DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Showing posts with label Biography. Show all posts
Showing posts with label Biography. Show all posts

Thursday, 10 May 2018

PETRUS KAFIAR, GURU PERTAMA DARI PAPUA (bagian 2)




PELAYANAN PERTAMA SEBAGAI GURU


Keberhasilan Petrus meraih gelar sarjana di Pulau Jawa membuat keluarga angkatnya sangat bangga dan juga membuat seluruh Mansinam berbahagia. Petrus dan Timotius disambut dengan air mata kebahagian saat beliau tiba di Mansinam pada akhir tahun 1896. Ibadah syukur di gereja-pun dilakukan untuk menyambut kepulangan Petrus dan Timotius sebagai ungkapan syukur segenap jemaat pada Tuhan.

Kedatangan kembali Petrus dan Timotius di Mansinam berselang dua tahun dari kembalinya Van Hasselt Muda dari Negeri Belanda usai menamatkan pendidikannya di sekolah pendeta disana. Kembalinya tiga pemuda yang sudah bergelar sarjana dan mau melayani di Papua ini menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi Pendeta J.L Van Hasselt (Van Hasselt Tua). Walaupun tugas-tugas beliau selalu bertambah namun beban yang dia rasakan berkurang banyak. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ny.Van Hasselt Tua sebab baginya Petrus sudah seperti anaknya sendiri.

Tidak lama setelah kedatangan Petrus dan Timotius ke Mansinam maka tiba waktunya bagi Petrus untuk menerima perintah penugasan pertamanya. Sekitar bulan Desember 1896, musyawarah antar penatua gereja pun dilakukan untuk memutuskan tugas dan tempat tugas bagi Petrus dan Timotius. Sekitar masa-masa setelah Natal 1896, diputuskan bahwa Timotius ditugaskan menjadi guru bantu di Mansinam sedangkan Petrus ditugaskan melayani di wilayah Pegunungan Arfak.




Pelayanan Pertama & Penolakan Orang Arfak

Saat itu, kepercayaan Animisme dan Dinamisme masih kuat dipegang oleh suku Arfak dan kekristenan belum mampu menembus masuk kesana. Antara suku Arfak dan Zending di Mansinam ada pertentangan yang cukup serius sebab Zending di Mansinam secara terang-terangan mengecam praktik kepercayaan adat suku Arfak dan berusaha membawa orang-orang Arfak menjadi penganut Kristen. Apa yang dilakukan oleh pihak Zending ini tentu akan membuat peran dari para dukun-dukun berpengaruh ditengah-tengah orang Arfak menjadi kecil dan semakin kecil. Hal inilah yang membuat orang-orang Arfak, yang sudah dihasut oleh para tetua dan dukun, sangat memusuhi Zending di Mansinam.

Berita mengenai penugasan Petrus di Arfak akhirnya terdengar oleh orang-orang Arfak, dan berita ini membuat mereka sangat marah dan sudah bersiap-siap turun ke Amban, sebuah pulau kosong yang dekat dari Pegunungan Arfak, tempat berlabuh dan singgahnya perahu-perahu orang Arfak yang hendak mencari ikan. Orang-orang Arfak yang menjadi sahabat Pendeta Van Hasselt Tua dan juga David, ayah angkat Petrus, lalu mengirim pesan melalui sebilah bambu, yang disebut ‘Bambu Sumpah’, yang ditujukan kepada David, yang bunyinya,

Bahwa dengan bambu ini sudah disumpah, sebaiknya jangan menempatkan Petrus di Arfak karena pihak musuh disini akan membunuhnya.”

Bambu Sumpah terdiri dari sebilah bambu yang menjadi salah-satu alat komunikasi bagi orang Papua tempo dulu, yang sudah dilakukan sebelum mereka mengenal tulisan, dan maknanya adalah sebagai “tanda peringatan”. Sebelum tulisan dikenal oleh orang Papua, Bambu Sumpah akan dikirim melalui seorang (atau lebih) pengantar, yang saat menyampaikan Bambu Sumpah pada pihak yang dituju hanya akan menyebutkan siapa yang mengirim bambu tersebut. Jika si pengirim adalah kawan dari penerima maka maknanya adalah “peringatan akan terjadi bahaya”, sedangkan jika pengirim adalah musuh dari penerima maka maknanya adalah “ancaman”. Jika nama pengirim tidak dikenal oleh penerima maka penerima cukup menanyakan asal kampung atau nama suku pengirim. Melalui informasi asal-usul pengirim maka penerima bisa mengetahui apakah Bambu Sumpah itu adalah ancaman atau peringatan, sebab pada masa itu persahabatan dan perseteruan akan melibatkan seluruh kampung dan sub-suku sehingga jika satu orang dikampung itu adalah sahabat maka seluruh kampung adalah sahabat, sebaliknya jika satu orang dikampung itu adalah musuh maka seluruh kampung adalah musuh. Bagi orang-orang Papua yang sudah bisa baca-tulis maka mereka akan menyertakan pesan tertulis di Bambu Sumpah supaya pesan yang disampaikan lebih lengkap.

Pesan melalui Bambu Sumpah yang diterima oleh David langsung dilaporkan olehnya kepada Pendeta Van Hasselt Tua. Semua anggota jemaat di Mansinam mengetahui betapa seriusnya ancaman dari suku Arfak sebab jika sebilah Bambu Sumpah sampai dikirim maka peringatan dari sahabat-sahabat di Arfak itu berarti ancaman kematian dari musuh. Akhirnya, Pendeta Van Hasselt Tua mengambil kebijakan bahwa Petrus jangan dulu bertugas di Arfak dan dipindahkan di Amban. Walaupun Pulau Amban juga berbahaya sebab wilayah ini masih termasuk wilayahnya suku Arfak tetapi ada orang-orang Arfak yang membutuhkan pelayanan dari Zending, baik itu pelayanan agama (bagi yang baru menjadi Kristen) dan pelayanan pendidikan, dan bagi Van Hasselt Tua orang-orang ini tidak boleh ditinggalkan. Untuk itu, dituntut keberanian dari Petrus, apakah beliau berani mengambil tugas ini atau tidak, dan Petrus menyambut panggilan tugas ini dengan berani.

Rupanya, kabar mengenai penugasan Petrus di Pulau Amban juga terdengar oleh suku Arfak sehingga mereka kembali mengancam bahwa jika guru Zending tetap ditugaskan di Pulau Amban maka orang-orang Arfak akan turun gunung dan membuat kampung baru di pesisir dekat Pulau Amban, dan juga akan membuat kampung lain di Pulau Amban, agar pihak Zending tidak ‘berbuat macam-macam’ pada orang Arfak. 

Untuk memberi pengertian kepada orang Arfak, maka dikirimlah dari Mansinam beberapa orang asli Papua, yaitu Penatua Filipus dan Yonatan serta beberapa orang lainnya untuk berunding dengan orang-orang Arfak perihal penempatan seorang guru Zending di Pulau Amban. Namun, orang-orang Arfak tetap pada pendirian mereka, yaitu mereka akan membunuh guru Zending yang ditempatkan di wilayah seluruh wilayah suku Arfak.

Pendeta Van Hasselt tua tidak berkecil hati apalagi putus harapan saat penatua-penatua yang dikirimnya pada orang-orang Arfak kembali dengan tangan hampa. Beliau lalu kembali mengirim pesan pada orang-orang Arfak untuk mengundang mereka bertemu dengan pihak Zending di Pulau Amban. Penatua Filipus kembali menjadi utusan untuk menyampaikan pesan ini. Orang-orang Arfak pun setuju dan pergi ke Pulau Amban. Dari Mansinam, rombongan anggota Zending yang dipimpin oleh Pendeta Van Hasselt Tua yang didampingi oleh Penatua Filipus dan juga membawa Petrus dan ayah angkat Petrus dan diserat oleh sejumlah orang anggota jemaat, termasuk Kornelis Weyzer, berangkat dengan perahu besar. Saat itu cuaca sedang buruk sehingga perahu mereka seringkali dihantam oleh ombak besar. Dengan susah-payah, mereka tiba di pesisir Pulau Amban ketika perahu mereka berhasil ditarik ke darat pada 11 Februari 1897.

Setibanya semua pihak yang bersangkutan di Pulau Amban dan saling bertemu muka, maka perundingan pun dimulai. Pihak Zending diwakili oleh Pendeta Van Hasselt Tua sedangkan pihak suku Arfak diwakili oleh tetua-tetua adat suku Arfak yaitu empat orang kepala suku terbesar Arfak, yaitu Suku Hatam, Suku Moilei, Suku Meihag (disebut juga ‘Meyah’), dan Suku Sohug. Awal perundingan berlangsung cukup alot sebab mereka khawatir akan kepercayaan dan kebiasaan yang mereka baru kenal, tetapi akhirnya tetua-tetua suku Arfak sepakat bahwa mereka akan menjaga keselamatan guru Zending di Pulau Amban, asalkan hanya ditugaskan di pulau Amban sebab jika guru Zending sampai tinggal di Pegunungan Arfak maka mereka tidak mampu membendung orang-orang yang berniat mencelakakan guru Zending. Kesepakatan ini dicapai tampaknya untuk saling memenuhi kebutuhan kedua-belah pihak sebab tetua-tetua adat ini sadar bahwa mereka juga memerlukan bantuan Zending, baik itu dibidang perdagangan, kesehatan, dan juga transportasi ke Ternate, sebab orang-orang pendatang di Mansinam membeli hasil bumi orang Arfak dengan harga yang lebih tinggi ketimbang orang-orang Papua yang dulunya menjadi mitra dagang suku Arfak. Dan juga, orang-orang Arfak adalah orang-orang pegunungan, berbeda dengan orang-orang Biak yang adalah pelaut-pelaut ulung, sehingga mereka tidak mahir membuat perahu besar dan memerlukan bantuan untuk pergi ke Ternate jika ingin menjual dagangan yang mahal-mahal. Mereka bisa mendapatkan tumpangan gratis ke Ternate jika mereka menumpang di perahu yang dipakai oleh orang-orang Zending di Mansinam.

Tetua-tetua adat Arfak memberikan jaminan mereka atas keselamatan Petrus sebagai guru Zending selama beliau bertugas di Pulau Amban. Kepada Pendeta Van Hasselt Tua, tetua-tetua adat ini berjanji bahwa pihak merekalah yang akan membangun rumah-rumah dan membuat kampung di Pulau Amban yang nantinya akan menjadi tempat pelayanan Petrus agar tidak diganggu oleh orang-orang Arfak sebab pemukiman itu bukan dibangun oleh orang asing melainkan dibangun oleh orang-orang Arfak sendiri. Perjanjian ini membuat lega seluruh rombongan Zending terutama Pendeta Van Hasselt Tua, Petrus dan David. Mereka kembali ke Mansinam dengan membawa kabar bahagia ini dan segera mempersiapkan semua keperluan dan kebutuhan yang dibutuhkan oleh Petrus selama beliau nanti melayani di Pulau Amban.




Pelayanan Pertama di Pulau Amban

Setelah semua persiapan di Mansinam selesai dan datang kabar dari para tetua suku Arfak bahwa kampung baru di Pulau Amban sudah siap, maka Petrus pun berangkat ke Pulau Amban dan resmi bertugas untuk pertama kalinya.

Adanya kampung baru di Pulau Amban dan bertugasnya Petrus disitu membuat orang-orang Arfak yang sudah menjadi Kristen juga ikut pindah ke Pulau Amban dan menjadi penghuni pulau yang sebelumnya kosong tersebut. Meskipun sebelumnya mendapatkan ancaman dari orang-orang Arfak tapi Petrus melayani mereka dengan sungguh-sungguh. Bahkan, Petrus tetap menyambut baik dan melayani orang-orang Arfak yang turun dari Pegunungan Arfak untuk mencari ikan dan singgah di Pulau Amban, padahal orang-orang inilah yang dulunya selalu mengancam akan membunuh Petrus. Petrus tetap melayani tanpa membeda-bedakan siapa mereka, apakah mereka baik atau tidak atau apakah mereka Kristen atau bukan. Bisa dibilang Petrus adalah guru pertama yang melayani orang Arfak.

Tantangan demi tantangan yang dialami Petrus pada masa-masa awal pelayanannya di Pulau Amban berhasil dihadapinya dengan baik. Tapi, selain tantangan sosial ada masalah lainnya yang tidak kalah besar dan berbahaya: Penyakit.

Pada tahun 1898, Pulau Amban dilanda wabah flu. Pada masa sekarang, penyakit ini termasuk penyakit ringan dan mudah diobati tetapi pada masa itu penyakit ini tergolong mematikan sebab obat-obatan belum memadai dan letak Pulau Papua sangat jauh dari pusat Hindia Belanda di Pulau Jawa, bahkan kota Ternate yang adalah basis terdekat dari Papua saja harus ditempuh selama beberapa hari dengan menggunakan kapal. Petrus tidak mampu menangani begitu banyaknya pasien wabah flu di Amban sebab dia bukanlah seorang dokter. Tenaga medis di Mansinam juga tidak cukup banyak untuk membantu orang-orang di Amban. Itulah mengapa orang-orang Arfak di Pulau Amban, yang ketakutan sebab menganggap wabah itu adalah kutukan, melarikan diri dan kembali ke Pegunungan Arfak.

Larinya penduduk kampung Amban membuat kampung itu menjadi nyaris kosong dan hanya tersisa Petrus dan petugas Zending yang membantunya. Petrus tidak menyalahkan orang-orang Arfak sebab sejak awal beliau tahu tentang karakter suku Arfak yang adalah suku nomaden yang hidup dengan berburu, yang akan dengan segera memindahkan kampung mereka dan membuat kampung baru ditempat yang mereka inginkan yang dirasa aman dan merupakan tempat perburuan yang bagus.

Akibat wabah flu yang melanda sehingga kampung Amban menjadi kosong, Petrus juga terpaksa harus meninggalkan kampung tersebut dan kembali ke Mansinam untuk sementara waktu sebab tidak ada siapa-siapa yang harus dilayaninya, dan lagi beliau tidak bisa menyusul orang-orang Amban ke Pegunungan Arfak sebab perihal larangan para tetua suku akibat ancaman orang-orang Arfak.

Keengganan orang Arfak untuk meninggalkan kepercayaan lama mereka dengan sepenuh hati, dan juga masih mempraktikan ilmu tenung semakin membuat sedih hati Petrus.

Berita mengenai keengganan orang Arfak kembali ke Amban pun disampaikan kepada pihak Zending di Mansinam yang saat itu sudah ditangani oleh sahabat Petrus, Pendeta F.J.F Van Hasselt (Van Hasselt Muda). Pendeta Van Hasselt Muda akhirnya memutuskan untuk menarik Petrus dari Pulau Amban.




Pelayanan di Kwawi

Ketakutan orang-orang Arfak untuk kembali ke Amban membuat kampung mereka di Pulau Amban menjadi kosong sehingga Petrus terpaksa kembali ke Mansinam. Petrus akhirnya bisa kembali ke Pulau Amban, dan berharap agar orang-orang kampung Amban akan datang kembali agar bisa diajar lagi olehnya. Tetapi, Petrus menunggu dan menunggu namun tidak ada orang Arfak yang datang kembali ke kampung Amban. Namun, Petrus tetap menunggu. Pada akhirnya, ada orang Arfak yang datang kembali sehingga Petrus menjadi sangat senang, walau jumlah orang-orang yang kembali itu hanya sedikit. Tapi, orang-orang yang kembali ini menolak menetap di Kampung Amban tempat Petrus mengajar sebab mereka masih menganggap roh-roh alam, yang mereka tinggalkan karena menjadi Kristen, sedang marah dan akan terus mengirim tulah. Mereka-pun memilih keluar dari kampung Amban dan hanya datang sesekali untuk singgah sejenak saat sedang mencari ikan. Hal ini membuat Pendeta Van Hasselt Muda memilih untuk menarik Petrus dari Amban dan berencana menempatkan beliau di Kwawi.

Petrus sangat sedih atas kenyataan ini dan merasa kecewa sebab kerja-kerasnya di Amban terlihat seperti sia-sia belaka. Namun, tidak semua peristiwa itu membuahkan kesedihan yang berlarut-larut.

Tidak lama setelah pulang kampung ke Maudori, Petrus memulai pelayanan di Kwawi. Pelananannya pindah ke Kwawi karena kampung Amban sudah menjadi kampung kosong karena keengganan orang Arfak kembali ke kampung itu. Saat itu, Kwawi sudah memiliki pemukiman yang cukup mapan sebab sudah memiliki sekolah. Petrus melayani sebagai seorang guru di sekolah tersebut dan juga membantu pendeta yang ditugaskan disitu.

Kwawi adalah distrik yang kini berada di wilayah administratif Provinsi Papua Barat, tepatnya Kabupaten Manokwari. Berbeda dengan wilayah suku Arfak, Kwawi lebih muda dimasuki sehingga perkembangan disana menjadi sangat cepat.

Meskipun Petrus bertugas di Kwawi, namun beliau tidak pernah melupakan suku Arfak. Petrus tetap melayani suku Arfak dengan pergi mengajar di Pulau Amban tiap hari minggu. Rupanya, ada kesepakatan antara Petrus dan orang-orang Arfak yang dulu tinggal di Pulau Amban agar mereka singgah di Pulau Amban setiap hari Minggu, meskipun mereka hanya duduk belajar diatas pasir pantai Amban, sebab pemukiman lama di pulau tersebut sudah tidak terawat sehingga berbahaya untuk dihuni.

Selain meneruskan pelayanannya bagi orang-orang Arfak di Pulau Amban, Petrus juga melebarkan sayap pelayanannya bagi orang-orang Arfak yang tinggal di Andai. Ketekunan Petrus dalam mengajar orang-orang Arfak tidak langsung membuahkan hasil sebab orang-orang Arfak adalah salah-satu suku di Papua yang sangat terstruktur dan sangat mencurigai hal-hal baru. Mereka juga sangat teguh memegang kepercayaan lama mereka. Tetapi, pelayanannya ini akhirnya juga membuat konsentrasi pemukiman suku Arfak secara garis besar terbagi dua, dari yang awalnya hanya ada di pegunungan, sehingga kemudian mereka digolongkan menjadi Orang Arfak Gunung dan Orang Arfak Pantai. Terbaginya orang Arfak menjadi dua kelompok ini bermanfaat baik bagi orang Arfak maupun bagi Zending. Bagi orang Arfak, yang selalu mencurigai orang baru, keberadaan orang-orang suku merek di pantai membuat orang-orang yang pantai ini dapat menjadi penyalur ekonomis dan modernisasi yang lebih dipercaya sebab mereka adalah satu suku sedangkan bagi Zending, orang-orang Arfak Pantai adalah penghubung yang sangat dibutuhkan jika mereka ingin berhubungan dengan orang-orang Arfak Gunung. 

Meskipun tidak semua orang Arfak menerima pengajaran Petrus tapi mereka mulai mempercayai Petrus, terutama orang-orang Arfak Pantai. Inilah mengapa ketika terjadi pertikaian serius antara orang Arfak Gunung dan orang Arfak Pantai pada tahun 1905, keempat kepala suku besar Arfak meminta bantuan Petrus sebagai penengah. Petrus berhasil menengahi mereka dengan bijaksana, dan mereka mau mendengarnya sebab Petrus dikenal tidak memihak pada siapapun, baik pada keluarga kepala suku atau bukan, atau kepada orang Arfak Gunung atau orang Arfak Pantai, atau pada kelompok orang Arfak Kristen maupun pada kelompok orang Arfak non-Kristen.

Petrus bertugas di Kwawi tidak terlalu lama. Kepindahannya di Kwawi tidak menyurutkan hatinya untuk terus melayani orang-orang Arfak. Keteguhan Petrus untuk mengayomi orang-orang Arfak dapat dimengerti karena dalam kepercayaan Kristen, tugas pertama pelayanan dan penginjilan dianggap sebagai “Tugas Sulung” dan hasilnya dianggap sebagai “Hasil Sulung”, dan akan selalu menjadi beban hidup orang tersebut seumur hidupnya jika belum berhasil “dimenangkan” (=dituntaskan).




Fanindi dan Danau Anggi, Pelayanan Ditengah-tengah Suku Hatam

Pekerjaan Petrus di Kwawi tidak banyak membuahkan hasil sehingga beliau merasa sempat kecewa. Petrus juga tidak kembali ditugaskan ke Pulau Amban sebab orang-orang Arfak tidak ingin kembali disana. Namun, beliau tetap menjalankan pelayanan pada orang-orang Arfak dengan cara mengunjungi mereka secara rutin, padahal saat itu hampir tidak ada orang Arfak, yang diayomi beliau, yang bersedia dibaptis. Tapi, hal itu bukanlah alasan yang dianggap wajar oleh Petrus untuk mengurungkan keinginannya melayani orang-orang Arfak sebab baginya ada alasan yang sangat penting dalam melayani suku Arfak, yaitu imannya dan tanggung-jawab moral, yang membuatnya wajib melayani dan mengayomi orang-orang Arfak dengan tanpa pamrih.

Petrus awalnya berpikir bahwa mungkin seumur hidupnya beliau tidak akan melihat ada orang Arfak yang diajar dan diinjili akan dibaptis. Beliau tetap meyakini bahwa pekerjaannya tidak akan sia-sia tetapi beliau merasa bahwa hasilnya belum akan terlihat pada masa dia hidup, mungkin saat dia sudah meninggal barulah hasilnya ada. Beliau berpikir seperti itu setelah menyaksikan sendiri perjuangan Pendeta Van Hasselt Tua yang sudah bekerja di Papua bersama-sama dengan Geissler (penginjil pertama di Papua) namun belum ada 20 orang Papua yang dibaptisnya. Jemaat di Mansinam memang banyak tetapi sebagian besar adalah orang-orang non-Papua yang bekerja bagi Zending. Bahkan, sejak dari Otto dan Geissler datang di Papua dan bekerja selama puluhan tahun, bahkan sudah ada 7 anggota Zending yang meninggal dalam pekerjaan mereka di Papua (termasuk Otto dan Geissler), baru ada 6 orang Papua yang dibaptis, termasuk Petrus dan Timotius. Namun, perkiraan manusia tidak ada yang sepenuhnya tepat, dan ini dibuktikan oleh Petrus di kampung Amban Lama yang sudah ditinggalkan orang selama bertahun-tahun. Ketika itu Petrus, yang sedang menanti orang-orang Arfak yang harus diajarnya di Pulau Amban, sendirian berjalan-jalan di kampung Amban Lama yang tidak ada penghuninya. Beliau juga sudah lama tidak kesana sebab di Pulau Amban beliau hanya sampai di tepi pantai. Saat sedang berjalan-jalan dan menikmati kesendirian, tiba-tiba terlihatlah oleh beliau sebuah tulisan dengan huruf Latin namun berbahasa Papua (Arfak) yang bunyinya, “Mansren Yesus”, yang berarti “Tuhan Yesus”.

Tulisan yang dilihat Petrus ini membuatnya terharu sebab tulisan itu sangat menghiburnya. Kala itu, orang-orang Arfak hanya diajar perihal pendidikan, yaitu baca-tulis dan berhitung, dan hal-hal yang berguna lainnya bagi hidup mereka, terutama ilmu pertukangan yang sangat dikuasai oleh Petrus. Mereka menolak dibaptis sebab mereka tidak mau ‘berganti Tuhan’, sehingga pelajaran tentang agama Kristen yang diajarkan hanya tentang perilaku dan moral, sehingga Petrus tidak pernah menyangka jika ada satu orang yang bersedia menerima ajaran Kristen sebagai ajaran agama dan Yesus, Tuhannya orang Kristen, sebagai Tuhannya. Petrus belum tahu siapa yang menulis tulisan itu, tetapi beliau senang sebab usahanya untuk memberantas buta-huruf di suku Arfak mulai ada hasil dan penginjilannya juga sudah memperlihatkan hasil.

Pelayanan Petrus pada suku Arfak tetap beliau jalankan pada waktu suku Arfak dimukimkan (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 45, tahun 2008). Ketika itu, orang-orang Arfak yang dulu tinggal di kampung Amban Lama bersedia dipindahkan ke Fanindi, dan Petrus pun bertugas melayani mereka di Fanindi. Saat pindah kampung itulah Petrus mengetahui identitas si pembuat tulisan “Mansren Yesus” di kampung Amban Lama tersebut. Orang yang menulis tulisan itu adalah seorang pemuda yang bernama Kawundeki.

Kawundeki adalah salah-satu orang Arfak Amban yang ikut pindah ke Fanindi. Dia adalah murid Petrus yang paling setia dan merupakan murid Petrus yang pertama yang menawarkan diri untuk dibaptis. Dia adalah satu dari sangat sedikit orang Arfak yang paling awal dibaptis. Kawundeki lalu memilih nama baptis “Petrus” agar sama seperti gurunya, Petrus Kafiar, sebagai tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah mengirimkan Petrus Kafiar untuk mengajarnya. Petrus Kawundeki terus mengikuti Petrus Kafiar selama masa tugas sang guru di Arfak. Bersama dengan istrinya, Ida, dan muridnya, Kawundeki, Petrus tidak kenal lelah mengajar orang-orang Arfak. Padahal medan yang mereka lalui sangat berat sebab orang-orang Arfak gemar berada di gunung, dan walaupun sudah dimukimkan tetapi mereka masih gemar berburu dan tidak pulang selama berbulan-bulan, sehingga jika ingin terus menjangkaunya maka Petrus harus mengunjungi tempat perburuan mereka tepatnya tempat dimana mereka membuat gubuk sementara. Dalam hal ini, Petrus Kawundeki sangat membantu sebab dia sangat mengenal pegunungan Arfak dan fasih menerjemahkan tanda-tanda yang ditinggalkan oleh orang-orang Arfak yang berburu tersebut sehingga Petrus tidak tersasar.

Pelayanan terlama guru Petrus memang ditengah-tengah orang-orang Arfak. Bersama-sama Petrus Kawundeki, guru Petrus Kafiar berjalan membelah rimba pegunungan Arfak untuk mengajar penduduk disana sehingga nama Petrus Kafiar sangat terkenal ditengah-tengah orang Arfak. Sumber lisan dan cerita turun-temurun dari orang-orang Arfak inilah yang menjadi sumber utama kisah guru Petrus, selain sumber-sumber tertulis dari catatan-catatan Zending, yang lalu disebarkan oleh para misionaris Papua sebab nama Petrus Kafiar sempat memudar. Meskipun sempat sangsi bahwa beliau akan melihat hasil pelayanannya semasa hidup tetapi rupanya guru Petrus masih diberikan kesempatan untuk melihat hasil pelayanannya, termasuk melalui kesetiaan Petrus Kawundeki.


Didahului oleh:


_______________________________________________________________________________

Copyrights:
Artikel ini pertama kali disusun dan ditulis oleh Deleigeven Media dan diterbitkan pertama-kali oleh Deleigeven Media.


TIM PENYUSUN:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Pengembangan cerita : Deleigeven
Penerbit : Deleigeven Media


DAFTAR PUSTAKA:
Guru Petrus Kafiar; F.J.S. Rumainum; Panitia P.I 100 Tahun Emas di Supiori Cabang Manokwari, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat, Yayasan Triton Papua; Manokwari, 2008


SUMBER WEBSITE:
id.wikipedia.com/biak
id.wikipedia.com/mansinam
id.wikipedia.com/manokwari
id.wikipedia.com/supiori


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tuesday, 20 February 2018

PETRUS KAFIAR, GURU PERTAMA DARI PAPUA (bagian 1)



PERJUANGAN MENJADI GURU


Nama lahir Petrus Kafiar adalah Noseni. Bagi masyarakat Papua atau masyarakat non-Papua yang pernah tinggal di Papua seharusnya tidak asing dengan nama Petrus Kafiar. Beliau adalah guru pertama yang asli Papua. Beliau melayani orang-orang Papua di bidang agama, pendidikan, dan pembentukan moral dimasa-masa yang sangat sulit, yang menjadi salah-satu era tersulit di Papua pada masa lalu.

Ketika itu, belum ada orang-orang dari Jawa dan Sumatera yang mau ke Papua, atau setidaknya bisa ditemukan di Papua. Hanya orang-orang Sulawesi (suku Minahasa/Manado, Bugis, Makassar, dan Sangir) dan orang Ternate yang bisa ditemukan di Papua, itupun hanya ditemukan di pesisir-pesisir barat, di sekitar Sorong dan Fak-fak, sedangkan di pesisir utara baru bisa ditemukan di Mansinam. Sebagian besar orang Makassar, Bugis, dan Ternate datang ke Papua adalah sebagai pelaut yang kapalnya disewa oleh perusahaan Belanda atau oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga membuat mereka bukanlah pemukim tetap. Hanya sedikit yang menjadi pemukim-pemukim tetap di Papua. Para pendatang dan pemukim tetap dari Sulawesi dan Ternate biasanya adalah mantan budak yang ditebus oleh para misionaris Belanda dan Jerman dengan alasan kemanusiaan. Orang Minahasa/Manado (Sulawesi Utara) sangat mahir mengolah kayu-kayu dari pohon kelapa sehingga mereka dipekerjakan sebagai tukang kayu dan tukang bangunan, sedangkan orang Makassar dan Bugis sangat berpengalaman sebagai pelaut dan pembuat kapal sehingga mereka biasanya dipekerjakan untuk membuat perahu dan berlayar membantu para missionaris. Adapun orang Ternate dan Ambon adalah orang-orang yang paling berpengalaman dengan orang-orang Eropa secara turun-temurun sehingga mereka sering bekerja sebagai tangan kanan para missionaris. Orang-orang ini sudah menjadi orang merdeka, yang tetap mau bekerja dengan para missionaris sebagai bentuk balas budi dari mereka.

Para pemukim baru sering menemui kemalangan sebab pada masa itu alam dan masyarakat Papua masih sangat ganas. Tidak sedikit dari mereka tewas karena wabah penyakit, seperti wabah cacar dan flu, dan juga penyakit-penyakit khas Pulau Papua, khususnya Malaria. Selain menghadapi wabah penyakit, mereka juga menghadapi ganasnya alam Papua, seperti badai yang sering melanda pemukiman di daerah pesisir utara yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Cuaca juga sering membuat para pelaut terdampar di pulau-pulau tidak berpenghuni, atau yang lebih parah adalah terdampar di pulau berpenghuni lalu dirampok dan dibunuh.

Situasi seperti itulah yang dihadapi dan yang membesarkan Petrus Kafiar. Latar belakang seperti itu jugalah yang memotivasi Petrus Kafiar untuk melayani rakyatnya melalui agama (Kristen) dan pendidikan.




MASA KECIL DI KEPULAUAN BIAK

Kepulauan Biak

Noseni berasal dari sub-suku Armbor dari suku besar Biak dan dilahirkan di Pulau Supiori. Suku Biak adalah suku terbesar di Papua yang mendiami seluruh Kepulauan Biak dan juga kepulauan Raja Ampat. Mereka dikenal sebagai salah satu suku petarung dan pelaut ulung dari Papua. Fisik tubuh mereka lebih tinggi dari rata-rata tinggi orang Papua, dan juga rata-rata memiliki tubuh yang lebih tegap.

Pulau Supiori, yang menjadi tempat kelahiran Petrus Kafiar adalah bagian dari Kepulauan Biak. Kepulauan Biak sendiri terdiri dari tiga pulau utama yaitu Pulau Biak, Pulau Supiori, dan Pulau Numfor, dan kemudian Kepulauan Padaido. Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak adalah Schouten Eilanden (kepulauan Schouten), sesuai dengan nama orang Belanda yang pertama mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Kepulauan Biak terletak di Teluk Cenderawasih (0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT) dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di atas permukaan laut (id.wikipedia/biak) dan lokasinya dekat dengan garis katulistiwa. Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara rata‐rata 86,3% (id.wikipedia/biak) sehingga membuat kepulauan ini menjadi tempat terpanas di Papua. Sejak Papua bergabung dengan wilayah Republik Indonesia, wilayah administratif kepulauan Biak hanya memiliki satu kabupaten yang bernama Kabupaten Biak-Numfor (yang terdiri dari Pulau Biak, Pulau Supiori, dan Pulau Numfor, dan kemudian Kepulauan Padaido) namun sekarang Kepulauan Biak telah terpecah menjadi dua kabupaten (Kabupaten Biak-Numfor dan Kabupaten Supiori) setelah masyarakat wilayah Pulau Supiori memilih memisahkan diri dari pemerintah Kabupaten Biak-Numfor.



Suku Urmbor dan Kehidupan di Kampung Maudori

Pada masa itu, orang-orang Papua masih gemar berperang satu-sama lain, saling merampok pemukiman-pemukiman suku-suku lain dan juga sering menjadi bajak laut, terutama suku-suku di pantai utara. Diantara suku-suku di pantai utara Papua, suku yang paling terkenal sebagai pelaut tangguh dan bajak laut yang ditakuti adalah suku Biak, sukunya Petrus Kafiar. Petrus Kafiar sendiri berasal dari sub-suku Urmbor, yang dipandang oleh suku-suku Biak lainnya sebagai suku terkuat sebab tubuh orang Armbor lebih tinggi, besar dan tegap, dan letak geografis kampung mereka juga sangat sulit dicapai (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 5, tahun 2008).

Suku Armbor adalah sub-suku di Biak yang mendiami Pulau Supiori, tepatnya di Teluk Maudori yang letaknya di bagian barat Pulau Supiori. Pulau Supiori adalah salah-satu pulau yang mayoritas penghuninya adalah suku Biak, selain Pulau Numfor dan pulau-pulau di Raja Ampat. Letak pulau ini adalah disisi utara Pulau Biak dan berdempetan dengan Pulau Biak. Pulau ini juga menghadap langsung ke Samudra Pasifik. Karena Suku Urmbor mendiami Teluk Maudori maka nama kampung mereka disebut Kampung Maudori. Orang-orang Urmbor membuat pemukiman Kampung Maudori diareal tanah datar yang dipagari oleh bukit-bukit batu yang sangat terjal yang memisahkan Kampung Maudori dan pesisir pantai (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 5, tahun 2008). Bukit-bukit terjal itu juga memagari sisi lain dari Kampung Maudori. Pesisir pantai Maudori sendiri dilindungi oleh muara sungai yang luas dan dalam serta pulau-pulau yang garis terluarnya dilindungi dan dihubungkan oleh selat yang sempit dan berarus deras. Dengan letak geografis seperti ini, Suku Armbor sangat sulit diserang sehingga membuat tempat mereka menjadi sangat aman. Mereka juga tidak kekurangan makanan sebab wilayah mereka kaya akan hasil laut terutama ikan, penyu, dan kerang laut. Jika kampung mereka kekurangan makanan, maka mereka cukup menyeberang ke Pulau Myosbefondi disisi barat laut Pulau Supiori untuk mengambil, pisang, sagu, dan ubi-ubian (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008). Kondisi yang aman dan tergolong makmur inilah yang membuat orang-orang Urmbor hidup tenang dan memilih menjadi suku yang defensif ketimbang agresif pada suku lain.



Keluarga Noseni

Noseni adalah putra bungsu kepala suku sekaligus panglima perang suku Armbor saat itu. Sebagai kepala suku, ayahnya sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya Nama lahirnya adalah Noseni, sedangkan nama asli ayah dan ibunya tidak diketahui. Gelar ayahnya yang diberikan oleh Sultan Ternate adalah “Sengaji”, yang dalam lafal orang Biak disebut sebagai “Senadi” atau “Sanadi”. Nama “Sanadi” kemudian menjadi salah-satu nama marga di Biak. Nama asli ibunya tidak diketahui tetapi nama baptisnya adalah Lidia, yang diambil dari nama ibu angkat Petrus Kafiar di Mansinam (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 75, tahun 2008). Kakak tertuanya dinamai “Jurumudi” yang dalam lafal orang Biak disebut sebagai “Dermudi”. Nama “Jurumudi” berarti pengemudi perahu atau pengemudi kapal (Inggris: helmsman). Nama ini diberikan Sanadi pada putra sulungnya sepulangnya beliau dari Tidore sebagai kenang-kenangan akan kunjungannya ke Tidore (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008) sebab banyak orang Ternate yang menjadi pelaut, dan Sanadi menganggap profesi seorang jurumudi kapal sangat gagah. Nama baptis Dermudi sendiri adalah Konstantein. Nama kakak laki-laki kedua dan juga nama saudari Noseni tidak diketahui.

Sama seperti masyarakat Papua dan suku Biak pada umumnya ketika itu, keluarga Noseni menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dewa atau roh yang disembah ayahnya diukir dalam wujud sebuah patung, yang dinamakan “Patung Mon”.

Patung Mon adalah salah-satu patung nenek moyang dari Papua. Patung Mon biasanya dimiliki oleh kepala suku atau seorang ‘hobatan’ (petenung, dukun gaib). menurut kepercayaan pada jaman itu, Patung Mon dapat ditanyai untuk dimintai petunjuk, dan dia akan bergerak jika setuju. Roh dalam Patung Mon juga bisa merasuki si penanya, enggoncang-goncangkan tubuh si penanya, dan membuat si penanya meracau atau juga membuat si penanya mengucapkan kata-kata yang dipercaya sebagai kata-kata dari roh Patung Mon. Proses yang diyakini seperti inilah yang membuat orang-orang hobatan/dukun di Biak disebut juga “Snon Bena Mon”, yang artinya “orang ber-roh/petenung dari Mon” (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008).



Bencana di Kampung Maudori & Kematian Ayahanda Noseni

Suku Urmbor dan Kampung Maudori terkenal sangat sulit diserang. Wilayah mereka makmur sebab kaya akan hasil pertanian dan komoditas laut, dan aktif berdagang dengan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Karena berhadapan langsung dengan Samudra Pasifik, wilayah Maudori memiliki banyak komoditas laut yang langka di wilayah-wilayah lain. Kokohnya benteng pertahanan alam di Kampung Maudori membuat suku-suku lain kesulitan menyerang kampung ini, tetapi juga membuat mereka selalu penasaran, dan menunggu kesempatan terbaik untuk menyerang.

Pada tahun 1880, tujuh kapal suku Urmbor melaut menuju ke Pulau Myosbefondi dengan tujuan mengambil bahan makanan di kebun-kebun mereka di Pulau Myosbefondi. Tujuh kapal suku Urmbor ini membawa banyak pemuda-pemuda Urmbor, dan merupakan pemuda-pemuda terkuat yang bertugas sebagai prajurit. Pada masa itu, mereka dianggap sebagai Ksatria-ksatria Urmbor dari suku Biak yang paling kuat. Mereka berlayar menuju Pulau Myosbefondi tentunya untuk memenuhi kembali lumbung-lumbung mereka sebab walau Kampung Maudori memiliki lahan subur tetapi luasnya lahan pertanian masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk karena tanah pertanian di Pulau Supiori sangat minim. Sama seperti Pulau Biak, Pulau Supiori adalah pulau yang terbentuk dari batu karang sehingga lahan pertanian di pulau ini sangat terbatas. Walau demikian, pulau-pulau disekitar Pulau Supiori dan Pulau Biak memiliki tanah yang cukup untuk ditanami tanaman-tanaman pangan. Para pemuda Urmbor itu berlayar untuk memenuhi lumbung makanan kampung mereka.

Usai mengambil makanan dari Pulau Myosbefondi mereka lalu menyeberang kembali untuk pulang. Oleh karena itu, mereka harus melewati Teluk Maudori. Malang bagi para pemuda perkasa itu sebab cuaca berubah menjadi sangat buruk dan gelombang laut-pun sangat tinggi. Tujuh kapal yang ditumpangi mereka-pun terhempas gelombang dan tenggelam. Para pemuda Urmbor tersebut tidak pernah kembali lagi dan diyakini telah tewas ditelan gelombang laut. Jasad mereka juga tidak pernah ditemukan.

Kabar malapetaka itu mengguncang kampung Maudori dan menjadikan masa-masa itu menjadi hari-hari perkabungan yang panjang dan sangat menyedihkan sebagai banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat musibah itu, apakah kehilangan anak, ayah, cucu, adik, kakak, atau suami yang menjadi salah-satu dari para pemuda yang hilang ditelan gelombang.

Kabar malapetaka dari Maudori ini juga menyebar keseluruh Pulau Supiori dan Pulau Biak. Diluar kampung Maudori, musibah ini justru disambut dengan sukacita sebab bagi mereka kampung kuat itu sudah kehilangan ksatria-ksatria mereka dan menjadi sasaran berikutnya yang akan diserang.

Musibah ini membuat ayah Noseni sebagai kepala kampung menjadi sangat syok dan bahkan jatuh sakit. Beliau sangat khawatir pada pertahanan kampungnya sebab sebagian besar pemuda terkuat adalah orang-orang yang hilang saat pelayaran itu. Walau masih ada pemuda-pemuda lain yang juga adalah ksatria-ksatria kuat tapi jumlah mereka sudah tidak banyak dan dikhawatirkan akan kalah jika ada sejumlah besar perompak yang menyerang. Karena terlalu khawatir, ayah Noseni menjadi tertekan dan jatuh sakit.

Tidak diketahui apa penyakit ayah Noseni, tetapi sakitnya sangat serius dan semakin parah. Semua tabib dikampung dikumpulkan untuk mengobati penyakit ayahnya ini. Mereka berusaha mengobatinya dengan semua prosedur pengobatan tradisional yang mereka ketahui. Berbagai obat herbal Papua, yang terdiri dari berbagai daun, kulit dan akar pohon, dan umbi-umbian diberikan pada ayah Noseni, tetapi semakin banyak obat yang mereka berikan semakin parah penyakit ayahnya. Akhirnya para tabib kampung sampai pada satu kesimpulan bahwa penyakit ayahnya ini akan berujung pada maut. Untuk itu, mereka menganjurkan agar keluarga Noseni segera memanggil orang hobatan (petenung atau dukun gaib) untuk mengobati ayah Noseni dengan bantuan ‘roh halus’. Orang-orang hobatan lalu dikumpulkan bersama dengan patung-patung mon mereka. Mereka lalu menggunakan berbagai cara gaib dan menanyai patung-patung mon mereka untuk memperoleh jawaban tentang asal muasal penyakit ayah Noseni dan bagaimana cara mengobatinya tetapi hasilnya nihil dan kondisi ayah Noseni justru memburuk dan tidak sadarkan diri. Tapi, orang-orang hobatan ini, dan juga keluarga Noseni, tidak mengurungkan usaha mereka menyembuhkan ayah Noseni. 

Sayangnya, ayah Noseni akhirnya meninggal dunia.

Setelah ayah Noseni meninggal maka posesi adat-pun dilakukan. Rambut para wanita dalam keluarga, yaitu sang istri yang menjadi janda, saudara perempuannya, dan juga putrinya, dicukur habis sebagai tanda berkabung. Hari perkabungan-pun ditetapkan sesuai kebiasaan pada saat itu yaitu hari-hari sebelum pekuburan jenasah (4-5 hari), hari pemakaman jenasah yang ditandai oleh sebuah upacara kebesaran pengiringan jenasah ke tempat peristirahatan terakhir, dan kemudian masa-masa berkabung setelah jenasah dimakamkan, dan lalu diakhiri dengan pesta peringatan bagi almarhum.

Selama awal masa-masa berkabung, sang janda dan saudari ayah Noseni diberikan kain hitam dab kain putih pada leher dan tangan yang diambil dari baju-baju mendiang sebagai tanda cinta pada almarhum dan sebagai tanda keluarga yang berkabung. Pada masa ini, seluruh handai taulan ditempat yang jauh berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum dan untuk menghibur keluarga almarhum. Dan, ketika hari pemakaman tiba maka jenasah almarhum ditekuk kakinya dengan lutut mengarah keatas (karena kepercayaan saat itu bahwa jika kaki jenasah dibiarkan lurus maka kematiannya akan diikuti kematian anggota keluarga yang lain), dan juga mata almarhum ditutupi oleh kepingan-kepingan piring atau juga kulit kerang dengan tujuan agar tidak bisa melihat orang yang datang melayat yang dipercaya akan membahayakan hidup orang yang melihat matanya (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 11, tahun 2008).

Pada hari pemakaman, maka jenasah akan diiringi oleh rombongan keluarga, kerabat, dan orang sekampungnya hingga tiba dipemakaman dan dimakamkan. Setelah dimakamkan maka acara perkabungan masih terus berlangsung bagi keluarga almarhum dan dilanjutkan oleh pemindahan kerangka almarhum yang dilakukan setelah para tetua menghitung waktu sebagai perkiraan bahwa tubuh almarhum ayah Noseni telah hancur bersatu dengan tanah dan hanya tersisa kerangkanya saja. Kerangka almarhum ayah Noseni lalu dipindahkan ke Pulau Myosbefondi dengan diantar oleh sebagian orang besar dewasa dari Kampung Urmbor yang lalu meletakan kerangka almarhum bersama dengan kerangka leluhur-leluhur yang telah meninggal.

Orang-orang yang mengantar jenasah tidak langsung pulang melainkan tinggal di Pulau Myosbefondi untuk beberapa waktu karena harus melakukan doa-doa dan juga untuk menunggu angin yang baik agar bisa berlayar dengan selamat. Sedangkan, orang-orang dewasa lainnya yang tetap tinggal di Kampung Urmbor juga melakukan posesi lainnya sesuai dengan adat orang Urmbor saat itu, yaitu semua harta benda milik ayah Noseni, selaku kepala suku, dihancurkan termasuk rumah perkabungan, dan perabotan termasuk piring-piring besar yang berharga. Pohon-pohon pisang, pohon kelapa, dan tanaman-tanaman milik ayah Noseni juga ditebang dan dibuang. Hal ini dilakukan karena saat itu suku Urmbor menganggap semua harta benda itu sudah tidak berguna sebab pemiliknya sudah meninggal sehingga semua harus dimusnahkan, sama seperti tuannya yang sudah tiada. Hal yang sama juga berlaku pada semua benda yang dipakai sebagai tanda berkabung oleh keluarga almarhum (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 9, tahun 2008). Kemudian, sesuai adat saat itu ibu Noseni, sebagai janda ayah, lalu dinikahkan kepada saudara laki-laki ayahnya meskipun paman Noseni itu sudah memiliki istri sebab menurut adat saat itu adalah ibu Noseni sudah menjadi milik keluarga ayah Noseni sebab mas-kawinnya telah dibayar lunas.

Noseni melihat semua itu dengan hati yang diliputi kekecewaan yang luar biasa pada yang dianggap olehnya sebagai ‘yang mahakuasa’ sebab tidak mampu menyelamatkan nyawa ayahnya. Dia lalu mengambil sebilah parang dan mengambil patung nenek-moyang yang dikeramatkan, lalu membelah-belahnya dan dibuang olehnya ke laut, sambil berkata,

Aku sudah tidak mempercayaimu lagi mulai dari sekarang, sebab engkau tidak mampu menyelamatkan nyawa ayahku dari bahaya maut!” (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 9, tahun 2008).

Saat itu Noseni baru berusia tujuh tahun.

Apa yang dilakukan oleh Noseni ini dianggap sebagai pembawa malapetaka oleh orang-orang suku Urmbor, dan mereka meyakini Noseni akan mendapat kesialan seumur hidupnya. Bagi mereka, apa yang akan terjadi pada Noseni setelah hari itu hanyalah permulaan malapetaka dalam hidup Noseni.

Keluarga Noseni dan seluruh Kampung Urmbor masih berkabung atas kematian kepala keluarga dan kepala suku. Kabar dukacita ini tersiar luas ke seluruh penjuru Kepulauan Biak. Rupanya, ada orang-orang jahat yang ingin mengambil kesempatan dalam kesedihan yang dialami oleh orang-orang di Kampung Urmbor.

Ketika itu, masa-masa perkabungan masih berlangsung namun hanya menyisakan posesi terakhir, yaitu pesta peringatan bagi almarhum ayah Noseni. Sebagian besar orang dewasa masih ada di Pulau Myosbefondi menanti waktu dan cuaca yang tepat untuk pulang sehingga hanya sebagian kecil pria dewasa yang tinggal di Kampung Urmbor bersama para wanita dan anak-anak disana.

Tiba-tiba, munculah perahu besar yang membawa banyak orang, yang turun di Pantai Maudori dengan persenjataan lengkap, berupa panah, parang, dan tombak. Mereka adalah para perompak yang datang dari Kampung Korido untuk menjarah Kampung Urmbor.

Lamanya masa perkabungan ayah Noseni dan juga kebiasaan orang Urmbor dalam memakamkan jenasah sudah diketahui oleh banyak kampung di Kepulauan Biak sehingga ketika kematian seorang kepala Kampung Urmbor itu terdengar oleh kampung-kampung lain, termasuk oleh para perompak, maka hal itu justru memperpanjang masa-masa berkabung di Kampung Urmbor.

Orang-orang Korido tersebut menyerbu Kampung Urmbor dari seluruh sisi yang mengarah ke pantai yang dihadapan Kampung Urmbor. Jumlah para perompak terlalu banyak sehingga para laki-laki dewasa yang tersisa di Kampung Urmbor tidak mampu menahan serbuan mereka dan dikalahkan oleh para perompak. Para wanita dan anak-anak terpaksa lari dan menyembunyikan diri ke hutan sehingga para perompak-pun menjadi lebih leluasa menjarah seluruh kampung.

Dalam kekacauan itu, Noseni menjadi salah-satu orang yang terlambat lari ke hutan, dan Noseni-pun diculik oleh para perompak itu.



Masa Penawanan di Korido

Serbuan orang-orang Korido ke Maudori berlangsung dengan sangat cepat. Setelah puas menjarah, mereka lalu meninggalkan Kampung Urmbor sesegera mungkin untuk mendahului kepulangan orang-orang Urmbor lainnya dari Pulau Myosbefondi yang jumlahnya lebih banyak dan rata-rata adalah para petarung tangguh. Kepergian mereka disertai oleh nyanyian-nyanyian perang sebagai ungkapan kemenangan mereka.

Tidak banyak catatan mengenai serbuan ini, baik dari kesaksian Noseni maupun dari kesaksian saudara-saudaranya, namun cerita-cerita mereka mengindikasikan bahwa hanya Noseni seorang yang tertawan dalam penyerbuan itu.

Diatas perahu yang mengangkut Noseni dan para penculiknya, Noseni pun mulai ditanyai oleh mereka perihal nama dan nama keluarganya. Noseni-pun memberitahukan namanya dan asal keluarganya, sehingga membuat para penculiknya terkejut. Pada masa itu, menurut adat setempat bukanlah hal yang biasa-biasa saja jika anak seorang kepala suku diculik sebab suku korban penculikan itu pasti akan membalas dendam. Para penculik Noseni memiliki pikiran untuk mengembalikan Noseni kembali ke Kampung Urmbor dengan jalan mengajukan tebusan. Cara itu adalah yang paling aman bagi para penculik untuk mengembalikan Noseni, namun saat itu mereka sudah berlayar terlalu jauh dari Kampung Urmbor dan sangat berbahaya jika mereka kembali, sebab selain masalah cuaca, keselamatan mereka juga terancam oleh orang-orang Urmbor yang kemungkinan sudah kembali dari Pulau Myosbefondi.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tetap membawa Noseni ke Korido.

Tibalah Noseni di Kampung Korido. Kampung ini adalah kampung yang asing bagi Noseni sebab selain tidak pernah mengunjungi kampung ini, tempat itu juga sangat jauh dari Kamupung Urmbor. Saat itu, nasib Noseni belum jelas sebab mereka masih khawatir menahan dia namun mereka juga tidak tahu bagaimana caranya untuk mengembalikan Noseni, sebab jika mereka ingin berlayar ke arah Urmbor maka saat itu mereka harus melewati daerah Sowek wilayah sub-suku Arwakon, sukunya ibu Noseni. Ini berbahaya bagi mereka sebab sesuai dengan kebiasaan pada masa itu, orang Arwakon yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Noseni pasti juga akan menuntut balas, dan tentunya kabar mengenai hilangnya Noseni sudah terdengar oleh mereka saat itu.

Tidak beberapa lama setelah Noseni tiba di Kampung Korido, salah seorang warga Kampung Korido yang dulunya ikut serta menyerbu Kampung Urmbor tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang-orang Korido lalu menganggap bahwa kematian orang itu adalah karena karena di bunuh oleh ‘suanggi’ (jin) yang dikirim oleh orang-orang Urmbor untuk membalas penyerbuan orang Korido. Kematian orang tersebut membuat orang-orang Korido sepakat bahwa Noseni tidak perlu lagi dikembalikan ke Urmbor sebab ‘nyawa sudah dibayar dengan nyawa’. Nasib Noseni-pun kini menjadi jelas, yaitu sebagai budak orang Korido.

Sebagai seorang budak, Noseni harus melakukan banyak hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang bocah berusia tujuh tahun. Dia harus mengangkat air padahal tempat air bersih di pulau itu sangat jauh sebab seluruh pulau itu terbentuk dari karang. Dia harus mencari kayu bakar dihutan, juga ikut melaut sebagai penimba air atau pemegang kemudi (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 15, tahun 2008). Pekerjaan-pekerjaan itu sangat melelahkan namun Noseni harus melakukannya secara rutin sebab dia tidak bisa melawan. Dia melakukan pekerjaannya dengan baik dan membuat orang yang menjadi tuannya merasa sangat senang.

Pada suatu hari, saat Noseni mengikuti orang-orang dewasa melaut untuk mencari ikan, perahu yang membawa mereka terombang-ambing dihempas gelombang. Rupanya lautan tempat mereka berada sedang dilanda oleh badai. Entah mengapa, perihal adanya badai yang mungkin menghantam mereka hari itu luput diperkirakan oleh para pelaut tangguh itu. Badai itu nyaris membuat perahu yang mereka tumpangi tenggelam. Ditengah-tengah ketakutan karena begitu kuatnya badai tersebut dan tampaknya perahu yang mereka tumpangi akan tenggelam, maka berserulah para pelaut itu kepada nama-nama leluhur mereka masing-masing dan juga pada nama-nama roh-roh halus yang mereka sembah dan mereka percaya agar membantu mereka dan menghentikan badai besar itu. Ditengah-tengah berbagai seruan dan berbagai nama yang keluar dari mulut para pelaut itu, tiba-tiba salah-satu pelaut itu menyerukan sebuah seruan dan menyebut sebuah nama yang asing sekali bagi mereka,

Manseren Yesus e wa batulung nu...... Manseren Yesus e wa batulung nu......”, yang artinya,
Oh Tuhan (Manseren) Yesus tolonglah kami.....

Tidak ada satupun yang mengerti dan tahu siapa yang dipanggil oleh orang yang menyerukan seruan yang ‘aneh’ itu, demikian hal juga dengan Noseni sebab saat itu adalah untuk kelai pertama Noseni mendengar nama Yesus. Hal ini dikarenakan Kekristenan belum memasuki Kepulauan Biak saat itu. Rupanya, orang yang berseru-seru itu adalah orang Korido yang sering mengunjungi Mansinam, pusat Kekristenan di Papua saat itu. Di Mansinam, orang itu sering mengikuti ibadah di gereja dan mendengar khotbah para pendeta yang meminta para jemaat untuk mengganti kepercayaan animisme dan dinamisme mereka dengan agama Kristen dan lebih menyebut nama Yesus jika sedang dalam bahaya dibandingkan menyebut nama arwah leluhur atau roh-roh halus yang mereka percayai. Ini artinya saat sebelum tahun 1880 dan sekitar kurang dari 10 tahun setelah tahun itu (<1890), agama Kristen belum masuk ke Kepulauan Biak.

Tidak diketahui berapa lama Noseni diperbudak di Korido. Namun, dari kesaksian orang-orang dia berada disana hingga usia remaja. Mungkin diusia awal belasan tahun. 

Noseni disenangi oleh tuannya dan orang-orang yang sering bekerja bersama dengannya sebab dia sangat rajin. Namun, ada masalah baru muncul saat itu, yaitu perihal orang Korido yang meninggal tak lama saat Noseni diculik. Pada saat itu, menurut adat dan kebiasaan orang Korido (dan rata-rata suku Biak dan Papua) bahwa jika ada orang yang mati karena dibunuh (oleh manusia atau roh halus) maka nyawa orang itu harus dibayar dengan benda-benda adat yang berharga atau juga berupa sejumlah uang dari yang membunuh atau keluarga si pembunuh. Keluarga orang yang meninggal itu menuntut hal yang serupa pada Noseni. Mereka tidak peduli pada kenyataan bahwa bukan Noseni yang membunuh, dan juga meskipun tidak bisa dibuktikan apakah orang Urmbor-lah yang mengirim ‘jin’ untuk membunuh orang tersebut. Intinya, pihak Noseni harus membayar ganti rugi, dan karena mereka tidak mungkin menghubungi keluarga Noseni maka Noseni-lah yang harus menanggung semua ganti rugi itu.

Pada masa itu, perdagangan budak masih lumrah terjadi dan belum ada hukum yang melarang. Walaupun sudah ada kerajaan-kerajaan yang membuat hukum perihal pembatasan kepemilikan budak namun perdagangan budak adalah salah-satu perniagaan yang dilegalkan. Noseni-pun menjadi korban perniagaan hitam ini.

Pihak keluarga orang Korido yang meninggal tersebut lalu menuntut pada tuan yang mempekerjakan Noseni agar Noseni membayar ganti-rugi berupa barang-barang yang berharga atau sejumlah uang sesuai kesepakatan ada. Karena Noseni tidak memiliki apapun di Korido maka satu-satunya cara adalah bahwa Noseni harus dijual. Sampai disitu, mulailah terjadi pertentangan diantara orang-orang Korido, yaitu antara keluarga orang Korido yang meninggal dengan orang yang menjadi tuannya Noseni dan orang-orang Korido yang sering bekerja bersama dengan Noseni. Tuannya Noseni dan keluarganya ingin menjadikan Noseni sebagai anggota keluarga mereka dengan alasan bahwa Noseni adalah tawanan dari Urmbor dan kematian orang Korido itu adalah akibat mereka menawan Noseni sehingga baik nyawa Noseni dan nyawa orang Korido itu dianggap impas sehingga tidak perlu lagi pihak Noseni memberikan ganti-rugi. Mereka menyayangi Noseni sebab Noseni sangat rajin dan setia. Namun, keluarga orang Korido yang meninggal tersebut tetap memnuntut ganti-rugi dan tampaknya mereka memiliki banyak pendukung. Untuk menghindari kekacauan maka para tetua adat Korido-pun bermusyawara dan menyepakati keputusan bahwa Noseni harus dijual.

Orang-orang Korido yang akan membawa Noseni pun menyiapkan perahu besar, dan itu adalah perahu yang sama yang membawa mereka menyerbu Kampung Urmbor. Mereka lalu berlayar menyeberang ke Pulau Numfor dan melanjutkan perjalanan melewati Teluk Doreh (wilayah Manokwari sekarang) dan tiba di kota tujuan mereka, Mansinam (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 18, tahun 2008).

Itu adalah kali pertama Noseni meninggalkan Kepulauan Biak, dan awal-mula kisahnya hingga berhasil menjadi seorang guru.




KEHIDUPAN DI MANSINAM DAN MENJADI KRISTEN

Pulau Mansinam

Mansinam adalah salah-satu wilayah yang kini menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Pulau ini bukanlah daratan pertama yang diinjak oleh para penjelajah Eropa, tapi pulau ini adalah tempat pertama dua misionaris utama dan pertama di Papua, Ottow dan Geissler, menginjakan kaki mereka pada 5 Februari 1855. Pulau Mansinam lalu menjadi basis pekabaran Injil di Papua, dan menjadi perwakilan sementara pemerintah Hindia Belanda di Papua yang saat itu dimasukan kedalam wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda di Ternate.

Sebagai basis pekabaran Injil di Papua, otomatis Pulau Mansinam adalah pusat aktifitas Zending di Papua sehingga membuat tempat ini ramai oleh orang-orang Eropa (khususnya Belanda dan Jerman) dan orang-orang Indonesia bagian Timur yang bekerja bagi Zending. Zending adalah badan misionari Kristen Protestan yang berpusat di Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, Zending kemudian bertransformasi menjadi PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia), dan gereja-gereja yang dulunya bernaung dibawah Zending lalu menjadi gereja-gereja protestan daerah, seperti GPM (Gereja Protestan Maluku) di Maluku, GKJ (Gereja Kristen Jawa) di Pulau Jawa, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Sumatera Utara, GMIM (Gereja Masehi di Minahasa) di Sulawesi Utara dan Gorontalo, GPIB (Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat) di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan, serta GKI (Gereja Kristen Indonesia). Gereja-gereja di Papua yang bernaung dibawah Zending sebelumnya berada dibawah naungan GPM di Maluku, lalu kemudian menjadi mandiri dan memakai nama GKI (Gereja Kristen Injil) yang berbeda dengan GKI (Gereja Kristen Indonesia) wilayah barat Indonesia.

Ramainya Pulau Mansinam oleh aktifitas Zending membuat tempat itu menjadi wilayah Papua yang menjadi tujuan perdagangan utama kerena mennjadi tempat berkumpulnya para misionaris dari Eropa yang memiliki hubungan langsung dengan Ternate (kesultanan terbesar di Indonesia Timur), Makassar (kota terbesar di Indonesia Timur), dan Batavia (Jakarta). Kota-kota lain di Papua belum terlalu ramai dengan orang-orang asing sehingga menjadikan Mansinam sebagai tujuan dagang utama para penduduk Kepulauan Biak jika mereka tidak mampu berlayar ke Ternate.

Di Mansinam, Noseni berhasil dijual dengan harga yang sangat memuaskan orang-orang Korido, yaitu seharga 50 kepeng.

Terjualnya Noseni di Mansinam mengakhiri masa perbudakannya yang tragis di Korido dan menjadi langkah awalnya menjadi seorang guru.



Keluarga Angkat Noseni

Orang yang membeli Noseni adalah seorang pria yang berasal dari Halmahera (Maluku) yang bernama David Keizier. Tidak diketahui latar-belakang lainnya atau apakah nama lahir beliau, namun nama David kemungkinan besar adalah nama baptisnya yang diambil dari nama raja terkenal dalam Alkitab, yaitu Raja David (Indonesia: Daud), sedangkan nama Keizier adalah nama atau marga Belanda yang diberikan oleh orang yang membaptisnya. Ayah angkatnya adalah seorang tukang kayu yang bekerja bagi Zending di Mansinam. Kemungkinan besar sebelumnya ayah angkat Noseni ini menjadi anak-angkat orang Belanda dan menggunakan marga keluarga angkat Belanda-nya itu. Tidak tertutup kemungkinan jika David Keissier juga adalah mantan budak yang lalu ditebus oleh misionaris yang bekerja bagi Zending.

David Keizier tidak memiliki putra sehingga saat dia melihat sosok Noseni, bocah laki-laki yang berbadan tegap dan terlihat sebagai anak yang baik, dia langsung jatuh hati dan menebus Noseni. Noseni-pun dibawa pulang oleh David dan diperkenalkan pada istrinya yang bernama Lidia, yang diambil dari nama salah-satu wanita yang sempat disebutkan di Alkitab. Tidak diketahui darimana asal Lidia, dan apakah beliau ataukah David yang lebih dulu menjadi Kristen, namun besar kemungkinan jika Lidia juga berasal dari Maluku.

Suami istri ini menyambut kehadiran Noseni dengan gembira sebab mereka tidak memiliki anak laki-laki. Noseni lalu diperkenalkan kepada putri mereka yang bernama Margareta. Tidak ada catatan mengenai usia Margareta, apakah dia lebih tua atau lebih muda daripada Noseni, juga tidak ada catatan-catatan lain mengenai asal-usul keluarga Keizier saat masih di Halmahera.



Kehidupan Awal di Mansinam

Noseni diperlakukan sebagai anak oleh keluarga Keizier dan tidak membeda-bedakan perlakuan mereka pada Margareta dan Noseni. Mereka memberikan Noseni pakaian yang layak dan makanan yang sama dengan yang mereka nikmati. Di rumah, Noseni mendapatkan kamarnya sendiri dan duduk makan di meja makan yang sama dengan mereka. Noseni lalu diajar berbicara bahasa Melayu dan diajari pelajaran-pelajaran dasar seperti mengenal huruf dan angka, juga diajak mengikuti ibadah di gereja. Pada saat ke gereja di Mansinam inilah untuk pertama-kalinya Noseni bertemu dengan mentornya, Pendeta J.L Van Hasselt.

Pendeta Van Hasselt adalah pembimbing rohani Noseni. Oleh beliau, Noseni-pun dibaptis, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1887 (sesuai dengan buku catatan gereja) dan diberikan nama baptis “Petrus”, yaitu bentuk Latin untuk nama Belanda, Pieter (Inggris: Peter, Italia: Pietro, Prancis: Pierre, Spanyol & Portugis: Pedro), yang diambil dari nama salah-satu dari 12 rasul Yesus, yaitu rasul Petrus. Setelah dibaptis, beliau tidak menggunakan nama “Noseni” lagi melainkan nama “Petrus”, dan menggunakan nama keluarga ayah angkatnya, Kazier (baca: Kai-shier), yang oleh lafal orang-orang Biak lebih mudah disebut “Kafiar”. Inilah awal mula nama Petrus Kafiar dikenal.

Tidak beberapa lama setelah diangkat sebagai anak dan sudah bisa beradaptasi, Petrus-pun didaftarkan untuk masuk sekolah. Rupanya, Petrus adalah anak yang cepat belajar dan cepat tanggap. Di kelasnya, Petrus adalah yang paling pandai membaca dan menghitung sehingga membuat gurunya saat itu, Pendeta Van Balen, meminta Petrus membantu mengajar teman-temannya membaca dan berhitung. Pendeta Van Balen yang baru datang dari Wondesi sangat kagum pada Petrus sebab saa itu adalah kali pertama baginya melihat seorang anak asli Papua yang sangat pandai membaca dan berhitung.

Sepertinya, Petrus dibaptis saat beliau sudah diatas usia 12 tahun sebab ketika itu beliau ditunjuk oleh Pendeta Van Hasselt untuk membantu mengajar baca-tulis dan berhitung pada orang-orang dewasa Papua di pulau itu yang masih buta huruf. Hal itu tidak mungkin dilakukannya jika saat itu dia masih kecil sehingga ini artinya Petrus cukup lama diperbudak di Korido dan baru berada di Mansinam saat dia sekurang-kurangnya seumuran dengan anak SMP pada masa sekarang. Kelebihan dan pelayanan Petrus ini membuat kedua orang-tua angkatnya menjadi sangat gembira dan bangga.

Sayangnya, ditengah-tengah kebahagian ini, saudari angkat Petrus yang bernama Magareta sakit keras. Kala itu, Margareta memang sudah lama menderita penyakit kronis dan keadaannya semakin memburuk akibat cuaca di Papua yang tidak menentu juga kurangnya obat-obatan. Ada kemungkinan juga jika Margareta terserang penyakit malaria, atau setidaknya penyakitnya diperparah juga oleh malaria. Malang bagi keluarga Petrus sebab Margareta akhirnya meninggal dunia. Keluarga Petrus sangat sedih, demikian halnya juga Petrus, namun mereka berusaha tabah dan berserah kepada Tuhan. Tapi, ada banyak hal mengenai kematian Margareta yang membuat Petrus sangat heran sebab barang-barang milik Margareta tidak ikut dimusnahkan seperti kebiasaan orang-orang Biak. Dia heran mengapa tanaman-tanaman di kebun yang ditanam oleh Margareta tidak ikut dibakar, juga mengapa baju-baju Margareta tidak dibakar, dan yang lebih penting lagi adalah mengapa Margareta dimakamkan tidak lama setelah kematiannya, dan hanya diiringi oleh ibadah singkat pelepasan jenasa dan ibadah malam penghiburan bagi keluarga almarhum. Petrus menanyakan perihal itu kepada kedua orang-tua angkatnya dan mereka menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah karena sesuai kebiasaan orang Kristen, yaitu bahwa orang yang meninggal tidak berkuasa lagi atas orang yang hidup dan keluarga yang ditinggalkanlah yang seharusnya dihibur dan diurus. Petrus akhirnya paham mengenai kebiasaan-kebiasaan baru yang dilihat dan dialaminya.

Kegiatan lain Petrus selepas dari sekolah dan pelayanannya bagi orang-orang buta huruf adalah membantu ayah angkatnya sebagai tukang kayu. Ayah angkatnya mencurahkan semua kemampuan dan memberikan semua ilmu tentang pertukangan pada Petrus dengan harapan agar kelak bisa meneruskan profesi ayahnya yang pada masa itu termasuk profesi yang mapan dan sangat terhormat bagi orang lokal. Petrus-pun mampu membangun bangunan-bangunan dari kayu, mengerjakan perabotan kayu, dan sebagainya yang sangat penting bagi kegiatan Zending di Mansinam. Keahliannya ini kelak akan sangat membantunya saat dia ditugaskan ditengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki infrastruktur yang memadai.

Berkat kecerdasannya, Petrus berhasil menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat, dan menjadi orang asli Papua pertama yang berhasil lulus dari sekolah rakyat.




JENJANG PENDIDIKAN & MENJADI GURU

Panggilan Menjadi Seorang Guru (sekolah di Ternate dan tugas di Ambarbaken)

Kepandaian Petrus di sekolah dan pelayanan-pelayanannya ditengah-tengah masyarakat sebagai pembantu pengajar bagi masyarakat buta huruf memunculkan cita-cita dalam hati Petrus. Namun, rupanya Petrus memiliki cita-cita yang tidak sejalan dengan keinginan ayahnya, sebab Petrus tidak ingin mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang tukang kayu melainkan memiliki cita-cita lain yaitu menjadi seorang guru.

Awalnya, David mendukung keinginan Petrus untuk melanjutkan pendidikan ke Ternate sehingga kemudian Petrus berlayar menuju ke Ternate untuk melanjutkan pendidikannya. Petrus sekolah di Ternate disebuah sekolah Melayu pemerintah, yaitu sekolah Gubernemen Kelas Dua, selama satu tahun. Setelah setahun belajar di Ternate, Petrus kembali ke Mansinam dan semakin terlihat kepandaiannya. Beliau adalah orang asli Papua pertama yang sekolah dan menamatkan pendidikannya diluar Papua.

Ayahnya semakin berharap banyak bahwa putra tunggalnya itu akan melanjutkan profesi ayahnya, dan benih-benih pertengkaran antara ayah dan anak inipun muncul.

Perbedaan pendapat antara Petrus dan David mengenai masa depan dan cita-cita Petrus ini menguat tatkala pemerintah Hindia Belanda ingin membuka perkebunan-perkebunan di Amberbaken, yang memiliki lahan yang lebih subur dan lebih luas dari pada Mansinam, untuk keperluan ekspor ke Eropa dan wilayah lain. Pemerintah Hindia Belanda lalu meminta bantuan dari pihak Zending agar bisa menyediakan tukang-tukang kayu yang bekerja bagi Zending untuk membantu membangun pemukiman baru disana sebab letak Pulau Mansinam lebih dekat ke Ambarbaken ketimbang letak basis Belanda di Kepulauan Maluku, apalagi di Sulawesi dan Jawa. Maka, ayah angkat Petrus-pun ditugaskan ke Ambarbaken oleh Zending. Ketika itu, David ingin membawa Petrus ke Ambarbaken untuk membantu beliau sekaligus untuk menambah pengalaman dengan harapan kelak Petrus bisa menjadi seorang kepala tukang (mandor), sebuah profesi bergengsi saat itu. Namun, Petrus menentang keinginan ayahnya dengan alasan bahwa dia tidak ingin ke Ambarbaken sebab dia ingin belajar agar bisa menjadi guru. Dibandingkan pergi ke Ambarbaken, Petrus lebih ingin pergi ke Ternate atau ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan karena Mansinam hanya memiliki sekolah rakyat sedangkan di Ternate atau di Jawa dia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Perbedaan pendapat ini membuahkan pertengkaran yang kemudian semakin meruncing sampai-sampai harus ditengahi oleh Pendeta Van Hasselt.

Akhirnya, atas bantuan Pendeta Van Hasselt dicapailah kesepakatan yang dianggap sebagai jalan tengah, yaitu Petrus tetap harus berangkat ke Ambarbaken untuk membantu ayahnya menjadi tukang kayu yang mengerjakan proyek pemukiman baru, namun diwaktu luang, khususnya pada hari Minggu, Petrus dapat melakukan pelayanan di gereja sebagai penginjil dan juga sebagai guru bantu yang mengajar masyarakat yang buta huruf. Pendeta Van Hasselt selalu mendukung cita-cita Petrus tetapi pada saat itu tidak mudah bagi orang non-Eropa untuk mengenyam pendidikan yang tinggi walaupun saat itu politik etis telah dijalankan. Jika ada orang pribumi yang ingin mengenyam pendidikan yang tinggi dan setara guru maka orang tersebut harus berasal dari kalangan bangsawan lokal atau anak orang kaya, yang mana kedua syarat itu tidak bisa dipenuhi oleh Petrus. Syarat lainnya adalah jika ada undangan khusus dari pemerintah Belanda atau dari lembaga pendidikan terkait. Syarat-syarat inilah yang sangat berat dipenuhi oleh Petrus sehingga membuat ayahnya beranggapan bahwa cita-citanya sangat mustahil dan memilih membawa Petrus ke Ambarbaken dan Pendeta Van Hasselt pun menganjurkan hal yang sama sehingga mereka bersepakat bahwa ke Ambarbaken adalah pilihan yang logis.

Seusai kesepakatan yang dicapai tersebut maka berangkatlah Petrus dan David ke Ambarbaken. Di Ambarbaken, Petrus bekerja sebagai tukang kayu sekaligus sebagai penginjil dan guru bantu. Meskipun sibuk, beliau tidak pernah melupakan cita-citanya menjadi guru, demikian juga halnya dengan Pendeta Van Hasselt yang tidak pernah melepaskan Petrus dari pantauannya.



Kesempatan Untuk Belajar di Sekolah Seminari Depok

Petrus melakukan semua tugas-tugasnya di Ambarbaken dengan sangat baik, dan diapun sudah memiliki banyak pengalaman, baik sebagai seorang tukang maupun sebagai penginjil dan guru bantu.

Saat itu, mungkin hanya Petrus dan keluarga Van Hasselt yang masih berharap bahwa seorang Petrus, anak asli Papua, putra angkat dari seorang tukang kayu bernama David Kaisier, akan mampu menjadi seorang guru, sebab masalah dana dan surat undangan bukan dua hal yang paling utama yang menjadi penghalang bagi Petrus melainkan statusnya sebagai orang asli Papua. Saat itu, sentimen negatif terhadap kepemimpinan orang pribumi masih sangat tinggi, dan ironisnya sentimen negatif tertinggi pada kepemimpinan orang pribumi, khusus di wilayah timur Hindia Belanda (sekarang Indonesia) justru berasal dari sesama orang pribumi.

Mengapa?

Mungkin kalimat dari dua orang Papua, anggota majelis jemaat, di Mansinam yang bernama Akwila dan Bernard kepada Petrus bisa menjelaskan hal itu,

Ah kamu-orang (=engkau) hitam (kulitnya) sama dengan (=seperti) kita-orang (kami)! Mana mungkin bisa mengajari kita-orang?! Lebe baik (=lebih baik) tutup saja mulut (-mu) itu!”

Begitulah tantangan terbesar yang dihadapi oleh Petrus untuk meraih cita-citanya, sebab bukan orang Belanda atau orang Ambon atau orang Sulawesi atau orang Jawa yang tidak mempercayai cita-cita dan kemampuannya untuk mengajar mereka melainkan orang-orang Papua sendiri, yaitu sukunya sendiri.

Diantara semua orang yang menentang cita-citanya, Pendeta Van Hasselt adalah satu-satunya yang mendukung Petrus. Itulah sebabnya, saat Petrus masih bekerja dan melayani di Amaberbaken, ketika tiba surat dari negeri Belanda yang dikirim oleh U.Z.V yang meminta agar pihak Zending di Mansinam mencari orang-orang asli Papua yang dianggap mampu untuk mengikuti pendidikan di sekolah seminari Depok, maka orang pertama yang muncul dibenak dan mulut Pendeta Van Hasselt adalah Petrus.

Tidak perlu waktu lama bagi Pendeta Van Hasselt untuk memutuskan menghubungi Petrus di Amaberbaken. Petrus sangat gembira mendengar berita yang dikirim oleh Pendeta Van Hasselt dan segera ke Mansinam.

Tapi, kabar gembira ini rupanya tidak disambut oleh banyak orang, termasuk anggota-anggota jemaat gereja di Mansinam dan keluarga angkat Petrus sendiri. Untuk menenangkan jemaat dan membuat orang-tua Petrus memahami cita-citanya dan memanfaatkan kesempatan yang ada didepan mata itu, Pendeta Van Hasselt lalu menceritakan kepada PKW (Persekutuan Kaum Wanita) jemaat Mansinam tentang kisah seorang bishop di Afrika yang merupakan orang-asli Afrika yang bernama Growther. Bishop Growther adalah salah-satu bishop asli Afrika yang pertama dalam sejarah. Beliau menginjili dan melayani orang-orang sebangsanya dengan menggunakan bahasa daerahnya sehingga masyarakat ditempat pelayanannya lebih mudah mengerti pengajaran-pengajarannya. Pendeta Van Hasselt lalu menunjukan gambar dari Bishop Growther tersebut kepada mereka agar kisahnya dipercayai, dan juga agar mereka tidak memandang rendah suku mereka sendiri, apalagi jika sampai menganggap bahwa suku mereka derajatnya lebih rendah dari orang-orang Eropa dan pendatang lain di Hindia Belanda. Namun, setelah mendengar kisah itu Pendeta Van Hasselt justru mendapatkan cemooh karena jemaatnya masih tidak percaya, dan bahkan ibu angkat Petrus, Lidia, berkata pada Pendeta Van Hasselt,

Pak pendeta, kalau Pendeta Growther itu datang kesini nanti orang akan katakan bahwa ‘kamu-orang (engkau) sama hitam(-nya) dengan kita-orang (kami), mana mungkin bisa (meng-)ajar kita-orang (kami)?’ dan dia nanti tutup mulut saja.”

Perdebatan-perdebatan mengenai cita-cita Petrus-pun terus berlanjut dan seakan semakin menjauhkan Petrus dari cita-citanya sebab waktu demi waktupun berlalu setelah surat dari negeri Belanda dan Petrus masih belum memperoleh restu dari keluarganya, ditambah lagi tentunya tawaran itu memiliki batas waktu.

Untunglah ada jalan keluar. Rupanya, impian dan cita-cita, selain membutuhkan motivasi juga memerlukan inisiatif, dan jika inisiatif itu tidak mampu dilakukan oleh orang yang memiliki impian dan cita-cita tersebut maka hal itu dapat dilakukan oleh orang yang mendukungnya. Kala itu, putra Pendeta Van Hasselt akan melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda dan Nyonya Van Hasselt yang akan mengantarnya. Untuk itu, mereka harus berlayar dari Mansinam menuju ke Batavia (Belanda) agar bisa menaiki kapal yang akan berlayar ke negeri Belanda. Saat Nyonya Van Hasselt berada di Batavia (kemungkinan besar sesudah mengantar putranya ke Belanda), beliau mendatangi sekolah seminari Depok untuk menanyakan perihal apakah pendaftaran bagi mahasiswa ditempat itu masih dibuka atau tidak. Pihak sekolah seminari memberikan informasi yang menggembirakan, yaitu pendaftaran bagi calon mahasiswa daerah masih ada, dan jurusan yang dibuka adalah jurusan guru sekolah dan guru agama, dan tidak ada batasan bagi pribumi dari berbagai suku atau etnis-etnis lain untuk bersekolah disitu. Berbekal informasi menggembirakan ini, Nyonya Van Hasselt kembali ke Mansinam dan menyampaikan hal itu kepada suaminya dan tentunya kepada Petrus.

Pendeta Van Hasselt langsung memanggil keluarga angkat Petrus dan menjelaskan perihal pendaftaran disekolah seminari tersebut. Awalnya, keluarga Petrus masih menentang cita-cita yang ‘aneh’ bagi mereka itu, namun Pendeta Van Hasselt berusaha mati-matian meyakinkan keluarga Petrus, dan menjamin bahwa biaya tidak menjadi masalah dan bahwa beliaulah yang akan membimbing Petrus kelak jika sudah tamat sekolah. Akhirnya, meskipun masih belum yakin, keluarga Petrus mengijinkan beliau berangkat ke Batavia. Keputusan keluarga ini membuat Pendeta Van Hasselt gembira dan segera mempersiapkan Petrus untuk bisa siap melanjutkan sekolah. Petrus pun dikirim ke Batavia sebagai pelajar asal Papua.

Petrus berangkat ke Batavia pada 3 April 1892. Beliau tidak sendirian sebab bersama dengannya ikut juga seorang pelajar lain yang bernama Timotius Awendu, sesama suku Biak, yang juga diutus untuk belajar oleh Zending yang berbasis di Mansinam. Mereka berdua adalah orang-orang Papua pertama yang mengenyam pendidikan di Pulau Jawa demi mengejar apa yang disebut ‘cita-cita’.

Cita-cita dalam kepercayaan Kristen dianggap sebagai “panggilan Tuhan”, sehingga apa yang Petrus cita-citakan ini oleh Pendeta Van Hasselt dianggap sebagai,
panggilan Tuhan kepada seorang asli Papua bagi orang-orang Papua ditengah-tengah orang Papua’.



Masa-masa Sekolah di Seminari Depok

Setibanya mereka di Batavia, Petrus dan Timotius lalu berangkat ke Depok. Disana mereka disambut oleh pemimpin-pemimpin sekolah Seminari Depok, yaitu Heneman (kepala sekolah) dan D.Iken. Di sekolah tersebut, Petrus dan Timotius bergabung bersama dengan putra-putra daerah lainnya yang berasal dari berbagai tempat dan berbagai suku, namun yang terbanyak berasal dari Kepulauan Maluku dan diikuti oleh suku Minahasa dan suku Sangir (Sulawesi Utara), dan diikuti oleh suku Batak, Nias, Sunda, dan Jawa. Diantara semua pelajar, hanya Petrus dan Timotius yang berasal dari Papua.

Selama bersekolah di Depok, tantangan terbesar bukanlah pelajaran-pelajaran akademis melainkan mengenai penerimaan sosial terhadap mereka jika mereka kelak menjadi guru, sebab mereka adalah orang pribumi, bukan orang Eropa. Jika di Papua mereka mendapat penolakan dan keraguan dari sesama suku mereka, maka di Depok dan Batavia mereka menerima cemooh dan penolakan-penolakan dari orang-orang dengan latar-belakang sosial yang lebih kompleks. Penolakan-penolakan dan penghinaan yang dialami Petrus dan Timotius bersifat rasial namun saat itu tidak melanggar undang-undang. Kulit Petrus yang lebih gelap menjadi sasaran cemooh orang banyak sebab mereka, dengan kulit gelap dan rambut keriting, memakai baju layaknya orang Belanda yang dianggap melanggar norma-norma sosial dan tidak pantas karena mereka adalah orang pribumi dari suku primitif, padahal Petrus terbiasa memakai pakaian ala Eropa karena anjuran Pendeta Van Hasselt yang menjunjung tinggi persamaan ras. Saat berkunjung ke Batavia, Petrus juga ditatap sinis oleh orang-orang Belanda dan juga orang Hindia (Indonesia) sendiri. Penolakan-penolakan dan penghinaan-penghinaan yang dialaminya sempat dikenangnya dikemudian hari saat dia bercerita tentang perjuangannya menjadi seorang guru kepada Pendeta F.J.F Van Hasselt (putra Pendeta J.L Van Hasselt),
Tuan, jikalau saya mengingat akan pergaulan hidup dan masa kami di Seminari Depok, maka hati saya sedih dan air mataku berlinang-linang.....

Pendeta F.J.F Van Hasselt adalah senior, sahabat, dan rekan sepelayanan Petrus kelak. Mereka berdua menjalin persahabatan yang sangat erat. Saat F.J.F Van Hasselt, atau Van Hasselt Muda, kembali dari Negeri Belanda pada 1894 usai menamatkan pendidikan di sekolah pendeta, beliau harus singgah di Batavia untuk berganti kapal untuk menuju ke Mansinam. Saat singgah di Batavia, Van Hasselt Muda menyempatkan diri untuk berkunjung ke Depok untuk menjenguk Petrus dan juga Timotius, yang saat itu masih mahasiswa di tingkat dua. Kedatangan Van Hasselt Muda membuat Petrus sangat bahagia. Van Hasselt Muda berkata bahwa dia akan melayani di Papua, dan menantikan kedatangan Petrus dan Timotius disana. Petrus-pun berjanji bahwa dia akan pulang kembali dan melayani masyarakatnya di Papua. Van Hasselt Muda pun kembali ke Mansinam dan membawa kabar tentang Petrus kepada keluarga Van Hasselt dan keluarga Keezier.

Meskipun menghadapi banyak tantangan tetapi banyak pelajaran berharga yang didapat oleh Petrus, baik pelajaran akademis maupun pelajaran hidup, selama bersekolah di Seminari Depok. Selama bersekolah disana, Petrus mendapat teman-teman baru dari berbagai suku. Melalui teman-temannya ini Petrus mendapat banyak sekali informasi mengenai daerah-daerah lain yang tidak pernah dia ketahui. Pertemanannya dengan teman-teman sekolahnya di Seminari Depok menimbulkan kesan yang kuat dalam diri Petrus dan sangat membantunya menguatkan hati untuk melayani masyarakatnya di Papua.

Petrus bersekolah di Seminari Depok selama empat tahun dan tamat pada tahun 1896. Beliau langsung kembali ke Papua begitu menamatkan sekolahnya, dan tiba di Mansinam pada tanggal 10 November 1896. Ijasah sebagai guru yang berhasil diraihnya di sekolah Smeinari Depok menjadikan Petrus sebagai orang asli Papua yang pertama menjadi sarjana dan menjadi guru.


_______________________________________________________________________________

Copyrights:
Artikel ini pertama kali disusun dan ditulis oleh Tim Deleigeven dan diterbitkan pertama-kali oleh Deleigeven Media.


TIM PENYUSUN:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Pengembangan cerita : Deleigeven
Penerbit : Deleigeven Media


DAFTAR PUSTAKA:
Guru Petrus Kafiar; F.J.S. Rumainum; Panitia P.I 100 Tahun Emas di Supiori Cabang Manokwari, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat, Yayasan Triton Papua; Manokwari, 2008


SUMBER WEBSITE:
id.wikipedia.com/biak
id.wikipedia.com/mansinam
id.wikipedia.com/manokwari
id.wikipedia.com/supiori


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saturday, 11 November 2017

PIERRE ANDREAS TENDEAN, AJUDAN YANG PALING SETIA



Sejarah panjang perjuangan Indonesia menjadi sebuah bangsa dan negara yang berdaulat melahirkan ribuan pahlawan. Banyak yang menjadi pahlawan dimasa-masa perjuangan melawan kolonialisme era pra-kemerdekaan, banyak juga yang menjadi pahlawan dimasa-masa revolusi dan ketika Indonesia mati-matian mempertahankan kemerdekaan. Ada juga pahlawan yang muncul pada masa-masa perang saudara di bumi pertiwi, dan ada juga yang pahlawan yang lahir justru ketika masa-masa berat itu telah usai. Sedikit dari mereka membuat perjuangan dan pengorbanan mereka justru melahirkan pergolakan baru, yang lebih besar skalanya dibandingkan berbagai perang saudara yang juga digeluti oleh mereka dulu. Pengorbanan mereka sudah bukan lagi demi merebut atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia, melainkan mempertahankan ideologi Republik Indonesia. Nama mereka harum karena perjuangan mereka ini harus dibayar oleh nyawa. Salah-satu dari pahlawan-pahlawan ini adalah Pierre Andreas Tendean.

Pierre Andreas Tendean adalah salah-satu Pahlawan Revolusi yang diculik oleh pasukan Cakrabirawa, yang dipercaya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sebuah gerakan yang dikenal dengan nama G30S/PKI.

Pierre (nama panggilannya) bukan satu-satunya Pahlawan Revolusi, tapi harus diakui bahwa beliau adalah Pahlawan Revolusi yang paling terkenal. Faktor utama yang membuat Pierre terkenal adalah karena ketampanannya. Hampir semua murid sekolah, baik itu sekolah dasar hingga perguruan tinggi setelah tahun 1965 sepakat tentang dan menobatkan Pierre adalah ‘pahlawan tertampan dalam buku sejarah’. Namun, hal yang juga paling diingat dari sosok Pierre Tendean adalah keberanian dan keteguhannya sebagai seorang ajudan saat melindungi atasannya. Inilah mengapa hingga kini Pierre Tendean dinobatkan sebagai ‘ajudan yang paling setia'.





KELUARGA DAN KEHIDUPAN PIERRE KECIL

Pierre Tendean lahir dari pasangan campuran asal Minahasa (Manado) dan Prancis. Ayah Pierre adalah A.L.Tendean, seorang dokter asal Minahasa, sedangkan ibunya adalah Cornel M.E, seorang wanita berdarah Perancis. Walau demikian, Pierre sangat asing dengan budaya asal kedua orang-tuanya, baik itu budaya Minahasa maupun budaya Prancis. Pierre lebih akrab dengan budaya Jawa sebab beliau hidup dan dibesarkan di beberapa kota yang semuanya ada di pulau Jawa. Pierre berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa dengan kedua saudarinya dan juga dengan teman-teman sepermainannya, sedangkan dengan orang-tuanya tampaknya beliau lebih memilih menggunakan bahasa Belanda, terutama dengan ibunya. Ini membuat Pierre mampu menguasai beberapa bahasa.

Pierre lahir di Batavia (Jakarta) pada 21 Februari 1939 di rumah sakit yang kini bernama RS.Cipto Mangunkusomo (RSCM). Beliau lahir pada masa-masa akhir kolonial Belanda, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Beliau memiliki seorang kakak dan seorang adik yang dua-duanya adalah perempuan. Kakaknya bernama Mitzie Tendean (juga dikenal sebagai Mitzie Farre setelah menikah) sedangkan adiknya bernama Rooswidiati Tendean (kini dikenal dengan nama Rooswidiati Jusuf Razak).

Sebagai keluarga yang hidup ditengah-tengah sistem sosial patrilineal, kehadiran Pierre sebagai anak laki-laki satu-satunya adalah kebanggaan bagi keluarganya sehingga beliau menjadi anak kesayangan. Perihal menjadi anak kesayangan, sebenarnya ayah Pierre adalah sosok yang keras dan sangat disiplin pada semua anak-anaknya. Menurut penuturan saudari-saudarinya, Pierre juga tidak luput dari didikan keras ayahnya, termasuk didikan 'kemoceng, sandal, dan ikat pinggang’. Tapi, Pierre tetap kesayangan ibunya. Walau beliau bukan seorang anak manja tetapi dilingkungan pergaulannya, Pierre dikenal sebagai ‘anak mami’. Ini karena ibundanya selalu mengabulkan keinginan Pierre.

Walaupun Pierre lahir di Jakarta tetapi beliau tidak lama tinggal disana karena mereka sekeluarga pindah ke Tasikmalaya mengikuti ayahnya yang ditugaskan untuk memberantas wabah malaria disana. Malangnya, dokter Tendean justru jatuh sakit ditempat tugasnya sehingga keluarga Pierre terpaksa pindah ke Cisarua, Bogor, agar sang ayah bisa dirawat di Sanatorium Cisarua. Setelah sembuh, dokter Tendean meminta agar beliau ditugaskan di Cisarua saja. Inilah mengapa Pierre dan kakaknya memiliki banyak kenangan masa kecil di Cisarua. Menurut penuturan kakaknya, Pierre kecil gemar bermain di ladang dan areal persawahan di Cisarua.

Pierre dan keluarga tidak menetap di Cisarua sebab dokter Tendean dipindah-tugaskan ke Magelang sebagai wakil direktur rumah sakit yang kini bernama Rumah Sakit Jiwa Keramat.

Sebagai seorang dokter senior, dokter Tendean sangat dihormati dan terpandang. Keluarga Pierre-pun sangat berkecukupan. Namun, masa-masa damai keluarga Tendean di Magelang terusik ketika Balatentara Jepang menduduki pulau Jawa pada 1942. Ketika itu, Pierre baru berusia tiga tahun.

Pada masa pendudukan Jepang ini, situasi saat itu serba sulit terutama situasi ekonomi. Kelangkaan pangan terjadi dimana-mana akibat hasil panen dipaksa untuk menyuplai logistik militer Jepang. Situasi sulit ini juga menerpa keluarga Tendean. Bahkan, saat itu mereka terpaksa makan gaplek. Walau mengalami masa-masa sulit, tapi di kota Magelang inilah Pierre menghabiskan masa kecilnya.

Pierre bersekolah di sebuah sekolah rakyat di Boton, Magelang, ketika Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan dan pada saat masa-masa revolusi melawan kembalinya tentara Belanda. Saat itu, Magelang sempat menjadi medan perang. Mungkin, kegigihan tentara-tentara Indonesia saat berjuang di Magelang saat itu menjadi awal-mula ketertarikan Pierre untuk menjadi tentara.

Kota Magelang memiliki banyak kenangan manis bagi keluarga Tendean walaupun sebenarnya masa-masa di Magelang itu adalah masa-masa sulit sebab bertepatan dengan era pendudukan Jepang dan masa-masa revolusi. Pada masa-masa sulit ini, Pierre kecil sering membantu orang-tuanya mencari sayuran dan juga menolong kawan-kawannya dengan ‘berburu’ siput disawah untuk menambah lauk-pauk dirumah kawan-kawannya. Tapi, tidak hanya kenangan manis yang dimiliki keluarga Pierre di Magelang melainkan juga kenangan buruk.

Walaupun Pierre dikenal sebagai salah-satu perwira yang diculik oleh gerakan yang didalangi PKI, tapi, peristiwa G30S/PKI itu bukanlah kali pertama dia ‘direcoki’ oleh PKI. Pemberontakan PKI tahun 1948 adalah kali pertama keluarga Pierre menjadi korban PKI. Kala itu, terjadi pemberontakan PKI yang bermula di Madiun yang dipimpin oleh ketua PKI saat itu, Musso. Slogan yang terkenal saat itu adalah “Ikut Soekarno atau Musso”. Pemberontakan ini berhasil digagalkan dan diberantas oleh tentara Indonesia. Namun, banyak sisa-sisa PKI yang berhasil melarikan diri. Tokoh-tokoh muda PKI ada yang lari ke Rusia dan Tiongkok, sedangkan sisa-sisanya melarikan diri ke Sumatera dan Bali atau tetap bersembunyi di pulau Jawa. Ketika itu, ada gerombolan PKI yang melarikan diri ke Magelang. Kemudian, sekelompok orang dari gerombolan ini merampok rumah keluarga Tendean. Tidak cukup merampok harta benda keluarga Tendean, mereka juga menculik dokter Tendean tanpa diketahui sebab yang pasti. Mungkin saja untuk mengobati anggota kelompok mereka yang terluka, atau dijadikan sandera sebagai tameng untuk meloloskan diri. Untunglah, dokter Tendean mampu memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri. Beliau menceburkan diri ke Kali Manggis dan memanfaatkan gelapnya malam untuk bersembunyi. Malang bagi dokter Tendean, gerombolan ini menyasar beliau dengan tembakan yang membabi-buta dan salah-satu peluru menembus kaki sang dokter sehingga salah-satu ruas tulang kaki beliau pecah yang mengakibatkan beliau menjadi cacat dan terpaksa berjalan pincang seumur hidup. Dokter Tendean berhasil kembali dalam keadaan hidup tetapi kondisi beliau mengharuskan sang dokter harus dirawat ke rumah-sakit yang lebih besar, sehingga beliau dirujuk ke Semarang, ke rumah sakit yang kini bernama RS.Dokter Karyadi. Pasca peristiwa ini, Pierre sekeluarga terpaksa ikut meninggalkan Magelang dan pindah ke Semarang. Di Semarang-lah Pierre menghabiskan masa-masa remajanya sebelum dia melamar ke akademi militer.





PIERRE REMAJA

Pierre menghabiskan masa-masa remajanya di kota Semarang. Walaupun saat peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pecah Pierre baru berusia sekitar 9-10 tahun (kelas 3 SD dimasa sekarang) tetapi sebagian besar catatan sejarah tentang beliau memuat bahwa Pierre pindah ke Semarang sejak SMP (artinya pindah ke Semarang sejak beliau berusia sekitar 12-13 tahun), walau ada juga yang catatan yang memuat bahwa Pierre pindah ke Semarang bersamaan dengan kepindahan ayahnya yang dirujuk ke Semarang pasca penculikan di tahun 1948, yang artinya Pierre mulai tinggal di Semarang sejak berusia sekitar 9-10 tahun (artinya saat masih duduk di kelas 3-4 SD). Intinya, Pierre menghabiskan masa-masa SMP hingga SMA di Semarang.

Masa-masa SMP dan SMA dijalani Pierre layaknya anak-anak sekolah pada masanya. Beliau bersedia bergaul dan berteman dengan siapa saja dan dari kalangan mana saja. Meskipun memiliki paras yang ‘bule’ tapi Pierre mampu berbaur dan diterima oleh berbagai kalangan, padahal saat beliau remaja, Indonesia baru pulih dari trauma paska kolonial Belanda dan agresi-agresi militer Belanda. Belanda juga saat itu masih bercokol di Papua sehingga sentiment anti-Belanda masih ada.

Hampir seperti kebanyakan remaja laki-laki saat itu, Pierre juga aktif dalam berbagai kegiatan sekolah, kegiatan olah-raga, dan juga ‘tawuran’.

Perihal tawuran ini dituturkan oleh kakaknya, Mitzi. Ketika itu tahun 1957, Pierre, yang berusia 18 tahun, terlibat dalam salah-satu tawuran pelajar. Para pelajar yang terlibat membawa berbagai senjata tajam, entah itu pisau atau golok. Pierre juga adalah salah-satu pelajar yang membawa senjata tajam saat itu. Senjata yang dibawanya adalah pisau. Dalam tawuran ini, Pierre terkena sabetan yang meninggalkan bekas luka di tangannya. Mungkin rasa setia-kawannya yang tinggi yang melibatkan Pierre dalam tawuran tersebut. Sifat setia-kawannya juga yang membuatnya terlihat ‘keren’ dimata kawan-kawannya. Kesan ‘keren’ dari Pierre dikalangan pergaulan remaja Semarang saat itu semakin tinggi berkat motor Ducati hadiah dari ayahnya yang selalu dikendarainya.

Walau pernah tawuran, tapi Pierre adalah murid cerdas. Beliau tidak pernah tinggal kelas dan juga memiliki nilai yang bagus, terutama pada mata pelajaran bahasa asing. Kelak, kefasihannya berbicara dalam bahasa Inggris dan Jerman, dan juga bahasa Belanda (bahasa sehari-hari keluarga Tendean) menjadi salah-satu modal penting dirinya saat menjadi mata-mata handal di era Dwikora.




KEHIDUPAN DI ATEKAD

Pierre selalu ingin menjadi seorang tentara, padahal cita-citanya ini ditentang keras oleh kedua orang-tuanya. Orang-tuanya memiliki keinginan lain bagi masa depan Pierre. Ayahnya ingin Pierre sekolah kedokteran agar menjadi dokter seperti ayahnya, sedangkan ibunya menginginkan Pierre menjadi seorang insinyur. Penolakan kedua orang-tuanya ini justru membuat keinginan Pierre menjadi seorang prajurit semakin menjadi-jadi. Keinginannya ini semakin menggebu-gebu karena kedekatan keluarganya dengan seorang tokoh besar militer saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution. Menurut pengakuan Jenderal Nasution, sangat mungkin jika dirinya-lah yang menjadi penyebab Pierre berkeinginan kuat masuk militer.

Walaupun Jenderal Nasution adalah panutan dan patron Pierre didunia militer tapi hal itu tidak melonggarkan tuntutan orang-tua Pierre agar dirinya menjauhi dunia militer. Ayahnya memang berkeinginan kuat agar putra tunggalnya itu menjadi seorang dokter guna meneruskan jejaknya. Keinginan ayahnya ini membuat Pierre sangat jengkel sampai-sampai beliau ‘nyeletuk’ pada kakaknya, Mitzi, dalam bahasa Jawa ngoko, “Dokter iku mung bisa nambani borok!” (Dokter itu cuma bisa mengobati luka).

Pierre memang sering membicarakan banyak hal pada Mitzie. Satu-satunya anggota keluarga Pierre yang mendukung beliau memang adalah Mitzie. Atas saran kakaknya ini pula Pierre mengikuti dua ujian masuk, yaitu ujian masuk fakultas teknik di ITB (Institut Teknik Bandung) dan ujian fakultas kedokteran di Jakarta, sehingga beliau tidak mengecewakan kedua orang-tuanya, dengan catatan Pierre tidak usah mengerjakan soal-soal ujiannya. Saran ini dituruti Pierre dengan senang hati. Pada akhirnya, tingkahnya itu membuat Pierre otomatis tidak lulus ujian di kedua tempat itu. Suatu hasil ujian buruk yang justru menjadi kebahagiaan baginya.

Usai melihat putranya gagal ujian masuk di universitas dan jurusan yang mereka tuntut, akhirnya kedua orang Pierre pasrah dan mengijinkan beliau mendaftar di akademi militer. Pierre pun lulus ujian Akademi Militer Nasional (AMN) Angkatan Darat. Atas saran Jenderal Nasution, Pierre mendaftar di ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat) agar kelak dirinya bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di ITB, di sekolah Teknik, sehingga hati ibunya bisa senang.

Walau sudah masuk di ATEKAD tetapi kedua orang-tuanya tidak henti-hentinya mengirim surat untuk meminta Pierre agar mengundurkan diri dan kembali mendaftar di sekolah teknik atau sekolah kedokteran. Permintaan untuk mengundurkan diri dari ATEKAD itu gencar mereka kirim melalui surat saat Pierre masih dalam pelatihan dasar. Namun, hati Pierre tidak goyah. Dia memantapkan niatnya untuk menyelesaikan pendidikan di ATEKAD agar bisa menjadi seorang perwira militer.

Keteguhan hati Pierre ini tentu membuat orang-tuanya kesal. Tapi, walaupun tidak merestui keputusan Pierre masuk akademi militer, mereka tetap mendukung putra kesayangan mereka itu. Nama Pierre tetap ada dalam doa-doa mereka sehari-hari. Beliau juga tetap medapatkan kiriman sambal bajak buatan ibunya jika ada kerabat dari Semarang yang ke Bandung. Bahkan, Pierre yang sudah mendapat uang saku sebagai calon taruna masih juga mendapatkan kiriman uang saku dari orang-tuanya. Tidak jarang kiriman uang saku itu justru diminta sendiri oleh Pierre melalui telepon atau surat-suratnya, seperti permintaannya dalam salah-satu surat pada ibunya yang berbunyi (dalam ejaan lama): “Mami, djika mami ada uang belandja lebih boleh kirimkan pada saya karena saya ingin membeli kaset”.

Selama mengenyam pendidikan militer di ATEKAD Bandung, Pierre kembali popular dikalangan kaum hawa disana berkat wajah tampannya, walau sebenarnya beliau adalah sosok yang pemalu dihadapan wanita. Semasa di ATEKAD, Pierre adalah taruna yang sangat aktif . Beliau bergabung di klub bola basket ATEKAD dan sering bertanding melawan klub-klub lain dan mengikuti berbagai kejuaraan seperti Pekan Olah Raga Mahasiwa, berbagai pertandingan antar taruna militer, dan pertandingan-pertandingan lainnya. Pertandingan-pertandingan klub basketnya inilah yang semakin mempopulerkan sosok Pierre di luar ATEKAD. Saking populernya Pierre dikalangan kaum hawa saat itu membuatnya mendapat julukan “Robert Wagner dari Panorama”. Robert Wagner adalah seorang aktor Hollywood yang popular dimasanya, sedangkan Panorama adalah daerah dimana ATEKAD berada.

Pierre tidak hanya memiliki tampang yang rupawan. Kecerdasan dan kepribadiannya yang baik membuat Pierre ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Taruna Remaja. Beliau juga terpilih sebagai Wakil Ketua Senat Corps Taruna di ATEKAD. Kepribadiannya yang kalem tapi memiliki sisi humoris membuat Pierre dipercaya dalam berbagai tugas pembinaan corps taruna ATEKAD. Semua orang yang mengenalnya mengaguminya karena wajahnya yang rupawan, juga karena kecerdasan dan kepribadiannya. Beliau juga dikenal sangat relijius.





GEJOLAK PRRI

Pada masa-masa awal pendidikan Pierre di ATEKAD, terjadi gejolak di Sumatera dan Sulawesi tahun 1958. Ketika itu Pierre dan rekan-rekan seangkatannya masih berpangkat Kopral Taruna. Mereka mendapat tugas lapangan yang tergolong berat, yakni memadamkan pemberontakan PRRI yang meletus di Pulau Sumatera.

Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bermula pada deklarasi 15 Februari 1958 di Padang, Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Ahmad Husin. Keadaan semakin memburuk saat perwira-perwira militer Minahasa juga mendukung PRRI dengan mendeklarasikan bergabungnya Minahasa sebagai bagian dari PRRI, yang menjalar hingga ke Kepulauan Sangir, Bolaang Mongondow, Gorontalo, hingga ke wilayah Sulawesi Tengah. PRRI Sulawesi dikenal dengan nama PERMESTA (Perjuangan Semesta). Kubu mereka semakin kuat saat perwira-perwira tinggi Sumatera dan Minahasa pulang kampung dan bergabung dengan mereka.

Penyebab utama meletusnya pemberontakan PRRI adalah akibat adanya kesenjangan pembangunan antara pulau Jawa dan pulau lainnya di Indonesia dan kegagalan pemerintah membangun daerah-daerah luar Jawa, juga tuntutan diperluasnya otonomi daerah ditolak oleh pemerintah pusat sehingga menimbulkan ketidak-puasan dikalangan kaum intelektual di luar Jawa dan juga membuat marah perwira-perwira militer diluar Jawa. Ketegangan antara pemimpin-pemimpin PRRI dan pemerintahan pusat semakin menjadi-jadi saat para petinggi militer PRRI dipecat dari kesatuan mereka sebagai respon atas tuntutan mereka yang menginginkan agar Kabinet Juanda dihapuskan dan mandat sebagai kepala pemerintahan dikembalikan pada Soekarno.

Pusat pemberontakan PRRI di Pulau Sumatera ada Sumatera Barat. Sedangkan, pusat pemberontakan PRRI di Sulawesi ada di wilayah provinsi Sulawesi Utara sekarang. Gerakan ini lalu merembet hingga ke Kalimantan dan Kepulauan Maluku. Berbagai operasi untuk menumpas gerakan militer PRRI dilakukan, baik di Sulawesi (Operasi Saptamarga I-IV dan Operasi Mena I-II) dan juga Sumatera (Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus, Operasi Sapta Marga, dan Operasi Sadar). Pierre sendiri ditugaskan dalam Operasi Sapta Marga yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Djatikusuma dengan daerah operasi di wilayah Sumatera Timur dan Sumatera Selatan.

Pemberontakan PRRI di Sumatera resmi berakhir dengan menyerahnya Letnan Kolonel Ahmad Husein (Pemimpin PRRI Sumatera) pada 29 Mei 1961 dan Letnan Kolonel Ventje Sumual (Pemimpin PRRI Sulawesi) ditahun yang sama.

Meskipun melakukan pemberontakan pada pemerintah pusat tetapi para pemimpin PRRI menolak dicap sebagai pemberontak terhadap Republik Indonesia sebab mereka menyatakan perjuangan mereka adalah demi mendapatkan otonomi daerah yang luas sehingga mimpi akan kemakmuran di seluruh Indonesia bisa diraih, bukan untuk melengserkan Soekarno.

Dalam perang dengan PRRI ini, Pierre juga terlibat dalam perjuangan yang sama dengan pahlawan revolusi lainnya, Jenderal Achmad Yani (saat itu masih Kolonel), walau mereka ditugaskan di operasi militer yang berbeda (Kolonel Achmad Yani bertugas sebagai komandan Operasi 17 Agustus).





PERWIRA PERTAMA DAN CINTA PERTAMA

Pierre menamatkan pendidikannya di ATEKAD setahun setelah konflik dengan PRRI berhasil dipadamkan, tepatnya pada tahun 1962. Kala itu beliau lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan berhak menyandang pangkat Letnan Dua (perwira pertama). Sebagai seorang perwira muda, Pierre menjalani tugas pertamanya sebagai komandan peleton di Batalyon Zeni Tempur (Zipur) 2 Kodam II/Bukit Barisan, Sumatera Utara, pada masa-masa awal Dwikora (konflik Indonesia dengan Semenanjung Malaya-Malaysia dan Singapura).

Kala bertugas di Medan inilah Pierre bertemu dengan kekasihnya, Rukmini. Beliau dikenalkan pada Rukmini oleh salah-satu temannya. Rukmini adalah seorang gadis yang berasal dari suku Jawa tetapi dibesar di Medan. Ayahnya adalah seorang relijius Muslim dan orang yang terpandang di Medan. Menurut rekannya, kepribadian Rukmini yang sangat baik dan kesetiannya-lah yang menarik hati Pierre. Namun, hubungan Pierre dengan Rukmini ini tidak mendapatkan restu dari kedua orang-tua mereka. Mungkin dikarenakan oleh perbedaan agama.

Pierre menjalani tugas di Sumatera Utara selama satu tahun. Pengalamannya saat menjalani masa tugas lapangan sebagai taruna remaja di era konflik PRRI dan satu tahun sebagai komandan peleton ditahun awal perjuangan Dwikora membuat Pierre menjadi salah-satu perwira muda yang memiliki banyak pengalaman lapangan. Dia lalu dilirik untuk menjalani tugas yang dianggap lebih berbahaya. Perintah baru-pun mendatangi Pierre melalui sebuah surat tugas di tahun 1963 yang memintanya berangkat ke Bogor untuk mengikuti pelatihan khusus bagi seorang mata-mata.

Pierre-pun akhirnya berangkat ke Bogor. Penugasan ini membuat Pierre terpisah dari Rukmini dan menjalani hubungan jarak jauh. Ini adalah perpisahan pertama Pierre dan Rukmini.





MATA-MATA LEGENDARIS ERA DWIKORA

Pada masa kini, Pierre lebih dikenal sebagai seorang ajudan padahal dimasa hidupnya nama Pierre harum sebagai seorang mata-mata. Ironisnya, tugasnya sebagai mata-mata lebih lama ketimbang sebagai ajudan. Pierre bergelut didunia spionase sekitar hampir dua tahun lamanya sedangkan tugasnya sebagai seorang ajudan hanya dijalani selama 6 bulan (April-September 1965).

Baru satu tahun setelah beliau lulus dari ATEKAD dan bertugas di Sumatera Utara, tepatnya pada tahun 1963, Pierre diminta menjadi mata-mata dan disekolahkan di Sekolah Intelejen Negara di Bogor. Ada dua hal yang membuat Pierre ditunjuk untuk menjadi mata-mata, yaitu tampang ‘bule’nya dan kefasihannya berbahasa asing (Inggris, Belanda, dan Jerman). Begitu Pierre menyelesaikan pendidikannya di sekolah intelejen, beliau langsung ditugaskan digaris depan mengkoordinasikan para sukarelawan yang akan menyusup ke Malaysia.

Kepribadiannya yang kalem dan tidak suka terekspos juga menjadikannya seorang mata-mata yang alami. Pierre sangat menyukai tugasnya ini. Selain itu, uang saku yang besar juga menanti Pierre. Tiap kali pulang ke Semarang beliau selalu membawa banyak hadiah bagi keluarganya yang jarang ditemui di Indonesia. Hadiah-hadiah Pierre saat itu membuat senang hati orang-tuanya dan juga adik-adiknya sebab semuanya dibeli diluar-negeri, yang mana saat itu masyarakat Indonesia sangat menyukai barang-barang dari luar negeri. Pierre menghadiahkan ayahnya jam Rolex yang mahal dan raket tenis untuk adiknya. “Ojo di-dhol yo!” Kata Pierre pada adiknya dalam bahasa Jawa, yang artinya “Jangan dijual!”

Meskipun royal terhadap keluarganya, Pierre tetap menabung uang sakunya sedikit demi sedikit. Beliau sangat menyukai tugas-tugasnya, dan juga bangga atas kepercayaan yang diperolehnya.

Setelah berhasil membangun jaringan digaris depan, akhirnya Pierre berhasil menyusup dan melakukan kegiatan inflitrasi di Malaysia. Pierre adalah Komandan Basis Y yang target operasinya adalah wilayah Malaka dan Johor (Kopaska, Spesialis Pertempuran Laut Khusus; Tim Angkasa Comando, 2013). Disana, Pierre menyamar sebagai turis Eropa atau Amerika, dan bertugas mengumpulkan informasi tentang situasi dan kondisi Semenanjung Malaya untuk diteruskan ke Jakarta atau ke tim eksekusi di Malaysia. Sebagai komandan basis, Pierre membawahi sebuah tim KOPASKA (Korps Pasukan Katak, pasukan elit Angkatan Laut) dengan tugas utama menghancurkan objek-objek penting pendukung perang milik Malaysia.

Berbagai kegiatan spionase juga dilakukan Pierre. Tidak ada yang curiga jika beliau adalah mata-mata, sebab tampang Pierre tidak terlihat seperti orang Rusia dan RRC (negara-negara musuh Malaysia), apalagi Indonesia. Berbeda dengan mata-mata lainnya yang biasanya hanya bisa satu kali menyusup, Pierre mampu menyusup lebih dari tiga kali. Selain mampu menyusup berkali-kali, dan status penyamarannya adalah sukses tanpa ketahuan.

Penyusupan terakhir Pierre berjalan sukses tanpa ketahuan (sebagai mata-mata) namun saat beliau akan pulang ke tanah air, speedboat yang ditumpanginya dan rekan-rekannya terpantau oleh angkatan laut Inggris yang berpatroli di Semenanjung Malaya, dan dikejar. Pierre dan rekan-rekannya lalu melompat ke laut, dan berusaha bertahan hidup dengan memegang bagian bawah dari perahu nelayan setempat, dengan posisi sebagian besar tubuhnya didalam air dan hanya sesekali menghirup udara. Beruntung bagi Pierre dan rekan-rekannya sebab ketika diperiksa gelagat pengemudi speedboat mereka tidak mencurigakan sehingga speedboat dan pengemudinya ditinggalkan begitu saja.

Identitas dan penyamaran Pierre tidak pernah terbongkar. Keberhasilan Pierre ini menjadi salah-satu kebanggaan besar bagi kesatuannya, Zeni AD. Keberhasilan ini menjadi pembicaraan hangat perwira-perwira tinggi khususnya kalangan Angkatan Darat sebab banyak mata-mata yang tertangkap dan terbunuh padahal mereka berasal dari kesatuan tempur yang berpengalaman dalam perang gerilya, sedangkan Pierre adalah seorang perwira dari kesatuan Zeni (artileri militer) yang tidak menjadi prajurit utama dalam pasukan perang gerilya.





AJUDAN SANG JENDERAL BESAR

Keberhasilan Pierre selama Dwikora membuat Pierre naik pangkat dalam waktu singkat. Dalam waktu kurang dari tiga tahun setelah tamat dari akademi militer beliau sudah berpangkat Letnan Satu. Tapi, kenaikan pangkatnya ini tidak terlalu menyenangkan hatinya akibat tugas baru yang menantinya.

Pierre sangat menyukai tantangan. Akan tetapi, hal itu tidak sejalan dengan keluarganya, terutama ibunya. Berkali-kali sang ibu meminta Pierre, baik melalui surat maupun secara langsung, agar pindah tugas dan jangan dilapangan lagi. Meskipun memanjakan Pierre tapi rupanya tuntutan-tuntutan ibunya seringkali tidak sejalan dengan keputusan-keputusan Pierre. Bahkan, menurut beberapa orang hubungan Pierre dengan Rukmini juga tidak direstui ibu Pierre. Kala itu, kakaknya adalah orang yang paling pertama dan utama mendukung keputusan-keputusan Pierre.

Orang-tuanya tidak kehilangan akal. Mereka lalu membicarakan maksud dan keinginan mereka pada istri Jenderal Nasution, Ny.Yohana Nasution. Keluarga Pierre memang sangat dekat dengan dengan keluarga istri dari Pak Nas (nama panggilan Jenderal A.H.Nasution). Mertua Jenderal Nasution yang tinggal di Bandung sudah menganggap Pierre seperti putra mereka dan hubungan mereka dengan Pierre semakin dekat semasa Pierre menjalani pendidikan di ATEKAD, Bandung. Jenderal Nasution juga selalu menganggap Pierre sebagai adiknya. Melalui Ny.Yohana Nasution, kedua orang-tua Pierre meminta agar beliau bisa membantu membujuk Pierre, namun tampaknya bujukan semua orang tidak bisa menggoyahkan pendirian Pierre, hingga akhirnya Jenderal Nasution turun tangan.

Ketika itu, prestasi Pierre menjadi buah bibir kalangan Angkatan Darat termasuk para jenderal. Mereka terpesona dan menginginkan agar Pierre bisa menjadi ajudan mereka. Banyak jenderal yang sangat menginginkannya, seperti Jenderal S.Parman (Asisten I Menpangad/Bidang Intelijen, salah-satu pahlawan revolusi), Jenderal Kadarsan, dan Jenderal Hartawan. Tapi, Jenderal Nasution bersikeras untuk merekrut Pierre. Pak Nas memiliki kesempatan untuk mendapatkan Pierre sebab dia memang kekurangan ajudan setelah Kapten Manulang tidak dapat mengisi pos sebagai ajudan karena gugur di Kongo sebagai tentara perdamaian PBB. Lagipula, perwira mana yang berani menolak keinginan satu-satunya jenderal bintang empat di Angkatan Darat. Jenderal Nasution-pun berhasil mendapatkan Pierre sebagai ajudan.

Pierre jengkel saat beliau mendengar akan dipindah-tugaskan untuk mengawal Jenderal Nasution. Sebenarnya, menjadi seorang ajudan adalah tugas yang sangat diidam-idamkan oleh banyak perwira muda, sebab tugas itu ibarat jalur pintas untuk peningkatan karir dimasa-depan apalagi jika atasannya adalah Jenderal Nasution, yang saat itu menjadi sebagai Panglima ABRI. Namun, tugas baru itu bukanlah yang diinginkan Pierre karena dia sangat mencintai tugas-tugasnya sebagai agen lapangan. Bertugas sebagai seorang ajudan sangat membosankan bagi Pierre, dan dia sangat kesal akan hal itu. Itulah mengapa promosi kenaikan pangkatnya sebagai Letnan Dua pada 15 April 1965 sekaligus menandakan awal tugasnya sebagai seorang ajudan tidak terlalu menyenangkan hati Pierre. Saat Pierre tahu bahwa dirinya akan menjadi ajudan Jenderal Nasution dia sadar bahwa penugasan tersebut adalah karena campur tangan Pak Nas atas permintaan dari orang-tuanya.

Ibu Pierre adalah orang yang paling berbahagia akan penugasan baru Pierre, terlebih lagi sebagai ajudan Jenderal Nasution, orang yang sangat akrab dengan mereka. Kenyataan bahwa orang-tuanya memenangkan ‘pertarungan’ itu membuat Pierre sangat dongkol. Beliau-pun menegaskan pada keluarganya bahwa dirinya akan menjalani tugas sebagai seorang ajudan hanya selama satu tahun dan tidak boleh lebih, sebab kalau masa tugasnya sebagai ajudan diperpanjang, “aku akan langsung menghadap KASAD untuk minta pindah!”, ancam Pierre saat itu.

Pierre pun bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution sebagai salah-satu dari empat ajudan Nasution. Pierre adalah ajudan sang jenderal yang termuda.

Menurut pengakuan Nasution, Pierre tinggal dirumahnya sebagai anggota keluarga Nasution, sebab dia sudah dianggap sebagai adik dari sang jenderal.

Sepanjang tugasnya sebagai ajudan Nasution, Pierre adalah musuh bebuyutan ‘anak-anak nakal’ Menteng. Anak-anak muda ini sering berulah dan kebut-kebutan dengan motor sehingga membuat masyarakat sekitarnya kesal. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak sebab mereka merupakan anak-anak para pejabat yang tinggal di Menteng. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Pierre. Pierre yang gerah karena ulah mereka lalu menindak remaja-remaja ini dengan tegas. Dikatakan bahwa mereka sangat takut pada Pierre sebab secara kekuatan fisik mereka pasti kalah, dan lagi, siapa yang berani melawan seorang ajudan Panglima ABRI saat itu?

Walau mampu memanfaatkan pangkatnya, tapi status Pierre sebagai seorang perwira dan ajudan Panglima ABRI rupanya tidak pernah membuat Pierre terlena. Jika memiliki waktu luang dimalam hari, Pierre sering bekerja sebagai pengemudi traktor yang ikut meratakan area Monas (saat itu masih belum memiliki monumen dan baru akan dibangun) demi menambah uang. Rupanya, Pierre berniat membeli televisi yang sudah dipesannya. Ketika itu, jika ingin membeli televisi harus dipesan dulu dan harus antri sebab televisi tergolong barang mewah.

Pierre memang selalu menabung demi mendapatkan apa yang diinginkan dan dimimpikannya. Rupanya, tidak semua yang dimimpikan Pierre berwujud benda-benda berharga. Beliau rupanya berkeinginan bisa membahagiakan keluarganya dan menunaikan tugas sebagai seorang kakak. Itulah mengapa dia menabung uang sakunya selama menjadi mata-mata dan menyerahkan pada sang ibu saat pernikahan adiknya. Ketika itu, Pierre menyerahkan sejumlah uang Dollar USA yang dibungkusnya dengan kertas Koran, dan setelah di-rupiah-kan jumlahnya menjadi sangat banyak.

Mami, ini sumbangan dari saya untuk pernikahannya Roos”, demikian ujar Pierre pada ibundanya.

Adiknya, Roos, menikah dengan Jusuf Razak pada 2 Juli 1965. Pada saat pernikahan adiknya, Pierre sangat terharu dan sedih karena harus melepas adiknya sehingga momen yang seharusnya menjadi saat yang bahagia itu justru diwarnai oleh banyak air mata. Berkali-kali Pierre bertanya pada adiknya apakah sudah siap menikah, sebuah pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh Roos secara lisan. Pierre dan Roos pun saling berpelukan dan menangis. Dengan penuh haru, Pierre menitipkan adiknya pada Jusuf Razak. “Mas, aku titip adikku. Tolong jaga dia”, demikian ucapan Pierre kepada adik iparnya, Jusuf Razak. 

Kepulangan Pierre ke Semarang pada saat itu adalah untuk kali yang terakhir. Dari semua anggota keluarganya, hanya Mitzie yang sempat bertemu dengan Pierre setelah pernikahan Roos.

Selama menjadi ajudan Nasution, Pierre adalah ajudan yang paling sering menemani sang Jenderal dinas keluar kota. Sebagai ajudan tokoh militer sepopuler Nasution saat itu, Pierre langsung menyita perhatian khalayak ramai yang melihatnya. Hampir disetiap pertemuan, seminar, dan konferensi yang dihadiri Nasution dan didampingi oleh Pierre, para peserta akan mendengar pidato dan ceramah sang Jenderal, tapi wajah Pierre akan mendominasi durasi tatapan mereka. Bagi kalangan pria, sosok Pierre yang berwibawa dan misterius juga berparas bule dan masih sangat muda menimbulkan tanda-tanya, mengapa dia bisa menjadi ajudan seorang jenderal sekelas Nasution yang terkenal puritan. Sedangkan, bagi kaum hawa, semua hal yang dimiliki Pierre adalah ‘berkah’ bagi mereka yang mungkin jenuh panas-panasan mendengar ceramah seorang ‘bapak-bapak’ seperti Jenderal Nasution yang berlatar-belakang militer. Inilah mengapa saat itu muncul ungkapan populer dikalangan peserta yang menghadiri ceramah Jenderal Nasution, “Telinga kami untuk Pak Nas tetapi mata kami untuk ajudannya”. Selanjutnya sudah bisa ditebak, ketika sesi ceramah Pak Nas dan acara ramah-tamah dimulai, Pierre merebut hampir semua perhatian para peserta yang berebutan ingin berjabat tangan dengannya.

Sebagai seorang prajurit lapangan dan mata-mata yang sangat berpengalaman, menghadapi musuh dan berkamuflase melalui berbagai penyamaran adalah hal yang biasa tetapi ketika beliau menjadi pusat perhatian dan dielu-elukan maka seorang prajurit pemalu seperti Pierre justru merasa kewalahan. Menurut kesaksian orang-orang yang hadir saat itu, ketika orang-orang berebut bersalaman dengannya Pierre menjadi bingung dan menjadi sangat kikuk, terlebih saat dia melihat ekspresi kaum hawa yang tiba-tiba sangat senang dan dengan berseri-seri dihadapannya. Hal ini justru membuat Nasution tersenyum geli melihatnya. Mungkin bagi Nasution, memboyong Pierre selama berdinas diluar, selain karena kedekatan dan kepercayaannya pada Pierre, juga menjadi hiburan tersendiri yang menyelingi hari-hari sibuk sang jenderal. Senyum lebar Nasution saat melihat apa yang dialaminya mungkin terlihat sebagai ‘olok-olokan’ bagi Pierre sehingga membuat sang ajudan semakin malu.

Pierre memang sering menjadi bahan godaan keluarga Nasution, terutama putri-putrinya, Henrianti Sahara dan Ade Irma Suryani. Hal ini dikarenakan hubungan mereka yang sangat dekat dan sudah seperti keluarga. Satu hal yang dilakukan oleh Pierre yang lalu menjadi bahan godaan bagi putri-putri Nasution adalah ketika dia tersenyum-senyum membaca surat-surat dari kekasihnya dengan wajah yang kasmaran. Berbagai hadiah pun diberikan Pierre pada gadis-gadis cilik itu untuk membungkam mulut mereka agar berhenti menggoda sang ajudan.

Rukmini memang berhasil memikat hati sang letnan tampan. Walau tampaknya sang ibu tidak setuju dengan pilihan Pierre tetapi Pierre sudah ‘ngotot’ untuk urusan cintanya. Hal itu diceritakan Pierre melalui salah-satu surat yang dikirim pada kakaknya, “Mitz, aku wis ketemu jodohku. Wis yo Mitz, dongakake wae mugo-mugo kelakon...” (Mitz, aku sudah menemukan jodohku. Sudahlah Mitz, didoakan saja semoga bisa tercapai).

Perihal kisah cinta Pierre ini, mungkin hanya Nasution yang menyetujuinya. Ketika Pierre mendampingi Jenderal Nasution melakukan kunjungan dinas ke Medan pada 31 Juli 1965, Pierre mengunjungi Rukmini dan menemui kedua orang-tua kekasihnya itu. Ketika menemui orang-tua Rukmini, Nasution juga ikut mendampingi Pierre sebagai anggota keluarga Pierre. Jenderal Nasution-lah yang menjadi perwakilan keluarga Pierre saat melamar pada orang-tua Rukmini. Kendala utama kedua sejoli itu adalah perbedaan agama, dan masing-masing sulit berpindah keyakinan. Orang-tua Rukmini yang sangat relijius tentu akan menentang jika Rukmini mengikuti keyakinan Pierre, demikian halnya dengan orang-tua Pierre tentu tidak akan mengijinkan hal yang sama. Sedangkan, kode etik TNI tidak memperbolehkan Pierre untuk berpindah keyakinan mengikuti keyakinan calon pasangannya jika beliau masih berdinas sebagai seorang tentara. Tetapi, lamaran Pierre akhirnya diterima. Mungkin hati orang-tua Rukmini melunak setelah melihat seorang jenderal populer sekelas Nasution sendiri yang datang membawa lamaran ajudannya yang hanya berpangkat letnan. Ini menunjukan bahwa Pierre adalah pria yang sangat bertanggung-jawab dimata atasannya dan mampu bertanggung-jawab juga pada keluarganya. Waktu pernikahan merekapun disepakati yaitu dibulan November 1965. Pernikahan adiknya dan lamaran pada keluarga kekasihnya semua dilakukan pada bulan Juli 1965, namun pertemuan-pertemuan dibulan Juli 1965 itu menjadi pertemuan terakhir Pierre dengan orang-orang yang dikasihinya.

Pierre dan Mitzie sempat kembali bertemu sekitar akhir bulan Agustus 1965 ketika Mitzie mengunjungi Jakarta. Mereka lalu berpisah di Stasiun Gambir sebab Mitzie harus kembali ke Semarang dengan menggunakan kereta. Saat itu masih sangat pagi, sehingga suhu udara masih sangat dingin. Dinginnya pagi juga menghinggapi Mitzie melalui pipi Pierre yang dingin ketika Pierre menciumnya sebagai tanda perpisahan. Setelah kunjungannya ke Jakarta, Mitzie masih sempat satu kali berbicara dengan Pierre melalui telepon dibulan September. Kakaknya itu selalu mengenang kembali bagaimana Pierre, yang menggunakan celana panjang hijau tentara dan kemeja cokelat, melambai-lambaikan tangan kearahnya ketika kereta api bergerak menjauh dari peron dan memisahkan mereka berdua. 

Bulan Agustus pun berganti menjadi bulan September 1965. Tugas-tugas Pierre sebagai ajudan Nasution tidak berubah.





PENGORBANAN SANG LEGENDA

Peristiwa dipenghujung bulan September 1965 menjadikan September 1965 sebagai bulan sejarah yang paling terkenal dalam sejarah Indonesia setelah Agustus 1945. Padahal, awal bulan itu dijalani oleh para pelaku sejarah, baik korban, penculik, dan pihak-pihak yang terkait dengan biasa-biasa saja.

Dibulan September, para elit Angkatan Darat dibawah pimpinan Letnan Jenderal Ahmad Yani berkunjung ke sekolah seminari Kupang. Mayor Jenderal Siswondo Parman dan Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan juga ikut dalam rombongan ini. Presiden Soekarno memiliki beberapa aktifitas dibulan ini. Pada penghujung bulan ini, Mayor Jenderal Soeharto berada di RS. Gatot Soebroto sebab putra bungsunya diopname karena tersiram sup panas. Kala itu, beberapa otak penculikan datang menemui Soeharto di rumah-sakit mengabarkan rencana mereka meminta pertanggung-jawaban para jenderal, tetapi tampaknya perhatian Soeharto lebih tersita pada kesembuhan putra bungsunya. Para elit PKI sendiri juga melakukan banyak aktifitas di bulan ini. Demikian juga dengan Jenderal Nasution. Pierre sendiri mengawali bulan September dengan mendampingi Jenderal Nasution selaku ajudannya.

Dihari terakhir bulan September itu, tepatnya hari Kamis 30 September, Pierre sempat melihat-lihat paviliun kosong di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Pierre berniat mempersiapkan tempat tinggalnya saat menikah nanti dengan Rukmini meskipun hanya mengontrak. Tempat tinggalnya harus dekat dengan kediaman Jenderal Nasution. Pierre pulang kembali ke kediaman Jenderal Nasution pada sore hari. Entah kenapa saat itu Pierre tidak menelepon ke keluarganya di Semarang padahal hari itu adalah hari ulang-tahun ibundanya. Hari itu telepon dari Pierre dinanti-nantikan oleh keluarga Tendean tetapi tidak ada dering telepon dari Pierre. Keluarga Tendean merasa aneh akan hal itu sebab tidak biasanya Pierre tidak menelepon keluarganya jika ada salah-satu anggota keluarganya yang ulang-tahun. Tapi, mereka berusaha memaklumi hal ini karena Pierre ada seorang tentara. Meskipun tidak menelepon di hari ulang-tahun ibunya tetapi Pierre sudah berjanji akan pulang bersama adik iparnya, Jusuf Razak, ke Semarang pada keesokan harinya, tepatnya tanggal 1 Oktober. Jusuf Razak pun sudah berjanji akan menjemput Pierre di kediaman Jenderal Nasution. 

Di waktu yang hampir bersamaan, sekitar pukul 5 sore WIB, pasukan Cakrabirawa Batalyon I diperintahkan secara mendadak untuk mengikuti apel oleh sang komandan batalyon, Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Letnan Kolonel Untung memerintahkan agar pasukannya waspada tingkat satu atas upaya kudeta. Untuk itu, batalyon itu lalu berangkat ke Lubang Buaya. Letnan Kolonel Untung membagi pasukannya menjadi tujuh regu yang masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang anggota Cakrabirawa untuk menjemput dan meminta pertanggung-jawaban beberapa jenderal diwaktu yang sudah ditentukan, yaitu pada keesokan hari, 1 Oktober pukul 3 dini-hari.

Malam terakhir dibulan September 1965 pun tiba dan semua orang beristirahat, termasuk Pierre dan keluarga Nasution. Pierre tidur lebih awal sebab bukan dia yang bertugas malam itu. Hari dan bulan pun berganti. Tidak ada satupun dari mereka yang menyangka jika ada pergerakan dari pasukan istana yang menuju ke rumah-rumah jenderal-jenderal angkatan darat, termasuk ke kediaman Jenderal Nasution. Jalanan Jakarta, khususnya kawasan Menteng yang sunyi tiba-tiba menjadi gaduh akibat deru truk-truk militer yang melaju membelah gelapnya malam. Para penghuni kediaman Nasution masih terlelap, termasuk Pierre. Anak-anak Nasution juga masih terlelap, sedangkan sang jenderal sendiri, menurut pengakuan beliau, juga berbaring tetapi tangannya sibuk mengebas-ngebas mengusir nyamuk disekitarnya dan istrinya. Tapi kantuk yang menyerang rupanya lebih kuat daripada serangan nyamuk-nyamuk itu. Mereka tidak menyadari jika ada banyak truk yang melintasi sekitar rumah mereka, sama seperti para pengendara truk dan juga anggota Cakrabirawa dalam truk itu yang juga tidak sadar bahwa mereka melewati kediaman Jenderal Nasution.

Truk-truk itu mengangkut satu kompi pasukan Cakrabirawa dan satu peleton milisi sipil pro-Komunis (Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia:Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasan), dan melaju di jalanan Menteng, berputar-putar mencari kediaman Nasution sesuai dengan perintah atasan mereka. Atas petunjuk salah-satu anggota yang bernama Idris, truk-truk yang mengangkut pasukan Cakrabirawa pimpinan seorang Pembantu Letnan Dua yang bernama Djahurup akhirnya berhenti dan meringsek masuk ke sebuah rumah. Terjadi perlawanan sengit yang singkat dari salah-seorang pengawal dirumah itu namun akhirnya pengawal itu berhasil ditembak mati. Pengawal itu bernama Karel Satsui Tubun dari kesatuan Kepolisian Republik Indonesia. Tapi, para anggota Cakrabirawa menyadari kejanggalan pada rumah itu sebab tidak ada pos militer didepan rumah, seperti yang seharusnya ada di kediaman seorang panglima. Rupanya Idris membawa kelompok Djahurup ini ke rumah yang salah sebab rumah itu bukan kediaman Jenderal Nasution melainkan kediaman tetangganya, Dr. Johanes Leimena (Wakil Perdana Menteri II) yang berjarak 100 meter dari kediaman Jenderal Nasution. Mereka lalu meninggalkan mayat Karel Satsui Tubun dan kembali bergerak menuju ke kediaman Nasution.

Para pengawal Jenderal Nasution terkejut mendengar suara ribut-ribut dan suara tembakan dikediaman J.Leimena. Ny.Yohana dan Jenderal Nasution juga terbangun. Kejadian salah-rumah itu rupanya sedikit menguntungkan Nasution sebab beliau lalu terjaga dan menjadi waspada.

Tiba-tiba, perhatian para pengawal kediaman Nasution tertuju pada suara deru truk yang berhenti di depan rumah. Sekelompok tentara berseragam Cakrabirawa berjalan menuju para pengawal kediaman Nasution sambil menodongkan senjata. Kali ini, Idris membawa mereka ke rumah yang benar. Penjaga kediaman Nasution yang berjumlah 10 orang itu kebingungan saat dihampiri oleh para Cakra (sebutan bagi anggota Akrabirawa). Para Cakra memerintahkan agar para penjaga diam sebab mereka akan menjemput Jenderal Nasution untuk dibawa ke istana. Adu mulut pun terjadi tapi tidak ada perlawanan yang berarti dari para pengawal sang jenderal sebab yang berhadapan dengan mereka adalah pasukan pengawal presiden. Melawan pasukan Cakrabirawa artinya melawan presiden. Akhirnya para penjaga kediaman Jenderal Nasution menyerah dan senjata mereka dilucuti. Mereka lalu diperintahkan masuk kedalam sebuah ruangan dan dikunci dari luar. 

Tiga orang Cakra yang bernama Sulemi, Haryono, dan Suparjo segera menuju ke area dalam kediaman Pak Nas. Rupanya pintu depan rumah tidak terkunci. Ketiga orang itu lalu menerobos ke dalam rumah hingga tiba didepan kamar Jenderal Nasution.

Pintu diketuk oleh ketiga Cakra itu berbarengan dengan teriakan agar Nasution keluar dan menghadap Soekarno. Nasution ingin keluar menemui mereka tetapi Ny.Yohana mencegahnya. Akhirnya, sang istrilah yang membuka pintu.

Pintu lalu dibuka oleh Ny.Yohana Nasution. Namun, ketiga Cakra yang terlanjur gerah menunggu akhirnya melepaskan tembakan kearah pintu tepat saat Ny.Yohana membuka pintu sehingga telinga nyonya rumah itu terserempet peluru. Beliau cepat-cepat menutup dan mengunci pintu. Beliau menyuruh Jenderal Nasution, yang masih terkejut dan hanya menggunakan kaos dan sarung, untuk melarikan diri dengan cara melompat jendela kamar.

Sulemi lalu berinisiatif mendobrak pintu sebab dia menganggap tindakan pihak Nasution yang menutup dan mengunci pintu dihadapan seorang Cakra yang datang menjemput adalah pembangkangan pada presiden.

Diruangan yang lain, putri Nasution yang terbangun mendengar ribut-ribut lalu segera bergegas ke mencari Pierre sambil memanggil-manggil nama ajudan yang paling dekatnya itu. Pierre, yang sedang berada disalah-satu ruangan kediaman Nasution, pun terbangun. Beliau, yang masih mengenakan seragam dinasnya, lalu mengambil senapan Garand dan mengisi penuh senjata itu dengan amunisi.

Pintu yang berusaha didobrak Sulemi itu tidak bisa terbuka juga sebab rupanya sudah ditahan oleh Ny.Yohana dari dalam.

Saat itu kamar tersebut begitu ribut sebab selain suara para Cakra yang mendobrak-dobrak pintu, suara tangisan Ade Irma yang ketakutan juga terdengar membahana. Ade akhirnya digendong oleh adik Jenderal Nasution, Mardiyah. Entah kenapa, Mardiyah justru mendekati pintu yang berusaha ditahan oleh Ny.Yohana. Mungkin beliau kebingungan dan ketakutan tidak tahu mau lari kemana sehingga memilih bergabung dengan Ny.Yohana.

Tiga Cakra yang sudah lelah mendobrak lalu mengambil jalan pintas dengan menembak gagang pintu dengan senjata masing-masing hingga pintu bisa terbuka. Saat mereka berhasil membuka pintu, ketiga Cakra ini kaget saat melihat seorang wanita, yang adalah Mardiyah, sedang berlari menghindar sambil menggendong anak kecil yang berlumuran darah. Rupanya peluru yang ditembakan ketiga orang ini secara tidak sengaja menyerempet ke punggung Ade Irma dan juga tangan Mardiyah yang sebelumnya berada didekat pintu. Tiga Cakra ini tidak melihat keberadaan Jenderal Nasution disana.

Jenderal Nasution berhasil keluar dari belakang rumah, segera menuju dan melompati pagar yang berbatasan langsung dengan Kedutaan Besar Irak. Beberapa Cakra yang melihatnya lalu menembaki sang jenderal. Untungnya Nasution berhasil luput dari rentetan tembakan itu. Beliau lalu memanjat menara air dan bersembunyi disana.

Pierre yang keluar dari kamarnya sambil membawa senjata berjalan dengan sangat waspada. Pierre mengendap-endap dan mencari tempat yang remang, dan bahkan gelap agar bisa lebih mudah bersembunyi, sambil menuju ke suara ribut-ribut itu. Nahas, Pierre terlihat oleh anggota Cakra. Para Cakra yang melihatnya lalu menodongkan senjata dan memerintahkan Pierre menyerah. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk melawan, Pierre pun meletakan senjata dan menyerah.

Salah-seorang anggota Cakra lalu bertanya pada Pierre perihal siapa dia dan “Dimana Nasution??!”

Sebenarnya, fisik Pierre dan Jenderal Nasution sangat berbeda. Mulai dari potongan rambut, tinggi badan, dan juga wajah. Tapi, Nasution beruntung karena saat itu Pierre berada ditempat gelap dan juga anggota Cakra yang menanyai Pierre itu adalah Idris ‘si tukang salah’, yang sebelumnya salah membawa tim Pelda Djahurup ke kediaman J.Leimena.

Pierre-pun menjawab pertanyaan Idris itu dengan jawaban fenomenalnya,
Saya Nasution!” Jawab Pierre.

Berbekal jawaban Pierre yang penuh wibawa dan juga postur tubuh Pierre yang tegap khas seorang prajurit, sang ajudan pun diangkut ke truk setelah sebelumnya mereka mengikat tangan Pierre kebelakang. Dengan mengabaikan kata-kata beberapa Cakra yang melihat Nasution melompati pagar, truk-truk tetap melaju, tapi bukan kearah istana melainkan kearah timur, tepatnya ke lokasi yang bernama Lubang Buaya. Untuk sesaat Pelda Djahurup, dan juga Idris, tidak menyangka jika yang dibawa mereka bukan Jenderal Nasution melainkan Letnan Dua (CZI) Pierre Tendean. 

Para penculik baru tahu bahwa mereka salah orang setibanya di Lubang Buaya, setelah Pierre diturunkan dari truk dan dibawa ke tempat yang lebih terang. Kesalahan ini justru membuat Pierre menjadi sasaran amuk para penculik.

Setiba di Lubang Buaya, Pierre dibawa ke sebuah tenda dan dikumpulkan didekat jenderal-jenderal yang masih hidup, yaitu Mayor Jenderal Soprapto, Mayor Jenderal S.Parman, dan Brigadir Jenderal Soetojo. Tiga jenderal lainnya sudah tewas saat dibawa, yaitu Letnan Jenderal Achmad Yani, Brigadir Jenderal D.I.Pandjaitan, dan Mayor Jenderal M.T.Haryono. Bersama-sama dengan mereka juga ada seorang polisi patroli yang bernama Sukitman, yang lebih beruntung sebab dia tidak disiksa.

Rupanya, ditempat itu bukan hanya ada pasukan Cakrabirawa melainkan juga kelompok-kelompok simpatisan komunis.

Pierre mendapat siksaan fisik yang berat. Beliau ditendang dengan sepatu lars tentara dan dipukul berkali-kali dengan gagang senapan hingga kepalanya terluka parah, sampai-sampai membentuk tiga luka menganga. Menurut pengakuan salah-satu anggota Cakrabirawa, Pierre sempat mengaku sebagai penjaga mesin diessel dikediaman Jenderal Nasution, tetapi tampang Pierre tidak membuat mereka percaya dan tetap menyiksa Pierre. Tapi, semakin disiksa tubuh Pierre seakan semakin melawan sehingga membuat siksaan yang diterimanya semakin parah sehingga menurut pengakuan Sukitman, tubuh Pierre babak belur dan pakaian yang dikenakannya berlumuran darah.

Akhirnya, Pierre yang sudah kepayahan pun dibawa dan diikat disebuah pohon sedangkan para jenderal yang masih hidup silih-ganti disiksa dengan siksaan yang berat. Jenderal-jenderal ini akhirnya ditembak satu-persatu. Setiap selesai menembak seorang jenderal, mereka membawa jenasahnya kesebuah sumur kecil dan memasukan kedalam sumur dengan posisi kepala dibawah. Setelah dibuang kedalam sumur, tembakan pun dilepaskan kedalam sumur.

Pada akhirnya, hanya tersisa Pierre dan Sukitman. Sukitman mendapat kepercayaan dari seorang anggota Cakra karena dia tidak dianggap musuh, sebab beliau memang bukan berasal dari kesatuan Angkatan Darat. Tapi, para penculik kebingungan saat melihat Pierre. Mau diapakan korban salah-tangkap ini?

Akhirnya, salah-seorang Cakra bertanya pada Letnan Doel Arief perihal tindakan yang harus mereka ambil untuk Pierre. Jawaban Doel Arif adalah, “Bereskan sesuai situasi dan kondisi”.

Secara harafiah, perintah Dul Arief ini berarti eksekusi mati atau juga bisa ditawan. Tapi, sebelum perintah itu sampai ke tim di lapangan, rupanya Pelda Djahurup sudah mengambil inisiatif sendiri.

Pierre dibawa dari tempat dia diikat dan dipaksa berlutut. Tubuhnya sudah sangat kepayahan sebab sudah penuh luka karena siksaan berat dan lama menanggung sakit. Djahurup langsung berdiri dibelakang Pierre. Dengan tangannya sendiri Djahurup menembak Pierre dari belakang. Pierre-pun tersungkur jatuh kedepan, namun masih bergerak. Tanpa ampun, tubuhnya kembali ditembak oleh Djahurup.

Rupanya, harga-diri Djahurup sebagai seorang Cakra tercoreng sebab dia adalah satu-satunya komandan regu yang gagal membawa targetnya padahal tim lain berhasil membawa sasaran mereka walaupun ada tiga orang jenderal yang terlanjur tewas. Akhirnya, sang ajudan-pun benar-benar tewas menyusul para jenderal.

Jenasah Pierre diseret begitu saja kearah sumur kecil, menyusul enam jenasah lainnya yang sudah terlebih dahulu dimasukan kedalam kedalam sumur itu dengan posisi kepala lebih dulu. Pierre-pun dibuang kedalam sumur. Para penculik itu masih belum puas menembakan peluru sebab menurut pengakuan Sukitman mereka kembali memberondongkan peluru kedalam sumur, seakan-akan untuk menegaskan bahwa Pierre dan para jenderal itu tidak akan bisa hidup lagi.

Sumur-pun ditutup dan ditimbun oleh bermacam-macam dedaunan untuk menghilangkan jejak. Sebuah kebiasaan yang seakan-akan meniru apa yang dilakukan kaum Bolshevik usai mengeksekusi Tsar Nicholas II Romanov dari Rusia dan keluarganya.

Didalam sumur tua yang kecil itu, terbaringlah jasad para pahlawan dan ksatria yang berjuang demi bangsa dan ideologi Pancasila hingga akhir hayat mereka. Keenam jenderal itu dulunya adalah pemuda-pemuda yang mengangkat senjata melawan penjajah selama perang kemerdekaan yang bertempur dan menjadi tentara dimasa-masa yang paling sulit dalam sejarah Republik Indonesia. Jenasah paling bawah adalah Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan yang pada masa mudanya memimpin pemuda-pemuda Sumatera mengangkut logistik dan senjata dari Semenanjung Malaya menerobos blokade kapal-kapal Inggris. Diatas jenasah D.I Pandjaitan adalah jenasah sahabat karibnya, jenderal kesayangan Soekarno, Letnan Jenderal Achmad Yani. Jenderal Yani adalah prajurit brilian yang dulunya sangat merepotkan serdadu Belanda dan juga berhasil menumpas berbagai pemberontakan besar termasuk konflik PRRI dan pemberontakan PKI di Madiun. Diatas jenasah dua sahabat ini adalah jenasah jaksa militer utama, Brigadir Jenderal Soetojo; yang berdehimpitan dengan salah-satu negosiator terbaik Angkatan Darat, Mayor Jenderal M.T Haryono, yang juga ikut serta dalam Perundingan Meja Bundar bersama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Berikutnya adalah jenasah perwira-perwira brilian lainnya, seperti ahli intelijen yang humoris, Mayor Jenderal S.Parman; dan juga Mayor Jenderal Soeprapto. Diatas semua jenasah prajurit terbaik angkatan darat itulah terbaring jenasah Pierre, sang mata-mata legendaris Dwikora.



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PENYUSUN
Writer : Deleigeven
Editor : Juliet
Publisher : Deleigeven Media