Sunday, 10 December 2017

SULTAN YANG MENJADI ORANG BUANGAN




Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang-orang terpelajar, dan seperti biasanya timbullah pertengkaran. Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan, pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya, dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai kejadian lain dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya masih belum habis ketika Nabi turun kembali.

Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya tidak masuk akal. Para ulama cendekia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak memuaskan raja.

Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata, 

"Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian. Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal, yang dangkal dan terbatas."

Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.

"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.

Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak ada seorang perajurit pun yang tampak.

Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.

"Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu.

Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api sama sekali.

Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu tak ada.

Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.

Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin membalas dendam.

Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada seorang tukang besi yang melihatnya sebagai gelandangan, dan bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.

Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya lagi. Yang ke-empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya yang tak karuan.

Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya, 

"Aku disuruh kemari menjemput seorang yang kusut di sini. Ayo, ikut aku."

Sultan-pun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah yang sangat indah. Ia pun duduk di salah-satu ruangannya yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.

Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila berada di jalan.

Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu-pun diperdengarkan.

Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu: sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya. Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultan-lah yang harus menanggung hidup mereka berdua bersama ketujuh anaknya.

Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan-pun kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.

Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.

Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai keratonnya.

"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa, hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"

"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut, "yakni waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."

Para pegawai istana membenarkan hal itu.

Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun. Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu. Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi, Syeh pun menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat). Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.

Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:
"Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum habis isinya?
Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu. Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali.
Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Copyrights :
Kisah ini disadur dan dituliskan kembali dari buku kumpulan “Kisah-kisah Sufi”, berupa kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau.
Versi ini berasal dari naskah bernama “Hu-Nama” (Buku Hu) dalam kumpulan Nawab Sardhana bertarikh 1596 M.


Writer: Idries Shah
Translator : Sapardi Djoko Damono
Indonesian Publisher : Pustaka Firdaus, 1984
Republished by : Deleigeven Media

Saturday, 11 November 2017

PIERRE ANDREAS TENDEAN, AJUDAN YANG PALING SETIA



Sejarah panjang perjuangan Indonesia menjadi sebuah bangsa dan negara yang berdaulat melahirkan ribuan pahlawan. Banyak yang menjadi pahlawan dimasa-masa perjuangan melawan kolonialisme era pra-kemerdekaan, banyak juga yang menjadi pahlawan dimasa-masa revolusi dan ketika Indonesia mati-matian mempertahankan kemerdekaan. Ada juga pahlawan yang muncul pada masa-masa perang saudara di bumi pertiwi, dan ada juga yang pahlawan yang lahir justru ketika masa-masa berat itu telah usai. Sedikit dari mereka membuat perjuangan dan pengorbanan mereka justru melahirkan pergolakan baru, yang lebih besar skalanya dibandingkan berbagai perang saudara yang juga digeluti oleh mereka dulu. Pengorbanan mereka sudah bukan lagi demi merebut atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melainkan mempertahankan ideologi Republik Indonesia. Nama mereka harum karena perjuangan mereka ini harus dibayar oleh nyawa. Salah-satu dari pahlawan-pahlawan ini adalah Pierre Andreas Tendean.

Pierre Andreas Tendean adalah salah-satu Pahlawan Revolusi yang diculik oleh pasukan Cakrabirawa, yang dipercaya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sebuah gerakan yang dikenal dengan nama G30S/PKI.

Pierre (nama panggilannya) bukan satu-satunya Pahlawan Revolusi, tapi harus diakui bahwa beliau adalah Pahlawan Revolusi yang paling terkenal. Faktor utama yang membuat Pierre terkenal adalah karena ketampanannya. Hampir semua murid sekolah, baik itu sekolah dasar hingga perguruan tinggi setelah tahun 1965 sepakat tentang dan menobatkan Pierre adalah ‘pahlawan tertampan dalam buku sejarah’. Namun, hal yang juga paling diingat dari sosok Pierre Tendean adalah keberanian dan keteguhannya sebagai seorang ajudan saat melindungi atasannya. Inilah mengapa hingga kini Pierre Tendean dinobatkan sebagai ‘ajudan yang paling setia'.





KELUARGA DAN KEHIDUPAN PIERRE KECIL

Pierre Tendean lahir dari pasangan campuran asal Minahasa (Manado) dan Prancis. Ayah Pierre adalah A.L.Tendean, seorang dokter asal Minahasa, sedangkan ibunya adalah Cornel M.E, seorang wanita berdarah Perancis. Walau demikian, Pierre sangat asing dengan budaya asal kedua orang-tuanya, baik itu budaya Minahasa maupun budaya Prancis. Pierre lebih akrab dengan budaya Jawa sebab beliau hidup dan dibesarkan di beberapa kota yang semuanya ada di pulau Jawa. Pierre berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa dengan kedua saudarinya dan juga dengan teman-teman sepermainannya, sedangkan dengan orang-tuanya tampaknya beliau lebih memilih menggunakan bahasa Belanda, terutama dengan ibunya. Ini membuat Pierre mampu menguasai beberapa bahasa.

Pierre lahir di Batavia (Jakarta) pada 21 Februari 1939 di rumah sakit yang kini bernama RS.Cipto Mangunkusomo (RSCM). Beliau lahir pada masa-masa akhir kolonial Belanda, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Beliau memiliki seorang kakak dan seorang adik yang dua-duanya adalah perempuan. Kakaknya bernama Mitzie Tendean (juga dikenal sebagai Mitzie Farre setelah menikah) sedangkan adiknya bernama Rooswidiati Tendean (kini dikenal dengan nama Rooswidiati Jusuf Razak).

Sebagai keluarga yang hidup ditengah-tengah sistem sosial patrilineal, kehadiran Pierre sebagai anak laki-laki satu-satunya adalah kebanggaan bagi keluarganya sehingga beliau menjadi anak kesayangan. Perihal menjadi anak kesayangan, sebenarnya ayah Pierre adalah sosok yang keras dan sangat disiplin pada semua anak-anaknya. Menurut penuturan saudari-saudarinya, Pierre juga tidak luput dari didikan keras ayahnya, termasuk didikan 'kemoceng, sandal, dan ikat pinggang’. Tapi, Pierre tetap kesayangan ibunya. Walau beliau bukan seorang anak manja tetapi dilingkungan pergaulannya, Pierre dikenal sebagai ‘anak mami’. Ini karena ibundanya selalu mengabulkan keinginan Pierre.

Walaupun Pierre lahir di Jakarta tetapi beliau tidak lama tinggal disana karena mereka sekeluarga pindah ke Tasikmalaya mengikuti ayahnya yang ditugaskan untuk memberantas wabah malaria disana. Malangnya, dokter Tendean justru jatuh sakit ditempat tugasnya sehingga keluarga Pierre terpaksa pindah ke Cisarua, Bogor, agar sang ayah bisa dirawat di Sanatorium Cisarua. Setelah sembuh, dokter Tendean meminta agar beliau ditugaskan di Cisarua saja. Inilah mengapa Pierre dan kakaknya memiliki banyak kenangan masa kecil di Cisarua. Menurut penuturan kakaknya, Pierre kecil gemar bermain di ladang dan areal persawahan di Cisarua.

Pierre dan keluarga tidak menetap di Cisarua sebab dokter Tendean dipindah-tugaskan ke Magelang sebagai wakil direktur rumah sakit yang kini bernama Rumah Sakit Jiwa Keramat.

Sebagai seorang dokter senior, dokter Tendean sangat dihormati dan terpandang. Keluarga Pierre-pun sangat berkecukupan. Namun, masa-masa damai keluarga Tendean di Magelang terusik ketika Balatentara Jepang menduduki pulau Jawa pada 1942. Ketika itu, Pierre baru berusia tiga tahun.

Pada masa pendudukan Jepang ini, situasi saat itu serba sulit terutama situasi ekonomi. Kelangkaan pangan terjadi dimana-mana akibat hasil panen dipaksa untuk menyuplai logistik militer Jepang. Situasi sulit ini juga menerpa keluarga Tendean. Bahkan, saat itu mereka terpaksa makan gaplek. Walau mengalami masa-masa sulit, tapi di kota Magelang inilah Pierre menghabiskan masa kecilnya.

Pierre bersekolah di sebuah sekolah rakyat di Boton, Magelang, ketika Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan dan pada saat masa-masa revolusi melawan kembalinya tentara Belanda. Saat itu, Magelang sempat menjadi medan perang. Mungkin, kegigihan tentara-tentara Indonesia saat berjuang di Magelang saat itu menjadi awal-mula ketertarikan Pierre untuk menjadi tentara.

Kota Magelang memiliki banyak kenangan manis bagi keluarga Tendean walaupun sebenarnya masa-masa di Magelang itu adalah masa-masa sulit sebab bertepatan dengan era pendudukan Jepang dan masa-masa revolusi. Pada masa-masa sulit ini, Pierre kecil sering membantu orang-tuanya mencari sayuran dan juga menolong kawan-kawannya dengan ‘berburu’ siput disawah untuk menambah lauk-pauk dirumah kawan-kawannya. Tapi, tidak hanya kenangan manis yang dimiliki keluarga Pierre di Magelang melainkan juga kenangan buruk.

Walaupun Pierre dikenal sebagai salah-satu perwira yang diculik oleh gerakan yang didalangi PKI, tapi, peristiwa G30S/PKI itu bukanlah kali pertama dia ‘direcoki’ oleh PKI. Pemberontakan PKI tahun 1948 adalah kali pertama keluarga Pierre menjadi korban PKI. Kala itu, terjadi pemberontakan PKI yang bermula di Madiun yang dipimpin oleh ketua PKI saat itu, Musso. Slogan yang terkenal saat itu adalah “Ikut Soekarno atau Musso”. Pemberontakan ini berhasil digagalkan dan diberantas oleh tentara Indonesia. Namun, banyak sisa-sisa PKI yang berhasil melarikan diri. Tokoh-tokoh muda PKI ada yang lari ke Rusia dan Tiongkok, sedangkan sisa-sisanya melarikan diri ke Sumatera dan Bali atau tetap bersembunyi di pulau Jawa. Ketika itu, ada gerombolan PKI yang melarikan diri ke Magelang. Kemudian, sekelompok orang dari gerombolan ini merampok rumah keluarga Tendean. Tidak cukup merampok harta benda keluarga Tendean, mereka juga menculik dokter Tendean tanpa diketahui sebab yang pasti. Mungkin saja untuk mengobati anggota kelompok mereka yang terluka, atau dijadikan sandera sebagai tameng untuk meloloskan diri. Untunglah, dokter Tendean mampu memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri. Beliau menceburkan diri ke Kali Manggis dan memanfaatkan gelapnya malam untuk bersembunyi. Malang bagi dokter Tendean, gerombolan ini menyasar beliau dengan tembakan yang membabi-buta dan salah-satu peluru menembus kaki sang dokter sehingga salah-satu ruas tulang kaki beliau pecah yang mengakibatkan beliau menjadi cacat dan terpaksa berjalan pincang seumur hidup. Dokter Tendean berhasil kembali dalam keadaan hidup tetapi kondisi beliau mengharuskan sang dokter harus dirawat ke rumah-sakit yang lebih besar, sehingga beliau dirujuk ke Semarang, ke rumah sakit yang kini bernama RS.Dokter Karyadi. Pasca peristiwa ini, Pierre sekeluarga terpaksa ikut meninggalkan Magelang dan pindah ke Semarang. Di Semarang-lah Pierre menghabiskan masa-masa remajanya sebelum dia melamar ke akademi militer.





PIERRE REMAJA

Pierre menghabiskan masa-masa remajanya di kota Semarang. Walaupun saat peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pecah Pierre baru berusia sekitar 9-10 tahun (kelas 3 SD dimasa sekarang) tetapi sebagian besar catatan sejarah tentang beliau memuat bahwa Pierre pindah ke Semarang sejak SMP (artinya pindah ke Semarang sejak beliau berusia sekitar 12-13 tahun), walau ada juga yang catatan yang memuat bahwa Pierre pindah ke Semarang bersamaan dengan kepindahan ayahnya yang dirujuk ke Semarang pasca penculikan di tahun 1948, yang artinya Pierre mulai tinggal di Semarang sejak berusia sekitar 9-10 tahun (artinya saat masih duduk di kelas 3-4 SD). Intinya, Pierre menghabiskan masa-masa SMP hingga SMA di Semarang.

Masa-masa SMP dan SMA dijalani Pierre layaknya anak-anak sekolah pada masanya. Beliau bersedia bergaul dan berteman dengan siapa saja dan dari kalangan mana saja. Meskipun memiliki paras yang ‘bule’ tapi Pierre mampu berbaur dan diterima oleh berbagai kalangan, padahal saat beliau remaja, Indonesia baru pulih dari trauma paska kolonial Belanda dan agresi-agresi militer Belanda. Belanda juga saat itu masih bercokol di Papua sehingga sentiment anti-Belanda masih ada.

Hampir seperti kebanyakan remaja laki-laki saat itu, Pierre juga aktif dalam berbagai kegiatan sekolah, kegiatan olah-raga, dan juga ‘tawuran’.

Perihal tawuran ini dituturkan oleh kakaknya, Mitzi. Ketika itu tahun 1957, Pierre, yang berusia 18 tahun, terlibat dalam salah-satu tawuran pelajar. Para pelajar yang terlibat membawa berbagai senjata tajam, entah itu pisau atau golok. Pierre juga adalah salah-satu pelajar yang membawa senjata tajam saat itu. Senjata yang dibawanya adalah pisau. Dalam tawuran ini, Pierre terkena sabetan yang meninggalkan bekas luka di tangannya. Mungkin rasa setia-kawannya yang tinggi yang melibatkan Pierre dalam tawuran tersebut. Sifat setia-kawannya juga yang membuatnya terlihat ‘keren’ dimata kawan-kawannya. Kesan ‘keren’ dari Pierre dikalangan pergaulan remaja Semarang saat itu semakin tinggi berkat motor Ducati hadiah dari ayahnya yang selalu dikendarainya.

Walau pernah tawuran, tapi Pierre adalah murid cerdas. Beliau tidak pernah tinggal kelas dan juga memiliki nilai yang bagus, terutama pada mata pelajaran bahasa asing. Kelak, kefasihannya berbicara dalam bahasa Inggris dan Jerman, dan juga bahasa Belanda (bahasa sehari-hari keluarga Tendean) menjadi salah-satu modal penting dirinya saat menjadi mata-mata handal di era Dwikora.




KEHIDUPAN DI ATEKAD

Pierre selalu ingin menjadi seorang tentara, padahal cita-citanya ini ditentang keras oleh kedua orang-tuanya. Orang-tuanya memiliki keinginan lain bagi masa depan Pierre. Ayahnya ingin Pierre sekolah kedokteran agar menjadi dokter seperti ayahnya, sedangkan ibunya menginginkan Pierre menjadi seorang insinyur. Penolakan kedua orang-tuanya ini justru membuat keinginan Pierre menjadi seorang prajurit semakin menjadi-jadi. Keinginannya ini semakin menggebu-gebu karena kedekatan keluarganya dengan seorang tokoh besar militer saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution. Menurut pengakuan Jenderal Nasution, sangat mungkin jika dirinya-lah yang menjadi penyebab Pierre berkeinginan kuat masuk militer.

Walaupun Jenderal Nasution adalah panutan dan patron Pierre didunia militer tapi hal itu tidak melonggarkan tuntutan orang-tua Pierre agar dirinya menjauhi dunia militer. Ayahnya memang berkeinginan kuat agar putra tunggalnya itu menjadi seorang dokter guna meneruskan jejaknya. Keinginan ayahnya ini membuat Pierre sangat jengkel sampai-sampai beliau ‘nyeletuk’ pada kakaknya, Mitzi, dalam bahasa Jawa ngoko, “Dokter iku mung bisa nambani borok!” (Dokter itu cuma bisa mengobati luka).

Pierre memang sering membicarakan banyak hal pada Mitzie. Satu-satunya anggota keluarga Pierre yang mendukung beliau memang adalah Mitzie. Atas saran kakaknya ini pula Pierre mengikuti dua ujian masuk, yaitu ujian masuk fakultas teknik di ITB (Institut Teknik Bandung) dan ujian fakultas kedokteran di Jakarta, sehingga beliau tidak mengecewakan kedua orang-tuanya, dengan catatan Pierre tidak usah mengerjakan soal-soal ujiannya. Saran ini dituruti Pierre dengan senang hati. Pada akhirnya, tingkahnya itu membuat Pierre otomatis tidak lulus ujian di kedua tempat itu. Suatu hasil ujian buruk yang justru menjadi kebahagiaan baginya.

Usai melihat putranya gagal ujian masuk di universitas dan jurusan yang mereka tuntut, akhirnya kedua orang Pierre pasrah dan mengijinkan beliau mendaftar di akademi militer. Pierre pun lulus ujian Akademi Militer Nasional (AMN) Angkatan Darat. Atas saran Jenderal Nasution, Pierre mendaftar di ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat) agar kelak dirinya bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di ITB, di sekolah Teknik, sehingga hati ibunya bisa senang.

Walau sudah masuk di ATEKAD tetapi kedua orang-tuanya tidak henti-hentinya mengirim surat untuk meminta Pierre agar mengundurkan diri dan kembali mendaftar di sekolah teknik atau sekolah kedokteran. Permintaan untuk mengundurkan diri dari ATEKAD itu gencar mereka kirim melalui surat saat Pierre masih dalam pelatihan dasar. Namun, hati Pierre tidak goyah. Dia memantapkan niatnya untuk menyelesaikan pendidikan di ATEKAD agar bisa menjadi seorang perwira militer.

Keteguhan hati Pierre ini tentu membuat orang-tuanya kesal. Tapi, walaupun tidak merestui keputusan Pierre masuk akademi militer, mereka tetap mendukung putra kesayangan mereka itu. Nama Pierre tetap ada dalam doa-doa mereka sehari-hari. Beliau juga tetap medapatkan kiriman sambal bajak buatan ibunya jika ada kerabat dari Semarang yang ke Bandung. Bahkan, Pierre yang sudah mendapat uang saku sebagai calon taruna masih juga mendapatkan kiriman uang saku dari orang-tuanya. Tidak jarang kiriman uang saku itu justru diminta sendiri oleh Pierre melalui telepon atau surat-suratnya, seperti permintaannya dalam salah-satu surat pada ibunya yang berbunyi (dalam ejaan lama): “Mami, djika mami ada uang belandja lebih boleh kirimkan pada saya karena saya ingin membeli kaset”.

Selama mengenyam pendidikan militer di ATEKAD Bandung, Pierre kembali popular dikalangan kaum hawa disana berkat wajah tampannya, walau sebenarnya beliau adalah sosok yang pemalu dihadapan wanita. Semasa di ATEKAD, Pierre adalah taruna yang sangat aktif . Beliau bergabung di klub bola basket ATEKAD dan sering bertanding melawan klub-klub lain dan mengikuti berbagai kejuaraan seperti Pekan Olah Raga Mahasiwa, berbagai pertandingan antar taruna militer, dan pertandingan-pertandingan lainnya. Pertandingan-pertandingan klub basketnya inilah yang semakin mempopulerkan sosok Pierre di luar ATEKAD. Saking populernya Pierre dikalangan kaum hawa saat itu membuatnya mendapat julukan “Robert Wagner dari Panorama”. Robert Wagner adalah seorang aktor Hollywood yang popular dimasanya, sedangkan Panorama adalah daerah dimana ATEKAD berada.

Pierre tidak hanya memiliki tampang yang rupawan. Kecerdasan dan kepribadiannya yang baik membuat Pierre ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Taruna Remaja. Beliau juga terpilih sebagai Wakil Ketua Senat Corps Taruna di ATEKAD. Kepribadiannya yang kalem tapi memiliki sisi humoris membuat Pierre dipercaya dalam berbagai tugas pembinaan corps taruna ATEKAD. Semua orang yang mengenalnya mengaguminya karena wajahnya yang rupawan, juga karena kecerdasan dan kepribadiannya. Beliau juga dikenal sangat relijius.





GEJOLAK PRRI

Pada masa-masa awal pendidikan Pierre di ATEKAD, terjadi gejolak di Sumatera dan Sulawesi tahun 1958. Ketika itu Pierre dan rekan-rekan seangkatannya masih berpangkat Kopral Taruna. Mereka mendapat tugas lapangan yang tergolong berat, yakni memadamkan pemberontakan PRRI yang meletus di Pulau Sumatera.

Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bermula pada deklarasi 15 Februari 1958 di Padang, Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Ahmad Husin. Keadaan semakin memburuk saat perwira-perwira militer Minahasa juga mendukung PRRI dengan mendeklarasikan bergabungnya Minahasa sebagai bagian dari PRRI, yang menjalar hingga ke Kepulauan Sangir, Bolaang Mongondow, Gorontalo, hingga ke wilayah Sulawesi Tengah. PRRI Sulawesi dikenal dengan nama PERMESTA (Perjuangan Semesta). Kubu mereka semakin kuat saat perwira-perwira tinggi Sumatera dan Minahasa pulang kampung dan bergabung dengan mereka.

Penyebab utama meletusnya pemberontakan PRRI adalah akibat adanya kesenjangan pembangunan antara pulau Jawa dan pulau lainnya di Indonesia dan kegagalan pemerintah membangun daerah-daerah luar Jawa, juga tuntutan diperluasnya otonomi daerah ditolak oleh pemerintah pusat sehingga menimbulkan ketidak-puasan dikalangan kaum intelektual di luar Jawa dan juga membuat marah perwira-perwira militer diluar Jawa. Ketegangan antara pemimpin-pemimpin PRRI dan pemerintahan pusat semakin menjadi-jadi saat para petinggi militer PRRI dipecat dari kesatuan mereka sebagai respon atas tuntutan mereka yang menginginkan agar Kabinet Juanda dihapuskan dan mandat sebagai kepala pemerintahan dikembalikan pada Soekarno.

Pusat pemberontakan PRRI di Pulau Sumatera ada Sumatera Barat. Sedangkan, pusat pemberontakan PRRI di Sulawesi ada di wilayah provinsi Sulawesi Utara sekarang. Gerakan ini lalu merembet hingga ke Kalimantan dan Kepulauan Maluku. Berbagai operasi untuk menumpas gerakan militer PRRI dilakukan, baik di Sulawesi (Operasi Saptamarga I-IV dan Operasi Mena I-II) dan juga Sumatera (Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus, Operasi Sapta Marga, dan Operasi Sadar). Pierre sendiri ditugaskan dalam Operasi Sapta Marga yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Djatikusuma dengan daerah operasi di wilayah Sumatera Timur dan Sumatera Selatan.

Pemberontakan PRRI di Sumatera resmi berakhir dengan menyerahnya Letnan Kolonel Ahmad Husein (Pemimpin PRRI Sumatera) pada 29 Mei 1961 dan Letnan Kolonel Ventje Sumual (Pemimpin PRRI Sulawesi) ditahun yang sama.

Meskipun melakukan pemberontakan pada pemerintah pusat tetapi para pemimpin PRRI menolak dicap sebagai pemberontak terhadap Republik Indonesia sebab mereka menyatakan perjuangan mereka adalah demi mendapatkan otonomi daerah yang luas sehingga mimpi akan kemakmuran di seluruh Indonesia bisa diraih, bukan untuk melengserkan Soekarno.

Dalam perang dengan PRRI ini, Pierre juga terlibat dalam perjuangan yang sama dengan pahlawan revolusi lainnya, Jenderal Achmad Yani (saat itu masih Kolonel), walau mereka ditugaskan di operasi militer yang berbeda (Kolonel Achmad Yani bertugas sebagai komandan Operasi 17 Agustus).





PERWIRA PERTAMA DAN CINTA PERTAMA

Pierre menamatkan pendidikannya di ATEKAD setahun setelah konflik dengan PRRI berhasil dipadamkan, tepatnya pada tahun 1962. Kala itu beliau lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan berhak menyandang pangkat Letnan Dua (perwira pertama). Sebagai seorang perwira muda, Pierre menjalani tugas pertamanya sebagai komandan peleton di Batalyon Zeni Tempur (Zipur) 2 Kodam II/Bukit Barisan, Sumatera Utara, pada masa-masa awal Dwikora (konflik Indonesia dengan Semenanjung Malaya-Malaysia dan Singapura).

Kala bertugas di Medan inilah Pierre bertemu dengan kekasihnya, Rukmini. Beliau dikenalkan pada Rukmini oleh salah-satu temannya. Rukmini adalah seorang gadis yang berasal dari suku Jawa tetapi dibesar di Medan. Ayahnya adalah seorang relijius Muslim dan orang yang terpandang di Medan. Menurut rekannya, kepribadian Rukmini yang sangat baik dan kesetiannya-lah yang menarik hati Pierre. Namun, hubungan Pierre dengan Rukmini ini tidak mendapatkan restu dari kedua orang-tua mereka. Mungkin dikarenakan oleh perbedaan agama.

Pierre menjalani tugas di Sumatera Utara selama satu tahun. Pengalamannya saat menjalani masa tugas lapangan sebagai taruna remaja di era konflik PRRI dan satu tahun sebagai komandan peleton ditahun awal perjuangan Dwikora membuat Pierre menjadi salah-satu perwira muda yang memiliki banyak pengalaman lapangan. Dia lalu dilirik untuk menjalani tugas yang dianggap lebih berbahaya. Perintah baru-pun mendatangi Pierre melalui sebuah surat tugas di tahun 1963 yang memintanya berangkat ke Bogor untuk mengikuti pelatihan khusus bagi seorang mata-mata.

Pierre-pun akhirnya berangkat ke Bogor. Penugasan ini membuat Pierre terpisah dari Rukmini dan menjalani hubungan jarak jauh. Ini adalah perpisahan pertama Pierre dan Rukmini.





MATA-MATA LEGENDARIS ERA DWIKORA

Pada masa kini, Pierre lebih dikenal sebagai seorang ajudan padahal dimasa hidupnya nama Pierre harum sebagai seorang mata-mata. Ironisnya, tugasnya sebagai mata-mata lebih lama ketimbang sebagai ajudan. Pierre bergelut didunia spionase sekitar hampir dua tahun lamanya sedangkan tugasnya sebagai seorang ajudan hanya dijalani selama 6 bulan (April-September 1965).

Baru satu tahun setelah beliau lulus dari ATEKAD dan bertugas di Sumatera Utara, tepatnya pada tahun 1963, Pierre diminta menjadi mata-mata dan disekolahkan di Sekolah Intelejen Negara di Bogor. Ada dua hal yang membuat Pierre ditunjuk untuk menjadi mata-mata, yaitu tampang ‘bule’nya dan kefasihannya berbahasa asing (Inggris, Belanda, dan Jerman). Begitu Pierre menyelesaikan pendidikannya di sekolah intelejen, beliau langsung ditugaskan digaris depan mengkoordinasikan para sukarelawan yang akan menyusup ke Malaysia.

Kepribadiannya yang kalem dan tidak suka terekspos juga menjadikannya seorang mata-mata yang alami. Pierre sangat menyukai tugasnya ini. Selain itu, uang saku yang besar juga menanti Pierre. Tiap kali pulang ke Semarang beliau selalu membawa banyak hadiah bagi keluarganya yang jarang ditemui di Indonesia. Hadiah-hadiah Pierre saat itu membuat senang hati orang-tuanya dan juga adik-adiknya sebab semuanya dibeli diluar-negeri, yang mana saat itu masyarakat Indonesia sangat menyukai barang-barang dari luar negeri. Pierre menghadiahkan ayahnya jam Rolex yang mahal dan raket tenis untuk adiknya. “Ojo di-dhol yo!” Kata Pierre pada adiknya dalam bahasa Jawa, yang artinya “Jangan dijual!”

Meskipun royal terhadap keluarganya, Pierre tetap menabung uang sakunya sedikit demi sedikit. Beliau sangat menyukai tugas-tugasnya, dan juga bangga atas kepercayaan yang diperolehnya.

Setelah berhasil membangun jaringan digaris depan, akhirnya Pierre berhasil menyusup dan melakukan kegiatan inflitrasi di Malaysia. Pierre adalah Komandan Basis Y yang target operasinya adalah wilayah Malaka dan Johor (Kopaska, Spesialis Pertempuran Laut Khusus; Tim Angkasa Comando, 2013). Disana, Pierre menyamar sebagai turis Eropa atau Amerika, dan bertugas mengumpulkan informasi tentang situasi dan kondisi Semenanjung Malaya untuk diteruskan ke Jakarta atau ke tim eksekusi di Malaysia. Sebagai komandan basis, Pierre membawahi sebuah tim KOPASKA (Korps Pasukan Katak, pasukan elit Angkatan Laut) dengan tugas utama menghancurkan objek-objek penting pendukung perang milik Malaysia.

Berbagai kegiatan spionase juga dilakukan Pierre. Tidak ada yang curiga jika beliau adalah mata-mata, sebab tampang Pierre tidak terlihat seperti orang Rusia dan RRC (negara-negara musuh Malaysia), apalagi Indonesia. Berbeda dengan mata-mata lainnya yang biasanya hanya bisa satu kali menyusup, Pierre mampu menyusup lebih dari tiga kali. Selain mampu menyusup berkali-kali, dan status penyamarannya adalah sukses tanpa ketahuan.

Penyusupan terakhir Pierre berjalan sukses tanpa ketahuan (sebagai mata-mata) namun saat beliau akan pulang ke tanah air, speedboat yang ditumpanginya dan rekan-rekannya terpantau oleh angkatan laut Inggris yang berpatroli di Semenanjung Malaya, dan dikejar. Pierre dan rekan-rekannya lalu melompat ke laut, dan berusaha bertahan hidup dengan memegang bagian bawah dari perahu nelayan setempat, dengan posisi sebagian besar tubuhnya didalam air dan hanya sesekali menghirup udara. Beruntung bagi Pierre dan rekan-rekannya sebab ketika diperiksa gelagat pengemudi speedboat mereka tidak mencurigakan sehingga speedboat dan pengemudinya ditinggalkan begitu saja.

Identitas dan penyamaran Pierre tidak pernah terbongkar. Keberhasilan Pierre ini menjadi salah-satu kebanggaan besar bagi kesatuannya, Zeni AD. Keberhasilan ini menjadi pembicaraan hangat perwira-perwira tinggi khususnya kalangan Angkatan Darat sebab banyak mata-mata yang tertangkap dan terbunuh padahal mereka berasal dari kesatuan tempur yang berpengalaman dalam perang gerilya, sedangkan Pierre adalah seorang perwira dari kesatuan Zeni (artileri militer) yang tidak menjadi prajurit utama dalam pasukan perang gerilya.





AJUDAN SANG JENDERAL BESAR

Keberhasilan Pierre selama Dwikora membuat Pierre naik pangkat dalam waktu singkat. Dalam waktu kurang dari tiga tahun setelah tamat dari akademi militer beliau sudah berpangkat Letnan Satu. Tapi, kenaikan pangkatnya ini tidak terlalu menyenangkan hatinya akibat tugas baru yang menantinya.

Pierre sangat menyukai tantangan. Akan tetapi, hal itu tidak sejalan dengan keluarganya, terutama ibunya. Berkali-kali sang ibu meminta Pierre, baik melalui surat maupun secara langsung, agar pindah tugas dan jangan dilapangan lagi. Meskipun memanjakan Pierre tapi rupanya tuntutan-tuntutan ibunya seringkali tidak sejalan dengan keputusan-keputusan Pierre. Bahkan, menurut beberapa orang hubungan Pierre dengan Rukmini juga tidak direstui ibu Pierre. Kala itu, kakaknya adalah orang yang paling pertama dan utama mendukung keputusan-keputusan Pierre.

Orang-tuanya tidak kehilangan akal. Mereka lalu membicarakan maksud dan keinginan mereka pada istri Jenderal Nasution, Ny.Yohana Nasution. Keluarga Pierre memang sangat dekat dengan dengan keluarga istri dari Pak Nas (nama panggilan Jenderal A.H.Nasution). Mertua Jenderal Nasution yang tinggal di Bandung sudah menganggap Pierre seperti putra mereka dan hubungan mereka dengan Pierre semakin dekat semasa Pierre menjalani pendidikan di ATEKAD, Bandung. Jenderal Nasution juga selalu menganggap Pierre sebagai adiknya. Melalui Ny.Yohana Nasution, kedua orang-tua Pierre meminta agar beliau bisa membantu membujuk Pierre, namun tampaknya bujukan semua orang tidak bisa menggoyahkan pendirian Pierre, hingga akhirnya Jenderal Nasution turun tangan.

Ketika itu, prestasi Pierre menjadi buah bibir kalangan Angkatan Darat termasuk para jenderal. Mereka terpesona dan menginginkan agar Pierre bisa menjadi ajudan mereka. Banyak jenderal yang sangat menginginkannya, seperti Jenderal S.Parman (Asisten I Menpangad/Bidang Intelijen, salah-satu pahlawan revolusi), Jenderal Kadarsan, dan Jenderal Hartawan. Tapi, Jenderal Nasution bersikeras untuk merekrut Pierre. Pak Nas memiliki kesempatan untuk mendapatkan Pierre sebab dia memang kekurangan ajudan setelah Kapten Manulang tidak dapat mengisi pos sebagai ajudan karena gugur di Kongo sebagai tentara perdamaian PBB. Lagipula, perwira mana yang berani menolak keinginan satu-satunya jenderal bintang empat di Angkatan Darat. Jenderal Nasution-pun berhasil mendapatkan Pierre sebagai ajudan.

Pierre jengkel saat beliau mendengar akan dipindah-tugaskan untuk mengawal Jenderal Nasution. Sebenarnya, menjadi seorang ajudan adalah tugas yang sangat diidam-idamkan oleh banyak perwira muda, sebab tugas itu ibarat jalur pintas untuk peningkatan karir dimasa-depan apalagi jika atasannya adalah Jenderal Nasution, yang saat itu menjadi sebagai Panglima ABRI. Namun, tugas baru itu bukanlah yang diinginkan Pierre karena dia sangat mencintai tugas-tugasnya sebagai agen lapangan. Bertugas sebagai seorang ajudan sangat membosankan bagi Pierre, dan dia sangat kesal akan hal itu. Itulah mengapa promosi kenaikan pangkatnya sebagai Letnan Dua pada 15 April 1965 sekaligus menandakan awal tugasnya sebagai seorang ajudan tidak terlalu menyenangkan hati Pierre. Saat Pierre tahu bahwa dirinya akan menjadi ajudan Jenderal Nasution dia sadar bahwa penugasan tersebut adalah karena campur tangan Pak Nas atas permintaan dari orang-tuanya.

Ibu Pierre adalah orang yang paling berbahagia akan penugasan baru Pierre, terlebih lagi sebagai ajudan Jenderal Nasution, orang yang sangat akrab dengan mereka. Kenyataan bahwa orang-tuanya memenangkan ‘pertarungan’ itu membuat Pierre sangat dongkol. Beliau-pun menegaskan pada keluarganya bahwa dirinya akan menjalani tugas sebagai seorang ajudan hanya selama satu tahun dan tidak boleh lebih, sebab kalau masa tugasnya sebagai ajudan diperpanjang, “aku akan langsung menghadap KASAD untuk minta pindah!”, ancam Pierre saat itu.

Pierre pun bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution sebagai salah-satu dari empat ajudan Nasution. Pierre adalah ajudan sang jenderal yang termuda.

Menurut pengakuan Nasution, Pierre tinggal dirumahnya sebagai anggota keluarga Nasution, sebab dia sudah dianggap sebagai adik dari sang jenderal.

Sepanjang tugasnya sebagai ajudan Nasution, Pierre adalah musuh bebuyutan ‘anak-anak nakal’ Menteng. Anak-anak muda ini sering berulah dan kebut-kebutan dengan motor sehingga membuat masyarakat sekitarnya kesal. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak sebab mereka merupakan anak-anak para pejabat yang tinggal di Menteng. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Pierre. Pierre yang gerah karena ulah mereka lalu menindak remaja-remaja ini dengan tegas. Dikatakan bahwa mereka sangat takut pada Pierre sebab secara kekuatan fisik mereka pasti kalah, dan lagi, siapa yang berani melawan seorang ajudan Panglima ABRI saat itu?

Walau mampu memanfaatkan pangkatnya, tapi status Pierre sebagai seorang perwira dan ajudan Panglima ABRI rupanya tidak pernah membuat Pierre terlena. Jika memiliki waktu luang dimalam hari, Pierre sering bekerja sebagai pengemudi traktor yang ikut meratakan area Monas (saat itu masih belum memiliki monumen dan baru akan dibangun) demi menambah uang. Rupanya, Pierre berniat membeli televisi yang sudah dipesannya. Ketika itu, jika ingin membeli televisi harus dipesan dulu dan harus antri sebab televisi tergolong barang mewah.

Pierre memang selalu menabung demi mendapatkan apa yang diinginkan dan dimimpikannya. Rupanya, tidak semua yang dimimpikan Pierre berwujud benda-benda berharga. Beliau rupanya berkeinginan bisa membahagiakan keluarganya dan menunaikan tugas sebagai seorang kakak. Itulah mengapa dia menabung uang sakunya selama menjadi mata-mata dan menyerahkan pada sang ibu saat pernikahan adiknya. Ketika itu, Pierre menyerahkan sejumlah uang Dollar USA yang dibungkusnya dengan kertas Koran, dan setelah di-rupiah-kan jumlahnya menjadi sangat banyak.

Mami, ini sumbangan dari saya untuk pernikahannya Roos”, demikian ujar Pierre pada ibundanya.

Adiknya, Roos, menikah dengan Jusuf Razak pada 2 Juli 1965. Pada saat pernikahan adiknya, Pierre sangat terharu dan sedih karena harus melepas adiknya sehingga momen yang seharusnya menjadi saat yang bahagia itu justru diwarnai oleh banyak air mata. Berkali-kali Pierre bertanya pada adiknya apakah sudah siap menikah, sebuah pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh Roos secara lisan. Pierre dan Roos pun saling berpelukan dan menangis. Dengan penuh haru, Pierre menitipkan adiknya pada Jusuf Razak. “Mas, aku titip adikku. Tolong jaga dia”, demikian ucapan Pierre kepada adik iparnya, Jusuf Razak. 

Kepulangan Pierre ke Semarang pada saat itu adalah untuk kali yang terakhir. Dari semua anggota keluarganya, hanya Mitzie yang sempat bertemu dengan Pierre setelah pernikahan Roos.

Selama menjadi ajudan Nasution, Pierre adalah ajudan yang paling sering menemani sang Jenderal dinas keluar kota. Sebagai ajudan tokoh militer sepopuler Nasution saat itu, Pierre langsung menyita perhatian khalayak ramai yang melihatnya. Hampir disetiap pertemuan, seminar, dan konferensi yang dihadiri Nasution dan didampingi oleh Pierre, para peserta akan mendengar pidato dan ceramah sang Jenderal, tapi wajah Pierre akan mendominasi durasi tatapan mereka. Bagi kalangan pria, sosok Pierre yang berwibawa dan misterius juga berparas bule dan masih sangat muda menimbulkan tanda-tanya, mengapa dia bisa menjadi ajudan seorang jenderal sekelas Nasution yang terkenal puritan. Sedangkan, bagi kaum hawa, semua hal yang dimiliki Pierre adalah ‘berkah’ bagi mereka yang mungkin jenuh panas-panasan mendengar ceramah seorang ‘bapak-bapak’ seperti Jenderal Nasution yang berlatar-belakang militer. Inilah mengapa saat itu muncul ungkapan populer dikalangan peserta yang menghadiri ceramah Jenderal Nasution, “Telinga kami untuk Pak Nas tetapi mata kami untuk ajudannya”. Selanjutnya sudah bisa ditebak, ketika sesi ceramah Pak Nas dan acara ramah-tamah dimulai, Pierre merebut hampir semua perhatian para peserta yang berebutan ingin berjabat tangan dengannya.

Sebagai seorang prajurit lapangan dan mata-mata yang sangat berpengalaman, menghadapi musuh dan berkamuflase melalui berbagai penyamaran adalah hal yang biasa tetapi ketika beliau menjadi pusat perhatian dan dielu-elukan maka seorang prajurit pemalu seperti Pierre justru merasa kewalahan. Menurut kesaksian orang-orang yang hadir saat itu, ketika orang-orang berebut bersalaman dengannya Pierre menjadi bingung dan menjadi sangat kikuk, terlebih saat dia melihat ekspresi kaum hawa yang tiba-tiba sangat senang dan dengan berseri-seri dihadapannya. Hal ini justru membuat Nasution tersenyum geli melihatnya. Mungkin bagi Nasution, memboyong Pierre selama berdinas diluar, selain karena kedekatan dan kepercayaannya pada Pierre, juga menjadi hiburan tersendiri yang menyelingi hari-hari sibuk sang jenderal. Senyum lebar Nasution saat melihat apa yang dialaminya mungkin terlihat sebagai ‘olok-olokan’ bagi Pierre sehingga membuat sang ajudan semakin malu.

Pierre memang sering menjadi bahan godaan keluarga Nasution, terutama putri-putrinya, Henrianti Sahara dan Ade Irma Suryani. Hal ini dikarenakan hubungan mereka yang sangat dekat dan sudah seperti keluarga. Satu hal yang dilakukan oleh Pierre yang lalu menjadi bahan godaan bagi putri-putri Nasution adalah ketika dia tersenyum-senyum membaca surat-surat dari kekasihnya dengan wajah yang kasmaran. Berbagai hadiah pun diberikan Pierre pada gadis-gadis cilik itu untuk membungkam mulut mereka agar berhenti menggoda sang ajudan.

Rukmini memang berhasil memikat hati sang letnan tampan. Walau tampaknya sang ibu tidak setuju dengan pilihan Pierre tetapi Pierre sudah ‘ngotot’ untuk urusan cintanya. Hal itu diceritakan Pierre melalui salah-satu surat yang dikirim pada kakaknya, “Mitz, aku wis ketemu jodohku. Wis yo Mitz, dongakake wae mugo-mugo kelakon...” (Mitz, aku sudah menemukan jodohku. Sudahlah Mitz, didoakan saja semoga bisa tercapai).

Perihal kisah cinta Pierre ini, mungkin hanya Nasution yang menyetujuinya. Ketika Pierre mendampingi Jenderal Nasution melakukan kunjungan dinas ke Medan pada 31 Juli 1965, Pierre mengunjungi Rukmini dan menemui kedua orang-tua kekasihnya itu. Ketika menemui orang-tua Rukmini, Nasution juga ikut mendampingi Pierre sebagai anggota keluarga Pierre. Jenderal Nasution-lah yang menjadi perwakilan keluarga Pierre saat melamar pada orang-tua Rukmini. Kendala utama kedua sejoli itu adalah perbedaan agama, dan masing-masing sulit berpindah keyakinan. Orang-tua Rukmini yang sangat relijius tentu akan menentang jika Rukmini mengikuti keyakinan Pierre, demikian halnya dengan orang-tua Pierre tentu tidak akan mengijinkan hal yang sama. Sedangkan, kode etik TNI tidak memperbolehkan Pierre untuk berpindah keyakinan mengikuti keyakinan calon pasangannya jika beliau masih berdinas sebagai seorang tentara. Tetapi, lamaran Pierre akhirnya diterima. Mungkin hati orang-tua Rukmini melunak setelah melihat seorang jenderal populer sekelas Nasution sendiri yang datang membawa lamaran ajudannya yang hanya berpangkat letnan. Ini menunjukan bahwa Pierre adalah pria yang sangat bertanggung-jawab dimata atasannya dan mampu bertanggung-jawab juga pada keluarganya. Waktu pernikahan merekapun disepakati yaitu dibulan November 1965. Pernikahan adiknya dan lamaran pada keluarga kekasihnya semua dilakukan pada bulan Juli 1965, namun pertemuan-pertemuan dibulan Juli 1965 itu menjadi pertemuan terakhir Pierre dengan orang-orang yang dikasihinya.

Pierre dan Mitzie sempat kembali bertemu sekitar akhir bulan Agustus 1965 ketika Mitzie mengunjungi Jakarta. Mereka lalu berpisah di Stasiun Gambir sebab Mitzie harus kembali ke Semarang dengan menggunakan kereta. Saat itu masih sangat pagi, sehingga suhu udara masih sangat dingin. Dinginnya pagi juga menghinggapi Mitzie melalui pipi Pierre yang dingin ketika Pierre menciumnya sebagai tanda perpisahan. Setelah kunjungannya ke Jakarta, Mitzie masih sempat satu kali berbicara dengan Pierre melalui telepon dibulan September. Kakaknya itu selalu mengenang kembali bagaimana Pierre, yang menggunakan celana panjang hijau tentara dan kemeja cokelat, melambai-lambaikan tangan kearahnya ketika kereta api bergerak menjauh dari peron dan memisahkan mereka berdua. 

Bulan Agustus pun berganti menjadi bulan September 1965. Tugas-tugas Pierre sebagai ajudan Nasution tidak berubah.





PENGORBANAN SANG LEGENDA

Peristiwa dipenghujung bulan September 1965 menjadikan September 1965 sebagai bulan sejarah yang paling terkenal dalam sejarah Indonesia setelah Agustus 1945. Padahal, awal bulan itu dijalani oleh para pelaku sejarah, baik korban, penculik, dan pihak-pihak yang terkait dengan biasa-biasa saja.

Dibulan September, para elit Angkatan Darat dibawah pimpinan Letnan Jenderal Ahmad Yani berkunjung ke sekolah seminari Kupang. Mayor Jenderal Siswondo Parman dan Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan juga ikut dalam rombongan ini. Presiden Soekarno memiliki beberapa aktifitas dibulan ini. Pada penghujung bulan ini, Mayor Jenderal Soeharto berada di RS. Gatot Soebroto sebab putra bungsunya diopname karena tersiram sup panas. Kala itu, beberapa otak penculikan datang menemui Soeharto di rumah-sakit mengabarkan rencana mereka meminta pertanggung-jawaban para jenderal, tetapi tampaknya perhatian Soeharto lebih tersita pada kesembuhan putra bungsunya. Para elit PKI sendiri juga melakukan banyak aktifitas di bulan ini. Demikian juga dengan Jenderal Nasution. Pierre sendiri mengawali bulan September dengan mendampingi Jenderal Nasution selaku ajudannya.

Dihari terakhir bulan September itu, tepatnya hari Kamis 30 September, Pierre sempat melihat-lihat paviliun kosong di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Pierre berniat mempersiapkan tempat tinggalnya saat menikah nanti dengan Rukmini meskipun hanya mengontrak. Tempat tinggalnya harus dekat dengan kediaman Jenderal Nasution. Pierre pulang kembali ke kediaman Jenderal Nasution pada sore hari. Entah kenapa saat itu Pierre tidak menelepon ke keluarganya di Semarang padahal hari itu adalah hari ulang-tahun ibundanya. Hari itu telepon dari Pierre dinanti-nantikan oleh keluarga Tendean tetapi tidak ada dering telepon dari Pierre. Keluarga Tendean merasa aneh akan hal itu sebab tidak biasanya Pierre tidak menelepon keluarganya jika ada salah-satu anggota keluarganya yang ulang-tahun. Tapi, mereka berusaha memaklumi hal ini karena Pierre ada seorang tentara. Meskipun tidak menelepon di hari ulang-tahun ibunya tetapi Pierre sudah berjanji akan pulang bersama adik iparnya, Jusuf Razak, ke Semarang pada keesokan harinya, tepatnya tanggal 1 Oktober. Jusuf Razak pun sudah berjanji akan menjemput Pierre di kediaman Jenderal Nasution. 

Di waktu yang hampir bersamaan, sekitar pukul 5 sore WIB, pasukan Cakrabirawa Batalyon I diperintahkan secara mendadak untuk mengikuti apel oleh sang komandan batalyon, Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Letnan Kolonel Untung memerintahkan agar pasukannya waspada tingkat satu atas upaya kudeta. Untuk itu, batalyon itu lalu berangkat ke Lubang Buaya. Letnan Kolonel Untung membagi pasukannya menjadi tujuh regu yang masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang anggota Cakrabirawa untuk menjemput dan meminta pertanggung-jawaban beberapa jenderal diwaktu yang sudah ditentukan, yaitu pada keesokan hari, 1 Oktober pukul 3 dini-hari.

Malam terakhir dibulan September 1965 pun tiba dan semua orang beristirahat, termasuk Pierre dan keluarga Nasution. Pierre tidur lebih awal sebab bukan dia yang bertugas malam itu. Hari dan bulan pun berganti. Tidak ada satupun dari mereka yang menyangka jika ada pergerakan dari pasukan istana yang menuju ke rumah-rumah jenderal-jenderal angkatan darat, termasuk ke kediaman Jenderal Nasution. Jalanan Jakarta, khususnya kawasan Menteng yang sunyi tiba-tiba menjadi gaduh akibat deru truk-truk militer yang melaju membelah gelapnya malam. Para penghuni kediaman Nasution masih terlelap, termasuk Pierre. Anak-anak Nasution juga masih terlelap, sedangkan sang jenderal sendiri, menurut pengakuan beliau, juga berbaring tetapi tangannya sibuk mengebas-ngebas mengusir nyamuk disekitarnya dan istrinya. Tapi kantuk yang menyerang rupanya lebih kuat daripada serangan nyamuk-nyamuk itu. Mereka tidak menyadari jika ada banyak truk yang melintasi sekitar rumah mereka, sama seperti para pengendara truk dan juga anggota Cakrabirawa dalam truk itu yang juga tidak sadar bahwa mereka melewati kediaman Jenderal Nasution.

Truk-truk itu mengangkut satu kompi pasukan Cakrabirawa dan satu peleton milisi sipil pro-Komunis (Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia:Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasan), dan melaju di jalanan Menteng, berputar-putar mencari kediaman Nasution sesuai dengan perintah atasan mereka. Atas petunjuk salah-satu anggota yang bernama Idris, truk-truk yang mengangkut pasukan Cakrabirawa pimpinan seorang Pembantu Letnan Dua yang bernama Djahurup akhirnya berhenti dan meringsek masuk ke sebuah rumah. Terjadi perlawanan sengit yang singkat dari salah-seorang pengawal dirumah itu namun akhirnya pengawal itu berhasil ditembak mati. Pengawal itu bernama Karel Satsui Tubun dari kesatuan Kepolisian Republik Indonesia. Tapi, para anggota Cakrabirawa menyadari kejanggalan pada rumah itu sebab tidak ada pos militer didepan rumah, seperti yang seharusnya ada di kediaman seorang panglima. Rupanya Idris membawa kelompok Djahurup ini ke rumah yang salah sebab rumah itu bukan kediaman Jenderal Nasution melainkan kediaman tetangganya, Dr. Johanes Leimena (Wakil Perdana Menteri II) yang berjarak 100 meter dari kediaman Jenderal Nasution. Mereka lalu meninggalkan mayat Karel Satsui Tubun dan kembali bergerak menuju ke kediaman Nasution.

Para pengawal Jenderal Nasution terkejut mendengar suara ribut-ribut dan suara tembakan dikediaman J.Leimena. Ny.Yohana dan Jenderal Nasution juga terbangun. Kejadian salah-rumah itu rupanya sedikit menguntungkan Nasution sebab beliau lalu terjaga dan menjadi waspada.

Tiba-tiba, perhatian para pengawal kediaman Nasution tertuju pada suara deru truk yang berhenti di depan rumah. Sekelompok tentara berseragam Cakrabirawa berjalan menuju para pengawal kediaman Nasution sambil menodongkan senjata. Kali ini, Idris membawa mereka ke rumah yang benar. Penjaga kediaman Nasution yang berjumlah 10 orang itu kebingungan saat dihampiri oleh para Cakra (sebutan bagi anggota Akrabirawa). Para Cakra memerintahkan agar para penjaga diam sebab mereka akan menjemput Jenderal Nasution untuk dibawa ke istana. Adu mulut pun terjadi tapi tidak ada perlawanan yang berarti dari para pengawal sang jenderal sebab yang berhadapan dengan mereka adalah pasukan pengawal presiden. Melawan pasukan Cakrabirawa artinya melawan presiden. Akhirnya para penjaga kediaman Jenderal Nasution menyerah dan senjata mereka dilucuti. Mereka lalu diperintahkan masuk kedalam sebuah ruangan dan dikunci dari luar. 

Tiga orang Cakra yang bernama Sulemi, Haryono, dan Suparjo segera menuju ke area dalam kediaman Pak Nas. Rupanya pintu depan rumah tidak terkunci. Ketiga orang itu lalu menerobos ke dalam rumah hingga tiba didepan kamar Jenderal Nasution.

Pintu diketuk oleh ketiga Cakra itu berbarengan dengan teriakan agar Nasution keluar dan menghadap Soekarno. Nasution ingin keluar menemui mereka tetapi Ny.Yohana mencegahnya. Akhirnya, sang istrilah yang membuka pintu.

Pintu lalu dibuka oleh Ny.Yohana Nasution. Namun, ketiga Cakra yang terlanjur gerah menunggu akhirnya melepaskan tembakan kearah pintu tepat saat Ny.Yohana membuka pintu sehingga telinga nyonya rumah itu terserempet peluru. Beliau cepat-cepat menutup dan mengunci pintu. Beliau menyuruh Jenderal Nasution, yang masih terkejut dan hanya menggunakan kaos dan sarung, untuk melarikan diri dengan cara melompat jendela kamar.

Sulemi lalu berinisiatif mendobrak pintu sebab dia menganggap tindakan pihak Nasution yang menutup dan mengunci pintu dihadapan seorang Cakra yang datang menjemput adalah pembangkangan pada presiden.

Diruangan yang lain, putri Nasution yang terbangun mendengar ribut-ribut lalu segera bergegas ke mencari Pierre sambil memanggil-manggil nama ajudan yang paling dekatnya itu. Pierre, yang sedang berada disalah-satu ruangan kediaman Nasution, pun terbangun. Beliau, yang masih mengenakan seragam dinasnya, lalu mengambil senapan Garand dan mengisi penuh senjata itu dengan amunisi.

Pintu yang berusaha didobrak Sulemi itu tidak bisa terbuka juga sebab rupanya sudah ditahan oleh Ny.Yohana dari dalam.

Saat itu kamar tersebut begitu ribut sebab selain suara para Cakra yang mendobrak-dobrak pintu, suara tangisan Ade Irma yang ketakutan juga terdengar membahana. Ade akhirnya digendong oleh adik Jenderal Nasution, Mardiyah. Entah kenapa, Mardiyah justru mendekati pintu yang berusaha ditahan oleh Ny.Yohana. Mungkin beliau kebingungan dan ketakutan tidak tahu mau lari kemana sehingga memilih bergabung dengan Ny.Yohana.

Tiga Cakra yang sudah lelah mendobrak lalu mengambil jalan pintas dengan menembak gagang pintu dengan senjata masing-masing hingga pintu bisa terbuka. Saat mereka berhasil membuka pintu, ketiga Cakra ini kaget saat melihat seorang wanita, yang adalah Mardiyah, sedang berlari menghindar sambil menggendong anak kecil yang berlumuran darah. Rupanya peluru yang ditembakan ketiga orang ini secara tidak sengaja menyerempet ke punggung Ade Irma dan juga tangan Mardiyah yang sebelumnya berada didekat pintu. Tiga Cakra ini tidak melihat keberadaan Jenderal Nasution disana.

Jenderal Nasution berhasil keluar dari belakang rumah, segera menuju dan melompati pagar yang berbatasan langsung dengan Kedutaan Besar Irak. Beberapa Cakra yang melihatnya lalu menembaki sang jenderal. Untungnya Nasution berhasil luput dari rentetan tembakan itu. Beliau lalu memanjat menara air dan bersembunyi disana.

Pierre yang keluar dari kamarnya sambil membawa senjata berjalan dengan sangat waspada. Pierre mengendap-endap dan mencari tempat yang remang, dan bahkan gelap agar bisa lebih mudah bersembunyi, sambil menuju ke suara ribut-ribut itu. Nahas, Pierre terlihat oleh anggota Cakra. Para Cakra yang melihatnya lalu menodongkan senjata dan memerintahkan Pierre menyerah. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk melawan, Pierre pun meletakan senjata dan menyerah.

Salah-seorang anggota Cakra lalu bertanya pada Pierre perihal siapa dia dan “Dimana Nasution??!”

Sebenarnya, fisik Pierre dan Jenderal Nasution sangat berbeda. Mulai dari potongan rambut, tinggi badan, dan juga wajah. Tapi, Nasution beruntung karena saat itu Pierre berada ditempat gelap dan juga anggota Cakra yang menanyai Pierre itu adalah Idris ‘si tukang salah’, yang sebelumnya salah membawa tim Pelda Djahurup ke kediaman J.Leimena.

Pierre-pun menjawab pertanyaan Idris itu dengan jawaban fenomenalnya,
Saya Nasution!” Jawab Pierre.

Berbekal jawaban Pierre yang penuh wibawa dan juga postur tubuh Pierre yang tegap khas seorang prajurit, sang ajudan pun diangkut ke truk setelah sebelumnya mereka mengikat tangan Pierre kebelakang. Dengan mengabaikan kata-kata beberapa Cakra yang melihat Nasution melompati pagar, truk-truk tetap melaju, tapi bukan kearah istana melainkan kearah timur, tepatnya ke lokasi yang bernama Lubang Buaya. Untuk sesaat Pelda Djahurup, dan juga Idris, tidak menyangka jika yang dibawa mereka bukan Jenderal Nasution melainkan Letnan Dua (CZI) Pierre Tendean. 

Para penculik baru tahu bahwa mereka salah orang setibanya di Lubang Buaya, setelah Pierre diturunkan dari truk dan dibawa ke tempat yang lebih terang. Kesalahan ini justru membuat Pierre menjadi sasaran amuk para penculik.

Setiba di Lubang Buaya, Pierre dibawa ke sebuah tenda dan dikumpulkan didekat jenderal-jenderal yang masih hidup, yaitu Mayor Jenderal Soprapto, Mayor Jenderal S.Parman, dan Brigadir Jenderal Soetojo. Tiga jenderal lainnya sudah tewas saat dibawa, yaitu Letnan Jenderal Achmad Yani, Brigadir Jenderal D.I.Pandjaitan, dan Mayor Jenderal M.T.Haryono. Bersama-sama dengan mereka juga ada seorang polisi patroli yang bernama Sukitman, yang lebih beruntung sebab dia tidak disiksa.

Rupanya, ditempat itu bukan hanya ada pasukan Cakrabirawa melainkan juga kelompok-kelompok simpatisan komunis.

Pierre mendapat siksaan fisik yang berat. Beliau ditendang dengan sepatu lars tentara dan dipukul berkali-kali dengan gagang senapan hingga kepalanya terluka parah, sampai-sampai membentuk tiga luka menganga. Menurut pengakuan salah-satu anggota Cakrabirawa, Pierre sempat mengaku sebagai penjaga mesin diessel dikediaman Jenderal Nasution, tetapi tampang Pierre tidak membuat mereka percaya dan tetap menyiksa Pierre. Tapi, semakin disiksa tubuh Pierre seakan semakin melawan sehingga membuat siksaan yang diterimanya semakin parah sehingga menurut pengakuan Sukitman, tubuh Pierre babak belur dan pakaian yang dikenakannya berlumuran darah.

Akhirnya, Pierre yang sudah kepayahan pun dibawa dan diikat disebuah pohon sedangkan para jenderal yang masih hidup silih-ganti disiksa dengan siksaan yang berat. Jenderal-jenderal ini akhirnya ditembak satu-persatu. Setiap selesai menembak seorang jenderal, mereka membawa jenasahnya kesebuah sumur kecil dan memasukan kedalam sumur dengan posisi kepala dibawah. Setelah dibuang kedalam sumur, tembakan pun dilepaskan kedalam sumur.

Pada akhirnya, hanya tersisa Pierre dan Sukitman. Sukitman mendapat kepercayaan dari seorang anggota Cakra karena dia tidak dianggap musuh, sebab beliau memang bukan berasal dari kesatuan Angkatan Darat. Tapi, para penculik kebingungan saat melihat Pierre. Mau diapakan korban salah-tangkap ini?

Akhirnya, salah-seorang Cakra bertanya pada Letnan Doel Arief perihal tindakan yang harus mereka ambil untuk Pierre. Jawaban Doel Arif adalah, “Bereskan sesuai situasi dan kondisi”.

Secara harafiah, perintah Dul Arief ini berarti eksekusi mati atau juga bisa ditawan. Tapi, sebelum perintah itu sampai ke tim di lapangan, rupanya Pelda Djahurup sudah mengambil inisiatif sendiri.

Pierre dibawa dari tempat dia diikat dan dipaksa berlutut. Tubuhnya sudah sangat kepayahan sebab sudah penuh luka karena siksaan berat dan lama menanggung sakit. Djahurup langsung berdiri dibelakang Pierre. Dengan tangannya sendiri Djahurup menembak Pierre dari belakang. Pierre-pun tersungkur jatuh kedepan, namun masih bergerak. Tanpa ampun, tubuhnya kembali ditembak oleh Djahurup.

Rupanya, harga-diri Djahurup sebagai seorang Cakra tercoreng sebab dia adalah satu-satunya komandan regu yang gagal membawa targetnya padahal tim lain berhasil membawa sasaran mereka walaupun ada tiga orang jenderal yang terlanjur tewas. Akhirnya, sang ajudan-pun benar-benar tewas menyusul para jenderal.

Jenasah Pierre diseret begitu saja kearah sumur kecil, menyusul enam jenasah lainnya yang sudah terlebih dahulu dimasukan kedalam kedalam sumur itu dengan posisi kepala lebih dulu. Pierre-pun dibuang kedalam sumur. Para penculik itu masih belum puas menembakan peluru sebab menurut pengakuan Sukitman mereka kembali memberondongkan peluru kedalam sumur, seakan-akan untuk menegaskan bahwa Pierre dan para jenderal itu tidak akan bisa hidup lagi.

Sumur-pun ditutup dan ditimbun oleh bermacam-macam dedaunan untuk menghilangkan jejak. Sebuah kebiasaan yang seakan-akan meniru apa yang dilakukan kaum Bolshevik usai mengeksekusi Tsar Nicholas II Romanov dari Rusia dan keluarganya.

Didalam sumur tua yang kecil itu, terbaringlah jasad para pahlawan dan ksatria yang berjuang demi bangsa dan ideologi Pancasila hingga akhir hayat mereka. Keenam jenderal itu dulunya adalah pemuda-pemuda yang mengangkat senjata melawan penjajah selama perang kemerdekaan yang bertempur dan menjadi tentara dimasa-masa yang paling sulit dalam sejarah Republik Indonesia. Jenasah paling bawah adalah Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan yang pada masa mudanya memimpin pemuda-pemuda Sumatera mengangkut logistik dan senjata dari Semenanjung Malaya menerobos blokade kapal-kapal Inggris. Diatas jenasah D.I Pandjaitan adalah jenasah sahabat karibnya, jenderal kesayangan Soekarno, Letnan Jenderal Achmad Yani. Jenderal Yani adalah prajurit brilian yang dulunya sangat merepotkan serdadu Belanda dan juga berhasil menumpas berbagai pemberontakan besar termasuk konflik PRRI dan pemberontakan PKI di Madiun. Diatas jenasah dua sahabat ini adalah jenasah jaksa militer utama, Brigadir Jenderal Soetojo; yang berdehimpitan dengan salah-satu negosiator terbaik Angkatan Darat, Mayor Jenderal M.T Haryono, yang juga ikut serta dalam Perundingan Meja Bundar bersama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Berikutnya adalah jenasah perwira-perwira brilian lainnya, seperti ahli intelijen yang humoris, Mayor Jenderal S.Parman; dan juga Mayor Jenderal Soeprapto. Diatas semua jenasah prajurit terbaik angkatan darat itulah terbaring jenasah Pierre, sang mata-mata legendaris Dwikora.



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENYUSUN
Writer : Deleigeven
Editor : Juliet
Publisher : Deleigeven Media

Sunday, 6 August 2017

PARA PUNGWOLJU PENAKLUK GOGURYEO







KIM WONSEON DAN KIM CHEON-GWAN

Pada periode penaklukan Goguryeo ini ada dua Pungwolju yang memimpin Resimen Hwarang. Mereka adalah Kim Wonseon dan Kim Cheon-gwan. Kim Wonseon memimpin Resimen Hwarang melakukan penyerbuan ke Goguryeo, sedangkan Kim Cheon-gwan adalah Pungwolju yang memimpin Resimen Hwarang menaklukan Goguryeo. Mereka adalah senior dari Kim Gwan-chang, Hwarang legendaris dalam Perang Hwangsanbeol. Kim Wonseon dan Kim Cheon-gwan juga adalah para Pungwolju dari kelas pangeran yang terakhir dalam sejarah Hwarang. Pengganti-penggantinya, walaupun sama-sama keturunan bangsawan tinggi, tidak ada yang berasal dari golongan pangeran.


KIM WONSEON

Kim Wonseon adalah Pungwolju ke-29. Kim Wonseon lahir pada masa pemerintahan Ratu Seondeok, tahun 636. Nama Kim Wonseon sebagai Pungwolju ditemukan dalam kitab-kitab sejarah Silla seperti Samguk Sagi dan Samguk Yusa. Marga Kim Wonseon adalah “Kim” dari klan Kim Gimhae karena dia adalah salah-satu Pungwolju yang berdarah Gaya. Ayah Kim Wonseon adalah Kim Heumsun (Pungwolju ke-19) yang artinya Kim Wonseon adalah keponakan Jenderal Kim Yushin (pungwolju ke-15). Kim Wonseon adalah putra pertama Kim Heumsun dengan Lady Bodan. Ibunya adalah putri dari Kim Bori (pungwolju ke-12) dengan Lady Hudan. Saudara kandung Kim Wonseon bernama Kim Wonsu. Kim Wonseon adalah saudara-tiri Kim Ban-geul dan Kim Wonhun, yang dua-duanya juga menjadi Hwarang. Kim Ban-geul sebelumnya telah gugur dalam perang Hwangsanbeol. Kim Wonseon juga merupakan sepupu Kim Ohgi (Pungwolju ke-28) sebab ayah Kim Ohgi dan ibu Kim Wonseon adalah kakak beradik. Kim Ohgi juga gugur dalam perang.

Kim Wonseon menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 664 di-usia 28 tahun dan menjabat selama 3 tahun menggantikan Kim Ohgi. Kim Wonseon menjadi Hwarang di pertengahan masa pemerintahan Ratu Jindeok dan menjabat sebagai Pungwolju pada masa pemerintahan Raja Munmu. Tidak diketahui dengan pasti kapan Kim Wonseon menjadi seorang Hwarang tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka artinya Kim Wonseon bergabung dengan Resimen Hwarang pada tahun 650, tiga tahun setelah Pemberontakan Bidam.

Kim Wonseon diduga gugur dalam salah-satu pertempuran dengan Goguryeo sebab namanya tidak ditemukan catatan-catatan pemerintahan Silla, tahun kematiannya juga tidak diketahui. Sebagai salah-satu mantan Pungwolju dan juga putra mantan Pungwolju, terlebih lagi dia adalah keponakan Jenderal Kim Yushin dan sepupu Raja Munmu, tidak mungkin dia tidak dilibatkan sebagai pejabat pemerintah. Namanya juga tidak dicatat sebagai salah-satu simpatisan Kim Heumdol yang dieksekusi Raja Sinmun.


KIM CHEON-GWAN

Kim Cheon-gwan adalah Pungwolju ke-30. Sebelum menggantikan Kim Wonseon sebagai pungwolju, Kim Cheon-gwan bertugas sebagai wakil Pungwolju. Bersama dengan Kim Wonseon, dia memimpin Resimen Hwarang dimasa-awal pemerintahan Raja Munmu.

Kim Cheon-gwan lahir pada tahun 639, di-masa pemerintahan Ratu Seondeok. Dia lebih muda 3 tahun dari Kim Wonseon. Nama Kim Cheon-gwan sebagai Pungwolju ditemukan dalam kitab-kitab sejarah Silla. Kim Cheon-gwan murni berasal dari klan Kim Gyeongju (klan Kim asli Silla). Ayahnya adalah Kim Gun-gwan (Pungwolju ke-23) sedangkan ibunya adalah Lady Cheonwoon (putri dari Kim Soophum, perdana-menteri era Ratu Seondeok). Kim Cheon-gwan adalah cicit dari Raja Jinji (paternal) dan Pangeran Goryun (maternal). Pangeran Goryun adalah putra Raja Jinheung. Kim Cheon-gwan adalah putra tunggal Kim Gun-gwan dengan istri sahnya, Lady Cheonwoon (adik Kim Cheon-gwang, Pungwolju ke-24). Kim Cheon-gwan merupakan putra Kim Gun-gwan yang paling terkenal.

Tidak diketahui dengan pasti kapan beliau menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka kemungkinan Kim Cheon-gwan menjadi Hwarang pada tahun 653 ketika posisi pungwolju dijabat oleh Jin-gong. Masa-masa awal Kim Cheon-gwan menjadi Hwarang adalah periode transisi pemerintahan dari Ratu Jindeok ke Raja Muyeol.

Kim Cheon-gwan tetap menjabat sebagai Pungwolju setelah Goguryeo runtuh. Dia juga adalah Pungwolju yang memimpin Resimen Hwarang menyerbu Balatentara Tang. Beliau pada akhirnya gugur setelah pensiun sebagai Hwarang ketika memimpin Silla melawan pasukan Tang di Benteng Mosan. Pada pertempuran itu, Silla keluar sebagai pemenang.





AWAL MULA PERANG ANTARA SILLA DAN GOGURYEO

Kerajaan Goguryeo adalah kerajaan yang lebih besar dari Silla dan yang terbesar diantara Tiga Kerajaan. Goguryeo berusaha menaklukan Silla untuk memperluas teritorinya ke bagian selatan karena Goguryeo sangat ingin menguasai daerah selatan agar bisa mencapai wilayah Gaya yang kaya besi. Besi sangat penting bagi Goguryeo yang merupakan kerajaan perang. Selain itu mereka juga ingin memotong jalur perdagangan ke Jepang yang terhalangi oleh wilayah Silla.

Berbeda dengan Baekje, yang sejak awal berperang dengan Silla, catatan sejarah pertama tentang hubungan Silla dan Goguryeo justru bukan tentang peperangan melainkan tentang persahabatan. Tercatat dalam catatan sejarah, pada masa pemerintahan raja pertama Silla, Park Hyeokgeose, suatu negeri bernama Okjeo, yang berada dalam wilayah Goguryeo, mengirimkan utusan ke Silla pada tahun 5 SM yang lalu disambut oleh raja pertama Silla, Park Hyeokgeose, dengan menghadiahkan 20 ekor kuda pada pemimpin negeri Okjeo. Itu adalah ketika Goguryeo masih dipimpin oleh raja pertama mereka, Raja Dongmyeongseong (Jumong).

Pada awal Kerajaan Goguryeo dan Silla berdiri (dan juga Baekje), mereka tidak saling menyerbu satu sama lain sebab saat itu sepertinya rasa nasionalisme raja-raja Goguryeo sebagai penerus Gojoseon membuat mereka lebih menganggap Silla sebagai sesama kerajaan Dangun dan menganggap Kekaisaran Han dan semua pengaruh politik dari Tiongkok-lah musuh mereka. Selain itu, Silla adalah kerajaan agraris yang beradab dan cinta damai yang tidak pernah menyerbu wilayah-wilayah Goguryeo. Awalnya, Goguryeo memang lebih sibuk berperang dengan Kekaisaran Han. Mereka hampir tidak pernah menginvasi wilayah selatan semenanjung Korea, sebab saat itu Baekje hanyalah kerajaan kecil yang belum menaklukan semua wilayah di Konfederasi Mahan, sedangkan Silla baru menguasai wilayah Gyeongju. Wilayah antara Silla dan Goguryeo juga belum tersambung dan masih dipisahkan oleh wilayah-wilayah Baekje. Tapi setelah ibukota Goguryeo dipindahkan ke Pyeongyang, raja-raja Goguryeo mulai mengambil kebijakan yang ekspansif ke wilayah selatan.

Semula, Goguryeo lebih sering menggempur Baekje, tapi lama-kelamaan Silla juga mulai terancam. Kemudian, sebagai kerajaan yang lebih besar Goguryeo berusaha mendikte Silla.

Saat Goguryeo menyerang Baekje, mereka meminta Silla bergabung bersama dengan mereka. Silla sebagai kerajaan yang lebih kecil berada di posisi yang serba susah sebab mereka diserbu dari segala penjuru. Di wilayah barat ada Baekje yang selalu menyerbu Silla dan di selatan dan tenggara juga ada Konfederasi Gaya ingin menaklukan Silla. Silla juga masih harus menghadapi serbuan dari Jepang. Oleh karena itu, pada awalnya Silla mengharapkan bantuan dari Goguryeo untuk membantu mereka menghadapi dua kerajaan tadi dengan membentuk aliansi. Awalnya, aliansi dengan Goguryeo menguntungkan kedua belah pihak, tetapi lama-kelamaan, Goguryeo, yang juga mengincar wilayah Konfederasi Gaya yang kaya besi, berusaha mencaplok wilayah-wilayah Silla untuk membuka jalur langsung menuju ke Gaya. Inilah yang membuat Silla terpaksa mengakhiri aliansi dengan Goguryeo.





RAJA NAEMUL DAN PANGERAN-PANGERAN SILLA

Rivalitas antara Goguryeo dan Baekje sebagai sesama kerajaan turunan Raja Dongmyeongseong pada awalnya menguntungkan Silla karena kekuatan militer Baekje masih belum mampu mengungguli kedigdayaan militer Goguryeo. Tetapi, banyak kebijakan Goguryeo yang terlalu mengekang Silla. Goguryeo juga menuntut tanda kesetiaan dari Silla dengan mewajibkan pihak Silla untuk mengirimkan anggota keluarga kerajaan secara rutin ke Goguryeo sebagai tanda kesetiaan. Tetapi, utusan-utusan Silla itu sebenarnya adalah sandera sebagai jaminan agar tidak diserang.

Beberapa raja Silla pada masa itu sempat mengalami bagaimana rasanya menjadi sandera di Goguryeo, seperti Raja Silseong (adik Raja Naemul) dan Raja Nulji (putra Raja Naemul). Selain mereka berdua, kisah yang paling terkenal adalah putra-putra Raja Naemul lainnya, Pangeran Misaheun (dikirim sebagai sandera ke Jepang) dan Pangeran Bokho yang dikirim sebagai sandera ke Goguryeo. Raja Naemul mengirim putra-putranya sebagai sandera dan tidak pernah melihat mereka lagi hingga dia meninggal. Raja Nulji sendiri dikirim menjadi sandera oleh Raja Silseong untuk menggantikan Silseong yang dipanggil pulang saat akan diangkat menjadi raja. Raja Silseong selalu membenci kakaknya, Raja Naemul, karena sang kakak mengirimnya sebagai tawanan ke Goguryeo. Sebagai aksi balasan, saat Silseong menjadi raja, dia mengirim putra Raja Naemul (Raja Nulji) sebagai sandera ke Goguryeo.

Pangeran Bokho baru kembali dari Goguryeo setelah berhasil melarikan diri berkat kecerdikan seorang menteri Silla yang bernama Park Jesang. Park Jesang adalah seorang loyalis Silla yang paling terkenal dalam sejarah Korea, dan juga merupakan negosiator ulung. Beliau secara sukarela menawarkan diri pada Raja Nulji untuk pergi ke Goguryeo dan ke Jepang untuk membebaskan adik-adik raja. Dengan cerdik, beliau berhasil mengelabui Raja Goguryeo sehingga Pangeran Bokho diijinkan meninggalkan Goguryeo. Meskipun akhirnya mereka dikejar-kejar oleh tentara Goguryeo tapi mereka diselamatkan oleh beberapa orang Goguryeo dan juga komandan yang memimpin pengejaran itu karena rasa sayang mereka pada Pangeran Bokho yang telah lama tinggal dan bergaul dengan mereka.

Raja Goguryeo saat itu sangat marah karena merasa ditipu, tapi mereka memutuskan tidak menyerbu Silla.

Pangeran Bokho adalah kakek buyut dari Mijinbu (Pungwolju ke-2), yang artinya dia adalah leluhur dari Mishil, Misaeng (Pungwolju ke-10), dan pungwolju-pungwolju keturunan Mijinbu.





KEDIGDAYAAN MILITER GOGURYEO

Goguryeo adalah kerajaan terkuat di-antara tiga kerajaan kuno Korea. Selain wilayah yang lebih besar dan perekonomian yang relatif stabil dan makmur, kekuatan militer Goguryeo juga jauh lebih kuat. Jika Baekje adalah kerajaan maritim terkuat di Asia Timur dan kerajaannya para ilmuwan, lalu Silla adalah kerajaan para aristokrat, maka Goguryeo terkenal sebagai kerajaan perang.

Semenjak Goguryeo berdiri, kerajaan ini adalah momok yang paling menakutkan bagi Dinasti Han. Sebab, selain merupakan wilayah pertama yang mampu memerdekakan diri dari Kekaisaran Han, mereka juga adalah musuh bebuyutan yang paling rajin menyerbu Dinasti Han.

Dinasti Han adalah kekaisaran yang meruntuhkan kerajaan kuno Gojoseon yang merupakan kerajaan asli Korea. Wilayah-wilayah Gojoseon lalu dicaplok oleh Kekaisaran Han. Untunglah sebelum dinasti terakhir Gojoseon runtuh, ada kerajaan lain yang bernama Kekaisaran Buyeo Raya yang melanjutkan pemerintahan bangsa Korea di wilayah semenanjung. Namun, setelah dangun (raja) Hae Mosu dari Buyeo meninggal, Kekaisaran Han berhasil menancapkan pengaruhnya ke dalam urusan internal istana Buyeo. Saat itu, para dangun Buyeo harus menaati keputusan gubernur protektorat Han di Liaodong. Meskipun begitu, Kerajaan Buyeo ini adalah cikal-bakal Kerajaan Goguryeo karena Jumong (Raja Dongmyeongseong) adalah keturunan Dangun Hae Mosu.

Setelah Jumong mendirikan Kerajaan Goguryeo dan menggabungkan Kerajaan Buyeo Akhir ke Goguryeo dan kemudian menyerbu dan mengusir pasukan Tang dari Liaodong maka bisa dibilang Semenanjung Korea akhirnya lepas dari pengaruh Tiongkok. Goguryeo-pun menjadi kerajaan yang besar dan semakin besar. Kekuatan militer mereka mampu menyerbu wilayah-wilayah Kekaisaran Han dan juga mendikte bangsa Magal (leluhur bangsa Manchu). Luas wilayah mereka juga sangat besar dan mencakup seluruh wilayah Korea Utara modern, wilayah Manchuria, dan beberapa wilayah selatan Rusia. Hingga Kekaisaran Han runtuh, Goguryeo masih kokoh berdiri.

Kedigdayaan militer Goguryeo dalam mengalahkan serbuan balatentara Kekaisaran Sui juga menjadi indikator utama keruntuhan dinasti penerus Kekaisaran Han itu. Saat itu, Sui kerap menyerbu Goguryeo dengan pasukan yang besar karena Goguryeo menolak mengakui Sui sebagai kerajaan pelindung (artinya statusnya lebih tinggi dari Goguryeo). Sui menginvasi Goguryeo sebanyak empat kali. Invasi pertama terjadi pada 598 M dengan kekuatan 300.000 tentara, yang dikalahkan dengan mudah oleh Goguryeo, dan invasi kedua terjadi pada 612 M dengan kekuatan 1 juta tentara yang juga tidak mampu menaklukan Goguryeo. Bahkan, pada invasi kedua dari 305.000 tentara (dari 1 juta tentara) yang dipimpin langsung oleh Kaisar Yang, hanya 2.800 prajurit yang mampu kembali ke Sui. Sisanya terbunuh dalam perang atau melarikan diri. Invasi ketiga yang terjadi pada tahun 613 juga tidak sukses karena saat tentara Sui sedang berperang menaklukan Liaodong ada pemberontakan di Sui sehingga Kaisar Yangdi terpaksa mundur. Invasi keempat terjadi pada tahun 614 setelah Kaisar Yangdi berhasil memadamkan pemberontakan. Kali ini Kaisar Yangdi juga membawa ratusan ribu tentara. Pasukan Sui memang mampu menembus garis pertahanan terdepan Goguryeo namun pasukan Sui tidak mampu menyeberangi Sungai Liao karena di-gempur pasukan Goguryeo. Invasi keempat ini diakhiri dengan kesepakatan damai yang ditawarkan oleh Raja Yeong-yang dari Goguryeo kepada kaisar. Tapi, Goguryeo tetap tidak tunduk pada Sui sebab perjanjian itu adalah perjanjian yang dibuat secara elegan bagi Sui hanya agar pihak Sui tidak kehilangan kehormatan mereka walau mundur dari perang. Bagi Goguryeo, perjanjian itu sebenarnya sudah tidak perlu lagi karena Sui sudah tidak bertenaga menyerbu Goguryeo, sedangkan Goguryeo masih mampu melanjutkan perang.

Perang jangka panjang antara Sui dengan Goguryeo membuat ketersediaan pangan di Tiongkok berkurang karena harus memenuhi logistik perang, sehingga ketika berita kekalahan Balatentara Sui dalam invasi-invasi ke Goguryeo mewarnai perbincangan seluruh rakyat Sui, kepercayaan pada kaisar langsung runtuh dan mengakibatkan berbagai pemberontakan yang di-dahului oleh pemberontakan petani. Salah-satu pangeran vasal (warlord atau raja suatu wilayah), yang bernama Pangeran Tang, mengalami kekalahan saat berusaha memadamkan pemberontakan. Pangeran Tang akhirnya berhasil dibujuk oleh bawahannya dan juga seorang putranya yang bernama Li Shimin (Kaisar Taizong) untuk memberontak pada kaisar ketimbang menerima hukuman dari Kaisar Yangdi. Pangeran Tang lalu memberontak dan berhasil mendirikan kekaisaran baru yang dinamakan “Kekaisaran Tang”. Pangeran Tang lalu diangkat menjadi Kaisar dengan gelar “Kaisar Gaozu”. Beliau adalah kakek Kaisar Gaozong.

Ini artinya, hanya kurang dari 5 tahun setelah invasi terakhir mereka ke Goguryeo, Kekaisaran Sui pun runtuh.

Selain mampu mengusir balatentara Kekaisaran Han dan Sui, Goguryeo juga mampu mengalahkan balatentara Kekaisaran Tang bahkan sebelum sekutu mereka, Baekje diruntuhkan.

Semua fakta itu menunjukan betapa kuatnya balatentara Goguryeo. Saking kuatnya militer Goguryeo, sekelompok sejarawan belum mau menerima teori bahwa serbuan koalisi Silla dan Tang adalah penyebab utama keruntuhan kerajaan ini dan menganggap penyebab utama keruntuhan Goguryeo masih misteri.





NEGOSIASI RAJA MUYEOL DI TIONGKOK

Raja Muyeol telah berada di Tiongkok sejak masa dinasti Sui berdiri sebab dia telah tinggal disana sebagai sandera sejak masih kecil.

Invasi Sui ke Goguryeo semuanya terjadi ketika Silla dipimpin oleh Raja Jinpyeong (kakek Raja Muyeol). Muyeol baru berumur 8 tahun saat invasi kedua Sui ke Goguryeo. Muyeol yang tinggal dan besar di ibukota Sui kemungkinan sudah ada disana saat invasi Sui yang kedua atau ketiga hingga yang keempat ke Goguryeo. Setelah Sui runtuh dan digantikan oleh Dinasti Tang, Muyeol kembali dikirim dan tinggal di ibukota Dinasti Tang dan menjadi penghubung antara pihak Silla dan istana Tang. Pada masa-masa inilah Muyeol bertemu dan menjalin persahabatan dengan calon Kaisar Gaozong. Ketika itu, Muyeol masih menjadi seorang pangeran Silla yang bernama Pangeran Chunchu, dan Gaozong juga masih dikenal dengan nama Pangeran Jin. Sebagai pangeran yang lebih tua, Muyeol banyak membantu Gaozong terutama bagaimana Gaozong menempatkan diri ditengah-tengah pertikaian kakak-kakaknya. 

Baik Pangeran Chunchu maupun Pangeran Jin tidak menyangka akan duduk di atas tahta kerajaan mereka masing-masing sebagai Raja Taejong Muyeol dan Kaisar Gaozong, sebab walaupun dia adalah cucu raja tapi kasta Muyeol saat itu tidak memungkinkan baginya untuk bisa menjadi raja apalagi mengacu pada fakta bahwa kakeknya (Raja Jinji) diturunkan dari tahta melalui kudeta. Sedangkan, Gaozong saat itu hanyalah satu dari sekian banyak anak Kaisar Taizong, dan tidak difavoritkan menjadi Kaisar. Ketika itu, kedua pangeran ini bukanlah putra-mahkota. Intrik-intrik politik istana membuat dua pangeran ini akhirnya ditunjuk sebagai putra-mahkota.

Saat Pangeran Jin diangkat sebagai putra-mahkota pada tahun 643, Pangeran Chunchu masih sibuk membantu Silla melawan serbuan Baekje. Satu tahun sebelumnya, Pangeran Chunchu baru saja kehilangan putri kesayangannya, Putri Gotaso, yang terbunuh dalam dalah-satu serbuan mendadak Baekje. Banyak versi mengenai kematian Putri Gotaso, ada menyebutkan sang putri dibunuh oleh suaminya daripada tertangkap musuh, ada versi yang menyebutkan sang putri dan suaminya dibunuh oleh tentara Baekje saat benteng mereka berhasil diterobos, dan ada juga yang berpendapat bahwa sang putri dan suaminya ditawan dan dibawa ke istana Sabi dan baru dibunuh di istana Baekje itu. Tapi pastinya, pihak Baekje saat itu tidak mengembalikan jenasah Putri Gotaso sesuai dengan permintaan Silla. Malah, atas perintah Raja Uija mereka memenggal kepala Putri Gotaso dan suaminya lalu dipamerkan ke khalayak umum. Kematian tragis putrinya inilah yang menjadi motivasi utama Pangeran Chunchu untuk menghancurkan Baekje. Keadaan dan keinginan Muyeol ini diketahui oleh Pangeran Jin, dan mereka sempat bertemu saat Pangeran Jin telah menjadi putra-mahkota ketika Pangeran Chunchu berkunjung ke Chang-an (ibukota Dinasti Tang) sebagai utusan Silla (tahun 647) untuk meminta bantuan Tang agar menarik dukungan dari Baekje dan juga menekan Goguryeo, sebab Silla khawatir tidak mampu menahan serbuan dua kerajaan itu karena baru saja dihadapkan pada pemberontakan besar (pemberontakan Bidam).

Pangeran Jin yang lebih muda dari Pangeran Chunchu lebih dulu naik tahta pada 649 M dengan gelar Kaisar Gaozong, sedangkan Pangeran Chunchu baru naik tahta 5 tahun kemudian dengan gelar Raja Taejong Muyeol. 

Begitu naik tahta, Muyeol langsung meminta bantuan pada Gaozong untuk membantu Silla menaklukan Semenanjung Korea dengan target pertama mereka, Goguryeo.





PENYERBUAN PERTAMA KE GOGURYEO

Kaisar Gaozong sangat berambisi menaklukan Goguryeo sebab sepanjang pemerintahan kakeknya (Kaisar Gaozu, pendiri Kekaisaran Tang) dan ayahnya (Kaisar Taizong) yang kerap menggempur Goguryeo, Goguryeo tidak pernah berhasil ditaklukan. Begitu Gaozong naik tahta, dia langsung menyetujui permintaan sahabatnya untuk mengirimkan tentara dalam perang Penyatuan Tiga Kerajaan Korea.

Meskipun Baekje adalah kerajaan yang pertama kali runtuh namun penyerbuan pertama dalam perang penaklukan Tiga Kerajaan di Semenanjung Korea bukan ke Baekje tapi ke Goguryeo.

Pada tahun 655, Goguryeo dan Baekje membentuk koalisi dan menyerbu Silla (1 tahun setelah Raja Muyeol naik tahta). Kaisar Gaozong lalu mengirimkan pasukan untuk menyerbu Goguryeo sebagai respon karena Goguryeo mengganggu sekutu Tang. Serbuan pertama ke Goguryeo ini tidak mudah. Saat itu, Tang baru saja menghadapi berbagai pemberontakan dari suku Khaganate Turkik Barat yang sebelumnya adalah wilayah vasal Tang. Tang hanya mampu mengerahkan 20.000 pasukan dibawah pimpinan Jenderal Su Dinfang untuk melawan tentara bangsa Turk yang berjumlah 100.000 orang. Perang yang di mulai pada musim semi 657 M ini dimenangkan oleh Tang dan menjadi salah-satu keberhasilan paling gemilang militer Tang karena mereka harus mencapai kemanangan itu dengan susah-payah.

Usai mengalahkan bangsa Turk, balatentara Tang pimpinan Jenderal Su Dinfang langsung dikirim ke Goguryeo di-tahun berikutnya (658) untuk menyerbu wilayah barat Goguryeo. Maksud dari serbuan ini adalah agar Goguryeo dikepung dari dua arah, arah barat oleh Tang dan dari selatan oleh Silla. Pungwolju pada saat itu adalah Kim Heumdol. Bersama dengan wakilnya, Kim Ohgi, dia memimpin Resimen Hwarang dalam perang ini. 

Tapi, Goguryeo masih terlalu kuat bagi Tang dan Silla saat itu sebab pasukan Silla kesulitan mencapai wilayah Goguryeo karena wilayah Silla dan Goguryeo masih bersinggungan dengan wilayah Baekje sehingga prajurit Silla harus mengalahkan pasukan Baekje lebih dulu baru mereka bisa menyerbu wilayah Goguryeo. Goguryeo dengan mudahnya menghalau pasukan Tang dan Silla.

Serbuan pertama ini pun gagal total.





PENYERBUAN KEDUA KE GOGURYEO

Usai kekalahan melawan Goguryeo pada tahun 658, Silla dan pihak Tang segera mempersiapkan pasukan untuk menyerbu Baekje. Gaozong pun mengirim 130.000 prajurit dibawah pimpinan Jenderal Su Dinfang. Raja Muyeol juga telah mempersiapkan pasukan Silla, mulai dari pasukan infanteri hingga pasukan kaveleri dan pasukan Hwarang. Pungwolju Kim Heumdol dan Kim Ohgi mempersiapkan para Hwarang sebaik mungkin. Ketika itu, Kim Wonseon berusia 24 tahun sedangkan Kim Cheon-gwan berusia 22 tahun. Bersama dengan para Hwarang legendaris seperti Kim Gwan-chang (anak angkat Kim Yushin), Kim Ban-geul (saudara Kim Wonseon), Kim Munwon (putra ke-3 Raja Muyeol), Jangchung-nang, dan Parang, mereka semua bergabung dengan pasukan Hwarang yang diterjunkan dalam perang melawan Baekje ini.

Pasukan koalisi ini berangkat menuju Baekje pada tahun 660. Pasukan Silla dibawah pimpinan Jenderal Kim Yushin lalu berhadap-hadapan dengan pasukan Baekje yang dipimpin oleh Jenderal Gyebaek. Perang Hwangsanbeol yang terkenal itupun dimulai.

Pasukan Baekje bertempur dengan gagah berani sehingga menyebabkan banyak tentara Silla, dan juga tentara Hwarang terbunuh. Jangchung-nang, Parang, dan Kim Gwan-chang adalah beberapa Hwarang yang terbunuh di Pertempuran Hwangsanbeol. Perang Hwangsanbeol juga menjadi perang terakhir bagi adik Kim Wonseon, Kim Ban-geul, yang tewas saat berusaha membunuh Jenderal Gyebaek.

Kim Wonseon dan Kim Cheon-gwan bersama Kim Heumdol dan Kim Ohgi beruntung tidak terbunuh dalam perang ini sebab banyak sekali teman-teman dan nangdo mereka yang gugur. Meskipun mampu membuat pasukan koalisi Silla-Tang kewalahan tapi Jenderal Gyebaek harus mengakui keunggulan pasukan koalisi ini. Sang jenderal dan 5.000 prajuritnya gugur dalam perang legendaris ini. Usai kemenangan di Hwangsanbeol, gabungan prajurit Silla dan Tang berbaris menuju ibukota Baekje. Baekje yang telah berdiri selama 678 tahun akhirnya runtuh pada 18 Juli 660 menyusul penyerahan diri Raja Uija dan putra-mahkotanya.

Runtuhnya Kerajaan Baekje ini sangat mengejutkan seluruh penjuru Goguryeo dan juga pihak istana Yamato (Jepang).

Usai menaklukan Baekje, Silla-pun mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo. Sayangnya, Raja Muyeol meninggal pada Juni 661 sebelum penyerbuan ke Goguryeo dimulai. Raja Muyeol digantikan oleh putra-mahkotanya, Pangeran Beopmin, yang diangkat sebagai Raja Munmu. Sepeninggal Raja Muyeol, Kim Heumdol dan Kim Ohgi yang saat itu masih menjabat sebagai Pungwolju dan Wakil Pungwolju melanjutkan perang dibawah pimpinan Jenderal Kim Yushin.

Salah-satu perintah pertama Raja Munmu sebagai raja Silla adalah menaklukan Goguryeo. Tang, yang memang ingin menaklukan Goguryeo sejak lama, langsung mengirim pasukan menuju Goguryeo. Kaisar Gaozong mengerahkan 350.000 prajurit, jumlah yang lebih ketimbang saat mereka membantu Silla menaklukan Baekje. Balatentara Tang ini masih dipercayakan untuk dipimpin oleh Jenderal Su Dinfang. Tang sangat yakin pada kekuatan pasukannya dan hanya meminta Silla untuk hanya membantu menyuplai logistik pasukan Tang tanpa perlu mengirim pasukan. Walaupun Raja Munmu dan Jenderal Kim Yushin nampaknya kurang setuju pada keinginan Tang ini tapi mereka menghormatinya dan tetap mengirimkan bantuan logistik.

Pasukan Tang tiba di Goguryeo pada 661, hampir bersamaan dengan sejumlah tentara Silla dan sejumlah kecil pasukan Hwarang yang bertugas untuk mengantarkan logistik perang. Pasukan Tang semakin percaya diri setelah Su Dinfang berhasil menaklukan pertahanan terdepan Goguryeo dan akhirnya berhasil mengepung Pyeongyang pada musim gugur 661. 

Tapi, pihak Tang terlalu meremehkan kekuatan Goguryeo. Ibukota Goguryeo itu tidak juga bisa ditaklukan padahal sudah dikepung selama berbulan-bulan, sehingga akhirnya Raja Munmu memerintahkan pengerahan pasukan bantuan pada awal tahun 662. Kemungkinan pasukan Hwarang yang dikirim ke Goguryeo saat itu dipimpin oleh Kim Heumdol dan Kim Ohgi atau salah-satu dari mereka karena Pungwolju dan/atau wakil Pungwolju pasti diturunkan dalam perang berskala besar. Mungkin salah-satu dari Kim Heumdol dan Kim Ohgi tinggal di Seorabeol untuk memimpin hwarang-hwarang lainnya yang bertugas di Silla. Para Hwarang dari keluarga Kim Yushin juga diturunkan dalam perang ini, salah-satunya adalah Kim Wonseon. Saat itu Kim Wonseon berusia 26 tahun. Kim Cheon-gwan juga sangat mungkin bergabung dalam pasukan yang menyerbu Goguryeo pada tahun itu, sebab Kim Wonseon dan Kim Cheon-gwan tidak mungkin diangkat menjadi Pungwolju yang bertanggung-jawab memimpin Resimen Hwarang menggempur Goguryeo jika tidak memiliki pengalaman bertempur dengan Goguryeo pada masa itu.

Mungkin bantuan yang diberikan oleh Silla sudah sangat terlambat sebab musim dingin telah tiba dan pasukan Silla harus melalui medan yang berat. Padahal Kim Yushin sendiri yang mengantarkan logistik tersebut. Kim Yushin tampaknya memiliki hubungan yang sangat baik dengan Jenderal Su Dinfang. Mereka seperti memiliki keterkaitan batin. Saat Kim Yushin dan pasukannya sudah masuk ke wilayah Goguryeo, Kim Yushin mengirimkan pesan pada Jenderal Su Dinfang tentang apakah mereka diijinkan bergabung dengan pasukan Tang. Jenderal Su Dinfang membalas pesan Kim Yushin itu dengan lukisan yang dilukisnya sendiri. Itu adalah lukisan seekor anak sapi dan seekor burung phonix muda. Kim Yushin lalu meminta saran pada Biksu Wonhyo yang juga sedang bersama dengan pasukannya untuk mengartikan pesan dalam lukisan itu.

Arti lukisan itu adalah: “kedua hewan itu adalah hewan-hewan muda yang kehilangan induknya. Hewan-hewan itu adalah Silla dan Tang”. Arti harafiahnya adalah pasukan Silla sama seperti Tang, jauh dari induknya (tanah-air), dan posisi pasukan Silla sedang terancam sehingga lebih baik kembali ke Silla.

Mendengar hal itu Kim Yushin langsung menarik mundur pasukannya, sayangnya saat mereka sedang menyeberangi sungai pasukan Goguryeo menyerang dari belakang. Banyak prajurit Silla tewas. Walau terancam bahaya dan harus melalui banyak kendala, Yushin tetap berusaha membawa logistik itu menembus blokade pasukan Goguryeo. Akhirnya, logistik itu bisa sampai ke pasukan Tang. Tapi itu sudah sangat terlambat. Saat itu, pasukan Tang tidak kunjung mampu membuat gerak maju apalagi menembus benteng Pyeongyang, dan ini membuat mental pasukan Tang merosot. Pertempuran semakin berat bagi Tang dan Silla ketika pasukan Goguryeo dipimpin langsung oleh orang yang paling berpengaruh di Goguryeo saat itu, Yeon Gaeseomun.

Yeon Gaeseomun adalah diktator Goguryeo yang membunuh Raja Yeongyang dan kemudian menjadi pemimpin de facto Kerajaan Goguryeo, sedangkan Raja Bojang hanya berperan sebagai kepala negara saja sebab seluruh segi pemerintahan dikuasai oleh Yeon Gaeseomun dan keluarganya. Meskipun merupakan seorang diktator yang cukup kejam pada lawan-lawannya tapi Yeon Gaeseomun adalah seorang birokrat dan komandan militer yang handal.

Yeon Gaeseomun berhasil mengalahkan pasukan Tang di Benteng Sasu. Pada pertempuran Sasu ini salah satu jenderal penting Tang, Pang Xiaotai, berhasil dibunuh oleh tentara Goguryeo. Kekalahan di Sasu dan kematian Jenderal Pang Xiaotai membuat Jenderal Su Dinfang terpaksa menarik mundur pasukan Tang dari Pyeongyang pada Februari 662. Sebenarnya, penyebab lain penarikan pasukan Tang adalah karena cuaca buruk. Mereka tidak menyangka akan berperang begitu lama dengan Goguryeo dan harus mengepung Pyeongyang selama berbulan-bulan. Kemalangan masih terus menimpa pasukan Tang karena cuaca ekstrim juga menewaskan banyak prajurit dari sisa-sisa pasukannya dalam perjalanan pulang ke Tiongkok. Jenderal Su Dinfang tidak pernah kembali lagi ke Semenanjung Korea setelah peristiwa ini sebab beliau meninggal hanya setahun sebelum penyerbuan ketiga tahun 668.

Goguryeo yang merupakan kerajaan yang lebih besar daripada Silla dan Baekje, dan bahkan lebih besar dari gabungan wilayah Silla (dan Gaya) dengan Baekje, belum juga bisa dikalahkan. Usai kekalahan di tahun 662, Kim Heumdol pensiun sebagai pungwolju ditahun itu diusia 35 tahun dan langsung ditarik bergabung di militer oleh Kim Yushin. Jabatan sebagai pungwolju-pun beralih kepada Kim Ohgi yang saat itu berusia 29 tahun, sedangkan jabatan Wakil Pungwolju diberikan pada Kim Wonseon. Kim Ohgi dan Kim Wonseon langsung memimpin Resimen Hwarang melawan tiga musuh sekaligus, yaitu Goguryeo, pasukan restorasi Baekje, dan armada Jepang yang telah membentuk pasukan maritim yang sangat besar. Tak beberapa lama kemudian, meletuslah Perang Baekgang.

Penarikan pasukan Tang dari Goguryeo sebenarnya hanya bersifat sementara sebab Kaisar Gaozong berencana menyerbu Goguryeo pada tahun berikutnya. Tapi, pada pertengahan tahun 663 Kekaisaran Tibet menyerbu wilayah vasal Tang di Tuyuhun. Kaisar Gaozong segera mengirim Su Dinfang untuk menghalau pasukan Tibet. Kekalahan Tang di Goguryeo dan penyerbuan tentara Tibet dimanfaatkan oleh gabungan pasukan restorasi Baekje dan Jepang untuk merebut kembali wilayah-wilayah lama Baekje yang dikuasai oleh pasukan pemerintahan proktetorat Tang. Ketika itu, Pungwolju Kim Ohgi hanya memimpin Resimen Hwarang selama 2 tahun dan pensiun satu tahun setelah mengalahkan pasukan restorasi Baekje yaitu sekitar tahun 664 (kemungkinan besar dia terbunuh dalam salah satu pertempuran saat itu). Pasukan Tang tidak dikirimkan lagi ke wilayah Goguryeo hingga kematian Jenderal Su Dinfang pada tahun 667. Ini membuat rencana penyerbuan lanjutan ke Goguryeo tidak bisa dilaksanakan sehingga membuat penyerbuan kedua ini secara keseluruhan gagal total.





PENAKLUKAN GOGURYEO

Kim Ohgi diduga terbunuh pada salah-satu pertempuran melawan Goguryeo pada tahun 664. Jika benar dia terbunuh di medan perang maka ini membuat Kim Ohgi menjadi Pungwolju ke-5 yang gugur dalam tugas. Beliau lalu digantikan oleh Kim Wonseon yang sebelumnya menjabat sebagai wakil Pungwolju.

Selama tiga tahun masa kepemimpinan Kim Wonseon, tidak ada perang besar yang terjadi sebelum penyerbuan ke Goguryeo pada tahun 667. Tapi, dalam tiga tahun itu Kim Wonseon dan Resimen Hwarang bergelut dalam berbagai pertempuran melawan tentara Goguryeo. Tentara Silla maju mundur melawan pasukan Goguryeo, sedangkan para Hwarang banyak yang dilibatkan dalam kegiatan mata-mata. 

Silla hanya sibuk menghadapi serbuan-serbuan kecil dari bekas-bekas wilayah Baekje yang menolak untuk takluk pada pendudukan pemerintahan proktetorat Tang di Sabi. Tang juga seakan tidak mau lagi melancarkan serbuan ke Goguryeo karena kekalahan mereka sebelumnya meruntuhkan kepercayaan diri mereka menghadapi balatentara Goguryeo, belum lagi hasil dari perang dengan Kekaisaran Tibet yang tidak jelas siapakah sesungguhnya yang memenangkan perang. Tapi, dalam periode ini setidaknya ada dua berita yang melegakan bagi Silla. Pertama adalah nyali Kekaisaran Jepang sudah begitu ciut untuk sekedar berangan-angan menyerbu wilayah Silla, padahal setengah abad lalu mereka mampu menyusup ke wilayah Silla dan membunuh seorang pangeran utama Silla, Seok Uro. Berita kedua yang bukan hanya melegakan bagi Silla melainkan juga berita gembira bagi seluruh penjuru Silla dan istana Tang adalah kematian Yeon Gaeseomun.

Yeon Gaeseomun, diktator Goguryeo, meninggal pada tahun 666 diusia lanjut. Kematiannya menimbulkan kegelisahan besar diseluruh penjuru Goguryeo dan membuat istana Goguryeo dalam kondisi yang mencekam. Raja Bojang sendiri kebingungan menghadapi situasi ini karena untuk pertama kalinya dia memerintah tanpa campur tangan Yeon Gaeseomun. Masalah terbesar saat itu bukanlah serbuan dari luar melainkan siapakah yang akan mewarisi kursi kediktatoran Yeon Gaeseomun.

Kenyataan yang terjadi di internal pemerintahan Goguryeo pasca kematian Yeon Gaeseomun sebenarnya cukup mengherankan sebab sifat patriot dan nasionalisme Yeon Gaeseomun tidak diwarisi oleh keluarganya. Persoalan mengenai pewaris memang hal biasa yang menjadi masalah konstan sepanjang sejarah masih terus ditulis, tapi jika putra dan saudara si pemimpin membelot dan mendukung musuh-musuhnya bahkan musuh negara mereka hanya kurang dari satu tahun setelah kematian pemimpin mereka itu maka tentunya menjadi perkara yang sangat berat, termasuk bagi kerajaan sebesar dan sekuat Goguryeo. Pasca kematian Yeon Gaeseomun, hanya dalam kurun waktu satu tahun ada beberapa kali pemberontakan yang terjadi. Tapi, semua itu bukan apa-apa dibandingkan pembelotan adik Yeon Gaeseomun ke Silla dan pengkhianatan putra sulungnya yang merapat ke pihak Tang. Tujuan mereka bukan lagi kursi kediktatoran Yeon Gaeseomun melainkan tahta kerajaan Goguryeo.

Situasi ini sangat menguntungkan bagi Silla dan Tang. Terlebih lagi kenyataan bahwa para bangsawan Goguryeo terus bertikai dan pasukan-pasukan Goguryeo telah tersebar ke seluruh penjuru tanpa komando yang pasti.

Balatentara Tang pun disiapkan dalam jumlah besar dan dikirim ke Goguryeo. Pihak Silla sepakat untuk menyediakan logistik perang bagi kedua pasukan. Kali ini Tang tidak mau terlalu percaya diri dan ceroboh berperang sendiri. Belajar dari keangkuhan yang menyebabkan kegagalan dimasa lalu, Tang menyetujui permintaan Raja Munmu dan Jenderal Kim Yushin untuk melibatkan pasukan Silla secara frontal dalam perang ini. Pasukan Silla pun disiapkan, dan kali ini pasukan Hwarang juga dilibatkan secara maksimal. Sama seperti perang-perang sebelumnya, pada perang kali ini adik-adik Raja Munmu juga terjun ke medan perang. 

Kim Wonseon tidak lagi memimpin Resimen Hwarang sebagai bagian dari Balatentara Silla yang dikirim oleh Raja Munmu untuk menaklukkan Goguryeo pada tahun 667 sebab, setelah mengumumkan perang dengan Goguryeo, Raja Munmu mengganti Pungwolju Kim Wonseon dengan Kim Cheon-gwan. Kim Cheon-gwan pun resmi memimpin Resimen Hwarang saat dia berusia 28 tahun. Cheon-gwan mengambil tongkat estafet kepemimpinan Resimen Hwarang dari Kim Wonseon dan bergabung dengan Pasukan Utama Kerajaan untuk melanjutkan penyerbuan ke Goguryeo. Balatentara kedua kerajaan ini berangkat dan mencapai wilayah Goguryeo pada tahun 667.

Jika dulu Yeon Gaeseomun berperang mati-matian mempertahankan serbuan koalisi Silla-Tang, kali ini justru putra-sulungnya membantu pasukan Tang menyerbu negerinya sendiri dari barat, sedangkan adik Yeon Gaeseomun berada dibarisan pasukan Silla untuk menggempur Goguryeo dari arah selatan. Tapi, Goguryeo bukanlah kerajaan yang mudah untuk ditaklukkan. Koalisi Silla dan Pasukan Tang harus bergelut dalam pertempuran intens melawan Balatentara Goguryeo. 

Pertempuran antara pasukan koalisi Silla-Tang dan Goguryeo pecah di dua arah. Meskipun sudah dikepung dari dua arah tapi Goguryeo masih terlalu kuat. Berbeda dengan Baekje yang berhasil ditaklukan sekali serangan dalam hitungan minggu, Goguryeo yang sebelumnya sudah dua kali diserang dengan pasukan besar rupanya mampu bertahan pada invasi ketiga ini, dan bahkan lebih lama dari sebelumnya.

Pasukan Hwarang bertempur mati-matian dalam perang ini dan banyak yang gugur. Jumlah nangdo yang gugur juga tidak terhitung jumlahnya. Hampir satu tahun berperang, mereka belum juga berhasil menaklukan Goguryeo.

Kedua pasukan sangat frustasi, kecuali pasukan Hwarang. Pihak Tang dan pihak Goguryeo justru ngeri melihat cara para Hwarang berperang. Mereka mampu berduel satu lawan satu, mengkoordinasikan pasukan dan berperang secara berkelompok, merangkai artileri perang, dan cara mereka memainkan pedang dan berkuda sangat mengagumkan. Tapi sebenarnya wajah para Hwarang-lah yang terlihat menakutkan. Pasukan Tang dan Goguryeo yang masing-masing sudah sangat frustasi itu harus melihat sepasukan pria cantik bak pasukan peri yang berdandan lengkap dengan berbagai perhiasan dan bertempur dengan ganas.

Kebuntuan mulai bisa dipecahkan saat pasukan utama Goguryeo berhasil dipecah menjadi beberapa kelompok dan dipisahkan dari induk pasukan. Jalur komunikasi antar pasukan diputus dan kelompok-kelompok pasukan ini disudutkan dan ditaklukan satu persatu. Akhirnya pada tahun 668 mereka berhasil mencapai ibukota Goguryeo, Pyeongyang.

Jika sebelumnya mereka bertempur di dua arah maka kedua pasukan besar ini berkumpul di Pyeongyang dan mengepung kota itu. Menaklukan Pyeongyang tidak semudah menaklukan Sabi. Sabi ditaklukan dalam hitungan hari, tapi Pyeongyang harus dikepung berbulan-bulan.

Akhirnya, setelah kekurangan persediaan makanan didalam benteng, Pyeongyang pun berhasil ditaklukan pada tahun 668. Penaklukan Pyeongyang membuat Kerajaan Goguryeo yang telah berdiri selama lebih dari 670 tahun harus resmi berakhir.





AKHIR KISAH
KIM WONSEON DAN KIM CHEON-GWANG

Pertempuran-pertempuran dalam perang penyatuan Tiga Kerajaan melibatkan tentara Tang dan pasukan Jepang sehingga mereka melihat langsung bagaimana cara para Hwarang berperang. Dimata pasukan musuh, para Hwarang terlihat sangat menakutkan saat berperang sebab mereka memiliki kemampuan dan keberanian yang tinggi dan tidak pernah mundur.

Kisah-kisah para Hwarang yang disisipi mitologi juga sampai ke negeri Tiongkok dan seluruh penjuru Jepang yang saat itu meyakini bahwa mereka berperang dengan “Tentara Langit”, sebab meskipun pasukan Tang adalah pasukan yang sangat kuat namun yang menggentarkan hati musuh justru pasukan Hwarang karena hanya para Hwarang yang mendandani wajah mereka layaknya wanita saat mereka berperang. Dandanan itu justru terlihat sangat menakutkan sebab dalam perang yang begitu keras dimana kekalutan dan kecemasan menghantui sebagian besar prajurit, wajah cantik para Hwarang dan gaya bertarung mereka yang unik membuat musuh mengira bahwa mereka adalah pasukan dewa.

Tentunya perang-perang ini melambungkan kedigdayaan pasukan Silla dan Resimen Hwarang. Tapi, banyak sekali prajurit, jenderal, dan ksatria Silla yang gugur dalam perang melawan Goguryeo termasuk Kim Ohgi (Pungwolju ke-28) dan Kim Wonseon.

Setelah perang penyatuan Korea usai dan Silla keluar sebagai pemenang, muncul masalah baru, yaitu dominasi pasukan Tang. Kemenangan Silla atas Baekje dan Goguryeo atas bantuan tentara Tang rupanya dimanfaatkan oleh pihak Tang untuk mencampuri urusan dalam negeri Silla. Mulanya, pihak Tang membuat sebuah pemerintahan protektorat yang berpusat di bekas istana Goguryeo di kota Pyeongyang pada tahun 668, tepat setelah keruntuhan Goguryeo. Melalui pemerintahan proktetorat ini, Tang mengambil alih kontrol atas bekas wilayah Goguryeo dan juga Baekje yang telah menjadi milik Silla dengan membentuk perwakilan protektorat di istana Sabi (bekas istana Baekje). Silla menyampaikan protes namun Kaisar Tang justru memerintahkan pemerintahan proktetorat itu untuk juga mengatur wilayah utama Silla. Hal ini membuat seluruh pejabat Silla murka sehingga perang antara Silla dan Tang pun meletus saat para Hwarang dibawah pimpinan Kim Cheon-gwan menyerbu salah satu basis Balatentara Tang di Istana Sabi.

Awalnya Silla pasukan Silla kewalahan dan hampir kalah. Tentara Tang yang memukul mundur pasukan Silla akhirnya berhasil merebut kembali Istana Sabi. Tapi para Hwarang menyerbu bekas wilayah Baekje itu berhasil kembali menguasai istana Sabi. Para Hwarang berhasil mengusir bala-tentara Tang dari seluruh wilayah Silla dan bekas wilayah Baekje. Para hwarang dibawah pimpinan Kim Cheon-gwan bergabung dengan Pasukan Silla menyerbu Pyeongyang seperti saat mereka menyerbu kota itu ketika akan menaklukkan kembali wilayah Goguryeo yang dicaplok oleh Tiongkok. Serbuan Silla ini membuat Tang kewalahan karena mereka kalah diberbagai pertempuran di dekat Pyeongyang dan juga pasukan Silla sudah mengepung Pyeongyang. Pihak Tang berusaha mempertahankan pemerintahan proktetorat-nya dengan berbagai cara, termasuk negosiasi. Kim Cheon-gwan dan Resimen Hwarang tidak bisa menerima kata menyerah. Bukannya gentar pada Balatentara Tang, Kim Cheon-gwan justru berperang dengan buas sehingga membuat ngeri pasukan musuh. 

Pertempuran sengit antara Silla dan Tang berlangsung hingga tahun 674. Perang dihentikan pada tahun 674 dan Kim Cheon-gwan lalu pensiun sebagai pungwolju, Cheon-gwan pensiun di-usia 35 tahun dan digantikan oleh Kim Heum-on.

Selepas pensiun, Cheon-gwan bergabung langsung dalam militer. Pengalamannya sangat dibutuhkan oleh Raja Munmu sebab Kim Cheon-gwan berpengalaman dalam perang penyatuan Baekje, Goguryeo, dan perang perang dalam periode konfrontasi dengan Tang. Pada tahun 675, Munmu memberikan perintah untuk menyerbu pasukan Tang. Pasukan Utama Silla bersama dengan Resimen Hwarang diterjunkan dalam perang ini. Kim Cheon-gwan menjadi salah-satu komandan pasukan Silla. Dengan penuh keberanian, para hwarang menghadapi koalisi Pasukan Tang dan Bangsa Mohe. 

Pasukan Silla terdesak hingga harus bertahan di Benteng Mosan. Pertempuran di Benteng Mosan ini berjalan alot, tidak ada pihak yang mau mengalah dan mundur dalam pertempuran ini, baik itu pihak pasukan Tang, atau Mohe, atau pasukan Silla, apalagi para Hwarang. Rupanya saat itu balatentara Tang sudah bukan lagi lawan yang setara dengan prajurit Silla dan pasukan Hwarang sebab Tang tidak berhasil mendikte Semenanjung Korea dengan menggunakan kekuatan militer. Militansi pasukan Silla berhasil mengalahkan pasukan koalisi Tang dan Mohe. Sisa-sisa pasukan Tang dan Mohe terpaksa melarikan diri.

Kekalahan ini sangat memalukan bagi Tang sampai-sampai mereka menulis dalam laporan pemerintahannya bahwa perang ini dimenangkan oleh pasukan Tang, tapi catatan Silla menuliskan yang sebaliknya. Kaisar Gaozong menarik mundur seluruh pasukannya seluruh wilayah di Semenanjung Korea dan membiarkan pasukan Silla menguasai seluruh wilayah Semenanjung Korea.Sayangnya, kemenangan ini menimbulkan banyak korban jiwa dikalangan Hwarang dan juga para komandan muda termasuk Kim Cheon-gwan. Kim Cheon-gwan dipercaya turut gugur dalam pertempuran di Benteng Mosan. Namanya tidak ditemukan dalam catatan sejarah setelah periode ini dan juga tidak dicatat sebagai tokoh yang meninggal saat pemberontakan Heumdol padahal ayahnya, Kim Gun-gwan, adalah Sangdaedung (perdana-menteri) saat itu dan turut dieksekusi mati oleh Raja Sinmun, tapi nama Kim Cheon-gwan tetap tidak ditemukan dalam berbagai catatan setelah perang di Benteng Mosan. Tahun kematiannya juga tidak diketahui.





AKHIR KISAH KERAJAAN GOGURYEO

Ibukota Pyeongyang akhirnya harus takluk pada tahun 668 dan Raja Bojang ditawan. Beliau menjadi raja terakhir Goguryeo. Wilayah ini tidak pernah bangkit melawan Silla selama ratusan tahun hingga ketika Gung Ye mendirikan Hu-Goguryeo (Kerajaan Taebong), dan bersama dengan Taejo Wang Geon mulai menyerbu Silla.

Kekalahan Goguryeo ini sangat menyakitkan bagi rakyatnya. Sebanyak lebih dari 200.000 penduduk dan bangsawan dibawa ke Chang’an sebagai tawanan perang. Istana-istana mereka dihancurkan. Kemalangan bukan saja menimpa Raja Bojang tapi juga menimpa Pangeran Buyeo Pung, putra Raja Uija yang melarikan diri dan meminta perlindungan ke Goguryeo pasca kekalahan koalisi Baekje-Jepang di Perang Baekgang dan perang di Benteng Juryu. Setelah kejatuhan Goguryeo, Pangeran Buyeo Pung ditangkap oleh pasukan Tang dan diasingkan ke wilayah utara Tiongkok. Kehidupannya setelah itu tidak diketahui lagi.

Raja Bojang ditawan dan dibawa ke istana Tang di Chang’an. Kaisar Gaozong lalu mengampuninya dan mengangkat Bojang sebagai salah-satu pejabat di wilayah administratif Goguryeo. Tapi, nasionalisme Bojang tidak pernah padam. Dia terus mendukung para pemberontak dan melawan pasukan Tang. Pada akhirnya aktivitas Bojang ini diketahui. Bojang lalu diasingkan ke Chang’an dan hidup dalam pengasingan hingga kematiannya di kota itu. Dia tidak pernah kembali lagi ke Goguryeo tapi keturunannya tetap meneruskan perjuangan Bojang melawan pasukan Tang.

Ada sekelompok bangsawan dan jenderal-jenderal Goguryeo yang berhasil melarikan diri. Mereka bersembunyi jauh di utara. 36 tahun setelah jatuhnya Goguryeo, para pelarian yang berhasil berkumpul ini mendirikan sebuah kerajaan yang menguasai bekas kekuasaan Goguryeo dibagian utara dan mendeklarasikan diri sebagai penerus Goguryeo. Kerajaan itu dinamai Kerajaan Balhae.

Berdirinya kerajaan Balhae ini mengawali periode yang dinamakan oleh para sejarawan sebagai periode “Utara dan Selatan”. Periode utara (Balhae) dan selatan (Silla Bersatu) ini baru berakhir hampir 350 tahun kemudian saat Gyeonhwon mendirikan Hu-Baekje dan Gung Ye mendirikan Kerajaan Taebong (Hu-Goguryeo), yang menandai dimulainya periode “Later Three Kingdom” atau “Masa Setelah Tiga Kerajaan” yang singkat sebelum kemudian diakhiri dengan berdirinya Kerajaan Goryeo. Hu-Baekje didirikan dibekas wilayah kerajaan Baekje dan Kerajaan Taebong (Hu-Goguryeo) didirikan di utara Silla. Kedua kerajaan ini mulai menyerbu berbagai wilayah taklukan Silla. Taebong mulai mencaplok berbagai wilayah disekitaran Pyeongyang dan Naju.

Salah-satu jenderal Taebong yang benama Wang Geon lalu menyingkirkan Gung Ye dan mendirikan kerajaan baru yang bernama Goryeo dan menyatakan bahwa kerajaan itu adalah penerus dari Goguryeo. Tapi Wang Geon tidak pernah berhasil menaklukan Silla melalui peperangan. Silla bergabung dengan Goryeo setelah raja terakhirnya memutuskan menyerah padahal saat itu Seorabeol sedang tidak dikepung.

Untuk stabilitas kerajaan dengan wilayah yang luas itu, Wang Geon mengambil banyak istri dari berbagai wilayah. Wilayah dengan istri terbanyak adalah dari bekas wilayah Goguryeo. Para putra dan cucu penerus Wang Geon juga lahir dari para istri yang berasal dari wilayah lama Goguryeo, kecuali Wang Mu (Hyejong) yang berasal dari Naju. Tapi, penerus tahta Wang Geon bukan para putranya dari wilayah Goguryeo melainkan putra-tunggalnya dengan seorang putri kerajaan Silla, Pangeran Ahnjong Wook. Putra Pangeran Ahnjong Wook (berbeda dengan Daejong Wook) adalah Raja Hyeonjong. Keturunan Ahnjong Wook dari Hyeonjong inilah yang menduduki tahta Goryeo hingga kerajaan ini runtuh. Artinya, pada kerajaan penerus Goguryeo ini keturunan Silla tetap menjadi raja. Bahkan, saat Goryeo digantikan oleh Joseon, keturunan Silla juga tetap berada di tahta, sebab wangsa Yi yang memerintah Joseon dulunya berasal dari Silla. Nama marga Yi diberikan oleh Yuri Isageum, raja ketiga Silla pada abad pertama masehi. Marga Yi adalah salah-satu dari enam marga yang dianugerahkan Raja Yuri pada enam klan asli negeri Saro, wilayah asli Silla.

Meskipun harus takluk pada kerajaan sekecil Silla, tapi para sejarawan menganggap penyebab utama keruntuhan kerajaan ini adalah akibat pertikaian antar bangsawan dan pengkhianatan pada kerajaan yang dilakukan oleh keluarga Yeon Gaeseomun. Lemahnya kekusaan raja juga sangat berpengaruh pada tersebarnya kekuatan-kekuatan militer ke berbagai penjuru wilayah Goguryeo yang luas dan keengganan untuk tunduk pada satu komando sehingga saat Silla dan Tang menyerbu dari dua arah, mereka sulit dimobilisasi.

Walaupun penyebab utama keruntuhan Kerajaan Goguryeo adalah serbuan pasukan koalisi Silla-Tang, tetapi itu hanya alasan puncaknya saja yang dipermudah prosesnya oleh berbagai indikator.

Ada dua indikator utama keruntuhan Goguryeo. Yang pertama adalah pengkhianatan keluarga Yeon Gaeseomun. Pengkhianatan keluarga Yeon Gaeseomun ini bukan hanya mengkhianati negara dan raja Goguryeo melainkan juga mengkhianati perjuangan Yeon Gaeseomun dalam mempertahankan Goguryeo. Yeon Gaeseomun telah berperang bersama barisan tentara Goguryeo sejak invasi-invasi Kekaisaran Sui dan juga rangkaian serbuan dan pengepungan Kekaisaran Tang. Tetapi, anggota keluarga terdekatnya justru menjual Goguryeo pada musuh-musuh yang diperangi oleh Yeon Gaeseomun. Indikator kedua adalah ketiadaan komando utama pasukan Goguryeo pada saat itu. Goguryeo adalah kerajaan besar yang terkenal sebagai kerajaan perang. Balatentara mereka sangat kuat dan terstruktur rapih, dengan logistik yang melimpah dan teknologi artileri yang sangat maju dan lengkap. Kuda-kuda perang mereka juga dilindungi oleh baju zirah sehingga membuat pasukan kaveleri Goguryeo adalah salah-satu yang terbaik di dunia pada masanya. Selain itu, jumlah pasukan Goguryeo juga sangat banyak, dan itu belum termasuk pasukan bangsa Mohe (leluhur bangsa Manchu) yang mengabdi pada Goguryeo. Namun, konflik istana pasca kematian Yeon Gaeseomun menimbulkan ketidak-jelasan mengenai siapa komandan pasukan kerajaan yang harus diikuti, dan ini membuat komunikasi antara komando di ibukota ke para komandan pasukan di luar Pyeongyang menjadi kacau sehingga membuat pasukan-pasukan besar yang berada diluar Pyeongyang kebingungan dan ragu-ragu, apakah mereka harus mengirim bantuan ke Pyeongyang atau tetap pada pos masing-masing, sebab pada situasi itu tentunya ada ketakutan dikalangan komandan-komandan pasukan jika ada jenderal yang membelot pada Silla atau pada Tang, sehingga mereka lebih memilih untuk mewaspadai satu-sama lain dan tetap di-pos mereka masing-masing, sehingga pasukan Goguryeo yang berada di-ibukota tidak mendapatkan bantuan yang maksimal. Pasukan Silla tentu menyadari hal ini sebab mereka bergerak mengacaukan komunikasi antar pasukan Goguryeo sehingga tidak banyak pasukan Goguryeo yang bergerak menuju Pyeongyang. Ini membuat, walaupun Pyeongyang sangat lama dikepung, tetapi mental pasukan koalisi Silla-Tang yang sudah belajar dari pengalaman pengepungan sia-sia sebelumnya lebih siap menjalani perang jangka panjang. Sedangkan, keadaan mental pasukan di dalam benteng Pyeongyang justru semakin merosot sebab mereka sadar harus mempertahankan ibukota sendirian. Setelah Pyeongyang berhasil direbut oleh pasukan Silla-Tang, pasukan-pasukan Goguryeo, yang dalam jumlah besar, di luar Pyeongyang tidak dikoordinasikan untuk menyerbu dan merebut kembali Pyeongyang. Ini membuat para komandan pasukan penting memilih untuk membawa pasukan besar mereka melarikan diri ke utara. Walau pada akhirnya beberapa dari komandan itu lalu membentuk Kerajaan Balhae, yang tidak pernah bisa ditaklukan oleh Silla dan juga Tang, tetapi kenyataan bahwa Goguryeo telah runtuh dan komandan-komandan pasukan Goguryeo untuk pertama kalinya melarikan diri dari medan perang menjadi cerita yang menyakitkan bagi orang-orang Goguryeo saat itu, terutama mereka yang dijadikan tawanan perang ke Chang’an, yang sebagian besar berasal dari Pyeongyang.

Walau begitu, kedigdayaan militer Goguryeo tidak pernah disepelekan hingga berabad-abad setelah keruntuhan kerajaan ini, sebab mereka takluk bukan karena militer mereka lemah. Kedigdayaan militer Goguryeo ini selalu membuat setiap orang yang pernah mendengar dan mengetahui tentang Goguryeo, terutama orang-orang Goguryeo saat itu, selalu bertanya-tanya, “Mengapa Goguryeo bisa runtuh?”


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)




Didahului oleh:


Artikel yang berhubungan dengan Hwarang:
KERAJAAN SILLA
Para Jenderal Termasyur Pada Masa Korea Kuno


Artikel lainnya tentang Sejarah Korea:


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture : KBS (drama "The King's Dream",2011)

Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media


Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; The Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


Daftar Website: