Saturday, 18 February 2017

PARA PUNGWOLJU ERA RESTORASI RAJA JINPYEONG & ERA PARA PANGERAN







Raja Jinpyeong adalah raja yang diangkat menjadi raja melalui kudeta yang menggulingkan pamannya, sehingga pada awal pemerintahannya dia hampir tidak memiliki kekuasaan politik yang berarti. Meskipun demikian, Raja Jinpyeong tetap berusaha melanjutkan ekspansi militer yang sejak dulu telah dicanangkan oleh kakeknya.

Selama periode pemerintahannya, Raja Jinpyeong berusaha memperkuat setiap wilayah Silla dan juga berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok untuk mengamankan posisi Silla saat mereka diserang oleh kedua kerajaannya. Raja Jinpyeong juga meletakan pondasi politik dalam negeri dan hubungan bilateral dengan Tiongkok yang kuat bagi kekuasaan putrinya dan cucunya kelak.

Namun, lebih dari semua itu Raja Jinpyeong terkenal dengan reformasi birokrasi yang dilakukannya. Jinpyeong mereformasi sistem birokarasi Silla yang kemudian menjadi dasar-dasar admnistratif Silla yang bertahan selama ratusan tahun dan bahkan diadopsi oleh dinasti-dinasti penerusnya termasuk oleh Dinasti Joseon. Prinsipnya saat itu adalah Silla harus siap dari dalam untuk menyerang keluar sehingga beliau melakukan reformasi birokrasi dan restorasi kerajaan. Berbagai kementerian baru dibentuk, termasuk divisi-divisi khusus militer. Dia juga adalah raja pertama yang membentuk divisi khusus untuk menangani para veteran.

Restorasi Jinpyeong ini membuat beliau disamakan dengan Kaisar Meiji dari Jepang pada era modern. Sebagai seorang birokrat ulung, beliau menempatkan orang-orang yang ahli untuk menduduki jabatan yang sesuai dengan keahliannya, berasal dari kalangan yang berseberangan dengan raja.

Peninggalan-peninggalan Raja Jinpyeong bagi Silla dan Korea selain sistem birokrasi yang rapi adalah benteng-benteng pertahanan, bala-tentara yang besar, dan armada perang yang tangguh. Seumur hidupnya, Raja Jinpyeong memiliki impian untuk meneruskan mimpi kakeknya mempersatukan Semenanjung Korea.

Dan untuk melewati masa transisi dan juga untuk mendukung reformasi dan restorasi yang dilakukannya ini maka Raja Jinpyeong selalu menunjuk panglima hwarang yang paling tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada saat itu.

Jinpyeong adalah raja Silla yang berjasa mengubah dan melengkapi kurikulum hwarang sehingga menjadikan hwarang sebagai pasukan elit terbaik di Asia Timur pada masanya.

Era Jinpyeong ini adalah era restorasi pertama di Silla sehingga bisa dibilang ini adalah era "Restorasi Jinpyeong". Di Resimen Hwarang sendiri, era ini adalah "Era Para Pangeran" karena semua pungwolju yang menjabat di era ini adalah keturunan raja yang bergelar "-gong" dibelakang namanya. Gelar ini adalah gelar kebangsawanan yang digunakan oleh para pangeran di-era Silla. Semua pungwolju di era ini adalah cucu atau cicit raja-raja Silla. Seorang diantara mereka adalah seorang putra raja, satu orang lainnya bahkan akan menjadi raja.

Inilah nama para pungwolju Silla di era restorasi pemerintahan Raja Jinpyeong (nomor urut disesuaikan dengan urutan saat mereka menjabat sebagai pungwolju):







12. BORI

Bori merupakan Pungwolju kedua-belas. Bori lahir pada tahun 573 pada masa-masa akhir pemerintahan Raja Jinheung. Beliau adalah putra kedua dari Pungwolju keempat, Yihwa, dan adik dari Biksu Utama Silla, Wongwang. Artinya, Bori adalah cucu dari pungwolju pertama, Wihwa. Ibu Bori adalah Putri Sukmyeong (putri Raja Beopheung) sehingga membuat Bori memiliki status sebagai salah-seorang cucu raja. Inilah yang membuat namanya ditulis “Bori-gong” dalam kitab Hwarang Sagi. “Gong” adalah akhiran dibelakang nama bagi seorang pangeran pada masa Silla. Marga Bori adalah “Kim” yang berasal dari klan Kim Gyeongsan. Nama Bori menjadi judul bab ke-12 dalam kitab Hwarang Sagi. Bori adalah pangeran Silla kedua yang menjabat sebagai seorang pungwolju setelah Mijinbu. Meskipun dia adalah pangeran kedua yang menjadi pungwolju tapi terpilihnya Bori sebagai pungwolju mengawali tradisi kepemimpinan para pangeran kerajaan Silla sebagai pungwolju. Era kepemimpinannya sebagai pungwolju juga merupakan masa ketika "Sumpah Hwarang" yang terkenal itu dibuat oleh biksu Won-gwang.

Tidak diketahui dengan pasti kapan beliau menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka kemungkinan beliau menjadi Hwarang pada tahun 587, ketika pungwolju dijabat oleh Hajong. Bori menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 591 saat dia masih berusia 18 tahun, dan menjabat selama 5 tahun. Bori pensiun pada tahun 596 ketika usianya baru 23 tahun. Bori menjadi seorang Hwarang dan menjabat sebagai pungwolju pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Wakilnya adalah Pangeran Yongchun. 

Bori tidak memiliki beberapa kisah pribadi menarik perhatian namun karena kisah cinta ayahnya di masa lalu lah yang membuat latar-belakang Bori saat itu cukup menyedot perhatian sejarawan. Diantara para pungwolju, mungkin kehidupan asmara ayahnya lah yang paling rumit. Dulu, ayah Bori menjalin hubungan asmara dengan Ibu Suri Jisoo, ibunda Raja Jinheung (kakek Raja Jinpyeong). Hubungan ayahnya dengan Ratu Jisoo ini menghasilkan seorang putri yang bernama Putri Manho. Hubungan ini tidak akan menjadi rumit andaikan ayahnya tidak berselingkuh dengan Putri Sukmyeong, yang tidak lain adalah putri-kandung Ratu Jisoo. Kisah cinta ayahnya ini semakin rumit karena Putri Sukmyeong adalah salah-satu ratu dari Raja Jinheung sehingga membuat Raja Jinheung marah besar sehingga putra raja dengan Putri Sukmyeong, yaitu Pangeran Jongsuk harus merelakan kursi putra mahkota pada Pangeran Dongryun (ayah Raja Jinpyeong), dan Yihwa hampir dihukum-mati. Untung saja Ratu Sado (nenek Raja Jinpyeong) membujuk suaminya untuk mengijinkannya ayah Bori menikah dengan Putri Sukmyeong. Raja Jinheung pun mengijinkan putri Sukmyeong menikah dengan Yihwa, tapi hak waris Pangeran Jongsuk atas tahta tidak dapat dipulihkan. Ayah Bori dan ibunya, Putri Sukmyeong pun menikah dan meninggalkan istana. 

Seharusnya, latar-belakang Bori ini menghalangi peluangnya menjadi pemimpin resimen elit ini, tapi rupanya Raja Jinpyeong memiliki pikiran lain. Raja yang moderat ini membutuhkan sosok Bori sebagai bagian dari rencana besarnya, memperkuat otoritas raja dan keluarga kerajaan. Itulah mengapa yang ditunjuk sebagai wakil Bori adalah Pangeran Yongchun. Bori mendapatkan gelar “-gong” dibelakang namanya yang menandakan statusnya sebagai salah seorang pangeran. Pada masa itu, semua cucu raja terdahulu di Silla akan tetap dipanggil putri atau pangeran tanpa memandang status kasta kebangsawanannya dan juga masa-lalu mereka, dan masa-lalu keluarganya. Dalam hal ini, Bori memperoleh gelar pangeran karena ibunya adalah putri raja (Raja Beopheung) sehingga dia juga menjadi cucu raja. 

Pada saat itu, mungkin tidak banyak hwarang dan orang di Silla yang menyangka jika Bori dan kakaknya, Wongwang berani kembali ke Seorabeol karena skandal masa-lalu orang-tuanya. Terlebih lagi raja yang memerintah saat itu adalah Raja Jinpyeong, putra Pangeran Dongryun. Pada masa-lalu, ibunya telah memiliki anak dengan Raja Jinheung yang bernama Pangeran Jongsuk. Pangeran Jongsuk lebih tua dari Pangeran Dongryun dan Pangeran Geomryun (Raja Jinji), oleh karena itu Pangeran Jongsuk sempat ditunjuk sebagai putra-mahkota, namun karena perselingkuhan ibunya, status Pangeran Jongsuk sebagai putra-mahkota dicabut dan diberikan kepada Pangeran Dongryun, yang artinya Raja Jinpyeong hampir saja tidak menjadi raja. Namun, pikiran raja yang moderat ini sangat sulit ditebak. Sifat Raja Jinpyeong yang moderat sangat menguntungkan posisi Bori yang memiliki masa-lalu yang cukup rumit. Pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong inilah kehormatan keluarga Bori seakan dikembalikan. Tidak lama setelah Bori diterima sebagai hwarang, kakaknya, Wongwang dikirim oleh raja ke ibukota dinasti Sui pada tahun 589 sebagai utusan raja sekaligus untuk mendalami agama Buddha disana. Dua tahun setelah keberangkatan Wongwang ke Sui, Raja Jinpyeong mengambil keputusan yang mencengangkan yaitu dengan mengangkat Bori sebagai pungwolju dan menunjuk Pangeran Yongchun sebagai wakilnya, padahal Pangeran Yongchun adalah putra Raja Jinji yang sebelumnya digulingkan oleh kubu yang mengangkat Jinpyeong sebagai raja. Raja Jinpyeong juga mengambil kedua adik perempuan Bori, Hwamyeong dan Okmyeong sebagi selir-selirnya.

Walaupun ayah Bori adalah penyebab Pangeran Jongsuk diturunkan statusnya pangeran mahkota, namun hubungan Bori dan dan keluarga sang pangeran cukup baik. Bori menikah dengan anak Pangeran Jongsuk dengan Putri Manho, yang bernama Manryo-nangju. Pasangan ini memiliki seorang putra dan putri. Putri mereka bernama Boryong, sedangkan putra mereka bernama Yewon yang kelak akan menjadi pungwolju ke-20. Bori juga mengambil seorang selir yang bernama Hudan. Selirnya ini memberikan dua orang putra dan dua orang putri pada Bori. Putra-putra Bori bernama Bothae dan Bohu, sedangkan putri-putrinya bernama Bodan-nangju dan Yidan-nangju.

Bori dan hampir seluruh keluarganya mendapat bantuan besar dari Raja Jinpyeong, tapi Bori mampu menjadi pungwolju karena keberanian dan kemampuannya. Sebab, Bori mengawali karirnya sebagai hwarang dari tingkat yang paling bawah yaitu sebagai seorang nangdo, berbeda dengan keluarga raja lainnya yang biasanya langsung terpilih sebagai hwarang. Selain itu, Bori bukan satu-satunya pangeran yang bergabung di resimen hwarang ketika itu sebab masih ada pangeran-pangeran lainnya yang saat itu menjadi Hwarang, salah-satunya adalah Pangeran Yongsu (kakak Pangeran Yongchun). Kuat dugaan Bori dipilih sebagai pungwolju selain karena statusnya sebagai seorang pangeran adalah karena kemampuan memimpin dan kecerdasannya. Pada masa itu, Raja Jinpyeong sedang gencar-gencarnya melakukan restorasi birokrasi, juga saat itu Silla mulai diserang oleh Baekje sehingga para pungwolju dituntut untuk memiliki kemampuan mendukung rencana-rencana terutama mendukung pembentukkan kementerian baru dan menghadapi perang. Selain itu, pada masa ini raja sedang memperbaharui kurikulum Hwarang yang kemudian menyulap para Hwarang dari sekedar pasukan pembantu yang bersifat sukarela menjadi resimen tempur terbaik di Silla. Lama kepemimpinan Bori yang lebih lama dari para pungwolju setelah Seolwon membuat dirinya bisa lebih leluasa menjalankan kurikulum Hwarang yang baru yang dituntut oleh Raja Jinpyeong. Pada masa kepemimpinan Bori, Munno menjabat sebagai Gukseon, sehingga korabolasi mereka bersama Seolwon yang sudah menjadi jenderal dipercaya sebagai kunci kesuksesan Hwarang di era ini dan di era mendatang.

Bori pensiun sebagai pungwolju pada tahun 596 di usia 23 tahun. Melihat situasi Silla pada masa itu, kemungkinan Bori bergabung di militer atau menjadi orang kepercayaan raja. Sangat mungkin Bori sempat menjadi utusan raja ke Sui, mengingat statusnya sebagai pangeran dan adik dari Wongwang. Bori dan Yongchun mungkin diterjunkan pada perang melawan Baekje dan Goguryeo pada kurun tahun 603-608 sebab mereka baru melepas tugas sebagai pungwolju yang biasanya akan langsung ditarik sebagai komandan pasukan jika sedang dalam situasi perang. 

Jika melihat hubungan Bori dan Raja Jinpyeong maka bisa dipastikan bahwa Bori adalah pendukung setia raja dan keluarga raja hingga akhir hayatnya sehingga Bori sudah pasti adalah pendukung Putri Deokman, bakal Ratu Seondeok untuk menjadi pewaris Raja Jinpyeong ketika pemberontakan Chilsuk dan Seokpum. Dan juga, jika dia masih hidup saat pemberontakan Bidam maka Bori akan berada dibarisan pendukung Ratu Seondeok. Tidak banyak catatan mengenai kehidupan pribadi Bori. Tahun kematiannya pun tidak diketahui meskipun diduga kuat Bori meninggal pada sekitar masa awal atau pertengahan pemerintahan Ratu Seondeok sebab namanya tidak tercatat sebagai komandan perang atau pejabat Silla saat perang penyatuan Semenanjung Korea dimulai.







13. YONGCHUN

Yongchun merupakan Pungwolju ketiga-belas. Yongchun lahir pada tahun 578. Dia adalah satu-satunya pungwolju yang lahir pada masa pemerintahan Raja Jinji, ayah kandungnya. Beliau adalah putra kedua dari Raja Jinji dan adik dari Kim Yongsu (ayah Raja Taejong Muyeol). Artinya, Yongchun adalah sepupu dari raja Jinpyeong dan paman paternal Raja Muyeol. Ibu Yongchun adalah Ratu Jido. Sebagai putra seorang raja nama Yongchun ditulis “Yongchun-gong”, “-gong” adalah akhiran dibelakang nama bagi seorang pangeran pada masa Silla. Marga Yongchun adalah “Kim” yang berasal dari klan Kim Gyeongsan sedangkan ibunya berasal dari klan Park. Nama Yongchun menjadi judul bab ke-14 dalam kitab Hwarang Sagi. Yongchun memang Yongchun adalah pangeran Silla ketiga yang menjabat sebagai seorang pungwolju setelah Pangeran Mijinbu dan Pangeran Bori, namun Yongchun adalah putra raja kedua yang menjadi seorang pungwolju.

Tidak diketahui dengan pasti kapan beliau menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka kemungkinan beliau menjadi Hwarang pada tahun 592, ketika pungwolju dijabat oleh pendahulunya, Bori. Saat Bori menjabat sebagai pungwolju, Yongchun ditunjuk menjadi wakilnya sehingga membuat duet mereka berdua adalah duet pangeran pertama sebagai pungwolju dalam sejarah Hwarang. Yongchun lalu menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 596 saat dia masih berusia 18 tahun, dan menjabat selama 7 tahun. Ini membuat Yongchun menjadi salah-satu pungwolju dengan jabatan terpanjang. Yongchun pensiun pada tahun 603 ketika usianya baru 25 tahun. Yongchun menjadi seorang Hwarang dan menjabat sebagai pungwolju pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Wakilnya adalah Pangeran Horim. Bersama dengan Pangeran Horim, Yongchun adalah hwarang yang bertugas bersama dengan Pangeran Alcheon, yang menjadi hwarang pada tahun 592. Artinya, Pangeran Alcheon adalah senior mereka berdua. Sangat mungkin jika mereka bertiga juga menjadi hwarang dimasa yang sama dengan Bidam, pemimpin pemberontak paling terkenal dalam sejarah Silla.

Yongchun memiliki beberapa kisah pribadi menarik. Diantara para pungwolju, latar-belakang Yongchun lah yang memiliki banyak ironi. Dulu, ayah Yongchun (Raja Jinji) dinobatkan menjadi raja dengan dukungan banyak pihak termasuk dukungan dari Hwarang yang saat itu dipimpin oleh Seolwon. Namun, arah angin berbalik sangat cepat. Hanya dalam kurun waktu 3 tahun, ayahnya Raja Jinji digulingkan dan dihukum mati. Beruntung bagi Yongchun dan kakaknya karena mereka berdua mungkin dianggap masih kecil sehingga tidak dihukum-mati. Status Yongchun dan kakaknya pun diturunkan dari kasta “Tulang Suci” (Seon-geol) yang merupakan kasta tertinggi menjadi kasta “Tulang Murni” (Jin-geol), yaitu kasta kedua tertinggi yang terdiri dari para keturunan raja campuran namun tidak termasuk kedalam daftar keluarga kerajaan. Karena berada dikelas Jin-geol inilah Yongchun dan kakaknya kehilangan hak atas tahta, demikian juga dengan keturunan mereka, jika para anggota kasta Seon-geol masih ada.

Seharusnya, latar-belakang Yongchun ini menghalangi peluangnya menjadi pemimpin resimen elit ini sebab dikhawatirkan dia bisa membangkitkan kembali para loyalis Raja Jinji atau oposan Raja Jinpyeong untuk memberontak, tapi rupanya Raja Jinpyeong memiliki pikiran lain. Raja yang moderat ini membutuhkan sosok Yongchun sebagai bagian dari rencana besarnya, yaitu memperkuat otoritas raja dan keluarga raja, sebab meskipun telah kehilangan haknya atas tahta, Yongchun masih keturunan terdekat raja, terlebih lagi dia adalah sepupu laki-laki dari raja yang tidak memiliki pewaris laki-laki itu. Itulah mengapa dia sebelumnya ditunjuk sebagai wakil Bori oleh raja untuk memuluskan langkahnya kelak sebagai pungwolju, dan juga yang ditunjuk sebagai wakil Yongchun saat dia terpilih sebagai pungwolju adalah Pangeran Horim, salah-satu sepupunya. Sifat Raja Jinpyeong yang moderat sangat menguntungkan posisi Yongchun yang memiliki masa-lalu yang buruk. Raja Jinpyeong juga mengangkat kehormatan keluarga Yongchun. Selain terpilih sebagai hwarang dan bahkan diangkat sebagai pungwolju, kakak Yongchun, Kim Yongsu juga dinikahkan dengan Putri Cheongmyeong oleh Raja Jinpyeong. Putra dan pasangan ini kelak akan menjadi salah-satu raja terbesar dalam sejarah Silla. Sayangnya, kakak Yongchun, Kim Yongsu meninggal mendahuluinya disaat keponakannya, Kim Chunchu (Raja Muyeol) masih kecil.

Selain kisah orang-tuanya yang tidak biasa, kehidupan pribadi Yongchun juga cukup berwarna. Rupanya, selain menjadi pangeran terbuang, Yongchun juga adalah seorang pangeran tampan yang memikat banyak wanita, dan restorasi Raja Jinpyeong yang melibatkan dirinya membuat para bangsawan berebut menikahkan putri-putri mereka dengan Yongchun. Yongchun menikahi putri-putri Raja Jinheung, yaitu Putri Homyeong yang memberikannya lima orang putri dan Putri Cheonhwa yang memberikannya seorang putra bernama Yoseol. Yongchun juga menikahi putri dari Daenambo (salah-satu putra Misaeng) yang memberikannya dua putra (Yongsan dan Yongseok) dan seorang putri yang bernama Yongtaek. Selain menikahi putri dari Daenambo, Yongchun juga menikahi putri Misaeng yang bernama Maesaeng-nangju, yang memberinya seorang putra yang bernama (Yonggwi). Yongchun juga menjadikan Bibo sebagai salah-satu pungwolju yang menjadi mertuanya dengan menikahi putri Bibo yang bernama Hingju-nangju yang memberi Yongchun dua orang putra (Yongju dan Yongreung) dan seorang putri (Yongbo). Hal mengejutkan mengenai pernikahan-pernikahan Yongchun adalah salah-satu istrinya adalah Putri Deokman yang kelak menjadi Ratu Silla dengan gelar Ratu Seondeok. Namun, pernikahan mereka tidak menghasilkan keturunan dan Yongchun lalu menceraikan Putri Deokman sesaat setelah ratu naik tahta (atau mungkin sebelum itu yaitu ketika Raja Jinpyeong masih hidup) sebab Yongchun sadar pernikahannya dengan ratu yang tidak memiliki keturunan akan menimbulkan pergolakan baru dari para oposan ratu dengan mengangkat Yongchun atau salah-satu putranya menjadi raja, sebab hal ini tidak disukai oleh Yongchun sebagai loyalis Raja Jinpyeong dan Ratu Seondeok karena raja dan ratu itu telah mempersiapkan Pangeran Chunchu (calon Raja Muyeol) sebagai raja Silla.

Yongchun dan keluarganya memang mendapat bantuan besar dari Raja Jinpyeong, tapi Yongchun mampu menjadi pungwolju karena kemampuannya. Sebab, selain Yongchun masih ada pangeran-pangeran lainnya yang saat itu menjadi Hwarang, diantaranya adalah Pangeran Horim dan seorang pangeran lagi yang namanya sangat terkenal, yaitu Pangeran Alcheon. Dibandingkan dengan Yongchun yang memiliki latar-belakang yang kontroversial, latar-belakang Alcheon jauh lebih bersih. Selain itu, dia juga adalah pangeran yang dibesarkan diistana, berbeda dengan Yongchun yang dibesarkan dilingkungan klan Park, keluarga ibunya, dan juga kasta Pangeran Alcheon lebih tinggi dari Yongchun. Yongchun berasal dari kasta Jin-geol tulen, sedangkan Pangeran Alcheon adalah kasta campuran Seon-geol dan Jin-geol. Darah Seon-geol nya inilah yang membuat Pangeran Alcheon berada dipilihan teratas jika semua anggota di kasta Seon-geol sudah habis. Hal inilah yang kelak membuat Alcheon menjadi kandidat terkuat sebagai raja menggantikan Ratu Jindeok dibandingkan Pangeran Kim Chunchu karena walaupun Kim Yushin juga adalah seorang pangeran namun karena ayahnya adalah orang Daegaya maka Yushin tidak berhak atas tahta. Raja tentu memilih Yongchun dibandingkan Alcheon sebagai pungwolju karena kemampuannya. Meskipun Alcheon juga adalah seorang pangeran dan hwarang yang sangat cerdas dan setia namun kemampuan Alcheon lebih condong dibidang militer, berbeda dengan Yongchun yang memiliki keahlian lebih dibidang birokrasi. Yongchun merupakan salah-satu hwarang yang sangat paham pemerintahan sehingga kelak beliau terkenal sebagai seorang birokrat yang ulung. Kemampuannya ini sangat dibutuhkan oleh raja karena pada masa itu Raja Jinpyeong sedang melakukan restorasi birokrasi. Selain itu, pada masa ini raja sedang memperbaharui kurikulum Hwarang agar para Hwarang tidak sekedar menjadi pasukan pembantu yang bersifat sukarela melainkan menjadi resimen tempur terbaik di Silla. Yongchun memimpin resimen hwarang pada masa-masa perang yang sangat intens dengan Baekje dan Goguryeo. Lama kepemimpinan Yongchun selama 7 tahun menandakan kemampuannya masih sangat dibutuhkan saat itu, dan juga membuatnya lebih leluasa menjalankan kurikulum Hwarang yang baru yang dituntut oleh Raja Jinpyeong. Kemungkinan besar pada masa kepemimpinan Yongchun, Munno masih menjabat sebagai Gukseon. Yongchun juga adalah pungwolju yang mendampingi Raja Jinpyeong dalam perang di Benteng Bukhansan yang dipimpin sendiri oleh Raja Jinpyeong.

Yongchun pensiun sebagai pungwolju pada tahun 603 di usia 25 tahun. Yongchun langsung bergabung di militer atau menjadi orang kepercayaan raja sebab hwarang dan pungwolju yang baru melepas tugas sebagai pungwolju biasanya akan langsung ditarik sebagai komandan pasukan jika sedang dalam situasi perang. 

Ketika rangkaian perang melawan pasukan Baekje dan Goguryeo usai pada tahun 608, Yongchun lalu ditarik kedalam pemerintahan oleh Raja Jinpyeong. Dia sempat menjabat sebagai salah-satu menteri dan tergabung dalam Dewan Istana (dewan para bangsawan tinggi). Yongchun tidak pernah kehilangan kepercayaan raja, yang terbukti dari penunjukkannya sebagai “Naeseongsangsin”, yaitu kepala pejabat “Tiga Istana Utama Kerajaan” pada tahun 622. Posisi ini membuat status Yongchun setara dengan perdana-menteri dihadapan raja karena dia menjadi kepala rumah-tangga kerajaan. Raja Jinpyeong rupanya tidak hanya mempercayakan istana-istananya pada Yongchun melainkan juga pasukan Silla. Raja Jinpyeong menunjuk Yongchun sebagai komandan balatentara Silla bersama dengan Jenderal Kim Seohyeon dan Jenderal Kim Yushin pada tahun 929 untuk melakukan serangan balasan ke Goguryeo. Pasukannya berhasil menduduki benteng milik Goguryeo, Benteng Nangbi.

Perang-perang tersebut memang melelahkan namun menjadi bekal bagi dirinya dalam berbagai pertikaian politik kelak karena ketika terjadi pemberontakan besar dibawah pimpinan Chilsuk dan Seokpum yang ingin menggulingkan putri Deokman, kubu Raja Jinpyeong dan Putri Deokman Yongchun sangat mengandalkan bantuannya sebagai salah-satu pendukung calon ratu tersebut. Jasa-jasa Yongchun tidak dilupakan oleh anggota keluarga kerajaan dan penerus-penerus Raja Jinpyeong. Setelah Putri Deokman naik tahta sebagai Ratu Seondeok, Yongchun diangkat menjadi Sangdaedung (perdana-menteri). Ia menjadi satu dari sedikit hwarang dan pungwolju yang mampu sampai pada jabatan tertinggi dalam pemerintahan ini.

Yongchun tetap menjadi pendukung setia raja dan keluarga raja hingga akhir hayatnya. Tidak diketahui kapan tepatnya beliau meninggal, namun dia masih hidup saat pemberontakan Bidam maka Yongchun dan berada dibarisan pendukung Ratu Seondeok. Diduga kuat Yongchun meninggal pada sekitar masa awal pemerintahan Ratu Jindeok sebab namanya tidak tercatat sebagai komandan perang atau pejabat Silla saat perang penyatuan Semenanjung Korea dimulai pada era Raja Muyeol dan juga namanya tidak tercatat sebagai salah-satu pendukung Kim Chunchu (Raja Muyeol) sebagai pewaris pada akhir pemerintahan Ratu Jindeok sehingga beliau diyakini telah meninggal dunia pada masa itu. Setelah keponakannya, Raja Muyeol menjadi raja, Yongchun diberi nama kehormatan “Raja Munheung” oleh Muyeol sebagai penghormatan tertinggi pada Yongchun. Namun, gelar kehormatan ini menjadi perdebatan dikalangan sejarawan, sebab Raja Muyeol tidak memberikan gelar tertinggi tersebut kepada orang yang tercatat sebagai ayah kandungnya, Kim Yongsu (adik Yongchun) sehingga beberapa sejarawan meyakini bahwa ayah kandung Muyeol bukanlah Kim Yongsu melainkan Yongchun.

Aktor yang memerankan Yongchun
(Copyrights: MBC & KBS)

Selain Kim Yushin dan Raja Muyeol, Yongchun merupakan pungwolju yang tokohnya sering muncul dalam drama. Drama-drama yang pernah memunculkan tokohnya adalah drama dokumenter “Samguk” (diproduksi KBS pada 1992-1993), drama tentang kerajaan Goguryeo yang berjudul “Yeon Gaeseomun” (diproduksi SBS tahun 2006), dan drama “The King’s Dream” (diproduksi oleh KBS tahun 2013). namun, drama yang cukup detail menggambarkan tokohnya adalah drama “The Great Queen Seondeok” yang diproduksi oleh MBC pada tahun 2009.







14. HORIM

Horim adalah Pungwolju keempat-belas. Horim lahir pada tahun 579 pada masa awal pemerintahan Raja Jinheung. Marga Horim adalah “Kim” yang berasal dari klan Kim Gyeongsan. Nama Horim menjadi judul bab kelima-belas dalam kitab Hwarang Sagi. Nama beliau ditulis sebagai “Horim-gong” yang menandakan beliau adalah seorang keturunan raja yang saat itu diakui sebagai anggota keluarga kerajaan. Horim adalah salah-satu pangeran Silla yang menjabat sebagai seorang pungwolju.

Tidak diketahui dengan pasti kapan beliau menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka kemungkinan beliau menjadi Hwarang pada tahun 593, ketika pungwolju dijabat oleh Bori. Horim menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 603 saat dia berusia 24 tahun, dan menjabat selama 6 tahun. Horim pensiun pada tahun 609 ketika berusia 30 tahun. Horim menjadi seorang Hwarang dan menjabat sebagai pungwolju pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Wakilnya adalah Bojong (putra Seolwon). Horim menjadi hwarang di masa yang sama dengan Pangeran Yongchun (pungwolju ke-13) dan Pangeran Alcheon (senior Horim dan Yongchun yang menjadi hwarang pada tahun 592). Sangat mungkin jika mereka bertiga juga menjadi hwarang di masa yang sama dengan masa tugas hwarang Bidam, pemimpin pemberontak paling terkenal dalam sejarah Silla.

Horim tidak memiliki beberapa kisah pribadi menarik perhatian. Beliau putra dari Galmunwang Kim Bokseung (adik Raja Jipyeong) dengan Putri Songhwa (putri dari Ratu Jiso) yang artinya beliau adalah salah-satu keponakan Raja Jinpyeong dan cucu Raja Jinheung sehingga beliau berhak mendapat gelar “pangeran” sebab pada masa itu semua cucu raja terdahulu di Silla akan tetap dipanggil putri atau pangeran tanpa memandang status kasta kebangsawanannya. Selain itu, Horim juga masih berkerabat dengan Mishil sebab ibunya adalah adik ipar Mishil. Kakak Horim adalah Ratu Maya (ratu utama Raja Jinpyeong). Horim sangat disayang oleh kakak dan kakak iparnya, raja dan ratu sehingga membuatnya terpilih sebagai wakil dari Yongchun dan bahkan menjadi pungwolju.

Pemilihan Horim sebagai pungwolju memang adalah bagian dari upaya Raja Jinpyeong untuk memperkuat otoritas raja dan keluarga kerajaan yang turun akibat kudeta terhadap Raja Jinji. Horim menikah dua kali. Istri pertamanya adalah mantan istri pertama dari Bojong (pungwolju ke-16) yang bernama Hyeongang-nangju (putri pungwolju ke-8, Munno). Menariknya, Horim menjalin asmara dengan Hyeongang saat istrinya itu masih menjadi istri sah Bojong. Setelah mengetahui perselingkuhan istrinya dengan Horim, Bojong lalu menceraikan istrinya dan mengantarnya kepada Horim dengan harapan Horim dapat menjaga Hyeongang sebab Bojong memang tidak memikirkan kehidupan pribadi. Bersama dengan Hyeongang, Horim memiliki seorang anak perempuan yang dinamakan Gyerim. Istri kedua Horim adalah putri dari Hajong (pungwolju ke-11) yang bernama Yumo-nangju. Sepertinya pernikahan Horim dan Yumo-nangju adalah perjodohan yang melibatkan Mishil (nenek Yumo-nangju) agar Mishil bisa berkerabat dengan Ratu Maya. Pernikahan Horim dengan Yumo-nangju ini membuahkan seorang putra yang bernama Kim Jajang. Kelak, putranya ini lebih dikenal dengan nama Jajangbeobsa yang artinya Biksu Jajang sebab putranya kelak memilih menjadi seorang Biksu.

Horim terpilih sebagai pungwolju selain karena statusnya sebagai seorang pangeran adalah karena kecerdasannya yang dibutuhkan oleh Raja Jinpyeong dalam melakukan restorasi birokrasi. Horim adalah pungwolju yang menjabat saat Silla sedang berperang melawan pasukan Baekje dan Goguryeo. Mengacu pada hal ini maka bisa disimpulkan bahwa Horim adalah salah-satu panglima Hwarang yang hebat sebab perang itu berlangsung sangat lama dan memakan korban dari resimen Hwarang dalam jumlah yang besar. Namun, pada masa-masa seperti inilah yang mengokohkan reputasi resimen hwarang sebagai salah-satu resimen khusus terbaik dunia. Pada masa kepemimpinannya, resimen Hwarang harus kehilangan Gukseon mereka, Munno yang meninggal dalam perang panjang tersebut. Perang ini juga membuat Silla harus kehilangan mantan pungwolju sekaligus jenderal besar mereka, Seolwon.

Horim pensiun sebagai pungwolju pada tahun 610 di usia 31 tahun. Seharusnya Horim diganti oleh wakilnya, Bojong tapi dia justru digantikan oleh Kim Yushin yang mengungguli Bojong diberbagai bidang. Usai pensiun sebagai hwarang dan pungwolju, Horim bergabung dengan militer. Horim adalah salah-satu komandan pasukan yang diterjunkan dalm “Perang Seratus Hari” melawan Baekje pada tahun 611.

Tidak banyak catatan mengenai kehidupan pribadi Horim, tahun kematiannya pun tidak diketahui meskipun diduga kuat Horim meninggal pada sekitar masa awal pemerintahan Ratu Jindeok sebab namanya tidak tercatat sebagai komandan perang atau pejabat Silla saat perang penyatuan Semenanjung Korea dimulai oleh Raja Muyeol.

Aktor yang memerankan Munno
(Copyrights: MBC & KBS)


Tokoh Horim sempat muncul dalam drama “The Great Queen Seondeok” dan drama "The King's Dream" saat beliau menjabat sebagai pungwolju dan menteri Silla.







15. YUSHIN

Yushin merupakan Pungwolju ketiga-belas. Yushin dilahirkan di Gyeyang, Jincheon pada tahun 595 sehingga membuatnya menjadi pungwolju pertama yang lahir pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Beliau adalah putra sulung dari Jenderal Kim Sohyeon (cucu Raja Guhae, raja terakhir Kerajaan Daegaya). Ibunya adalah Putri Manmyeong, putri dari Raja Jinheung. Artinya, Yushin adalah seorang cucu raja dan sepupu dari raja Jinpyeong. Sebagai cucu raja, nama Yushin ditulis “Yushin-gong”. “-gong” adalah akhiran dibelakang nama bagi seorang pangeran pada masa Silla. Marga Yushin adalah “Kim”, namun berbeda dengan kebanyakan pangeran dan pungwolju lainnya, marga “Kim”-nya berasal dari klan Kim Gimhae sebab ayahnya adalah seorang keturunan Kerajaan Daegaya. Nama Yushin menjadi judul bab ke-16 dalam kitab Hwarang Sagi. Dia juga adalah pungwolju terakhir yang namanya dicatat dalam manuskrip Hwarang Sagi yang ada. Walaupun Munno adalah hwarang keturunan Daegaya pertama yang menjabat sebagai seorang pungwolju, namun Yushin adalah orang Gaya asli pertama yang menjadi seorang pungwolju, sebab Munno memperoleh darah Gaya dari ibunya sedangkan Yushin memperoleh dari ayahnya.

Ayah Yushin, Kim Sohyeon adalah seorang jenderal Silla meskipun beliau adalah seorang keturunan Gaya. Kebijakan Raja Jinheung yang mengasimilasi keturunan Gaya menjadi warga Silla setelah kejatuhan Daegaya merupakan kebijakan tepat dan berbuah manis sebab para bangsawan Gaya sangat unggul dibidang militer dan merupakan orang-orang yang setia. Kesetiaan orang Gaya terbukti pada saat kejatuhan Silla kelak, sebab mereka tidak melepaskan diri dengan Silla hingga akhir walaupun banyak daerah lain yang melepaskan diri dari Silla. Menjadi jenderal Silla ibarat sudah menjadi tradisi turun-temurun keluarganya sejak Kerajaan Daegaya ditaklukkan oleh Silla. Ayah dan kakek Kim Sohyeon semua adalah jenderal Silla sehingga Kim Sohyeon juga menuntut putra-putranya untuk menjadi jenderal Silla, termasuk Kim Yushin.

Dalam semua catatan sejarah Silla, Yushin disebut sebagai hwarang terhebat yang pernah ada. Melebihi Sadaham dan Kim Chunchu, Yushin adalah hwarang hebat yang paling terkenal di sepanjang-masa, sebab Kim Chunchu terkenal sebagai raja bukan sebagai seorang hwarang sedangkan nama Sadaham masih belum sepopuler Kim Yushin walaupun dia adalah Hwarang yang paling fenomenal. Yushin menjadi seorang Hwarang sekitar tahun 609/610, ketika pungwolju dijabat oleh pendahulunya, Horim. Yushin langsung ditunjuk sebagai pungwolju ketika dia dia baru menjadi Hwarang kurang dari satu tahun. Saat itu, dia mengalahkan Bojong yang merupakan wakil pungwolju dan kandidat pungwolju terkuat. Catatan sejarah menegaskan bahwa Yushin memiliki kemampuan beladiri yang hebat dan juga seorang pemimpin sejati. Beliau adalah ahli strategi ulung dan juga pendekar pedang terbaik di Silla pada masa itu. Raja Jinpyeong memilihnya sebagai pungwolju setelah melihatnya mampu mengalahkan Bojong yang juga ahli beladiri. Kemampuan Yushin ini sangat dibutuhkan sebab pada masa itu, Silla sedang berperang secara intens dengan negeri-negeri tetangganya. 

Selama tujuh tahun kepemimpinannya sebagai seorang pungwolju, Yushin dan resimen hwarang melalui banyak hal. Pada tahun 611, terjadi perang 100 hari antara Silla dengan Baekje yang diawali oleh penyerbuan tentara Baekje ke wilayah Silla tepatnya di “Benteng Gajam”. Seluruh hwarang dan setiap pasukan mereka terlibat dalam perang ini. Perang ini dimenangkan oleh pasukan Silla tapi banyak korban yang jatuh dari kalangan nangdo. Selain perang 100 hari ini, Yushin juga memimpin pasukan hwarang melewati berbagai serbuan dari dari Goguryeo. Baekje juga kembali menyerang Silla pada tahun 616 dan merebut Benteng Mosan. Yushin dan pasukan Hwarang ditugaskan untuk merebut kembali Benteng ini dan berhasil. Ini adalah perang terakhir Yushin sebagai pungwolju. Yushin pensiun pada tahun 616 diusia 21 tahun dan digantikan oleh wakilnya, Bojong. Yushin langsung bergabung di militer dan langsung menjadi orang kepercayaan raja. Pada tahun 629, Yushin diangkat sebagai “Komandan Utama Pasukan Pengawal Kerajaan” yang merupakan jabatan yang sangat bergengsi pada masa itu, dan bersama dengan Pangeran Yongchun (pungwolju ke-13) dan ayahnya, Jenderal Kim Sohyeon, Yushin ditunjuk sebagai salah-satu komandan pasukan untuk melakukan serangan balasan ke Goguryeo dan berhasil menduduki benteng milik Goguryeo yang bernama Benteng Nangbi. Era Raja Jinpyeong ditutup oleh percobaan pemberontakan dan kudeta yang dilakukan oleh Ichan Chilsuk dan Achan Seokpum sebagai reaksi mereka atas ditunjuknya Putri Deokman sebagai pewaris tahta. Bersama dengan Alcheon, Pangeran Yongchun, dan para bangsawan dan komandan pendukung raja lainnya Yushin berperang melawan pasukan pemberontak. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan.

Raja Jinpyeong digantikan oleh Putri Deokman yang bergelar Ratu Seondeok. Pada era Ratu Seondeok, Yushin kembali memperoleh kepercayaan besar. Beliau diangkat menjadi “Panglima Utama Pasukan Kerajaan Silla”, dan jabatannya sebelumnya sebagai “Komandan Utama Pasukan Pengawal Kerajaan” digantikan oleh Pangeran Alcheon. Tugas pertama Yushin sebagai Panglima Besar adalah menghadapi serbuan pasukan Baekje. Era pemerintahan Ratu Seondeok diwarnai serbuan intens dari Baekje namun perang dengan Baekje ini selalu dimenangkan oleh Silla. Selain Baekje, Goguryeo yang mengkhianati perjanjian damai dengan Silla juga menyerang Silla namun Silla berhasil bertahan. Tentunya, pada periode ini Yushin memainkan peran penting sebagai panglima kerajaan. Era Ratu Seondeok ini ditutup oleh pemberontakan yang dipimpin oleh sangdaedung Bidam, padahal sebelumnya Bidam adalah salah-satu pendukung Ratu Seondeok. Bidam melakukan pemberontakan pada tahun 647 masehi dengan menggemakan semboyan “seorang wanita tidak mampu memimpin negara” sebagai kritik dan responnya terhadap pemerintahan Ratu Seondeok. Catatan Samguk Sagi dan Samguk Yusa mengindikasikan bahwa Bidam semasa menjabat sebagai menteri hingga perdana menteri sering berbeda-pendapat dengan Jenderal Kim Yushin dan bahwa Ratu Seondeok lebih memilih untuk mendengar dan menerima pendapat dari Kim Yushin. Jika melihat dari kenyataan bahwa pemberontakan Bidam meletus setelah 15 tahun Ratu Seondeok memerintah, dan disaat posisinya telah menjabat sebagai perdana-menteri maka ada kemungkinan pemberontakan ini meletus akibat terjadinya konflik di pemerintahan dan/atau di istana. Konflik inilah yang kemudian menimbulkan keragu-raguan pada Bidam mengenai kapabilitas Ratu Seondeok sebagai pemimpin Silla. Keragu-raguan Bidam semakin besar karena Ratu Seondeok lebih sering mengikuti saran dan pendapat Jenderal Kim Yushin. Posisi Jenderal Kim Yushin dan Bidam memang seperti tangan-kanan dan tangan-kiri ratu, oleh karena itu disaat ratu lebih cenderung mengutamakan pendapat Kim Yushin maka Bidam yang merupakan pemimpin para menteri merasa tersaingi dan juga marah. Ada juga kemungkinan bahwa pemberontakan Bidam meletus sebagai akibat dari persaingan mengenai pewaris tahta karena Ratu Seondeok tidak memiliki keturunan dan juga para bangsawan yang berhak atas tahta berdasarkan undang-undang yaitu dari kelas Seongeol setelah Ratu Seondeok hanyalah sepupunya, Putri Seungman (bakal Ratu Jindeok) yang juga merupakan seorang wanita, sehingga semboyan pemberontakan ini, “wanita tidak dapat memimpin negara”, merupakan cermin bahwa pemberontakan itu adalah untuk memperebutkan tahta antar para bangsawan dari kelas Jingeol yang terdiri dari kubu Bidam dengan kubu Kim Yushin (yang mengusung calon pengganti yang ditunjuk oleh Ratu Seondeok). Pemberontakan Bidam ini menjadi pemberontakan terbesar dalam sejarah Silla, bukan karena lama pemberontakannya melainkan karena banyaknya para pejabat, bangsawan, dan perwira-perwira militer yang terlibat. Kubu Bidam terdiri lebih dari 30 pendukung yang masing-masing dari mereka memiliki pasukan pribadi maupun merupakan pemimpin dari pasukan kerajaan, atau merupakan pejabat yang memiliki koneksi dengan para pemimpin pasukan kerajaan sehingga 30-an orang pendukung Bidam ini mampu mengumpulkan pasukan dalam jumlah yang besar.

Pada awalnya, pasukan Bidam memenangkan berbagai pertempuran melawan pasukan pendukung Ratu Seondeok yang dipimpin oleh Jenderal Kim Yushin. Kubu Bidam bahkan mampu mendekati istana. Demi menyemangati pasukannya, Ratu Seondeok turun dan berkumpul bersama pasukannya di perkemahan pasukan utama. Selain ratu, anggota keluarga kerajaan lainnya seperti Pangeran Chunchu, Pangeran Yongchun, dan Pangeran Alcheon juga terjun ke medan perang memimpin pasukan mereka masing-masing. Ketika pertempuran semakin berat bagi pasukan Kim Yushin, tiba-tiba terlihat oleh pasukan kedua-belah pihak ada bintang jatuh (meteor) yang arah jatuhnya mengarah ke istana utama Silla di Seorabeol. Bidam lalu menggunakan hal itu untuk membenarkan pemberontakannya dan menyemangati para pendukungnya dengan berkata bahwa meteor itu merupakan tanda langit yang berpihak pada mereka dan sebagai tanda bahwa Ratu Seondeok akan jatuh melalui melalui pemberontakan mereka, dan seketika itu juga kekuatan pasukan Bidam seakan-akan bertambah berkali-kali lipat karena semangat membara pasukannya. Seakan korelatif dengan euforia pasukan Bidam, ditempat yang berbeda semangat tempur pasukan pendukung Ratu Seondeok anjlok karena alasan yang sama, bintang yang jatuh ke arah istana. Tidak hanya patah semangat, para tentara bahkan menolak untuk bertempur karena menganggap perjuangan mereka sia-sia. 

Sebagai seorang jenderal yang berpengalaman , Kim Yushin berusaha mencari akal agar semangat tempur pasukannya naik kembali. Kim Yushin lalu mendapat ide. Beliau lalu mengutarakan idenya itu kepada ratu, dan seperti biasanya, sang ratu menyetujui saran Jendral Kim Yushin meskipun idenya ini tidak lazim, yaitu menerbangkan layang-layang di malam hari. Yushin segera melaksanakan idenya itu dengan memerintahkan para hwarang setianya untuk menerbangkan layang-layang berapi dari arah istana ke langit. Diwaktu yang tepat, Jenderal Kik Yushin memerintahkan pasukannya untuk menengok kearah istana dan terlihatlah layang-layang berapi itu. Namun, saat layang-layang itu terlihat Jenderal Kim Yushin justru meneriakkan hal yang berbeda, yaitu “Bintang yang tadi jatuh ke istana telah naik kembali ke langit”, sambil berteriak bahwa langit memihak pada Ratu Seondeok. Pasukannya yang melihat hal tersebut sangat percaya pada kata-kata jenderalnya dan kembali bersemangat sambil menggaungkan teriakan perang yang terdengar hingga ke perkemahan pasukan Bidam. Pasukan Bidam yang mendengar hal itu lalu mencari tahu, dan mereka pun akhirnya tahu penyebab naiknya semangat tempur pasukan ratu dikarenakan ‘bintang’ yang tadi jatuh telah naik kembali ke langit. Strategi sederhana ini mampu membalikkan keadaan dimedan tempur. Perang pun dimenangkan oleh pasukan pendukung Ratu Seondeok. Ribuan tentara pemberontak ditahan, termasuk Bidam dan para pendukungnya berhasil ditangkap hidup-hidup. Pemberontakan besar yang hanya memakan waktu 10 hari inipun berhasil dipadamkan.

Sayangnya, pemberontakan Bidam yang dulunya adalah salah-seorang yang pernah mendukungnya ini membuat sang ratu begitu syok. Perang ini menyita pikiran ratu dan menghabiskan energinya. Kesehatan ratu merosot drastis selama 10 hari pemberontakan ini. Ratu Seondeok wafat pada 17 Februari 647, ditahun yang sama ketika pemberontakan itu terjadi.

Tahta pun diwariskan pada Putri Seungman yang kemudian bergelar Ratu Jindeok karena hanya dialah keturunan raja dari kelas Seon-geol yang masih tersisa. Selama masa pemerintahannya, Ratu Jindeok mempercayakan berbagai keputusan penting negara berdasarkan pertimbangan dari Yushin dan Pangeran Chunchu. Pada era Ratu Jindeok ini Yushin dikukuhkan kembali sebagai Panglima Utama Kerajaan sedangkan sahabatnya, Pangeran Alcheon diangkat sebagai sangdaedung (perdana-menteri). Pada era Ratu Jindeok ini, tugas Yushin sedikit lebih ringan sebab terciptanya gencatan senjata dengan Kerajaan Baekje, namun pada era ini resimen hwarang dan Silla kehilangan salah-satu komandan terbaik dengan meninggalnya Pangeran Yongchun yang memang sudah berusia lanjut. Ratu Jindeok hanya memerintah selama 7 tahun. Selama masa pemerintahannya, masalah pewaris pun kembali menjadi masalah sebab sang ratu tidak memiliki keturunan. Mayoritas bangsawan Silla lebih mendukung Pangeran Alcheon sebagai calon raja karena status kebangsawanan beliau yang merupakan keturunan raja dari kelas campuran (jing-eol dan seong-geol), pengalaman beliau dalam pemerintahan, dan statusnya sebagai perdana-menteri, namun Yushin lebih mendukung Pangeran Chunchu. Alasan Kim Yushin adalah karena sebelumnya Ratu Seondeok telah menunjuk Pangeran Chunchu sebagai pewaris, namun terbentur oleh peraturan kasta kebangsawanan yang membuat Pangeran Chunchu dan Pangeran Alcheon masih berada dibawah Ratu Jindeok dalam daftar suksesi. Rupanya, pandangan Yushin ini justru ikut didukung oleh Ratu Jindeok dan Pangeran Alcheon. Pangeran Alcheon, yang memang salah seorang abdi Ratu Seondeok yang paling setia dan sahabat Kim Yushin lalu menyatakan dukungannya pada Pangeran Chunchu dan secara sukarela melepaskan haknya atas tahta Silla dengan mengganti marganya dari “Kim” menjadi “So” agar luput dari kisruh suksesi dimasa mendatang, baik yang berpotensi menimpa dirinya maupun keluarga dan keturunannya. Dengan demikian, resmilah Pangeran Chunchu diangkat sebagai pewaris tahta Silla, dan kemudian menjadi raja Silla dengan nama Raja Muyeol. 

Raja Muyeol mendapat dukungan penuh dari para bangsawan yang berkuasa sehingga beliau bisa dengan leluasa menerapkan kebijakan luar-negeri dan melakukan invasi ke Baekje. Diantara para bangsawan pendukungnya, Yushin dan Perdana Menteri Alcheon merupakan pendukung utama Raja Muyeol dan orang-orang kepercayaannya. Diantara mereka semua, Raja Muyeol paling dekat dengan Kim Yushin. Selain karena merupakan teman seperjuangan, Kim Yushin juga merupakan mentornya dan senior Raja Muyeol di resimen hwarang. Raja Muyeol bahkan mempererat tali kekeluargaan dengan Kim Yushin dengan menikahi adik kandung Kim Yushin.

Bersama dengan Kim Yushin dan resimen Hwarang, Raja Muyeol memulai serangkaian invasi dikawasan semenanjung dengan menjadi Kerajaan Baekje sebagai target pertama mereka. Perang dengan Baekje ini berakhir dengan keruntuhan kerajaan Baekje pada tahun 660. Silla pun mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo. Sayangnya, Raja Muyeol meninggal pada tahun 661 sebelum penyerbuan ke Goguryeo dimulai. Penyerbuan ke Goguryeo ini dilanjutkan oleh putranya, Raja Munmu dibawah pimpinan Yushin. Goguryeo pun berhasil diruntuhkan dan penyatuan Semenanjung Korea berhasil dilakukan. Raja Munmu lalu menjadi raja Silla pertama yang memerintah diera Silla bersatu dan Yushin kembali dikukuhkan sebagai Panglima Utama Kerajaan Silla.

Perang penyatuan Semenanjung Korea ini melambungkan nama Yushin sebagai sebagai salah-satu komandan militer terbaik di Asia Timur. Perang ini juga melambungkan resimen Hwarang sebab perang ini melibatkan tentara Tiongkok dan pasukan Jepang yang membantu Baekje. Dimata pasukan musuh, para hwarang terlihat sangat menakutkan saat berperang, sebab mereka memiliki kemampuan dan keberanian yang tinggi. Kisah-kisah para hwarang yang disisipi mitologi lalu sampai ke negeri Tiongkok dan juga ke seluruh penjuru Jepang yang saat itu meyakini bahwa mereka berperang dengan “Tentara Langit”, sebab meskipun pasukan Tang adalah pasukan yang sangat kuat namun yang menggentarkan hati musuh adalah pasukan Hwarang karena hanya para hwarang yang mendandani wajah mereka layaknya wanita saat mereka berperang yang justru terlihat sangat menakutkan sebab dalam perang yang begitu keras dimana kekalutan dan kecemasan menghantui sebagian besar prajurit, wajah cantik para hwarang dan gaya bertarung mereka yang unik membuat musuh mengira bahwa mereka itu adalah pasukan dewa.

Setelah perang penyatuan Korea usai dan Silla keluar sebagai pemenang, muncul masalah baru, yaitu dominasi pasukan Tang. Kemenangan Silla atas Baekje dan Goguryeo atas bantuan tentara Tang rupanya dimanfaatkan oleh pihak Tang untuk mencampuri urusan dalam negeri Silla. Tang rupanya memanfaat bantuan mereka untuk menguasai Silla. Kematian Raja Muyeol semakin meyakinkan pihak Tang bahwa mereka mampu menguasai Silla sebab pengganti Raja Muyeol masih sangat muda. Namun, pihak Tang rupanya kurang memperhitungkan keberadaan Yushin, sebab mereka mengira Yushin hanyalah seorang jenderal utama yang hebat namun tidak memperkirakan bahwa Yushin adalah salah-satu pengambil keputusan utama di Silla selain raja.

Mulanya, pihak Tang dibawah pimpinan Jenderal Xeng Rui membuat sebuah pemerintahan protektorat yang berpusat di bekas istana Goguryeo di kota Pyeongyang pada tahun 668, tepat setelah keruntuhan Goguryeo. Pihak Tang memilih kota Pyeongyang sebab letaknya yang sangat jauh dari Gyeongju (ibukota Silla). Melalui pemerintahan proktetorat ini, Tang mengambil alih kontrol atas bekas wilayah Goguryeo dan juga Baekje yang telah menjadi milik Silla dengan membentuk perwakilan protektorat di istana Sabi (bekas istana Baekje). Silla yang tidak nyaman atas hal ini mengirimkan utusan kepada Kaisar Tang untuk menyampaikan protes namun Kaisar Tang justru memerintahkan pemerintahan proktetorat itu untuk juga mengatur wilayah utama Silla. Hal ini membuat seluruh pejabat Silla murka, termasuk raja dan Kim Yushin sehingga perang antara Silla dan Tang pun meletus. Silla lalu melakukan serangan ke basis utama pemerintahan proktetorat di wilayah Baekje sambil memberikan bantuan bagi para pemberontak dibagian Utara yang dipimpin Geom Mojam. Awalnya Silla pasukan Silla kewalahan dan hampir kalah. Bahkan pasukan yang dipimpin oleh putra keduanya, Kim Wonsul hampir musnah seluruhnya, dan putranya melarikan diri dari medan perang. Dia bahkan hampir membunuh salah-seorang putranya yang bernama Kim Wonsul karena melarikan diri dari medan perang ketika pasukan Silla berperang melawan balatentara Tang di dekat benteng Baeksu di bulan Agustus 672. Awalnya, pasukan Silla terlihat akan memenangkan perang. Namun, mereka mengejar pasukan Tang yang mundur dan mereka masuk dalam perangkap yang tentara Tang, akibatnya tujuh orang jenderal Silla terbunuh dan pasukan Silla yang tewas tak terhitung jumlahnya. Wonsul yang menyadari bahwa kekalahan tersebut tak dapat terelakkan dan siap mati dengan memacu kudanya ke garis musuh. Namun ajudannnya menghalanginya sambil berkata, “Tidak sulit bagi seseorang yang berani untuk mati, yang lebih sulit adalah memilih kapan untuk mati. Mati sia-sia lebih buruk daripada membalas-dendam kemudian." Tapi Wonsul menjawab, “Seorang laki-laki tidak akan pernah mau hidup memalukan" dan kemudian memacu kudanya. Tapi pengawalnya itu tetap menghalangi dengan memegang erat tali kuda Wonsul dan tidak melepaskannya. Hasilnya Wonsul tidak mati di medan perang dan kembali ke Gyeongju. Tapi di Gyeongju, musuh-musuh Wonsul menebar fitnah bahwa Wonsul sengaja melarikan diri sehingga membuat ayahnya murka. Dengan marah, Yushin meminta Raja Munmu untuk mengeksekusi putranya itu. Yushin sangat serius tentang eksekusi tersebut karena Silla kehilangan tujuh jenderal di medan perang. Namun, Raja Munmu yang menyayangi Wonsul menolak untuk menghukum Wonsul. Karena malu pada dirinya sendiri dan takut menghadapi ayahnya, Wonsul menyembunyikan dirinya di sebuah tempat terpencil.

Setelah kejadian ini, Silla berhasil kembali menguasai istana Sabi dan mengusir bala-tentara Tang dari seluruh wilayah Silla dan bekas wilayah Baekje. Kaisar Tang sangat marah akan hal ini dan mengangkat putra mendiang Raja Muyeol yang lain sebagai Raja Silla, tapi tindakan ini semakin membuat marah pihak Silla. Pasukan Silla pun kembali menyerbu Pyeongyang seperti saat mereka menyerbu kota itu ketika akan menaklukkan Goguryeo. Serbuan Silla ini membuat Tang kewalahan karena mereka kalah diberbagai pertempuran di dekat Pyeongyang dan juga pasukan Silla sudah mengepung Pyeongyang. Pihak Tang berusaha mempertahankan pemerintahan proktetorat-nya dengan berbagai cara, termasuk negosiasi. Beberapa jenderal penting Tang menemui Kim Yushin dan memintanya menarik pasukan Silla dari Pyeongyang sambil menjabarkan konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi Silla jika permintaan Tang tidak dipenuhi. Namun, hal ini justru membuat Yushin berang dan hampir membunuh para jenderal itu seandaikan dia tidak mengindahkan etika sebagai seorang jenderal. Para jenderal Tang itu ketakutan melihat amarah Yushin dan menghadap kaisar Tang untuk menyampaikan laporan. Kaisar Tang sangat marah mendengar laporan para jenderalnya dan meminta mereka mempersiapkan pasukan yang lebih besar untuk menghalau pasukan Silla dari Pyeongyang sekaligus menggempur ibukota Silla, Seorabeol. Tapi, para jenderal Tang itu menolak permintaan kaisar mereka sebab mereka menilai bahwa perang itu tidak akan pernah mereka menang-kan. Bagi mereka, menghadapi Kim Yushin dan resimen hwarang-nya itu jauh lebih menakutkan dibandingkan menghadapi amarah kaisar Tang, sebab bagi para jenderal itu walaupun mereka harus kehilangan nyawa mereka ditangan kaisar karena tidak menaati perintah kaisar namun setidaknya seluruh pasukan mereka selamat, sedangkan jika mereka menaati perintah kaisar dan berperang melawan Silla maka selain kehilangan para jenderal, sebagian besar pasukan Tang juga akan musnah. Para jenderal itu menolak dan meyakinkan kaisar bahwa Silla bukanlah lawan yang lemah dan Yushin bukan jenderal biasa sebab saat para jenderal itu menghadap Yushin, mereka melihat Yushin tidak sekedar menghunus pedangnya melainkan pedangnya sendiri yang melompat dari sarungnya ke tangan Yushin. Legenda mengenai pedang Yushin ini begitu terkenal dan membuat takut para lawan-lawan Silla. Silla masih berperang dengan Tang dimasa-masa akhir kehidupan Yushin, namun para jenderal tadi menolak mengirimkan pasukannya sehingga Tang kekurangan tentara.

Silla menikmati kedamaian yang panjang selama masa pemerintahan Raja Munmu dan saat Yushin hidup. Kedamaian itu terus berlanjut hingga hampir dua ratus tahun lamanya. Selama hidupnya, Yushin menerapkan kedisiplinan sebagai seorang mantan hwarang termasuk mendisiplinkan keluarganya. Yushin menjauhkan diri dari kekuasaan yang tidak perlu dipegangnya, kursi kekuasaan yang tidak cocok dengannya padahal Yushin memiliki akses tanpa batas ke kekuasaan karena dia adalah panglima utama kerajaan dan juga besan ipar Raja Muyeol. Itulah sebabnya keluarga Yushin tidak tercatat pernah melakukan korupsi, dan disiplin yang tinggi inilah juga mengapa Yushin tidak pernah mau menerima permintaan maaf putranya, Wonsul yang dianggapnya melarikan diri dari medan perang. 

Banyak sekali legenda yang menuliskan tentang kedigdayaan seorang Ki Yushin. Salah-satunya adalah mengenai kematiannya. Diceritakan dalam Samguk Yusa bahwa pada bulan Juni tahun 673, beberapa rakyat Silla menyaksikan beberapa lusin pasukan berbaju besi dan lengkap dengan senjata masing-masing dan berjalan keluar dari rumah Yushin yang kemudian menghilang tanpa bekas. Mendengar kejadian aneh tersebut, Yushin pun berkata, “Mereka adalah prajurit penjaga langit yang melindungiku. Sekarang keberuntunganku sudah punah. Aku akan segera meninggal." Hanya satu bulan setelah kejadian itu, pada tanggal 1 Juli 673, Kim Yushin wafat pada usia 79 tahun disaat Silla masih berperang dengan Tang. Putranya, Wonsul kembali datang menghadiri upacara pemakaman ayahnya. Namun ibunya, Lady Jiso (istri Yushin), menolaknya meskipun banyak yang tahu bahwa Wonsul telah difitnah. Lady Jiso berkata, “Bagaimana aku bisa menjadi ibu dari seorang putra yang bukan putra ayahnya." Mendengar kata-kata ibunya ini, Wonsul menangis dan kembali ke tempat persembunyiannya.

Sepeninggal ayahnya, adik dan putra-putra Yushin termasuk Kim Wonsul melanjutkan peperangan terhadap Tang. Pada bulan September tahun 675, pasukan Tang menyerang Silla. Kim Wonsul pun keluar dari tempat persembunyiannya dan menghadap raja. Dia meminta kepercayaan raja untuk diberikan kepercayaan memimpin pasukan, dan Raja Munmu mengabulkan permohonannya. Ia berperang dengan gagah berani dan siap mati di medan perang. Tak terduga, Kim Wonsul mampu bertahan hidup dan memperoleh kemenangan besar atas pasukan Tang. Ketika perang usai, Raja Munmu mengumumkan bahwa Wonsul akan menerima penghargaan tinggi di istana utama kerajaan di Seorabeol. Namun, Wonsul tidak pernah kembali ke Seorabeol melainkan pergi mengasingkan diri ke pegunungan sebagai bentuk penyesalan pada orang-tuanya. Kim Wonsul menghabiskan sisa hidupnya di pegunungan, dan dengan sengaja membiarkan dirinya kelaparan. Kim Wonsul meninggal pada usia muda tidak lama setelah kemenangannya itu.

Kim Yushin adalah satu-dari sangat sedikit hwarang dan pungwolju yang menghabiskan hidup sambil menerima semua kejayaan sebagai hasil dari perjuangannya. Beliau meninggal diusia yang lanjut. Sebelum kematiannya, dia dianugerahi banyak penghargaan dan penghormatan dari sahabat-sahabatnya yang menjadi raja dan ratu. Bahkan, ribuan tahun kemudian setelah dinasti-dinasti di Semenanjung Korea berganti, Yushin kembali memperoleh penghormatan tertinggi oleh orang Korea modern sebagai jenderal Korea terbesar dalam sejarah Korea yang prestasinya hanya bisa disandingkan dengan Laksamana Yi Sun-shin dari Joseon. Kim Yushin juga dihormati sebagai salah-satu tokoh pemersatu Korea selain Raja Muyeol dari Silla dan Raja Wang Geon dari Goryeo.


Aktor yang memerankan Kim Yushin
(Copyrights: MBC & KBS)

Kim Yushin adalah tokoh hwarang dan pungwolju yang paling sering muncul dalam drama. Beliau sering diceritakan dalam drama-drama yang mengambil latar era Silla terutama diera penyatuan Tiga Kerajaan sehingga beliau sering muncul dalam drama-drama tentang Raja Jinpyeong, Ratu Seondeok, dan Raja Munmu. Drama-drama yang menceritakan tentang dirinya adalah drama "the King's Dream” dan drama “Gyebaek”. Sedangkan drama yang fokus mengambil latar cerita tentang masa pemerintahannya adalah drama “The Great Quee Seondeok”.







16. BOJONG

Bojong adalah Pungwolju keenam-belas, dan merupakan pungwolju pertama yang kisahnya selama menjabat sebagai pungwolju tidak dicatat dalam kitab Hwarang Sagi. Nama beliau memang ditemukan dalam kitab Hwarang Sagi namun bukan sebagai pungwolju melainkan saat dia hanya menjabat sebagai hwarang. Kisahnya sebagai pungwolju disinggung dalam kitab Samguk Sagi. Bojong lahir pada tahun 580 pada masa awal pemerintahan Raja Jinpyeong. Marga Bojong adalah “Kim” yang berasal dari klan Kim Gyeongsan. Bojong adalah putra pertama Mishil dengan Seolwon. Saudara-tirinya yang terkenal adalah Hajong. Nama beliau ditulis sebagai “Bojong-gong” yang menandakan beliau diakui sebagai anggota keluarga kerajaan. Bojong adalah salah-satu pangeran Silla yang diberi kepercayaan menjadi pungwolju.

Bojong adalah putra Mishil yang paling terkenal dan merupakan putra kesayangan Mishil. Mishil bahkan lebih menyayangi Bojong dari semua putra dari suami sah-nya dan bahkan melebihi rasa sayang pada cucu-cucunya. Bojong tidak terlalu mempedulikan kehidupan pribadinya dan mengabdikan dirinya seumur hidup di resimen hwarang. Karena khwatir pada Bojong, ibunya memaksa dia menikah dan memilihkan istri untuknya. Bojong lalu menikah dengan putri sahabat ayahnya, Munno, yang bernama Hyeongang. Bojong rupanya bukan tipe pria yang menikmati kehidupan rumah tangga dan murni seorang pria militer sehingga hubungannya dengan istrinya kurang baik. Mungkin karena inilah istrinya menjalin hubungan gelap dengan senior dan atasan Bojong saat itu, Pangeran Horim (pungwolju ke-14). Akibatnya, Bojong berpisah dengan istrinya ini tanpa sempat memiliki anak. Ibunya yang selalu mengkhwatirkan dirinya terus berusaha mencarikan pasangan hidup bagi putranya ini, dan menjodohkan Bojong dengan Putri Yangmyeong, salah satu putri Raja Jinpyeong dengan selirnya. Melalui pernikahan keduanya ini, Bojong memperoleh dua orang putri yang bernama Putri Bora (menikah dengan Raja Muyeol/Kim Chunchu) dan Selir Boryang (selir Raja Jinpyeong). Namun, istri kedua Bojong mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh istri pertamanya.

Ketika itu, keponakan Bojong yang bernama Mojong sering menginap dirumah Bojong untuk berlatih pedang, tapi Mojong lebih sering melukis dan cukup betah berlama-lama melukis di rumah Bojong. Putri Yangmyeong yang merasa kesepian lalu menjalin hubungan asmara dengan Mojong. Hubungan terlarang ini menghasilkan Yangdo. Bojong sepertinya tahu bahwa Yangdo bukanlah putranya namun dia tetap membesarkan Yangdo dirumahnya, terlebih lagi Mojong menolak mengakui bahwa Yangdo adalah putranya. Yangdo mengikuti dan melayani Bojong seperti ayah kandungnya. Bojong tetap menyayanginya karena menganggap Yangdo adalah putra bungsunya.

Cucu-cucu Bojong berasal dari kedua putrinya yaitu Putri Gataso (anak tunggal Putri Bora dengan Raja Muyeol), Pangeran Borochon (menikah dengan putri dari Kim Yushin), Yangho dan Yangshi-nangju.

Tidak diketahui dengan pasti kapan beliau menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka kemungkinan beliau menjadi Hwarang pada tahun 594, ketika pungwolju dijabat oleh Bori. Bojong menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 616 saat dia telah berusia 36 tahun, tepat sepuluh tahun setelah kematian ayahnya, Seolwon. Bojong menjabat selama 5 tahun yaitu hingga kematiannya pada tahun 621 saat dia berusia 41 tahun. Bojong menjadi seorang Hwarang dan menjabat sebagai pungwolju pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Wakilnya saat itu adalah Yeomjang. Bojong menjadi hwarang di masa yang sama dengan Pangeran Yongchun (pungwolju ke-13), Horim, dan Pangeran Alcheon (senior mereka yang menjadi hwarang pada tahun 592). Sangat mungkin jika mereka juga menjadi hwarang di masa yang sama dengan masa tugas hwarang Bidam, yang lalu pemimpin pemberontak paling terkenal dalam sejarah Silla.

Bojong terpilih sebagai pungwolju karena kecerdasan dan ketangkasannya sebagai seorang komandan militer. Bojong adalah pungwolju yang menjabat saat Silla sedang berperang melawan pasukan Baekje. Mengacu pada hal ini maka bisa disimpulkan bahwa Bojong adalah salah-satu panglima Hwarang yang hebat sebab perang itu berlangsung sangat lama dan memakan korban dari resimen Hwarang dalam jumlah yang besar. Namun, pada masa-masa seperti inilah yang mengokohkan reputasi resimen hwarang sebagai salah-satu resimen khusus terbaik dunia. Pada masa-masa ini, dia harus tegar melihat atasan-atasannya menjadi pejabat-pejabat tinggi Silla dan bahkan juniornya, Kim Yushin menjadi komandan pasukan pengawal istana, sebuah jabatan yang sangat bergengsi. Bojong rupanya hanya ingin mengabdi sebagai hwarang, atau mungkin kejatuhan ibunya (Mishil) yang menghalangi jalannya meraih posisi yang lebih tinggi. Namun, mungkin tidak demikian. Sepertinya Bojong hanya sanggup memikirkan perannya sebagai seorang hwarang, dan tanpa ambisi yang berlebihan. Bisa dilihat juga dari pernikahannya, yang tidak pernah mengambil istri lagi setelah pernikahan keduanya padahal melalui pernikahan itu dia tidak memperoleh anak laki-laki.

Bojong tidak pensiun melainkan meninggal saat dia masih menjabat sebagai pungwolju pada tahun 621 di usia 43 tahun. Dia lalu digantikan oleh wakilnya, Yeomjang.

Aktor yang memerankan Bojong
(Copyrights: MBC)

Tokoh Bojong sempat muncul dalam drama “The Great Queen Seondeok” saat beliau menjabat sebagai hwarang dan pungwolju.







17. YEOMJANG

Yeomjang adalah Pungwolju ketujuh-belas. Nama beliau ditemukan dalam kitab Hwarang Sagi namun bukan saat dia menjabat sebagai pungwolju. Nama Yeomjang dicatat dalam kitab Samguk Yusa dan Samguk Sagi. Yeomjang lahir pada tahun 586 pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong sehingga membuat Yeomjang justru menjadi senior Yushin, padahal Yushin telah menjabat sebagai salah-seorang jenderal Silla saat Yeomjang baru ditunjuk sebagai pungwolju. Marga Yeomjang adalah “Kim” yang berasal dari klan Kim Gyeongsan. Nama beliau ditulis sebagai “Yeomjang-gong” yang menandakan beliau adalah anggota keluarga kerajaan. Yeomjang adalah salah-satu pangeran Silla yang diberi kepercayaan menjadi pungwolju.

Ayah Yeomjang adalah Pangeran Cheonchu. Pangeran Cheonchu adalah putra Raja Jinheung dengan putri dari Daegaya yang bernama Putri Wolhwa (putri dari Inoe dengan putri Silla yang bernama Putri Yanghwa). Sedangkan ibunda Yeomjang bernama Jido dari klan Park (adik-tiri dari pungwolju ke-14, Yongchun). Kakek maternal Yeomjang adalah Pangeran Gio, putra Selir Seonhye (selir Raja Soji) sehingga membuat Yeomjang masih berkerabat dengan Munno sebab Selir Seonhye juga adalah nenek paternal Selir Seonhye.

Yeomjang memiliki dua orang istri dan lima orang selir. Yeomjang menikah dengan putri Hajong (pungwolju ke-11) yang bernama Hahee yang memberikannya tiga orang putra (Hajang, Yunjang, dan Chunjang) dan tiga orang putri yang bernama Chunhwa, Yunhwa (kelak menikah dengan Cheongwang, pungwolju ke-24), dan Gyeonghwa (juga menikah dengan Cheongwang, pungwolju ke-24). Kelak putra ketiganya yang bernama Chunjang akan menjadi seorang pungwolju (Pungwolju ke-25). Istri kedua Yeomjang bernama Putri Yangmyeong (salah-satu putri Raja Jinpyeong), yang memberinya seorang putra yang bernama Pangeran Jangmyeong. Rupanya perjalanan cinta Yeomjang tidak berhenti setelah dia menikahi putri raja, sebab beliau memiliki banyak sekali selir. Dia menikahi putri dari seorang bangsawan Jingeol, putri dari seorang pejabat istana, dan dua orang selir dari Daegaya (salah-satunya memberikannya putri yang bernama Seulgi). Selain itu dia juga memiliki selir lainnya yang memberikannya dua orang putra yang bernama Hyojang dan Yujang.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Yeomjang menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka kemungkinan beliau menjadi Hwarang pada tahun 600, ketika pungwolju dijabat oleh Yongchun. Yeomjang menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 621 saat dia telah berusia 35 tahun. Yeomjang menjabat selama 5 tahun yaitu hingga tahun 626 saat dia berusia 40 tahun. Yeomjang menjadi seorang Hwarang dan menjabat sebagai pungwolju pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Wakilnya saat itu adalah Pangeran Chunchu. Yeomjang menjadi hwarang di masa yang sama dengan Pangeran Horim, Yushin, Bojong, Pangeran Chunchu, Pangeran Imjong, Pangeran Suljong, dan Pangeran Alcheon (senior mereka yang menjadi hwarang pada tahun 592). Dalam kitab Samguk Yusa, tertulis bahwa hwarang-hwarang tersebut adalah para hwarang yang menghadiri pertemuan legendaris di Hwabaek. Sangat mungkin jika mereka juga menjadi hwarang di masa yang sama dengan masa tugas hwarang Bidam, yang lalu pemimpin pemberontak paling terkenal dalam sejarah Silla.

Yeomjang terpilih sebagai pungwolju karena kecerdasan sebagai seorang pemimpin. Yeomjang adalah pungwolju yang menjabat saat Silla sedang berperang hebat melawan pasukan Baekje. Pada masa kepemimpinannya, terjadi banyak sekali pertempuran di Silla diantaranya adalah serbuan Baekje ke wilayah Neuknohyeon pada tahun 623 dan serangan Baekje ke tiga benteng (benteng Seokham, benteng Gajam, dan benteng Hyeolchaek) secara serentak pada tahun 624. Akhir masa jabatannya sebagai pungwolju juga masih ditutup oleh serbuan pasukan Baekje ke Benteng Jujae pada tahun 626. 

Selain harus menghadapi serbuan musuh, Yeomjang juga masih harus mengkordinasi resimen Hwarang agar bisa membantu restorasi Raja Jinpyeong diberbagai bidang termasuk dibidang militer dan keagamaan sebab pada masa kepemimpinan Yeomjang yaitu tahun 622, Raja Jinpyeong membentuk tiga divisi khusus yang independen, yaitu “Siwibu” (divisi khusus pengawal kerajaan), “Sangsaseo” (divisi khusus patriot kerajaan, veteran, dan keluarga para pejuang), dan “Daedoseo” (divisi khusus Budhisme, termasuk hubungan bilateral Kerajaan Silla dengan negara lain yang berhubungan dengan Budhisme). Memang tidak semua komandan hwarang dilibatkan dalam divisi-divisi khusus ini namun pungwolju harus mengarahkan beberapa komandan hwarang dan para nangdo mereka untuk menjadi tangan kanan raja mengurusi divisi-divisi ini sebab tugas-tugas dalam divisi-divisi ini adalah spesialisasi para hwarang. Selain itu, divisi Siwibu (divisi khusus pengawal kerajaan) para hwarang memang harus terlibat sebab keluarga kerajaan akan dikawal oleh pasukan pengawal raja yang bekerja-sama dengan beberapa komandan hwarang.

Mengacu pada hal ini maka bisa disimpulkan bahwa Yeomjang adalah salah-satu panglima Hwarang yang berbakat sebab pada eranya banyak perang besar yang terjadi. Namun, masa-masa seperti inilah yang mengokohkan reputasi resimen hwarang sebagai salah-satu resimen khusus terbaik dunia. Pada masa-masa ini, dia harus tegar melihat juniornya, Kim Yushin menjadi komandan pasukan pengawal istana, sebuah jabatan yang sangat bergengsi. Namun, Yeomjang rupanya tidak tertarik mengikuti jejak Kim Yushin sebagai seorang jenderal. Dia lebih memilih melanjutkan karirnya dibidang politik dengan menjadi birokrat setelah dia pensiun pada tahun 626 diusia 40 tahun. Karir Yeomjang sebagai seorang politisi menanjak diera kepemimpinan Ratu Jindeok. Saat itu selain menjadi politisi, Yeomjang juga menjadi pemimpin para bangsawan Jingeol. Hal ini mengindikasikan posisinya pada saat pemberontakan Bidam yaitu sebagai salah satu pendukung ratu Seondeok sebab Yushin dan Pangeran Chunchu mengeksekusi seluruh pendukung Bidam dan semua relasinya termasuk orang-orang yang baru dicurigai sebagai pendukung Bidam atau sebagai oposan Ratu Seondeok, oleh karena itu Yeomjang tidak mungkin selamat dalam pembersihan ini jika dia adalah salah-satu penentang Ratu Seondeok.

Yeomjang meninggal pada tahun 648 di usia tua, 62 tahun.

Aktor yang memerankan Yeomjang
(Copyrights: MBC & KBS)


Meskipun bukan seorang hwarang dan pungwolju yang paling terkenal namun tokohnya sempat muncul dalam serial drama populer, “The King’s Dream”.







18. CHUNCHU

Kim Chunchu merupakan Pungwolju kedelapan-belas. Selain Kim Yushin dan Sadaham, Kim Chunchu adalah hwarang dan pungwolju yang paling terkenal dalam sejara Silla sebab dia adalah satu-satunya pungwolju yang menjadi raja Silla.

Chunchu dilahirkan di istana utama Silla di Seorabeol pada tahun 604 pada masa pemerintahan kakeknya, Raja Jinpyeong dan saat pamannya menjabat sebagai pungwolju. Beliau adalah putra tunggal dari Kim Yongsu (putra sulung Raja Jinji dan adik Kim Yongchun) dengan Putri Cheonmyeong (putri Raja Jinpyeong dan saudari kandung Ratu Seondeok). Artinya, Chunchu adalah cucu Raja Jinpyeong (maternal) dan Raja Jinji (paternal), dan keponakan Ratu Seondeok dan Ratu Jindeok. Statusnya sebagai cucu Raja Jinpyeong juga membuat Chunchu masih sepupu dengan sahabatnya, Kim Yushin (pungwolju ke-15). Chunchu dikirim ke ibukota Dinasti Sui saat dia masih kecil untuk menjauhkannya dari pertikaian diistana sebab hingga kelahirannya, Raja Jinpyeong masih belum memiliki putra dan selain itu beliau juga berencana mengangkat salah-satu putrinya sebagai penerus. Ayahnya, Kim Yongsu meninggal saat dia masih kecil sehingga Chunchu dibesarkan oleh ibunya. Namun, catatan sejarah juga mengindiksi bahwa ibunya juga meningga saat dia masih kecil. Mungkin inilah sebabnya Chunchu sangat disayang oleh kakek dan bibi-bibinya. Chunchu menghabiskan masa kecilnya di ibukota Sui itu. Nampaknya masa kecil Chunchu dihabiskan dengan mempelajari berbagai kebiasaan bangsa-bangsa yang ditemuinya di Tiongkok sehingga membuat Chunchu sangat panda berdiplomasi dengan bangsa asing. Di ibukota Sui ini juga Chunchu bertemu dan bersahabat dengan calon Kaisar Gaozong dari dinasti Tang.

Dalam sejarah, Chunchu adalah salah-satu dari dua raja di Korea yang dikenal paling pandai berdiplomasi. Seorang raja lainnya yang mendapatkan predikat ini adalah Raja Gwanghae dari Joseon. Berbeda dengan Raja Gwanghae yang kemahiran berdiplomasinya dibuktikan oleh kesuksesan beliau meluputkan Joseon dari serangan bangsa-bangsa asing, maka Chunchu adalah raja yang sukses melibatkan bangsa asing untuk melawan musuh-musuhnya dan bahkan mengusir bangsa asing lainnya dari Korea.

Sebagai seorang diplomat yang pernah tinggal di luar-negeri, Chuncu menjadi Raja Silla yang namanya paling banyak ditemukan didalam catatan-catatan kuno dari Tiongkok dan Jepang. Nama Chunchu ditemukan dalam catatan-catatan Tiongkok sejak masa pemerintahan Kaisar Taizong dari Kekaisaran Tang, sedangkan di Jepang, nama Chunchu dapat ditemukan dalam catatan klasik “Nihon Shoki” sebagai seorang diplomat Silla yang diutus ke Jepang pada tahun 647, dimasa pemerintahan Kaisar Gotoku. Catatan Nihon Shoki juga menggambarkan penampilan dan wajah Chunchu sebagai “seorang diplomat yang berwajah cantik dari Korea/Silla”. Gambaran mengenai wajah Chunchu ini cukup mengagumkan sebab saat itu Chunchu telah berusia 43 tahun.

Chunchu memiliki beberapa istri. Entah apa alasannya menikahi istri pertamanya, Putri Bora (putri pertama Bojong) sebab dikatakan mereka menikah diusia muda. Mungkin Chunchu memang benar-benar mencintai Putri Bora sebab meskipun Putri Bora adalah cucu Mishil namun dia bukan berasal dari suami Mishil yang memiliki pengaruh politik yang besar sebab Seolwon (kakek Bora) dan Bojong (ayah Bora) hanya mencurahkan hidup mereka sebagai seorang prajurit. Pernikahan kedua pasangan ini menghasilkan dua orang anak, sayangnya Putri Bora meninggal saat melahirkan anak kedua. Putri Bora meninggal diusia muda sebelum Chunchu menjadi raja sebab statusnya dalam Hwarang Sagi tertulis sebagai seorang “Gungju” atau putri, bukannya “Wang-hu” yang artinya ratu. Hanya satu nama anak Putri Bora dan Chunchu yang tercatat dalam sejarah yaitu Putri Gotaso, sehingga sangat mungkin jika anak mereka yang seorang lagi meninggal saat masih kecil, entah meninggal saat dilahirkan mengikuti (atau mendahului) kematian ibunya. Anak perempuannya, Putri Gotaso memiliki kisah hidup yang menyedihkan namun mengagumkan. Putri Gotaso adalah putri pertama dan putri kesayangan Chunchu. Beliau menikah dengan seorang bangsawan keturunan Gaya yang bernama Kim Phum-seok (putra dari Jenderal Kim Pheum-il). Kim Pheum-seok adalah seorang jenderal. Hal ini ibarat tradisi dari para bangsawan Gaya yang mengabdi pada Silla sebagai para pejabat militer bukan sebagai pejabat sipil. Pada tahun 642, pasukan Kerajaan Baekje kembali menyerang wilayah Silla tepatnya dan mengepung benteng Daeyaseong (wilayah Hapcheon, bekas wilayah Daegaya) padahal saat itu Silla dan Baekje sedang dalam perjanjian damai. Disaat yang sama, Putri Gotaso juga sedang berada disana. Pasukan Kim Phum-seok sudah terkepung disegala penjuru oleh tentara Baekje, tapi bukan itu membuat Kim Phum-seok tersudut melainkan karena sekutunya yang seharusnya membantu mereka justru menyerah pada musuh. Berita ini sangat menjatuhkan mental pasukannya. Ajudannya lalu meminta Kim Phum-seok untuk menyerah agar tentaranya tidak dibantai tapi Kim Phum-seok menolak. Namun, tiba-tiba Kim Phum-seok berjalan ke gerbang benteng dan membuka pintu gerbang. Rupanya dia menyuruh prajuritnya agar keluar dari benteng dan menyelamatkan diri. Setelah itu, Kim Phum-seok masuk kembali kedalam benteng, mencari istrinya dan dengan terpaksa membunuh istrinya agar tidak ditawan musuh. Kim Phum-seok kemudian melakukan bunuh-diri dan benteng Daejeong pun jatuh ke pasukan Baekje. Pasukan Baekje tidak mengembalikan tubuh Kim Phum-seok dan Putri Gotaso ke Silla melainkan membawa kepala mereka ke istana Sabi untuk dipersembahkan kepada raja sekaligus dipertontonkan ke khayalak umum. Benteng Daeyangseong sendiri berhasil direbut kembali oleh Yushin beberapa tidak lama setelah peristiwa itu, namun Chunchu harus menunggu selama 5 tahun untuk memperoleh kembali dan menguburkan jenasah putri dan menantunya itu karena baru pada tahun 647 Kim Yushin berhasil melakukan pertukaran dengan pihak Baekje yaitu menukar delapan jenderal Baekje yang ditawan oleh Silla dengan kepala Kim Phum-seok dan Putri Gotaso. Chunchu sangat syok mendengar kematian putrinya dan menangis sambil bersandar di sebuah pilar di benteng Daeyangseong yang ramai dilewati orang-orang. Orang-orang bahkan tidak mengetahui bahwa itu adalah Pangeran Chunchu. Kim Chunchu lalu berjanji akan menghancurkan Baekje hingga tidak bersisa apa-apa dari kerajaan itu. Janji Chunchu ini lalu di-tunaikan olehnya 13 tahun kemudian ketika dia menjadi Raja Silla yang kemudian menghancurkan dan meruntuhkan kerajaan Baekje.

Pernikahan-pernikahan Chunchu berikutnya menunjukkan persahabatannya dengan Kim Yushin sekaligus menegaskan bahwa beliau sudah mulai mempersiapkan jalannya sebagai penguasa dengan mengadakan aliansi dengan Kim Yushin. Chunchu menikahi adik-adik Kim Yushin, yaitu Ratu Munhee (nama resminya adalah Ratu Munmyeong) dan Selir Bohee.

Samguk Yusa mengisahkan kisah yang unik tentang pernikahan Chunchu dan Munhee. Dikisahkan bahwa awalnya Munhee-lah yang jatuh cinta pada Chunchu namun Chunchu tidak tertarik menikahinya sebab hanya menganggapnya sebagai seorang adik. Pada saat itu, Chunchu sering bertandang ke rumah Yushin untuk berlatih pedang dan dalam suatu kesempatan Yushin yang selalu mengalahkan Chunchu merobek baju Chunchu saat bertarung. Munhee dan adiknya, Bohee lalu menjahitkan baju Chunchu. Sang adik pun berusaha mendekatkan Munhee dengan Chunchu. Sang pangeran lalu jatuh cinta pada Munhee dan sering mengajak bertemu. Tak lama kemudian, Munhee hamil.

Kim Yushin marah besar mendengar kehamilan ini. Ia lalu menyusun kayu dihalaman rumahnya dan menarik Munhee kedekat tumpukan kayu yang telah dibakar itu sambil memaksa Munhee mengatakan siapa yang menghamilinya namun Munhee menyangkalnya. Rupanya, asap yang muncul dari kayu yang dibakar Yushin ini terlihat oleh Ratu Seondeok yang sedang berjalan-jalan ke bukit yang letaknya lebih tinggi dari rumah Kim Yushin. Ratu Seondeok pun bertanya-tanya ada apa gerangan. Setelah mengatehui bahwa asap itu dari rumah Yushin, ratu pun bertanya pada para pengawalnya perihal Kim Yushin. Para pengawalnya menceritakan tentang gosip mengenai kehamilan Muhee.

Ratu yang cerdas ini mendengar dan mempelajari semua informasi yang baru diperolehnya dan tiba pada kesimpulan bahwa Kim Yushin akan membunuh Munhee sebab adiknya itu hamil tanpa memiliki suami. Ratu lalu melihat ke sekelilingnya, ke orang-orang yang berada bersama dengannya saat itu untuk mencari 'tersangka'-nya, dan ratu pun melihat Kim Chunchu yang wajahnya sepucat orang mati. Ratu lalu dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa Chunchu lah yang menghamili Munhee dan berkata pada Chunchu, "Kau rupanya. Cepat pergi dan selamatkan gadis itu!"

Chunchu lalu memacu kudanya menuju kediaman Kim Yushin, dan belum lagi tiba di rumah Yushin, Chunchu pun berteriak, "Perintah Ratu, perintah ratu!! Jangan bunuh gadis itu!!"

Nyawa Munhee akhirnya bisa diselamatkan dan Ratu Seondeok lalu memerintahkan Chunchu segera menikahi Munhee. Tak lama kemudian upacara pernikahan keduanya pun dilangsungkan.

Munhee memberinya enam putra (Kim Beopmin/Raja Munmu, Kim Inmun, Kim Munwang, Kim Noja, Kim Ji-gyeong, dan Kim Gaewon) dan seorang putri, yaitu Putri Jiso (kelak menikah dengan Kim Yushin). Selir Bohee juga memberikannya keturunan yaitu empat putra yang bernama Kim Gaejimun dan adik-adiknya yaitu Kim Chadeuk, Kim Madeuk, dan Kim Intae (ketiganya menikah dengan putri-putri dari Yongchun), serta seorang putri yang bernama Putri Yoseok (kelak menikah dengan biksu ternama Silla, Wohyeon).

Pernikahan Chunchu dengan putri-putri Yushin ini memuluskan rencana dan upaya bibinya, Ratu Seondeok untuk menjadikan Chunchu sebagai raja Silla selanjutnya, sebab artinya Chunchu aliansinya dengan Yushin menandakan telah bahwa dia telah mendapat dukungan dari para bangsawan Gaya terlebih lagi menantunya juga adalah seorang dari Gaya. Dia juga didukung oleh pamannya, Yongchun yang berhasil meraih posisi yang sangat tinggi di pemerintahan Ratu Seondeok. 

Sebelum semua kisah diatas terjadi, Chunchu mengawali harapan kakek dan bibi-nya dengan menjadi seorang hwarang. Tidak diketahui dengan pasti kapan Chunchu menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka kemungkinan beliau menjadi Hwarang pada tahun 600, ketika pungwolju dijabat oleh pamannya, Yongchun. Chunchu sempat ditunjuk sebagai wakil pungwolju yang menjadi pertanda bahwa dialah yang akan menjadi pungwolju berikutnya. Chunchu lalu menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 626 saat dia berusia 22 tahun. Chunchu menjabat selama 3 tahun yaitu hingga dia pensiun pada tahun 629 saat dia berusia 25 tahun. Chunchu menjadi seorang Hwarang dan menjabat sebagai pungwolju pada masa pemerintahan kakeknya, Raja Jinpyeong. Wakilnya saat itu adalah Kim Heumsun (adik Kim Yushin).

Chunchu terpilih sebagai pungwolju selain karena statusnya sebagai pangeran juga karena kecerdasan sebagai seorang pemimpin. Tugasnya sebagai pungwolju dimulai dari keterlibatannya dalam urusan bilateral Silla yang sangat penting karena dia harus mendampingi raja menyambut gubernur dari dinasti Tang (yang bertugas sebagai duta-besar) di istana Silla pada tahun 626 atas inisiasi Raja Jinpyeong sebagai tanda kepercayaan antar kedua Negara. Chunchu harus berada disana sebab dia bersahabat dengan putra mahkota Tang saat itu. Perjanjian ini sangat penting karena persekutuan dengan Tang kelak akan membantu Silla mempersatukan Semenanjung Korea. Pada masa kepemimpinannya, terjadi banyak sekali perang antara Silla dengan Baekje, diantaranya adalah serbuan Baekje pada tahun 627 yang berhasil merebut dua benteng sekaligus dan menawan banyak penduduk Silla. Silla lalu melakukan serangan balasan ke Baekje pada tahun 628 dan berhasil merebut kembali Benteng Gajam. Akhir masa jabatannya sebagai pungwolju pada tahun 629 juga masih ditutup oleh peperangan yang lebih besar ketika itu Raja Jinpyeong mengirim balatentara Silla dibawah pimpinan Kim Yong-chun, Jenderal Kim Seohyeon, dan Jenderal Kim Yushin untuk melakukan serangan balasan ke Goguryeo dan berhasil menduduki benteng milik Goguryeo yang bernama Benteng Nangbi. Chunchu pun pensiun pada tahun 629, tahun yang sama dengan tahun pengangkatan Kim Yushin sebagai “Komandan Utama Pasukan Pengawal Kerajaan”.

Setelah pensiun sebagai hwarang, Chunchu diminta oleh kakeknya untuk terlibat dalam pemerintahan Silla. Chunchu memang bukan satu-satunya cucu Raja Jinpyeong tapi dia adalah satu-satunya cucu laki-laki raja yang sah. Oleh sebab itu, walaupun raja sudah menunjuk Putri Deokman (bakal Ratu Seondeok) sebagai pewaris namun raja juga mempersiapkan Chunchu sebagai pengganti Putri Deokman jika sang putri tidak memiliki keturunan. Oleh karena itu, Chunchu diserahi berbagai tugas kenegaraan. Pada masa pemerintahan kakeknya, Chunchu adalah orang yang paling bertanggung-jawab mengurusi hubungan diplomatik antara Silla dengan Tang. Selain bernegosiasi dengan pihak Tiongkok, Chunchu juga bernegosiasi pihak Goguryeo demi membantu Silla menghadapi Baekje. Diera pemerintahan bibinya, Ratu Seondeok, Chunchu berhasil meyakinkan Goguryeo untuk menekan Baekje sehingga untuk sementara waktu Baekje tidak menyerang Silla. Chunchu bahkan mengunjungi Jepang pada tahun 647 untuk melobi kaisar Jepang agar tidak menyerang Silla dan menahan kerjasama militer mereka dengan Baekje. Perundingan ini sangat penting sebab saat itu Silla kondisi dalam negeri Silla sedang kacau akibat pemberontakan Bidam yang diakhiri oleh wafatnya Ratu Seondeok. Jika saat itu Baekje menyerang Silla maka sudah pasti Silla akan sulit memenangkan perang. Negosiasi Chunchu berhasil dan membuat Baekje terpaksa kembali melakukan genjatan senjata dengan Silla, salah-satu hasil dari gencatan senjata itu adalah pertukaran tawanan perang. Jenderal Yushin lalu mengembalikan delapan jenderal Baekje yang ditawan Silla dan sebagai gantinya adalah Baekje harus mengembalikan kepala putri dan menantu Chunchu, Putri Gotaso dan Jenderal Kim Pheum-seok. Peristiwa ini adalah peristiwa-peristiwa yang mengawali era pemerintahan bibinya yang lain, Ratu Jindeok.

Pangeran Chunchu mendapatkan gelar kehormatan “Taejong” dari Kaisar Tang saat dia dan putranya, Kim Beopmin mengunjungi istana Tang pada tahun 648. Pada tahun itu juga, Tang berjanji akan mengirimkan pasukan mereka jika Silla diserang oleh kerajaan lain. Sekembalinya Chunchu dari Tang, kapalnya disergap oleh kapal perang Goguryeo. Untung saja sebuah kapal melintas dan mencoba mengganggu prajurit Goguryeo, kapal Chunchu memanfaat kesempatan itu untuk kabur dengan menggunakan perahu kecil. Rupanya kapal yang melintas itu dinahkodai oleh teman lama Chunchu.

Ratu Jindeok tidak memiliki keturunan sehingga menimbulkan perdebatan di-istana. Chunchu merupakan anggota satu dari sedikit sekali anggota keluarga kerajaan yang berasal dari golongan campuran Seong-geol dan Jing-geol, artinya masih ada bangsawan campuran lainnya yang berasal dari kasta campuran, salah-satunya adalah Pangeran Alcheon. Pangeran Alcheon adalah cucu keponakan Raja Jinpyeong (cucu dari Galmunwang Ipjong). Ayahnya adalah bangsawan Seon-geol namun ibunya adalah seorang Jin-geol Alcheon juga merupakan senior yang paling dihormati oleh Yushin saat mereka masih mengabdi sebagai hwarang. Mayoritas bangsawan Silla lebih mendukung Kim Alcheon sebagai calon raja karena status kebangsawanan beliau, pengalaman beliau dalam pemerintahan, dan statusnya sebagai perdana-menteri, namun Jenderal Kim Yushin lebih mendukung Pangeran Chunchu. Alasan Kim Yushin adalah karena sebelumnya Ratu Seondeok telah menunjuk Kim Chunchu sebagai pewaris namun terbentur oleh peraturan kasta kebangsawanan yang membuat Kim Chunchu (dan juga Alcheon) masih berada dibawah Ratu Jindeok dalam daftar suksesi. Rupanya, pandangan Kim Yushin ini justru ikut didukung oleh Ratu Jindeok dan Alcheon. Alcheon, yang memang salah seorang abdi Ratu Seondeok yang paling setia dan sahabat Kim Yushin lalu menyatakan dukungannya pada Pangeran Chunchu dan secara sukarela melepaskan haknya atas tahta Silla, lalu mengganti marganya dari “Kim” menjadi “So” agar luput dari kisruh suksesi dimasa mendatang, baik yang berpotensi menimpa dirinya maupun keluarga dan keturunannya. Dengan demikian, resmilah Pangeran Chunchu diangkat sebagai pewaris tahta Silla, dan kemudian menjadi raja Silla dengan gelar Raja Muyeol.

Chunchu berhasil menerapkan kebijakan-kebijakan prioritasnya. Karena telah mendapat dukungan penuh dari para bangsawan yang berkuasa, Chunchu bisa dengan leluasa menerapkan kebijakan luar-negeri. Diantara para bangsawan pendukungnya, Jenderal Kim Yushin dan Perdana Menteri So Alcheon merupakan pendukung utama Chunchu dan orang-orang kepercayaannya. Kebijakan politik utama Chunchu sebagai raja Silla adalah melakukan penguatan otoritas kerajaan dan memperkuat kubu pendukungnya. Prioritas berikutnya adalah memperkuat hubungan diplomatik dengan Dinasti Tang. Hal ini sangat penting karena kebijakan Chunchu selanjutnya adalah memulai ekspansi untuk menyerang dua kerajaan lain di semenanjung, yaitu kerajaan Baekje dan Goguryeo. Dalam sejarah Silla, selain dikenal sebagai salah-satu tokoh utama penyatuan Tiga Kerajaan, Chunchu memang dikenal sebagai seorang diplomat ulung. Diplomasinya semakin mudah karena Chunchu merupakan sahabat dari Kaisar Gaozong saat Chunchu berada di Tiongkok menghabiskan masa-kecilnya Dinasti Sui masih berkuasa, dan baru kembali ke Silla saat beliau telah remaja. Semasa itulah Chunchu bertemu dan bersahabat dengan Kaisar Gaozong, jauh sebelum sang kaisar naik tahta bahkan sebelum Dinasti Tang stabil berdiri. Ketika Kaisar Gaozong menjadi penguasa Tiongkok, posisi Silla di semenanjung semakin aman karena Chunchu berhasil menyakinkan Gaozong bahwa penyatuan Korea justru akan lebih menguntungkan bagi Dinasti Tang. Akhirnya, dimasa pemerintahan Chunchu impian para pendahulunya untuk menyatukan Semenanjung Korea mulai mendekati kenyataan, dan janjinya pada putrinya untuk menghancurkan Baekje pun digenapi.

Chunchu wafat pada bulan Juni 661, sebelum penaklukkan Goguryeo. Saat itu beliau berusia 57 tahun. Tugas beliau sebagai pemersatu Tiga Kerajaan dilanjutkan oleh sahabatnya, Kim Yushin, dan putra-mahkotanya, Kim Beopmin, yang kemudian diangkat menjadi Raja Munmu.

Aktor yang memerankan Chunchu
(Copyrights: MBC & KBS)

Chunchu sering diceritakan dalam drama-drama yang mengambil latar era Silla terutama diera penyatuan Tiga Kerajaan. Beliau sering muncul dalam drama-drama tentang Raja Jinpyeong, Ratu Seondeok, dan Raja Munmu. Drama-drama yang menceritakan tentang dirinya adalah drama “The Great Quee Seondeok” dan drama “Gyebaek”. Sedangkan drama yang fokus mengambil latar cerita tentang masa pemerintahannya adalah drama “The King’s Dream”.







19. HEUMSUN

Heumsun adalah Pungwolju kesembilan-belas. Nama beliau ditemukan dalam kitab Hwarang Sagi namun bukan saat dia menjabat sebagai pungwolju. Nama Heumsun juga dicatat dalam kitab Samguk Yusa dan Samguk Sagi. Heumsun lahir pada tahun 598 pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong sehingga membuat Yeomjang justru menjadi senior Pangeran Chunchu, padahal Heumsun adalah wakil Chunchu diresimen hwarang. Marga Heumsun adalah “Kim” yang berasal dari klan Kim Gimhae. Heumsun adalah adik kandung Yushin dan kakak dari Jenderal kim Wonsul. Beliau adalah pungwolju terakhir dari era pemerintahan Raja Jinpyeong.

Ayah Heumsun, Kim Sohyeon adalah seorang jenderal Silla meskipun beliau adalah seorang keturunan Gaya. Kebijakan Raja Jinheung yang mengasimilasi keturunan Gaya menjadi warga Silla setelah kejatuhan Daegaya merupakan kebijakan tepat dan berbuah manis sebab para bangsawan Gaya sangat unggul dibidang militer dan merupakan orang-orang yang setia. Kesetiaan orang Gaya terbukti pada saat kejatuhan Silla kelak, sebab mereka tidak melepaskan diri dengan Silla hingga akhir walaupun banyak daerah lain yang melepaskan diri dari Silla. Menjadi jenderal Silla ibarat sudah menjadi tradisi turun-temurun keluarganya sejak Kerajaan Daegaya ditaklukkan oleh Silla. Ayah dan kakek Kim Sohyeon semua adalah jenderal Silla sehingga Kim Sohyeon juga menuntut putra-putranya untuk menjadi jenderal Silla, termasuk Kim Heumsun.

Heumsun memiliki tiga orang istri. Istri pertama Heumsun adalah putri dari Bori (pungwolju ke-12) yang bernama Bodan-nangju, yang memberikannya dua orang putra, yaitu Wonsu dan Wonsong (pungwolju ke-29). Istri keduanya bernama Yidan-nangju (juga putri dari Bori) yang memberikannya seorang putra yang bernama Wonsun. Sedangkan istri ketiganya tidak tercatat namanya, namun nama putra mereka tercatat yaitu Kim Ban-geul. Putra-putranya mengikuti jejaknya sebagai seorang komandan militer. Putranya yang bernama Kim Ban-geul meninggal dalam Perang Hwansanbeol yang terkenal itu setelah bertarung digaris depan dengan pasukan musuh. Kelak, putra Kim Ban-geul yang bernama Kim Young-yoon juga bergabung di militer, dan menjadi komandan yang memimpin prajurit Silla menumpas pemberontakan di bekas wilayah kekuasaan Goguryeo pada masa pemerintahan Raja Sinmun.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Heumsun menjadi seorang Hwarang, tapi jika usia penerimaan Hwarang adalah 15 tahun maka kemungkinan beliau menjadi Hwarang pada tahun 613, ketika pungwolju dijabat oleh kakaknya, Yushin. Heumsun menjabat sebagai Pungwolju pada tahun 629 saat dia berusia 31 tahun. Heumsun diangkat sebagai pungwolju ditahun yang sama dengan terpilihnya Yushin sebagai Kepala Pasukan Pengawal Istana. Heumsun menjabat selama 3 tahun yaitu hingga tahun 632. Beliau pensiun saat di-usia 34 tahun. Heumsun menjadi seorang Hwarang dan menjabat sebagai pungwolju pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Wakilnya saat itu adalah Pangeran Yewon. Heumsun menjadi hwarang di masa yang sama dengan Chunchu dan Yeomjang.

Heumsun terpilih sebagai pungwolju karena kemampuannya sebagai seorang komandan militer. Kemampuannya dibidang militer ini sangat dibutuhkan sebab Heumsun adalah pungwolju yang menjabat saat Silla sedang berperang melawan pasukan Baekje dan juga menghadapi pemberontakan didalam negeri. Tugas utamya sebagai pungwolju adalah bergabung dalam balatentara Silla dibawah pimpinan Kim Yong-chun, Jenderal Kim Seohyeon, dan Jenderal Kim Yushin untuk melakukan serangan balasan ke Goguryeo dan berhasil menduduki benteng milik Goguryeo yang bernama Benteng Nangbi. Dia adalah pungwolju yang menjabat saat terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Ichan Chilsuk (Ichan = bangsawan dengan level tertinggi/level 6 dari kelas Jing-geol) dan Achan Seokpum (Achan = bangsawan dengan level kedua tertinggi/level 5 dari kelas Jing-geol) karena tidak menginginkan Putri Deokman menjadi pewaris. Pemberontakan berhasil dipadamkan dibawah pimpinan kakaknya, Jenderal Kim Yushin. Chilsuk dipenggal didepan umum dan keluarga serta para pendukungnya dihukum mati, sedangkan Seokpum dieksekusi ketika berusaha melarikan diri. Akhir masa jabatan Heumsun sebagai pungwolju sebagai pungwolju justru ditutup oleh meninggalnya Raja Jinpyeong dan peralihan kekuasaan ke Putri Deokman yang menjadi Ratu Seondeok. 

Mengacu pada hal ini maka bisa disimpulkan bahwa Heumsun adalah salah-satu panglima Hwarang yang paling berbakat dalam sejarah para hwarang sebab eranya diwarnai oleh perang besar dan pemberontakan. Heumsun melanjutkan karirnya dibidang militer dengan menjadi perwira Silla setelah dia pensiun pada tahun 632 diusia 34 tahun. Karir Heumsun di militer menanjak karena memang dia adalah perwira berbakat. Dia adalah salah-satu komandan Silla yang menumpas pemberontakan Bidam. Dia juga adalah jenderal Silla yang bertempur melawan Baekje dan meruntuhkan Goguryeo. Heumsun juga merupakan jenderal yang diandalkan kakaknya dalam perang-perang melawan pendudukan balatentara Tang, dan saat kakaknya meninggal maka Heumsun adalah jenderal yang melanjutkan perjuangan ayahnya melawan Tang. Dalam perang dengan Tang, Heumsun sempat tertangkap prajurit Tang, namun perang itu akhirnya dimenangkan oleh pasukan Silla dan sejak saat itu tidak ada kerajaan-kerajaan Tiongkok yang menduduki Silla dan Semenanjung Korea selama lebih dari lima-ratus tahun.

Heumsun meninggal pada tahun 680 di usia tua, 82 tahun. 

Aktor yang memerankan Heumsun
(Copyrights: KBS)

Meskipun bukan seorang hwarang dan pungwolju yang paling terkenal namun tokohnya sempat muncul dalam beberapa serial drama, yaitu drama “Samguk”, drama “Yeon Gaeseomun”, dan drama populer, “The King’s Dream”. Beliau juga muncul dalam film populer, "Hwansanbeol".


Didahului oleh:



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture : MBC (drama "The Great Queen Seondeok", 2009), KBS (drama "The King's Dream", 2011)

Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media


Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; The Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


Daftar Website:

No comments:

Post a Comment

CATATAN PADA PARA PEMBACA:

-Silahkan membaca, mengambil, dan menggunakan artikel ini dalam karya tulis anda tapi CANTUMKAN KREDIT LENGKAP ARTIKEL INI dalam daftar sumber anda dan JANGAN MENYADUR/MENGCOPY-PASTE apalagi MEM-PLAGIAT 100% isi tulisan ini. Kembangkanlah kreativitas dalam penulisan anda.

-Pembaca DAPAT memberikan komentar dengan akun TANPA NAMA (Annonymous).

-Gunakanlah kata-kata yang baku agar komentar tidak dikategorikan sebagai "komentar Spam" secara otomatis oleh google filter machine.

-Harap MEMBACA ARTIKEL INI dan komentar-komentar sebelum anda DENGAN TELITI sebelum berkomentar, karena mungkin pertanyaan anda TELAH DIJELASKAN secara langsung melalui artikel ini, dan juga agar pertanyaan-pertanyaan yang sama tidak ditanyakan secara berulang.

-DILARANG memberikan informasi dan komentar yang melecehkan Suku, Agama, Ras, dan golongan tertentu (SARA) dan mengandung unsur pornografi.

-Kami menerima setiap kritik dan masukan dari para pembaca melalui kolom komentar, namun Setiap komentar yang melecehkan pihak lain, baik pelecehan berbau SARA atau yang mencerminkan FANDOM WAR akan kami HAPUS.

-Setiap komentar dan iklan yang mengandung unsur PORNOGRAFI dan PERJUDIAN, dan ajakan untuk bergabung dalam usaha SIMPAN PINJAM, KREDIT USAHA dan sejenisnya akan KAMI HAPUS karena berpotensi terjadi PENIPUAN.

-Jika anda memiliki informasi tambahan yang berhubungan dengan artikel ini, kami sangat senang jika anda membagikannya pada pembaca yang lain melalui website ini dan kami sangat senang jika anda juga turut membagikan artikel ini pada orang lain.