita yang dikirim oleh Pendeta Van Hasselt dan segera ke Mansinam.
Tapi, kabar gembira ini rupanya tidak disambut oleh banyak orang, termasuk anggota-anggota jemaat gereja di Mansinam dan keluarga angkat Petrus sendiri. Untuk menenangkan jemaat dan membuat orang-tua Petrus memahami cita-citanya dan memanfaatkan kesempatan yang ada didepan mata itu, Pendeta Van Hasselt lalu menceritakan kepada PKW (Persekutuan Kaum Wanita) jemaat Mansinam tentang kisah seorang bishop di Afrika yang merupakan orang-asli Afrika yang bernama Growther. Bishop Growther adalah salah-satu bishop asli Afrika yang pertama dalam sejarah. Beliau menginjili dan melayani orang-orang sebangsanya dengan menggunakan bahasa daerahnya sehingga masyarakat ditempat pelayanannya lebih mudah mengerti pengajaran-pengajarannya. Pendeta Van Hasselt lalu menunjukan gambar dari Bishop Growther tersebut kepada mereka agar kisahnya dipercayai, dan juga agar mereka tidak memandang rendah suku mereka sendiri, apalagi jika sampai menganggap bahwa suku mereka derajatnya lebih rendah dari orang-orang Eropa dan pendatang lain di Hindia Belanda. Namun, setelah mendengar kisah itu Pendeta Van Hasselt justru mendapatkan cemooh karena jemaatnya masih tidak percaya, dan bahkan ibu angkat Petrus, Lidia, berkata pada Pendeta Van Hasselt,
“Pak pendeta, kalau Pendeta Growther itu datang kesini nanti orang akan katakan bahwa ‘kamu-orang (engkau) sama hitam(-nya) dengan kita-orang (kami), mana mungkin bisa (meng-)ajar kita-orang (kami)?’ dan dia nanti tutup mulut saja.”
Perdebatan-perdebatan mengenai cita-cita Petrus-pun terus berlanjut dan seakan semakin menjauhkan Petrus dari cita-citanya sebab waktu demi waktupun berlalu setelah surat dari negeri Belanda dan Petrus masih belum memperoleh restu dari keluarganya, ditambah lagi tentunya tawaran itu memiliki batas waktu.
Untunglah ada jalan keluar. Rupanya, impian dan cita-cita, selain membutuhkan motivasi juga memerlukan inisiatif, dan jika inisiatif itu tidak mampu dilakukan oleh orang yang memiliki impian dan cita-cita tersebut maka hal itu dapat dilakukan oleh orang yang mendukungnya. Kala itu, putra Pendeta Van Hasselt akan melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda dan Nyonya Van Hasselt yang akan mengantarnya. Untuk itu, mereka harus berlayar dari Mansinam menuju ke Batavia (Belanda) agar bisa menaiki kapal yang akan berlayar ke negeri Belanda. Saat Nyonya Van Hasselt berada di Batavia (kemungkinan besar sesudah mengantar putranya ke Belanda), beliau mendatangi sekolah seminari Depok untuk menanyakan perihal apakah pendaftaran bagi mahasiswa ditempat itu masih dibuka atau tidak. Pihak sekolah seminari memberikan informasi yang menggembirakan, yaitu pendaftaran bagi calon mahasiswa daerah masih ada, dan jurusan yang dibuka adalah jurusan guru sekolah dan guru agama, dan tidak ada batasan bagi pribumi dari berbagai suku atau etnis-etnis lain untuk bersekolah disitu. Berbekal informasi menggembirakan ini, Nyonya Van Hasselt kembali ke Mansinam dan menyampaikan hal itu kepada suaminya dan tentunya kepada Petrus.
Pendeta Van Hasselt langsung memanggil keluarga angkat Petrus dan menjelaskan perihal pendaftaran disekolah seminari tersebut. Awalnya, keluarga Petrus masih menentang cita-cita yang ‘aneh’ bagi mereka itu, namun Pendeta Van Hasselt berusaha mati-matian meyakinkan keluarga Petrus, dan menjamin bahwa biaya tidak menjadi masalah dan bahwa beliaulah yang akan membimbing Petrus kelak jika sudah tamat sekolah. Akhirnya, meskipun masih belum yakin, keluarga Petrus mengijinkan beliau berangkat ke Batavia. Keputusan keluarga ini membuat Pendeta Van Hasselt gembira dan segera mempersiapkan Petrus untuk bisa siap melanjutkan sekolah. Petrus pun dikirim ke Batavia sebagai pelajar asal Papua.
Petrus berangkat ke Batavia pada 3 April 1892. Beliau tidak sendirian sebab bersama dengannya ikut juga seorang pelajar lain yang bernama Timotius Awendu, sesama suku Biak, yang juga diutus untuk belajar oleh Zending yang berbasis di Mansinam. Mereka berdua adalah orang-orang Papua pertama yang mengenyam pendidikan di Pulau Jawa demi mengejar apa yang disebut ‘cita-cita’.
Cita-cita dalam kepercayaan Kristen dianggap sebagai “panggilan Tuhan”, sehingga apa yang Petrus cita-citakan ini oleh Pendeta Van Hasselt dianggap sebagai,
‘panggilan Tuhan kepada seorang asli Papua bagi orang-orang Papua ditengah-tengah orang Papua’.
Masa-masa Sekolah di Seminari Depok
Setibanya mereka di Batavia, Petrus dan Timotius lalu berangkat ke Depok. Disana mereka disambut oleh pemimpin-pemimpin sekolah Seminari Depok, yaitu Heneman (kepala sekolah) dan D.Iken. Di sekolah tersebut, Petrus dan Timotius bergabung bersama dengan putra-putra daerah lainnya yang berasal dari berbagai tempat dan berbagai suku, namun yang terbanyak berasal dari Kepulauan Maluku dan diikuti oleh suku Minahasa dan suku Sangir (Sulawesi Utara), dan diikuti oleh suku Batak, Nias, Sunda, dan Jawa. Diantara semua pelajar, hanya Petrus dan Timotius yang berasal dari Papua.
Selama bersekolah di Depok, tantangan terbesar bukanlah pelajaran-pelajaran akademis melainkan mengenai penerimaan sosial terhadap mereka jika mereka kelak menjadi guru, sebab mereka adalah orang pribumi, bukan orang Eropa. Jika di Papua mereka mendapat penolakan dan keraguan dari sesama suku mereka, maka di Depok dan Batavia mereka menerima cemooh dan penolakan-penolakan dari orang-orang dengan latar-belakang sosial yang lebih kompleks. Penolakan-penolakan dan penghinaan yang dialami Petrus dan Timotius bersifat rasial namun saat itu tidak melanggar undang-undang. Kulit Petrus yang lebih gelap menjadi sasaran cemooh orang banyak sebab mereka, dengan kulit gelap dan rambut keriting, memakai baju layaknya orang Belanda yang dianggap melanggar norma-norma sosial dan tidak pantas karena mereka adalah orang pribumi dari suku primitif, padahal Petrus terbiasa memakai pakaian ala Eropa karena anjuran Pendeta Van Hasselt yang menjunjung tinggi persamaan ras. Saat berkunjung ke Batavia, Petrus juga ditatap sinis oleh orang-orang Belanda dan juga orang Hindia (Indonesia) sendiri. Penolakan-penolakan dan penghinaan-penghinaan yang dialaminya sempat dikenangnya dikemudian hari saat dia bercerita tentang perjuangannya menjadi seorang guru kepada Pendeta F.J.F Van Hasselt (putra Pendeta J.L Van Hasselt),
“Tuan, jikalau saya mengingat akan pergaulan hidup dan masa kami di Seminari Depok, maka hati saya sedih dan air mataku berlinang-linang.....”
Pendeta F.J.F Van Hasselt adalah senior, sahabat, dan rekan sepelayanan Petrus kelak. Mereka berdua menjalin persahabatan yang sangat erat. Saat F.J.F Van Hasselt, atau Van Hasselt Muda, kembali dari Negeri Belanda pada 1894 usai menamatkan pendidikan di sekolah pendeta, beliau harus singgah di Batavia untuk berganti kapal untuk menuju ke Mansinam. Saat singgah di Batavia, Van Hasselt Muda menyempatkan diri untuk berkunjung ke Depok untuk menjenguk Petrus dan juga Timotius, yang saat itu masih mahasiswa di tingkat dua. Kedatangan Van Hasselt Muda membuat Petrus sangat bahagia. Van Hasselt Muda berkata bahwa dia akan melayani di Papua, dan menantikan kedatangan Petrus dan Timotius disana. Petrus-pun berjanji bahwa dia akan pulang kembali dan melayani masyarakatnya di Papua. Van Hasselt Muda pun kembali ke Mansinam dan membawa kabar tentang Petrus kepada keluarga Van Hasselt dan keluarga Keezier.
Meskipun menghadapi banyak tantangan tetapi banyak pelajaran berharga yang didapat oleh Petrus, baik pelajaran akademis maupun pelajaran hidup, selama bersekolah di Seminari Depok. Selama bersekolah disana, Petrus mendapat teman-teman baru dari berbagai suku. Melalui teman-temannya ini Petrus mendapat banyak sekali informasi mengenai daerah-daerah lain yang tidak pernah dia ketahui. Pertemanannya dengan teman-teman sekolahnya di Seminari Depok menimbulkan kesan yang kuat dalam diri Petrus dan sangat membantunya menguatkan hati untuk melayani masyarakatnya di Papua.
Petrus bersekolah di Seminari Depok selama empat tahun dan tamat pada tahun 1896. Beliau langsung kembali ke Papua begitu menamatkan sekolahnya, dan tiba di Mansinam pada tanggal 10 November 1896. Ijasah sebagai guru yang berhasil diraihnya di sekolah Smeinari Depok menjadikan Petrus sebagai orang asli Papua yang pertama menjadi sarjana dan menjadi guru.
_______________________________________________________________________________
Copyrights:
Artikel ini pertama kali disusun dan ditulis oleh Tim Deleigeven dan diterbitkan pertama-kali oleh Deleigeven Media.
TIM PENYUSUN:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Pengembangan cerita : Deleigeven
Penerbit : Deleigeven Media
DAFTAR PUSTAKA:
Guru Petrus Kafiar; F.J.S. Rumainum; Panitia P.I 100 Tahun Emas di Supiori Cabang Manokwari, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat, Yayasan Triton Papua; Manokwari, 2008
SUMBER WEBSITE:
id.wikipedia.com/biak
id.wikipedia.com/mansinam
id.wikipedia.com/manokwari
id.wikipedia.com/supiori
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------