Saturday, 11 November 2017

PIERRE ANDREAS TENDEAN, AJUDAN YANG PALING SETIA



Sejarah panjang perjuangan Indonesia menjadi sebuah bangsa dan negara yang berdaulat melahirkan ribuan pahlawan. Banyak yang menjadi pahlawan dimasa-masa perjuangan melawan kolonialisme era pra-kemerdekaan, banyak juga yang menjadi pahlawan dimasa-masa revolusi dan ketika Indonesia mati-matian mempertahankan kemerdekaan. Ada juga pahlawan yang muncul pada masa-masa perang saudara di bumi pertiwi, dan ada juga yang pahlawan yang lahir justru ketika masa-masa berat itu telah usai. Sedikit dari mereka membuat perjuangan dan pengorbanan mereka justru melahirkan pergolakan baru, yang lebih besar skalanya dibandingkan berbagai perang saudara yang juga digeluti oleh mereka dulu. Pengorbanan mereka sudah bukan lagi demi merebut atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melainkan mempertahankan ideologi Republik Indonesia. Nama mereka harum karena perjuangan mereka ini harus dibayar oleh nyawa. Salah-satu dari pahlawan-pahlawan ini adalah Pierre Andreas Tendean.

Pierre Andreas Tendean adalah salah-satu Pahlawan Revolusi yang diculik oleh pasukan Cakrabirawa, yang dipercaya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sebuah gerakan yang dikenal dengan nama G30S/PKI.

Pierre (nama panggilannya) bukan satu-satunya Pahlawan Revolusi, tapi harus diakui bahwa beliau adalah Pahlawan Revolusi yang paling terkenal. Faktor utama yang membuat Pierre terkenal adalah karena ketampanannya. Hampir semua murid sekolah, baik itu sekolah dasar hingga perguruan tinggi setelah tahun 1965 sepakat tentang dan menobatkan Pierre adalah ‘pahlawan tertampan dalam buku sejarah’. Namun, hal yang juga paling diingat dari sosok Pierre Tendean adalah keberanian dan keteguhannya sebagai seorang ajudan saat melindungi atasannya. Inilah mengapa hingga kini Pierre Tendean dinobatkan sebagai ‘ajudan yang paling setia'.





KELUARGA DAN KEHIDUPAN PIERRE KECIL

Pierre Tendean lahir dari pasangan campuran asal Minahasa (Manado) dan Prancis. Ayah Pierre adalah A.L.Tendean, seorang dokter asal Minahasa, sedangkan ibunya adalah Cornel M.E, seorang wanita berdarah Perancis. Walau demikian, Pierre sangat asing dengan budaya asal kedua orang-tuanya, baik itu budaya Minahasa maupun budaya Prancis. Pierre lebih akrab dengan budaya Jawa sebab beliau hidup dan dibesarkan di beberapa kota yang semuanya ada di pulau Jawa. Pierre berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa dengan kedua saudarinya dan juga dengan teman-teman sepermainannya, sedangkan dengan orang-tuanya tampaknya beliau lebih memilih menggunakan bahasa Belanda, terutama dengan ibunya. Ini membuat Pierre mampu menguasai beberapa bahasa.

Pierre lahir di Batavia (Jakarta) pada 21 Februari 1939 di rumah sakit yang kini bernama RS.Cipto Mangunkusomo (RSCM). Beliau lahir pada masa-masa akhir kolonial Belanda, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Beliau memiliki seorang kakak dan seorang adik yang dua-duanya adalah perempuan. Kakaknya bernama Mitzie Tendean (juga dikenal sebagai Mitzie Farre setelah menikah) sedangkan adiknya bernama Rooswidiati Tendean (kini dikenal dengan nama Rooswidiati Jusuf Razak).

Sebagai keluarga yang hidup ditengah-tengah sistem sosial patrilineal, kehadiran Pierre sebagai anak laki-laki satu-satunya adalah kebanggaan bagi keluarganya sehingga beliau menjadi anak kesayangan. Perihal menjadi anak kesayangan, sebenarnya ayah Pierre adalah sosok yang keras dan sangat disiplin pada semua anak-anaknya. Menurut penuturan saudari-saudarinya, Pierre juga tidak luput dari didikan keras ayahnya, termasuk didikan 'kemoceng, sandal, dan ikat pinggang’. Tapi, Pierre tetap kesayangan ibunya. Walau beliau bukan seorang anak manja tetapi dilingkungan pergaulannya, Pierre dikenal sebagai ‘anak mami’. Ini karena ibundanya selalu mengabulkan keinginan Pierre.

Walaupun Pierre lahir di Jakarta tetapi beliau tidak lama tinggal disana karena mereka sekeluarga pindah ke Tasikmalaya mengikuti ayahnya yang ditugaskan untuk memberantas wabah malaria disana. Malangnya, dokter Tendean justru jatuh sakit ditempat tugasnya sehingga keluarga Pierre terpaksa pindah ke Cisarua, Bogor, agar sang ayah bisa dirawat di Sanatorium Cisarua. Setelah sembuh, dokter Tendean meminta agar beliau ditugaskan di Cisarua saja. Inilah mengapa Pierre dan kakaknya memiliki banyak kenangan masa kecil di Cisarua. Menurut penuturan kakaknya, Pierre kecil gemar bermain di ladang dan areal persawahan di Cisarua.

Pierre dan keluarga tidak menetap di Cisarua sebab dokter Tendean dipindah-tugaskan ke Magelang sebagai wakil direktur rumah sakit yang kini bernama Rumah Sakit Jiwa Keramat.

Sebagai seorang dokter senior, dokter Tendean sangat dihormati dan terpandang. Keluarga Pierre-pun sangat berkecukupan. Namun, masa-masa damai keluarga Tendean di Magelang terusik ketika Balatentara Jepang menduduki pulau Jawa pada 1942. Ketika itu, Pierre baru berusia tiga tahun.

Pada masa pendudukan Jepang ini, situasi saat itu serba sulit terutama situasi ekonomi. Kelangkaan pangan terjadi dimana-mana akibat hasil panen dipaksa untuk menyuplai logistik militer Jepang. Situasi sulit ini juga menerpa keluarga Tendean. Bahkan, saat itu mereka terpaksa makan gaplek. Walau mengalami masa-masa sulit, tapi di kota Magelang inilah Pierre menghabiskan masa kecilnya.

Pierre bersekolah di sebuah sekolah rakyat di Boton, Magelang, ketika Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan dan pada saat masa-masa revolusi melawan kembalinya tentara Belanda. Saat itu, Magelang sempat menjadi medan perang. Mungkin, kegigihan tentara-tentara Indonesia saat berjuang di Magelang saat itu menjadi awal-mula ketertarikan Pierre untuk menjadi tentara.

Kota Magelang memiliki banyak kenangan manis bagi keluarga Tendean walaupun sebenarnya masa-masa di Magelang itu adalah masa-masa sulit sebab bertepatan dengan era pendudukan Jepang dan masa-masa revolusi. Pada masa-masa sulit ini, Pierre kecil sering membantu orang-tuanya mencari sayuran dan juga menolong kawan-kawannya dengan ‘berburu’ siput disawah untuk menambah lauk-pauk dirumah kawan-kawannya. Tapi, tidak hanya kenangan manis yang dimiliki keluarga Pierre di Magelang melainkan juga kenangan buruk.

Walaupun Pierre dikenal sebagai salah-satu perwira yang diculik oleh gerakan yang didalangi PKI, tapi, peristiwa G30S/PKI itu bukanlah kali pertama dia ‘direcoki’ oleh PKI. Pemberontakan PKI tahun 1948 adalah kali pertama keluarga Pierre menjadi korban PKI. Kala itu, terjadi pemberontakan PKI yang bermula di Madiun yang dipimpin oleh ketua PKI saat itu, Musso. Slogan yang terkenal saat itu adalah “Ikut Soekarno atau Musso”. Pemberontakan ini berhasil digagalkan dan diberantas oleh tentara Indonesia. Namun, banyak sisa-sisa PKI yang berhasil melarikan diri. Tokoh-tokoh muda PKI ada yang lari ke Rusia dan Tiongkok, sedangkan sisa-sisanya melarikan diri ke Sumatera dan Bali atau tetap bersembunyi di pulau Jawa. Ketika itu, ada gerombolan PKI yang melarikan diri ke Magelang. Kemudian, sekelompok orang dari gerombolan ini merampok rumah keluarga Tendean. Tidak cukup merampok harta benda keluarga Tendean, mereka juga menculik dokter Tendean tanpa diketahui sebab yang pasti. Mungkin saja untuk mengobati anggota kelompok mereka yang terluka, atau dijadikan sandera sebagai tameng untuk meloloskan diri. Untunglah, dokter Tendean mampu memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri. Beliau menceburkan diri ke Kali Manggis dan memanfaatkan gelapnya malam untuk bersembunyi. Malang bagi dokter Tendean, gerombolan ini menyasar beliau dengan tembakan yang membabi-buta dan salah-satu peluru menembus kaki sang dokter sehingga salah-satu ruas tulang kaki beliau pecah yang mengakibatkan beliau menjadi cacat dan terpaksa berjalan pincang seumur hidup. Dokter Tendean berhasil kembali dalam keadaan hidup tetapi kondisi beliau mengharuskan sang dokter harus dirawat ke rumah-sakit yang lebih besar, sehingga beliau dirujuk ke Semarang, ke rumah sakit yang kini bernama RS.Dokter Karyadi. Pasca peristiwa ini, Pierre sekeluarga terpaksa ikut meninggalkan Magelang dan pindah ke Semarang. Di Semarang-lah Pierre menghabiskan masa-masa remajanya sebelum dia melamar ke akademi militer.





PIERRE REMAJA

Pierre menghabiskan masa-masa remajanya di kota Semarang. Walaupun saat peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pecah Pierre baru berusia sekitar 9-10 tahun (kelas 3 SD dimasa sekarang) tetapi sebagian besar catatan sejarah tentang beliau memuat bahwa Pierre pindah ke Semarang sejak SMP (artinya pindah ke Semarang sejak beliau berusia sekitar 12-13 tahun), walau ada juga yang catatan yang memuat bahwa Pierre pindah ke Semarang bersamaan dengan kepindahan ayahnya yang dirujuk ke Semarang pasca penculikan di tahun 1948, yang artinya Pierre mulai tinggal di Semarang sejak berusia sekitar 9-10 tahun (artinya saat masih duduk di kelas 3-4 SD). Intinya, Pierre menghabiskan masa-masa SMP hingga SMA di Semarang.

Masa-masa SMP dan SMA dijalani Pierre layaknya anak-anak sekolah pada masanya. Beliau bersedia bergaul dan berteman dengan siapa saja dan dari kalangan mana saja. Meskipun memiliki paras yang ‘bule’ tapi Pierre mampu berbaur dan diterima oleh berbagai kalangan, padahal saat beliau remaja, Indonesia baru pulih dari trauma paska kolonial Belanda dan agresi-agresi militer Belanda. Belanda juga saat itu masih bercokol di Papua sehingga sentiment anti-Belanda masih ada.

Hampir seperti kebanyakan remaja laki-laki saat itu, Pierre juga aktif dalam berbagai kegiatan sekolah, kegiatan olah-raga, dan juga ‘tawuran’.

Perihal tawuran ini dituturkan oleh kakaknya, Mitzi. Ketika itu tahun 1957, Pierre, yang berusia 18 tahun, terlibat dalam salah-satu tawuran pelajar. Para pelajar yang terlibat membawa berbagai senjata tajam, entah itu pisau atau golok. Pierre juga adalah salah-satu pelajar yang membawa senjata tajam saat itu. Senjata yang dibawanya adalah pisau. Dalam tawuran ini, Pierre terkena sabetan yang meninggalkan bekas luka di tangannya. Mungkin rasa setia-kawannya yang tinggi yang melibatkan Pierre dalam tawuran tersebut. Sifat setia-kawannya juga yang membuatnya terlihat ‘keren’ dimata kawan-kawannya. Kesan ‘keren’ dari Pierre dikalangan pergaulan remaja Semarang saat itu semakin tinggi berkat motor Ducati hadiah dari ayahnya yang selalu dikendarainya.

Walau pernah tawuran, tapi Pierre adalah murid cerdas. Beliau tidak pernah tinggal kelas dan juga memiliki nilai yang bagus, terutama pada mata pelajaran bahasa asing. Kelak, kefasihannya berbicara dalam bahasa Inggris dan Jerman, dan juga bahasa Belanda (bahasa sehari-hari keluarga Tendean) menjadi salah-satu modal penting dirinya saat menjadi mata-mata handal di era Dwikora.




KEHIDUPAN DI ATEKAD

Pierre selalu ingin menjadi seorang tentara, padahal cita-citanya ini ditentang keras oleh kedua orang-tuanya. Orang-tuanya memiliki keinginan lain bagi masa depan Pierre. Ayahnya ingin Pierre sekolah kedokteran agar menjadi dokter seperti ayahnya, sedangkan ibunya menginginkan Pierre menjadi seorang insinyur. Penolakan kedua orang-tuanya ini justru membuat keinginan Pierre menjadi seorang prajurit semakin menjadi-jadi. Keinginannya ini semakin menggebu-gebu karena kedekatan keluarganya dengan seorang tokoh besar militer saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution. Menurut pengakuan Jenderal Nasution, sangat mungkin jika dirinya-lah yang menjadi penyebab Pierre berkeinginan kuat masuk militer.

Walaupun Jenderal Nasution adalah panutan dan patron Pierre didunia militer tapi hal itu tidak melonggarkan tuntutan orang-tua Pierre agar dirinya menjauhi dunia militer. Ayahnya memang berkeinginan kuat agar putra tunggalnya itu menjadi seorang dokter guna meneruskan jejaknya. Keinginan ayahnya ini membuat Pierre sangat jengkel sampai-sampai beliau ‘nyeletuk’ pada kakaknya, Mitzi, dalam bahasa Jawa ngoko, “Dokter iku mung bisa nambani borok!” (Dokter itu cuma bisa mengobati luka).

Pierre memang sering membicarakan banyak hal pada Mitzie. Satu-satunya anggota keluarga Pierre yang mendukung beliau memang adalah Mitzie. Atas saran kakaknya ini pula Pierre mengikuti dua ujian masuk, yaitu ujian masuk fakultas teknik di ITB (Institut Teknik Bandung) dan ujian fakultas kedokteran di Jakarta, sehingga beliau tidak mengecewakan kedua orang-tuanya, dengan catatan Pierre tidak usah mengerjakan soal-soal ujiannya. Saran ini dituruti Pierre dengan senang hati. Pada akhirnya, tingkahnya itu membuat Pierre otomatis tidak lulus ujian di kedua tempat itu. Suatu hasil ujian buruk yang justru menjadi kebahagiaan baginya.

Usai melihat putranya gagal ujian masuk di universitas dan jurusan yang mereka tuntut, akhirnya kedua orang Pierre pasrah dan mengijinkan beliau mendaftar di akademi militer. Pierre pun lulus ujian Akademi Militer Nasional (AMN) Angkatan Darat. Atas saran Jenderal Nasution, Pierre mendaftar di ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat) agar kelak dirinya bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di ITB, di sekolah Teknik, sehingga hati ibunya bisa senang.

Walau sudah masuk di ATEKAD tetapi kedua orang-tuanya tidak henti-hentinya mengirim surat untuk meminta Pierre agar mengundurkan diri dan kembali mendaftar di sekolah teknik atau sekolah kedokteran. Permintaan untuk mengundurkan diri dari ATEKAD itu gencar mereka kirim melalui surat saat Pierre masih dalam pelatihan dasar. Namun, hati Pierre tidak goyah. Dia memantapkan niatnya untuk menyelesaikan pendidikan di ATEKAD agar bisa menjadi seorang perwira militer.

Keteguhan hati Pierre ini tentu membuat orang-tuanya kesal. Tapi, walaupun tidak merestui keputusan Pierre masuk akademi militer, mereka tetap mendukung putra kesayangan mereka itu. Nama Pierre tetap ada dalam doa-doa mereka sehari-hari. Beliau juga tetap medapatkan kiriman sambal bajak buatan ibunya jika ada kerabat dari Semarang yang ke Bandung. Bahkan, Pierre yang sudah mendapat uang saku sebagai calon taruna masih juga mendapatkan kiriman uang saku dari orang-tuanya. Tidak jarang kiriman uang saku itu justru diminta sendiri oleh Pierre melalui telepon atau surat-suratnya, seperti permintaannya dalam salah-satu surat pada ibunya yang berbunyi (dalam ejaan lama): “Mami, djika mami ada uang belandja lebih boleh kirimkan pada saya karena saya ingin membeli kaset”.

Selama mengenyam pendidikan militer di ATEKAD Bandung, Pierre kembali popular dikalangan kaum hawa disana berkat wajah tampannya, walau sebenarnya beliau adalah sosok yang pemalu dihadapan wanita. Semasa di ATEKAD, Pierre adalah taruna yang sangat aktif . Beliau bergabung di klub bola basket ATEKAD dan sering bertanding melawan klub-klub lain dan mengikuti berbagai kejuaraan seperti Pekan Olah Raga Mahasiwa, berbagai pertandingan antar taruna militer, dan pertandingan-pertandingan lainnya. Pertandingan-pertandingan klub basketnya inilah yang semakin mempopulerkan sosok Pierre di luar ATEKAD. Saking populernya Pierre dikalangan kaum hawa saat itu membuatnya mendapat julukan “Robert Wagner dari Panorama”. Robert Wagner adalah seorang aktor Hollywood yang popular dimasanya, sedangkan Panorama adalah daerah dimana ATEKAD berada.

Pierre tidak hanya memiliki tampang yang rupawan. Kecerdasan dan kepribadiannya yang baik membuat Pierre ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Taruna Remaja. Beliau juga terpilih sebagai Wakil Ketua Senat Corps Taruna di ATEKAD. Kepribadiannya yang kalem tapi memiliki sisi humoris membuat Pierre dipercaya dalam berbagai tugas pembinaan corps taruna ATEKAD. Semua orang yang mengenalnya mengaguminya karena wajahnya yang rupawan, juga karena kecerdasan dan kepribadiannya. Beliau juga dikenal sangat relijius.





GEJOLAK PRRI

Pada masa-masa awal pendidikan Pierre di ATEKAD, terjadi gejolak di Sumatera dan Sulawesi tahun 1958. Ketika itu Pierre dan rekan-rekan seangkatannya masih berpangkat Kopral Taruna. Mereka mendapat tugas lapangan yang tergolong berat, yakni memadamkan pemberontakan PRRI yang meletus di Pulau Sumatera.

Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bermula pada deklarasi 15 Februari 1958 di Padang, Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Ahmad Husin. Keadaan semakin memburuk saat perwira-perwira militer Minahasa juga mendukung PRRI dengan mendeklarasikan bergabungnya Minahasa sebagai bagian dari PRRI, yang menjalar hingga ke Kepulauan Sangir, Bolaang Mongondow, Gorontalo, hingga ke wilayah Sulawesi Tengah. PRRI Sulawesi dikenal dengan nama PERMESTA (Perjuangan Semesta). Kubu mereka semakin kuat saat perwira-perwira tinggi Sumatera dan Minahasa pulang kampung dan bergabung dengan mereka.

Penyebab utama meletusnya pemberontakan PRRI adalah akibat adanya kesenjangan pembangunan antara pulau Jawa dan pulau lainnya di Indonesia dan kegagalan pemerintah membangun daerah-daerah luar Jawa, juga tuntutan diperluasnya otonomi daerah ditolak oleh pemerintah pusat sehingga menimbulkan ketidak-puasan dikalangan kaum intelektual di luar Jawa dan juga membuat marah perwira-perwira militer diluar Jawa. Ketegangan antara pemimpin-pemimpin PRRI dan pemerintahan pusat semakin menjadi-jadi saat para petinggi militer PRRI dipecat dari kesatuan mereka sebagai respon atas tuntutan mereka yang menginginkan agar Kabinet Juanda dihapuskan dan mandat sebagai kepala pemerintahan dikembalikan pada Soekarno.

Pusat pemberontakan PRRI di Pulau Sumatera ada Sumatera Barat. Sedangkan, pusat pemberontakan PRRI di Sulawesi ada di wilayah provinsi Sulawesi Utara sekarang. Gerakan ini lalu merembet hingga ke Kalimantan dan Kepulauan Maluku. Berbagai operasi untuk menumpas gerakan militer PRRI dilakukan, baik di Sulawesi (Operasi Saptamarga I-IV dan Operasi Mena I-II) dan juga Sumatera (Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus, Operasi Sapta Marga, dan Operasi Sadar). Pierre sendiri ditugaskan dalam Operasi Sapta Marga yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Djatikusuma dengan daerah operasi di wilayah Sumatera Timur dan Sumatera Selatan.

Pemberontakan PRRI di Sumatera resmi berakhir dengan menyerahnya Letnan Kolonel Ahmad Husein (Pemimpin PRRI Sumatera) pada 29 Mei 1961 dan Letnan Kolonel Ventje Sumual (Pemimpin PRRI Sulawesi) ditahun yang sama.

Meskipun melakukan pemberontakan pada pemerintah pusat tetapi para pemimpin PRRI menolak dicap sebagai pemberontak terhadap Republik Indonesia sebab mereka menyatakan perjuangan mereka adalah demi mendapatkan otonomi daerah yang luas sehingga mimpi akan kemakmuran di seluruh Indonesia bisa diraih, bukan untuk melengserkan Soekarno.

Dalam perang dengan PRRI ini, Pierre juga terlibat dalam perjuangan yang sama dengan pahlawan revolusi lainnya, Jenderal Achmad Yani (saat itu masih Kolonel), walau mereka ditugaskan di operasi militer yang berbeda (Kolonel Achmad Yani bertugas sebagai komandan Operasi 17 Agustus).





PERWIRA PERTAMA DAN CINTA PERTAMA

Pierre menamatkan pendidikannya di ATEKAD setahun setelah konflik dengan PRRI berhasil dipadamkan, tepatnya pada tahun 1962. Kala itu beliau lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan berhak menyandang pangkat Letnan Dua (perwira pertama). Sebagai seorang perwira muda, Pierre menjalani tugas pertamanya sebagai komandan peleton di Batalyon Zeni Tempur (Zipur) 2 Kodam II/Bukit Barisan, Sumatera Utara, pada masa-masa awal Dwikora (konflik Indonesia dengan Semenanjung Malaya-Malaysia dan Singapura).

Kala bertugas di Medan inilah Pierre bertemu dengan kekasihnya, Rukmini. Beliau dikenalkan pada Rukmini oleh salah-satu temannya. Rukmini adalah seorang gadis yang berasal dari suku Jawa tetapi dibesar di Medan. Ayahnya adalah seorang relijius Muslim dan orang yang terpandang di Medan. Menurut rekannya, kepribadian Rukmini yang sangat baik dan kesetiannya-lah yang menarik hati Pierre. Namun, hubungan Pierre dengan Rukmini ini tidak mendapatkan restu dari kedua orang-tua mereka. Mungkin dikarenakan oleh perbedaan agama.

Pierre menjalani tugas di Sumatera Utara selama satu tahun. Pengalamannya saat menjalani masa tugas lapangan sebagai taruna remaja di era konflik PRRI dan satu tahun sebagai komandan peleton ditahun awal perjuangan Dwikora membuat Pierre menjadi salah-satu perwira muda yang memiliki banyak pengalaman lapangan. Dia lalu dilirik untuk menjalani tugas yang dianggap lebih berbahaya. Perintah baru-pun mendatangi Pierre melalui sebuah surat tugas di tahun 1963 yang memintanya berangkat ke Bogor untuk mengikuti pelatihan khusus bagi seorang mata-mata.

Pierre-pun akhirnya berangkat ke Bogor. Penugasan ini membuat Pierre terpisah dari Rukmini dan menjalani hubungan jarak jauh. Ini adalah perpisahan pertama Pierre dan Rukmini.





MATA-MATA LEGENDARIS ERA DWIKORA

Pada masa kini, Pierre lebih dikenal sebagai seorang ajudan padahal dimasa hidupnya nama Pierre harum sebagai seorang mata-mata. Ironisnya, tugasnya sebagai mata-mata lebih lama ketimbang sebagai ajudan. Pierre bergelut didunia spionase sekitar hampir dua tahun lamanya sedangkan tugasnya sebagai seorang ajudan hanya dijalani selama 6 bulan (April-September 1965).

Baru satu tahun setelah beliau lulus dari ATEKAD dan bertugas di Sumatera Utara, tepatnya pada tahun 1963, Pierre diminta menjadi mata-mata dan disekolahkan di Sekolah Intelejen Negara di Bogor. Ada dua hal yang membuat Pierre ditunjuk untuk menjadi mata-mata, yaitu tampang ‘bule’nya dan kefasihannya berbahasa asing (Inggris, Belanda, dan Jerman). Begitu Pierre menyelesaikan pendidikannya di sekolah intelejen, beliau langsung ditugaskan digaris depan mengkoordinasikan para sukarelawan yang akan menyusup ke Malaysia.

Kepribadiannya yang kalem dan tidak suka terekspos juga menjadikannya seorang mata-mata yang alami. Pierre sangat menyukai tugasnya ini. Selain itu, uang saku yang besar juga menanti Pierre. Tiap kali pulang ke Semarang beliau selalu membawa banyak hadiah bagi keluarganya yang jarang ditemui di Indonesia. Hadiah-hadiah Pierre saat itu membuat senang hati orang-tuanya dan juga adik-adiknya sebab semuanya dibeli diluar-negeri, yang mana saat itu masyarakat Indonesia sangat menyukai barang-barang dari luar negeri. Pierre menghadiahkan ayahnya jam Rolex yang mahal dan raket tenis untuk adiknya. “Ojo di-dhol yo!” Kata Pierre pada adiknya dalam bahasa Jawa, yang artinya “Jangan dijual!”

Meskipun royal terhadap keluarganya, Pierre tetap menabung uang sakunya sedikit demi sedikit. Beliau sangat menyukai tugas-tugasnya, dan juga bangga atas kepercayaan yang diperolehnya.

Setelah berhasil membangun jaringan digaris depan, akhirnya Pierre berhasil menyusup dan melakukan kegiatan inflitrasi di Malaysia. Pierre adalah Komandan Basis Y yang target operasinya adalah wilayah Malaka dan Johor (Kopaska, Spesialis Pertempuran Laut Khusus; Tim Angkasa Comando, 2013). Disana, Pierre menyamar sebagai turis Eropa atau Amerika, dan bertugas mengumpulkan informasi tentang situasi dan kondisi Semenanjung Malaya untuk diteruskan ke Jakarta atau ke tim eksekusi di Malaysia. Sebagai komandan basis, Pierre membawahi sebuah tim KOPASKA (Korps Pasukan Katak, pasukan elit Angkatan Laut) dengan tugas utama menghancurkan objek-objek penting pendukung perang milik Malaysia.

Berbagai kegiatan spionase juga dilakukan Pierre. Tidak ada yang curiga jika beliau adalah mata-mata, sebab tampang Pierre tidak terlihat seperti orang Rusia dan RRC (negara-negara musuh Malaysia), apalagi Indonesia. Berbeda dengan mata-mata lainnya yang biasanya hanya bisa satu kali menyusup, Pierre mampu menyusup lebih dari tiga kali. Selain mampu menyusup berkali-kali, dan status penyamarannya adalah sukses tanpa ketahuan.

Penyusupan terakhir Pierre berjalan sukses tanpa ketahuan (sebagai mata-mata) namun saat beliau akan pulang ke tanah air, speedboat yang ditumpanginya dan rekan-rekannya terpantau oleh angkatan laut Inggris yang berpatroli di Semenanjung Malaya, dan dikejar. Pierre dan rekan-rekannya lalu melompat ke laut, dan berusaha bertahan hidup dengan memegang bagian bawah dari perahu nelayan setempat, dengan posisi sebagian besar tubuhnya didalam air dan hanya sesekali menghirup udara. Beruntung bagi Pierre dan rekan-rekannya sebab ketika diperiksa gelagat pengemudi speedboat mereka tidak mencurigakan sehingga speedboat dan pengemudinya ditinggalkan begitu saja.

Identitas dan penyamaran Pierre tidak pernah terbongkar. Keberhasilan Pierre ini menjadi salah-satu kebanggaan besar bagi kesatuannya, Zeni AD. Keberhasilan ini menjadi pembicaraan hangat perwira-perwira tinggi khususnya kalangan Angkatan Darat sebab banyak mata-mata yang tertangkap dan terbunuh padahal mereka berasal dari kesatuan tempur yang berpengalaman dalam perang gerilya, sedangkan Pierre adalah seorang perwira dari kesatuan Zeni (artileri militer) yang tidak menjadi prajurit utama dalam pasukan perang gerilya.





AJUDAN SANG JENDERAL BESAR

Keberhasilan Pierre selama Dwikora membuat Pierre naik pangkat dalam waktu singkat. Dalam waktu kurang dari tiga tahun setelah tamat dari akademi militer beliau sudah berpangkat Letnan Satu. Tapi, kenaikan pangkatnya ini tidak terlalu menyenangkan hatinya akibat tugas baru yang menantinya.

Pierre sangat menyukai tantangan. Akan tetapi, hal itu tidak sejalan dengan keluarganya, terutama ibunya. Berkali-kali sang ibu meminta Pierre, baik melalui surat maupun secara langsung, agar pindah tugas dan jangan dilapangan lagi. Meskipun memanjakan Pierre tapi rupanya tuntutan-tuntutan ibunya seringkali tidak sejalan dengan keputusan-keputusan Pierre. Bahkan, menurut beberapa orang hubungan Pierre dengan Rukmini juga tidak direstui ibu Pierre. Kala itu, kakaknya adalah orang yang paling pertama dan utama mendukung keputusan-keputusan Pierre.

Orang-tuanya tidak kehilangan akal. Mereka lalu membicarakan maksud dan keinginan mereka pada istri Jenderal Nasution, Ny.Yohana Nasution. Keluarga Pierre memang sangat dekat dengan dengan keluarga istri dari Pak Nas (nama panggilan Jenderal A.H.Nasution). Mertua Jenderal Nasution yang tinggal di Bandung sudah menganggap Pierre seperti putra mereka dan hubungan mereka dengan Pierre semakin dekat semasa Pierre menjalani pendidikan di ATEKAD, Bandung. Jenderal Nasution juga selalu menganggap Pierre sebagai adiknya. Melalui Ny.Yohana Nasution, kedua orang-tua Pierre meminta agar beliau bisa membantu membujuk Pierre, namun tampaknya bujukan semua orang tidak bisa menggoyahkan pendirian Pierre, hingga akhirnya Jenderal Nasution turun tangan.

Ketika itu, prestasi Pierre menjadi buah bibir kalangan Angkatan Darat termasuk para jenderal. Mereka terpesona dan menginginkan agar Pierre bisa menjadi ajudan mereka. Banyak jenderal yang sangat menginginkannya, seperti Jenderal S.Parman (Asisten I Menpangad/Bidang Intelijen, salah-satu pahlawan revolusi), Jenderal Kadarsan, dan Jenderal Hartawan. Tapi, Jenderal Nasution bersikeras untuk merekrut Pierre. Pak Nas memiliki kesempatan untuk mendapatkan Pierre sebab dia memang kekurangan ajudan setelah Kapten Manulang tidak dapat mengisi pos sebagai ajudan karena gugur di Kongo sebagai tentara perdamaian PBB. Lagipula, perwira mana yang berani menolak keinginan satu-satunya jenderal bintang empat di Angkatan Darat. Jenderal Nasution-pun berhasil mendapatkan Pierre sebagai ajudan.

Pierre jengkel saat beliau mendengar akan dipindah-tugaskan untuk mengawal Jenderal Nasution. Sebenarnya, menjadi seorang ajudan adalah tugas yang sangat diidam-idamkan oleh banyak perwira muda, sebab tugas itu ibarat jalur pintas untuk peningkatan karir dimasa-depan apalagi jika atasannya adalah Jenderal Nasution, yang saat itu menjadi sebagai Panglima ABRI. Namun, tugas baru itu bukanlah yang diinginkan Pierre karena dia sangat mencintai tugas-tugasnya sebagai agen lapangan. Bertugas sebagai seorang ajudan sangat membosankan bagi Pierre, dan dia sangat kesal akan hal itu. Itulah mengapa promosi kenaikan pangkatnya sebagai Letnan Dua pada 15 April 1965 sekaligus menandakan awal tugasnya sebagai seorang ajudan tidak terlalu menyenangkan hati Pierre. Saat Pierre tahu bahwa dirinya akan menjadi ajudan Jenderal Nasution dia sadar bahwa penugasan tersebut adalah karena campur tangan Pak Nas atas permintaan dari orang-tuanya.

Ibu Pierre adalah orang yang paling berbahagia akan penugasan baru Pierre, terlebih lagi sebagai ajudan Jenderal Nasution, orang yang sangat akrab dengan mereka. Kenyataan bahwa orang-tuanya memenangkan ‘pertarungan’ itu membuat Pierre sangat dongkol. Beliau-pun menegaskan pada keluarganya bahwa dirinya akan menjalani tugas sebagai seorang ajudan hanya selama satu tahun dan tidak boleh lebih, sebab kalau masa tugasnya sebagai ajudan diperpanjang, “aku akan langsung menghadap KASAD untuk minta pindah!”, ancam Pierre saat itu.

Pierre pun bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution sebagai salah-satu dari empat ajudan Nasution. Pierre adalah ajudan sang jenderal yang termuda.

Menurut pengakuan Nasution, Pierre tinggal dirumahnya sebagai anggota keluarga Nasution, sebab dia sudah dianggap sebagai adik dari sang jenderal.

Sepanjang tugasnya sebagai ajudan Nasution, Pierre adalah musuh bebuyutan ‘anak-anak nakal’ Menteng. Anak-anak muda ini sering berulah dan kebut-kebutan dengan motor sehingga membuat masyarakat sekitarnya kesal. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak sebab mereka merupakan anak-anak para pejabat yang tinggal di Menteng. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Pierre. Pierre yang gerah karena ulah mereka lalu menindak remaja-remaja ini dengan tegas. Dikatakan bahwa mereka sangat takut pada Pierre sebab secara kekuatan fisik mereka pasti kalah, dan lagi, siapa yang berani melawan seorang ajudan Panglima ABRI saat itu?

Walau mampu memanfaatkan pangkatnya, tapi status Pierre sebagai seorang perwira dan ajudan Panglima ABRI rupanya tidak pernah membuat Pierre terlena. Jika memiliki waktu luang dimalam hari, Pierre sering bekerja sebagai pengemudi traktor yang ikut meratakan area Monas (saat itu masih belum memiliki monumen dan baru akan dibangun) demi menambah uang. Rupanya, Pierre berniat membeli televisi yang sudah dipesannya. Ketika itu, jika ingin membeli televisi harus dipesan dulu dan harus antri sebab televisi tergolong barang mewah.

Pierre memang selalu menabung demi mendapatkan apa yang diinginkan dan dimimpikannya. Rupanya, tidak semua yang dimimpikan Pierre berwujud benda-benda berharga. Beliau rupanya berkeinginan bisa membahagiakan keluarganya dan menunaikan tugas sebagai seorang kakak. Itulah mengapa dia menabung uang sakunya selama menjadi mata-mata dan menyerahkan pada sang ibu saat pernikahan adiknya. Ketika itu, Pierre menyerahkan sejumlah uang Dollar USA yang dibungkusnya dengan kertas Koran, dan setelah di-rupiah-kan jumlahnya menjadi sangat banyak.

Mami, ini sumbangan dari saya untuk pernikahannya Roos”, demikian ujar Pierre pada ibundanya.

Adiknya, Roos, menikah dengan Jusuf Razak pada 2 Juli 1965. Pada saat pernikahan adiknya, Pierre sangat terharu dan sedih karena harus melepas adiknya sehingga momen yang seharusnya menjadi saat yang bahagia itu justru diwarnai oleh banyak air mata. Berkali-kali Pierre bertanya pada adiknya apakah sudah siap menikah, sebuah pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh Roos secara lisan. Pierre dan Roos pun saling berpelukan dan menangis. Dengan penuh haru, Pierre menitipkan adiknya pada Jusuf Razak. “Mas, aku titip adikku. Tolong jaga dia”, demikian ucapan Pierre kepada adik iparnya, Jusuf Razak. 

Kepulangan Pierre ke Semarang pada saat itu adalah untuk kali yang terakhir. Dari semua anggota keluarganya, hanya Mitzie yang sempat bertemu dengan Pierre setelah pernikahan Roos.

Selama menjadi ajudan Nasution, Pierre adalah ajudan yang paling sering menemani sang Jenderal dinas keluar kota. Sebagai ajudan tokoh militer sepopuler Nasution saat itu, Pierre langsung menyita perhatian khalayak ramai yang melihatnya. Hampir disetiap pertemuan, seminar, dan konferensi yang dihadiri Nasution dan didampingi oleh Pierre, para peserta akan mendengar pidato dan ceramah sang Jenderal, tapi wajah Pierre akan mendominasi durasi tatapan mereka. Bagi kalangan pria, sosok Pierre yang berwibawa dan misterius juga berparas bule dan masih sangat muda menimbulkan tanda-tanya, mengapa dia bisa menjadi ajudan seorang jenderal sekelas Nasution yang terkenal puritan. Sedangkan, bagi kaum hawa, semua hal yang dimiliki Pierre adalah ‘berkah’ bagi mereka yang mungkin jenuh panas-panasan mendengar ceramah seorang ‘bapak-bapak’ seperti Jenderal Nasution yang berlatar-belakang militer. Inilah mengapa saat itu muncul ungkapan populer dikalangan peserta yang menghadiri ceramah Jenderal Nasution, “Telinga kami untuk Pak Nas tetapi mata kami untuk ajudannya”. Selanjutnya sudah bisa ditebak, ketika sesi ceramah Pak Nas dan acara ramah-tamah dimulai, Pierre merebut hampir semua perhatian para peserta yang berebutan ingin berjabat tangan dengannya.

Sebagai seorang prajurit lapangan dan mata-mata yang sangat berpengalaman, menghadapi musuh dan berkamuflase melalui berbagai penyamaran adalah hal yang biasa tetapi ketika beliau menjadi pusat perhatian dan dielu-elukan maka seorang prajurit pemalu seperti Pierre justru merasa kewalahan. Menurut kesaksian orang-orang yang hadir saat itu, ketika orang-orang berebut bersalaman dengannya Pierre menjadi bingung dan menjadi sangat kikuk, terlebih saat dia melihat ekspresi kaum hawa yang tiba-tiba sangat senang dan dengan berseri-seri dihadapannya. Hal ini justru membuat Nasution tersenyum geli melihatnya. Mungkin bagi Nasution, memboyong Pierre selama berdinas diluar, selain karena kedekatan dan kepercayaannya pada Pierre, juga menjadi hiburan tersendiri yang menyelingi hari-hari sibuk sang jenderal. Senyum lebar Nasution saat melihat apa yang dialaminya mungkin terlihat sebagai ‘olok-olokan’ bagi Pierre sehingga membuat sang ajudan semakin malu.

Pierre memang sering menjadi bahan godaan keluarga Nasution, terutama putri-putrinya, Henrianti Sahara dan Ade Irma Suryani. Hal ini dikarenakan hubungan mereka yang sangat dekat dan sudah seperti keluarga. Satu hal yang dilakukan oleh Pierre yang lalu menjadi bahan godaan bagi putri-putri Nasution adalah ketika dia tersenyum-senyum membaca surat-surat dari kekasihnya dengan wajah yang kasmaran. Berbagai hadiah pun diberikan Pierre pada gadis-gadis cilik itu untuk membungkam mulut mereka agar berhenti menggoda sang ajudan.

Rukmini memang berhasil memikat hati sang letnan tampan. Walau tampaknya sang ibu tidak setuju dengan pilihan Pierre tetapi Pierre sudah ‘ngotot’ untuk urusan cintanya. Hal itu diceritakan Pierre melalui salah-satu surat yang dikirim pada kakaknya, “Mitz, aku wis ketemu jodohku. Wis yo Mitz, dongakake wae mugo-mugo kelakon...” (Mitz, aku sudah menemukan jodohku. Sudahlah Mitz, didoakan saja semoga bisa tercapai).

Perihal kisah cinta Pierre ini, mungkin hanya Nasution yang menyetujuinya. Ketika Pierre mendampingi Jenderal Nasution melakukan kunjungan dinas ke Medan pada 31 Juli 1965, Pierre mengunjungi Rukmini dan menemui kedua orang-tua kekasihnya itu. Ketika menemui orang-tua Rukmini, Nasution juga ikut mendampingi Pierre sebagai anggota keluarga Pierre. Jenderal Nasution-lah yang menjadi perwakilan keluarga Pierre saat melamar pada orang-tua Rukmini. Kendala utama kedua sejoli itu adalah perbedaan agama, dan masing-masing sulit berpindah keyakinan. Orang-tua Rukmini yang sangat relijius tentu akan menentang jika Rukmini mengikuti keyakinan Pierre, demikian halnya dengan orang-tua Pierre tentu tidak akan mengijinkan hal yang sama. Sedangkan, kode etik TNI tidak memperbolehkan Pierre untuk berpindah keyakinan mengikuti keyakinan calon pasangannya jika beliau masih berdinas sebagai seorang tentara. Tetapi, lamaran Pierre akhirnya diterima. Mungkin hati orang-tua Rukmini melunak setelah melihat seorang jenderal populer sekelas Nasution sendiri yang datang membawa lamaran ajudannya yang hanya berpangkat letnan. Ini menunjukan bahwa Pierre adalah pria yang sangat bertanggung-jawab dimata atasannya dan mampu bertanggung-jawab juga pada keluarganya. Waktu pernikahan merekapun disepakati yaitu dibulan November 1965. Pernikahan adiknya dan lamaran pada keluarga kekasihnya semua dilakukan pada bulan Juli 1965, namun pertemuan-pertemuan dibulan Juli 1965 itu menjadi pertemuan terakhir Pierre dengan orang-orang yang dikasihinya.

Pierre dan Mitzie sempat kembali bertemu sekitar akhir bulan Agustus 1965 ketika Mitzie mengunjungi Jakarta. Mereka lalu berpisah di Stasiun Gambir sebab Mitzie harus kembali ke Semarang dengan menggunakan kereta. Saat itu masih sangat pagi, sehingga suhu udara masih sangat dingin. Dinginnya pagi juga menghinggapi Mitzie melalui pipi Pierre yang dingin ketika Pierre menciumnya sebagai tanda perpisahan. Setelah kunjungannya ke Jakarta, Mitzie masih sempat satu kali berbicara dengan Pierre melalui telepon dibulan September. Kakaknya itu selalu mengenang kembali bagaimana Pierre, yang menggunakan celana panjang hijau tentara dan kemeja cokelat, melambai-lambaikan tangan kearahnya ketika kereta api bergerak menjauh dari peron dan memisahkan mereka berdua. 

Bulan Agustus pun berganti menjadi bulan September 1965. Tugas-tugas Pierre sebagai ajudan Nasution tidak berubah.





PENGORBANAN SANG LEGENDA

Peristiwa dipenghujung bulan September 1965 menjadikan September 1965 sebagai bulan sejarah yang paling terkenal dalam sejarah Indonesia setelah Agustus 1945. Padahal, awal bulan itu dijalani oleh para pelaku sejarah, baik korban, penculik, dan pihak-pihak yang terkait dengan biasa-biasa saja.

Dibulan September, para elit Angkatan Darat dibawah pimpinan Letnan Jenderal Ahmad Yani berkunjung ke sekolah seminari Kupang. Mayor Jenderal Siswondo Parman dan Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan juga ikut dalam rombongan ini. Presiden Soekarno memiliki beberapa aktifitas dibulan ini. Pada penghujung bulan ini, Mayor Jenderal Soeharto berada di RS. Gatot Soebroto sebab putra bungsunya diopname karena tersiram sup panas. Kala itu, beberapa otak penculikan datang menemui Soeharto di rumah-sakit mengabarkan rencana mereka meminta pertanggung-jawaban para jenderal, tetapi tampaknya perhatian Soeharto lebih tersita pada kesembuhan putra bungsunya. Para elit PKI sendiri juga melakukan banyak aktifitas di bulan ini. Demikian juga dengan Jenderal Nasution. Pierre sendiri mengawali bulan September dengan mendampingi Jenderal Nasution selaku ajudannya.

Dihari terakhir bulan September itu, tepatnya hari Kamis 30 September, Pierre sempat melihat-lihat paviliun kosong di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Pierre berniat mempersiapkan tempat tinggalnya saat menikah nanti dengan Rukmini meskipun hanya mengontrak. Tempat tinggalnya harus dekat dengan kediaman Jenderal Nasution. Pierre pulang kembali ke kediaman Jenderal Nasution pada sore hari. Entah kenapa saat itu Pierre tidak menelepon ke keluarganya di Semarang padahal hari itu adalah hari ulang-tahun ibundanya. Hari itu telepon dari Pierre dinanti-nantikan oleh keluarga Tendean tetapi tidak ada dering telepon dari Pierre. Keluarga Tendean merasa aneh akan hal itu sebab tidak biasanya Pierre tidak menelepon keluarganya jika ada salah-satu anggota keluarganya yang ulang-tahun. Tapi, mereka berusaha memaklumi hal ini karena Pierre ada seorang tentara. Meskipun tidak menelepon di hari ulang-tahun ibunya tetapi Pierre sudah berjanji akan pulang bersama adik iparnya, Jusuf Razak, ke Semarang pada keesokan harinya, tepatnya tanggal 1 Oktober. Jusuf Razak pun sudah berjanji akan menjemput Pierre di kediaman Jenderal Nasution. 

Di waktu yang hampir bersamaan, sekitar pukul 5 sore WIB, pasukan Cakrabirawa Batalyon I diperintahkan secara mendadak untuk mengikuti apel oleh sang komandan batalyon, Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Letnan Kolonel Untung memerintahkan agar pasukannya waspada tingkat satu atas upaya kudeta. Untuk itu, batalyon itu lalu berangkat ke Lubang Buaya. Letnan Kolonel Untung membagi pasukannya menjadi tujuh regu yang masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang anggota Cakrabirawa untuk menjemput dan meminta pertanggung-jawaban beberapa jenderal diwaktu yang sudah ditentukan, yaitu pada keesokan hari, 1 Oktober pukul 3 dini-hari.

Malam terakhir dibulan September 1965 pun tiba dan semua orang beristirahat, termasuk Pierre dan keluarga Nasution. Pierre tidur lebih awal sebab bukan dia yang bertugas malam itu. Hari dan bulan pun berganti. Tidak ada satupun dari mereka yang menyangka jika ada pergerakan dari pasukan istana yang menuju ke rumah-rumah jenderal-jenderal angkatan darat, termasuk ke kediaman Jenderal Nasution. Jalanan Jakarta, khususnya kawasan Menteng yang sunyi tiba-tiba menjadi gaduh akibat deru truk-truk militer yang melaju membelah gelapnya malam. Para penghuni kediaman Nasution masih terlelap, termasuk Pierre. Anak-anak Nasution juga masih terlelap, sedangkan sang jenderal sendiri, menurut pengakuan beliau, juga berbaring tetapi tangannya sibuk mengebas-ngebas mengusir nyamuk disekitarnya dan istrinya. Tapi kantuk yang menyerang rupanya lebih kuat daripada serangan nyamuk-nyamuk itu. Mereka tidak menyadari jika ada banyak truk yang melintasi sekitar rumah mereka, sama seperti para pengendara truk dan juga anggota Cakrabirawa dalam truk itu yang juga tidak sadar bahwa mereka melewati kediaman Jenderal Nasution.

Truk-truk itu mengangkut satu kompi pasukan Cakrabirawa dan satu peleton milisi sipil pro-Komunis (Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia:Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasan), dan melaju di jalanan Menteng, berputar-putar mencari kediaman Nasution sesuai dengan perintah atasan mereka. Atas petunjuk salah-satu anggota yang bernama Idris, truk-truk yang mengangkut pasukan Cakrabirawa pimpinan seorang Pembantu Letnan Dua yang bernama Djahurup akhirnya berhenti dan meringsek masuk ke sebuah rumah. Terjadi perlawanan sengit yang singkat dari salah-seorang pengawal dirumah itu namun akhirnya pengawal itu berhasil ditembak mati. Pengawal itu bernama Karel Satsui Tubun dari kesatuan Kepolisian Republik Indonesia. Tapi, para anggota Cakrabirawa menyadari kejanggalan pada rumah itu sebab tidak ada pos militer didepan rumah, seperti yang seharusnya ada di kediaman seorang panglima. Rupanya Idris membawa kelompok Djahurup ini ke rumah yang salah sebab rumah itu bukan kediaman Jenderal Nasution melainkan kediaman tetangganya, Dr. Johanes Leimena (Wakil Perdana Menteri II) yang berjarak 100 meter dari kediaman Jenderal Nasution. Mereka lalu meninggalkan mayat Karel Satsui Tubun dan kembali bergerak menuju ke kediaman Nasution.

Para pengawal Jenderal Nasution terkejut mendengar suara ribut-ribut dan suara tembakan dikediaman J.Leimena. Ny.Yohana dan Jenderal Nasution juga terbangun. Kejadian salah-rumah itu rupanya sedikit menguntungkan Nasution sebab beliau lalu terjaga dan menjadi waspada.

Tiba-tiba, perhatian para pengawal kediaman Nasution tertuju pada suara deru truk yang berhenti di depan rumah. Sekelompok tentara berseragam Cakrabirawa berjalan menuju para pengawal kediaman Nasution sambil menodongkan senjata. Kali ini, Idris membawa mereka ke rumah yang benar. Penjaga kediaman Nasution yang berjumlah 10 orang itu kebingungan saat dihampiri oleh para Cakra (sebutan bagi anggota Akrabirawa). Para Cakra memerintahkan agar para penjaga diam sebab mereka akan menjemput Jenderal Nasution untuk dibawa ke istana. Adu mulut pun terjadi tapi tidak ada perlawanan yang berarti dari para pengawal sang jenderal sebab yang berhadapan dengan mereka adalah pasukan pengawal presiden. Melawan pasukan Cakrabirawa artinya melawan presiden. Akhirnya para penjaga kediaman Jenderal Nasution menyerah dan senjata mereka dilucuti. Mereka lalu diperintahkan masuk kedalam sebuah ruangan dan dikunci dari luar. 

Tiga orang Cakra yang bernama Sulemi, Haryono, dan Suparjo segera menuju ke area dalam kediaman Pak Nas. Rupanya pintu depan rumah tidak terkunci. Ketiga orang itu lalu menerobos ke dalam rumah hingga tiba didepan kamar Jenderal Nasution.

Pintu diketuk oleh ketiga Cakra itu berbarengan dengan teriakan agar Nasution keluar dan menghadap Soekarno. Nasution ingin keluar menemui mereka tetapi Ny.Yohana mencegahnya. Akhirnya, sang istrilah yang membuka pintu.

Pintu lalu dibuka oleh Ny.Yohana Nasution. Namun, ketiga Cakra yang terlanjur gerah menunggu akhirnya melepaskan tembakan kearah pintu tepat saat Ny.Yohana membuka pintu sehingga telinga nyonya rumah itu terserempet peluru. Beliau cepat-cepat menutup dan mengunci pintu. Beliau menyuruh Jenderal Nasution, yang masih terkejut dan hanya menggunakan kaos dan sarung, untuk melarikan diri dengan cara melompat jendela kamar.

Sulemi lalu berinisiatif mendobrak pintu sebab dia menganggap tindakan pihak Nasution yang menutup dan mengunci pintu dihadapan seorang Cakra yang datang menjemput adalah pembangkangan pada presiden.

Diruangan yang lain, putri Nasution yang terbangun mendengar ribut-ribut lalu segera bergegas ke mencari Pierre sambil memanggil-manggil nama ajudan yang paling dekatnya itu. Pierre, yang sedang berada disalah-satu ruangan kediaman Nasution, pun terbangun. Beliau, yang masih mengenakan seragam dinasnya, lalu mengambil senapan Garand dan mengisi penuh senjata itu dengan amunisi.

Pintu yang berusaha didobrak Sulemi itu tidak bisa terbuka juga sebab rupanya sudah ditahan oleh Ny.Yohana dari dalam.

Saat itu kamar tersebut begitu ribut sebab selain suara para Cakra yang mendobrak-dobrak pintu, suara tangisan Ade Irma yang ketakutan juga terdengar membahana. Ade akhirnya digendong oleh adik Jenderal Nasution, Mardiyah. Entah kenapa, Mardiyah justru mendekati pintu yang berusaha ditahan oleh Ny.Yohana. Mungkin beliau kebingungan dan ketakutan tidak tahu mau lari kemana sehingga memilih bergabung dengan Ny.Yohana.

Tiga Cakra yang sudah lelah mendobrak lalu mengambil jalan pintas dengan menembak gagang pintu dengan senjata masing-masing hingga pintu bisa terbuka. Saat mereka berhasil membuka pintu, ketiga Cakra ini kaget saat melihat seorang wanita, yang adalah Mardiyah, sedang berlari menghindar sambil menggendong anak kecil yang berlumuran darah. Rupanya peluru yang ditembakan ketiga orang ini secara tidak sengaja menyerempet ke punggung Ade Irma dan juga tangan Mardiyah yang sebelumnya berada didekat pintu. Tiga Cakra ini tidak melihat keberadaan Jenderal Nasution disana.

Jenderal Nasution berhasil keluar dari belakang rumah, segera menuju dan melompati pagar yang berbatasan langsung dengan Kedutaan Besar Irak. Beberapa Cakra yang melihatnya lalu menembaki sang jenderal. Untungnya Nasution berhasil luput dari rentetan tembakan itu. Beliau lalu memanjat menara air dan bersembunyi disana.

Pierre yang keluar dari kamarnya sambil membawa senjata berjalan dengan sangat waspada. Pierre mengendap-endap dan mencari tempat yang remang, dan bahkan gelap agar bisa lebih mudah bersembunyi, sambil menuju ke suara ribut-ribut itu. Nahas, Pierre terlihat oleh anggota Cakra. Para Cakra yang melihatnya lalu menodongkan senjata dan memerintahkan Pierre menyerah. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk melawan, Pierre pun meletakan senjata dan menyerah.

Salah-seorang anggota Cakra lalu bertanya pada Pierre perihal siapa dia dan “Dimana Nasution??!”

Sebenarnya, fisik Pierre dan Jenderal Nasution sangat berbeda. Mulai dari potongan rambut, tinggi badan, dan juga wajah. Tapi, Nasution beruntung karena saat itu Pierre berada ditempat gelap dan juga anggota Cakra yang menanyai Pierre itu adalah Idris ‘si tukang salah’, yang sebelumnya salah membawa tim Pelda Djahurup ke kediaman J.Leimena.

Pierre-pun menjawab pertanyaan Idris itu dengan jawaban fenomenalnya,
Saya Nasution!” Jawab Pierre.

Berbekal jawaban Pierre yang penuh wibawa dan juga postur tubuh Pierre yang tegap khas seorang prajurit, sang ajudan pun diangkut ke truk setelah sebelumnya mereka mengikat tangan Pierre kebelakang. Dengan mengabaikan kata-kata beberapa Cakra yang melihat Nasution melompati pagar, truk-truk tetap melaju, tapi bukan kearah istana melainkan kearah timur, tepatnya ke lokasi yang bernama Lubang Buaya. Untuk sesaat Pelda Djahurup, dan juga Idris, tidak menyangka jika yang dibawa mereka bukan Jenderal Nasution melainkan Letnan Dua (CZI) Pierre Tendean. 

Para penculik baru tahu bahwa mereka salah orang setibanya di Lubang Buaya, setelah Pierre diturunkan dari truk dan dibawa ke tempat yang lebih terang. Kesalahan ini justru membuat Pierre menjadi sasaran amuk para penculik.

Setiba di Lubang Buaya, Pierre dibawa ke sebuah tenda dan dikumpulkan didekat jenderal-jenderal yang masih hidup, yaitu Mayor Jenderal Soprapto, Mayor Jenderal S.Parman, dan Brigadir Jenderal Soetojo. Tiga jenderal lainnya sudah tewas saat dibawa, yaitu Letnan Jenderal Achmad Yani, Brigadir Jenderal D.I.Pandjaitan, dan Mayor Jenderal M.T.Haryono. Bersama-sama dengan mereka juga ada seorang polisi patroli yang bernama Sukitman, yang lebih beruntung sebab dia tidak disiksa.

Rupanya, ditempat itu bukan hanya ada pasukan Cakrabirawa melainkan juga kelompok-kelompok simpatisan komunis.

Pierre mendapat siksaan fisik yang berat. Beliau ditendang dengan sepatu lars tentara dan dipukul berkali-kali dengan gagang senapan hingga kepalanya terluka parah, sampai-sampai membentuk tiga luka menganga. Menurut pengakuan salah-satu anggota Cakrabirawa, Pierre sempat mengaku sebagai penjaga mesin diessel dikediaman Jenderal Nasution, tetapi tampang Pierre tidak membuat mereka percaya dan tetap menyiksa Pierre. Tapi, semakin disiksa tubuh Pierre seakan semakin melawan sehingga membuat siksaan yang diterimanya semakin parah sehingga menurut pengakuan Sukitman, tubuh Pierre babak belur dan pakaian yang dikenakannya berlumuran darah.

Akhirnya, Pierre yang sudah kepayahan pun dibawa dan diikat disebuah pohon sedangkan para jenderal yang masih hidup silih-ganti disiksa dengan siksaan yang berat. Jenderal-jenderal ini akhirnya ditembak satu-persatu. Setiap selesai menembak seorang jenderal, mereka membawa jenasahnya kesebuah sumur kecil dan memasukan kedalam sumur dengan posisi kepala dibawah. Setelah dibuang kedalam sumur, tembakan pun dilepaskan kedalam sumur.

Pada akhirnya, hanya tersisa Pierre dan Sukitman. Sukitman mendapat kepercayaan dari seorang anggota Cakra karena dia tidak dianggap musuh, sebab beliau memang bukan berasal dari kesatuan Angkatan Darat. Tapi, para penculik kebingungan saat melihat Pierre. Mau diapakan korban salah-tangkap ini?

Akhirnya, salah-seorang Cakra bertanya pada Letnan Doel Arief perihal tindakan yang harus mereka ambil untuk Pierre. Jawaban Doel Arif adalah, “Bereskan sesuai situasi dan kondisi”.

Secara harafiah, perintah Dul Arief ini berarti eksekusi mati atau juga bisa ditawan. Tapi, sebelum perintah itu sampai ke tim di lapangan, rupanya Pelda Djahurup sudah mengambil inisiatif sendiri.

Pierre dibawa dari tempat dia diikat dan dipaksa berlutut. Tubuhnya sudah sangat kepayahan sebab sudah penuh luka karena siksaan berat dan lama menanggung sakit. Djahurup langsung berdiri dibelakang Pierre. Dengan tangannya sendiri Djahurup menembak Pierre dari belakang. Pierre-pun tersungkur jatuh kedepan, namun masih bergerak. Tanpa ampun, tubuhnya kembali ditembak oleh Djahurup.

Rupanya, harga-diri Djahurup sebagai seorang Cakra tercoreng sebab dia adalah satu-satunya komandan regu yang gagal membawa targetnya padahal tim lain berhasil membawa sasaran mereka walaupun ada tiga orang jenderal yang terlanjur tewas. Akhirnya, sang ajudan-pun benar-benar tewas menyusul para jenderal.

Jenasah Pierre diseret begitu saja kearah sumur kecil, menyusul enam jenasah lainnya yang sudah terlebih dahulu dimasukan kedalam kedalam sumur itu dengan posisi kepala lebih dulu. Pierre-pun dibuang kedalam sumur. Para penculik itu masih belum puas menembakan peluru sebab menurut pengakuan Sukitman mereka kembali memberondongkan peluru kedalam sumur, seakan-akan untuk menegaskan bahwa Pierre dan para jenderal itu tidak akan bisa hidup lagi.

Sumur-pun ditutup dan ditimbun oleh bermacam-macam dedaunan untuk menghilangkan jejak. Sebuah kebiasaan yang seakan-akan meniru apa yang dilakukan kaum Bolshevik usai mengeksekusi Tsar Nicholas II Romanov dari Rusia dan keluarganya.

Didalam sumur tua yang kecil itu, terbaringlah jasad para pahlawan dan ksatria yang berjuang demi bangsa dan ideologi Pancasila hingga akhir hayat mereka. Keenam jenderal itu dulunya adalah pemuda-pemuda yang mengangkat senjata melawan penjajah selama perang kemerdekaan yang bertempur dan menjadi tentara dimasa-masa yang paling sulit dalam sejarah Republik Indonesia. Jenasah paling bawah adalah Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan yang pada masa mudanya memimpin pemuda-pemuda Sumatera mengangkut logistik dan senjata dari Semenanjung Malaya menerobos blokade kapal-kapal Inggris. Diatas jenasah D.I Pandjaitan adalah jenasah sahabat karibnya, jenderal kesayangan Soekarno, Letnan Jenderal Achmad Yani. Jenderal Yani adalah prajurit brilian yang dulunya sangat merepotkan serdadu Belanda dan juga berhasil menumpas berbagai pemberontakan besar termasuk konflik PRRI dan pemberontakan PKI di Madiun. Diatas jenasah dua sahabat ini adalah jenasah jaksa militer utama, Brigadir Jenderal Soetojo; yang berdehimpitan dengan salah-satu negosiator terbaik Angkatan Darat, Mayor Jenderal M.T Haryono, yang juga ikut serta dalam Perundingan Meja Bundar bersama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Berikutnya adalah jenasah perwira-perwira brilian lainnya, seperti ahli intelijen yang humoris, Mayor Jenderal S.Parman; dan juga Mayor Jenderal Soeprapto. Diatas semua jenasah prajurit terbaik angkatan darat itulah terbaring jenasah Pierre, sang mata-mata legendaris Dwikora.



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENYUSUN
Writer : Deleigeven
Editor : Juliet
Publisher : Deleigeven Media

No comments:

Post a Comment

CATATAN PADA PARA PEMBACA:

-Silahkan membaca, mengambil, dan menggunakan artikel ini dalam karya tulis anda tapi CANTUMKAN KREDIT LENGKAP ARTIKEL INI dalam daftar sumber anda dan JANGAN MENYADUR/MENGCOPY-PASTE apalagi MEM-PLAGIAT 100% isi tulisan ini. Kembangkanlah kreativitas dalam penulisan anda.

-Pembaca DAPAT memberikan komentar dengan akun TANPA NAMA (Annonymous).

-Gunakanlah kata-kata yang baku agar komentar tidak dikategorikan sebagai "komentar Spam" secara otomatis oleh google filter machine.

-Harap MEMBACA ARTIKEL INI dan komentar-komentar sebelum anda DENGAN TELITI sebelum berkomentar, karena mungkin pertanyaan anda TELAH DIJELASKAN secara langsung melalui artikel ini, dan juga agar pertanyaan-pertanyaan yang sama tidak ditanyakan secara berulang.

-DILARANG memberikan informasi dan komentar yang melecehkan Suku, Agama, Ras, dan golongan tertentu (SARA) dan mengandung unsur pornografi.

-Kami menerima setiap kritik dan masukan dari para pembaca melalui kolom komentar, namun Setiap komentar yang melecehkan pihak lain, baik pelecehan berbau SARA atau yang mencerminkan FANDOM WAR akan kami HAPUS.

-Setiap komentar dan iklan yang mengandung unsur PORNOGRAFI dan PERJUDIAN, dan ajakan untuk bergabung dalam usaha SIMPAN PINJAM, KREDIT USAHA dan sejenisnya akan KAMI HAPUS karena berpotensi terjadi PENIPUAN.

-Jika anda memiliki informasi tambahan yang berhubungan dengan artikel ini, kami sangat senang jika anda membagikannya pada pembaca yang lain melalui website ini dan kami sangat senang jika anda juga turut membagikan artikel ini pada orang lain.