DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Showing posts with label Silla. Show all posts
Showing posts with label Silla. Show all posts

Tuesday, 1 January 2019

KIM YUSHIN DAN LEGENDANYA



Jenderal Kim Yushin adalah jenderal terbesar dalam sejarah Silla dan salah-satu jenderal terbesar sepanjang sejarah Korea. Popularitas nama besarnya sebagai seorang jenderal besar hanya bisa disandingkan dengan Laksamana Yi Sun-shin dari Joseon.

Kim Yushin adalah jenderal yang berjasa besar dalam berbagai perang besar sejak era Raja Jinpyeong dan juga dalam perang penyatuan Tiga Kerajaan. Dalam semua catatan sejarah Silla, Kim Yushin disebut sebagai Hwarang terhebat yang pernah ada.

Kim Yushin adalah putra sulung Jenderal Kim Sohyeon (cucu Raja Guhae, raja terakhir Kerajaan Geumgwan Gaya). Ibunya adalah Putri Manmyeong (putri Raja Jinheung). Beliau adalah sepupu maternal Raja Jinpyeong.

Sebagai hwarang terhebat dalam sejarah Silla, ada banyak sekali legenda tentang beliau. Bahkan, legenda tentangnya sudah diceritakan sebelum dia lahir.




LEGENDA KELAHIRAN KIM YUSHIN

Kelahiran Kim Yushin diramalkan bukan di Silla, melainkan di wilayah musuh mereka, Goguryeo.

Ramalan kelahiran Kim Yushin diketahui oleh orang-oran Silla dari seorang yang bernama Baek-seok. Pada Kim Yushin, Baek-seok berkata bahwa para pejabat istana Goguryeo meyakini jika Kim Yushin adalah reinkarnasi dari Chunam (peramal terkenal di Goguryeo). Seperti inilah penuturan Baek-seok:

Di perbatasan antara Silla dan Goguryeo, ada sungai yang mengalir tapi arusnya berlawanan arah. Raja Bojang lalu memanggil Chunam kedalam istana dan berkata padanya:

Lihatlah ini! Mengapa arus air dari sungai ini mengalir berlawanan arah, yang diatas mengalir kebawah sedangkan arus yang didalam justru meluap keluar. Mengapa mereka menyebut ini ‘Ungja-su’ (arus pria dan wanita) sedangkan arus air lainnya disebut Jaung-su (arus wanita dan pria)? Apakah ini hal yang tidak biasa?”

Yang Mulia”, kata Chunam, “ini karena perilaku ratu berlawanan dengan prinsip alam ‘eum (yin) dan yang’, dan keadaan yang tidak seharusnya terjadi di ranjang itu digambarkan layaknya cermin melalui aliran sungai ini”, kata Chunam.

Rupanya aku dikelabui secara memalukan” ucap raja.

Ratu sangat marah mendengar hal ini. “Dia berkata omong-kosong”, kata ratu. “Ini adalah tanda ketidak-setiaan rubah serakah yang ingin mengancam posisi ratu.”

Saya mengatakan yang sebenarnya, Yang Mulia” kata Chunam. “Apa yang telah terjadi telah diungkapkan secara terang benderang pada saya melalui kemampuan ghaib saya.”

Yang Mulia Raja,” ujar ratu, “jika dia mengetahui segalanya, biarlah dia menjawab satu pertanyaan lagi, dan bila dia salah maka diharus dihukum mati dengan hukuman yang sangat menyakitkan,” kata ratu.

Ratu lalu mengundurkan diri untuk sementara dari hadapan raja untuk kembali ke kemarnya dan saat dia kembali dia membawa sebuah kotak, yang dikatakannya berisi tikus besar.

Raja Bojang lalu bertanya pada Chunam, “apa isi dalam kotak ini?”
Tikus,” jawab Chunam.
Berapa banyak,” tanya ratu.
delapan ekor,” jawab Chunam.
Jawabanmu salah,” kata ratu sambil tertawa dengan penuh kemenangan, “dan kau pantas mati.”

Dengan berat hati raja mengumumkan bahwa Chunam dihukum mati dengan cara disiksa sampai mati. Tapi, sebelum Chunam menghadapi hukumannya, dia berkata:
Saat aku mati, aku akan lahir kembali sebagai seorang jenderal besar yang akan menghancurkan Goguryeo.”

Chunam pun dihukum mati.

Tapi, saat mereka membelah perut tikus tadi mereka menemukan bahwa ada 7 janin tikus didalamnya. Semua orang di istana akhirnya menyadari bahwa apa yang dikatakan Chunam adalah benar. Pada suatu malam setelah peristiwa itu, Raja Bojang bermimpi, dia melihat roh Chunam masuk kedalam tubuh istri Jenderal Kim Sohyeon (ayah Kim Yushin) di Silla. Raja terbangun dengan keheranan dan mendiskusikan penglihatannya itu bersama para pejabat istana (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 78-80, tahun 1972).

Akhirnya, mereka mengirimkan seorang mata-mata ke Silla untuk memastikan hal itu. Mata-mata itu membawa kabar bahwa penglihatan Raja Bojang itu memang menjadi kenyataan. Mata-mata itu lalu diberi tugas baru, membunuh Kim Yushin. Mata-mata itu adalah Baek-seok.




BATU YANG TERBELAH

Suatu hari, Kim Yushin dihadapkan pada masalah yang cukup berat, diperkirakan saat dia baru menjadi hwarang atau saat dia akan menjadi menghadapi ujian akhir seleksi pungwolju. Sebab saat itu belum ada hwarang keturunan Gaya yang menjadi pungwolju. Memang Munno juga berdarah Gaya tapi secara maternal dari generasi ke-3 (kakeknya berasal dari Gaya), bukan seperti Kim Yushin yang ayahnya adalah orang Gaya asli.

Ketika itu, usaha Kim Yushin selalu gagal dan perjuangannya selalu sia-sia. Melihat usaha dan perjuangan anaknya yang tampak mustahil, ayahnya, Jenderal Kim Sohyeon, lalu meminta Kim Yushin untuk menyerah saja, dan berkata, “batu yang keras tidak akan terbelah jika dipukul dengan kayu (atau pedang kayu) walau dipukul dengan sekeras apapun” (ko.wikipedia/김유신)

Mendengar kata-kata ayahnya, entah justru termotivasi atau karena memang sudah putus-asa, Kim Yushin lalu pergi ke sebuah bukit dan menemukan batu yang besar. Dengan menggunakan pedang kayu (pedang latihan) Kim Yushin memukul-mukul batu itu, tentu saja batu tidak mengalami perubahan. Justru pedang kayu Kim Yushin yang patah.

Aktivitas ini menjadi rutinitasnya setiap hari, dan seakan-akan juga menjadi pelariannya dan hiburan bagi Kim Yushin. Dia selalu datang ke bukit itu dan memukul batu yang sama di sudut yang sama. Tidak terhitung sudah berapa banyak pedang kayu yang patah. Ayah dan keluargnya yang mengetahui hal ini akhirnya hanya bisa membiarkan saja.

Suatu hari, entah ahri keberapa setelahnya, seperti biasa Kim Yushin datang ke bukit itu dan kembali memukul batu besar tersebut dengan pedang kayunya. Dia terus memukul batu itu, dan seperti biasa setiap pedangnya patah dia mengganti dengan pedang lainnya. Saat Kim Yushin kembali memukul batu itu dengan pedang kayu untuk kesekian kalinya, secara mengejutkan batu itu terbelah.

Kejadian ini membuat Kim Yushin takjub sekaligus kegirangan. Dia melaporkan peristiwa ini pada ayahnya yang langsung segera pergi melihat kondisi batu besar itu. Ayahnya sangat takjub melihat batu yang telah terbelah itu, dan Kim Yushin memberitahu pada ayahnya bahwa dia tidak akan menyerah, karena ketekunan dan keteguhan akan membuahkan hasil.

Pada akhirnya, Kim Yushin berhasil menjadi pungwolju setelah mengalahkan Bojong (Pungwolju ke-16), padahal saat itu dia baru berusia 15 tahun, sedangkan Bojong sudah berusia 30 tahun. Saat Kim Yushin berusia 18 tahun, dia berhasil menguasai ilmu pedang tertinggi di Silla dan menjadi seorang pendekar pedang terhebat Silla yang pernah ada.




ADIK-ADIK KIM YUSHIN

Kim Yushin adalah senior Pangeran Chunchu (Raja Muyeol). usia mereka berbeda 7 tahun tapi persahabatan mereka berdua sangat terkenal dalam sejarah Silla. Mereka berdua sering bermain dan berlatih bersama.

Kim Yushin memiliki beberapa orang adik. Adik laki-lakinya yang paling terkenal adalah Kim Heumsun (pungwolju ke-16) sedangkan diantara adik-adik perempuannya, Munhee dan Bohee adalah yang paling terkenal.

Pada suatu malam, Bohee bermimpi, dia mendaki Gunung Seoak dan buang air kecil, dan air (air seni) yang mengalir keluar dari tubuhnya membajiri Gyeongju (wilayah tempat Seorabeol berada). Bohee lalu menceritakan mimpi itu pada Munhee. Mimpi itu menarik perhatian Munhee dan berkata pada adiknya,
Aku mau membeli mimpimu...” kata Munhee.
Lalu, sebagai gantinya apa yang akan kau berikan kepadaku?” Tanya Bohee.
Aku akan memberikan rok brokat milikku..”
Baiklah, aku setuju....”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 80-81, tahun 1972)

Sepuluh hari kemudian, saat Kim Yushin dan Pangeran Chunchu bermain bola bersama, secara tidak sengaja dia menginjak jubah Pangeran Chunchu sehingga pakaian pangeran menjadi rusak. Kim Yushin lalu mengajak Pangeran Chunchu ke rumahnya untuk memperbaiki pakaiannya.

Saat tiba dirumah, Kim Yushin memanggil Bohee untuk memperbaiki jubah Pangeran Chunchu tetapi Bohee sangat malu jika berduaan dengan seorang pria, sehingga akhirnya Munhee lah yang pergi dan memperbaiki pakaian pangeran. Saat melihat Munhee, Pangeran Chunchu langsung jatuh-cinta padanya.

Semenjak saat itu, Pangeran Chunchu sangat rajin ke rumah Kim Yushin untuk menemui Munhee.

Tidak lama setelah pertemuan Munhee dan Pangeran Chunchu, Kim Yushin mengetahui bahwa Munhee hamil. Hal ini membuat Kim Yushin sangat marah sebab Munhee hamil diluar nikah, dan tidak mau memberi-tahu siapa ayah bayi dalam kandungannya itu. Dengan penuh kemarahan, Kim Yushin membakar tumpukan kayu yang sangat tinggi di halaman rumahnya, dengan maksud akan membakar adiknya yang mempermalukan keluarga besarnya itu.

Pemimpin Silla saat itu, Ratu Seondeok, sedang berjalan-jalan ke sebuah bukit tinggi tidak jauh dari rumah Kim Yushin. Ratu didampingi oleh para pengawalnya, kasim, dayang, beberapa pejabat istana, dan juga Pangeran Chunchu. Saat menengok ke arah yang sama dengan rumah Kim Yushin dan heran mengapa ada asap dari arah kediaman jenderal kepercayaannya itu. 

Berbagai laporan pun datang dari para pengawal dan pejabatnya tentang Kim Yushin termasuk mengenai desas-desus kehamilan adik Kim Yushin. Ratu yang cerdas itu langsung menyadari bahwa asap itu berasal dari api yang dibuat oleh Kim Yushin untuk membakar adiknya sebab sang ratu tahu betul karakter Kim Yushin yang sangat tegas dan mudah marah serta sangat menjunjung tinggi kehormatan. Ratu lalu menengok satu persatu orang-orang yang mengiringnya, termasuk para pejabat istananya. Saat ratu melihat pada Pangeran Chunchu yang wajahnya saat itu sangat pucat seperti orang mati, ratu akhirnya mengetahui ‘dalang’ masalahnya dan berkata:

Jadi kau rupanya,” ujar ratu kesal. “Cepat pergi dan selamatkan gadis itu!”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 81, tahun 1972)

Pangeran Chunchu segera pergi dan memacu kudanya kediaman Kim Yushin, dan berteriak pada Kim Yushin:
Perintah ratu! Perintah ratu! Jangan bunuh dia!”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 81, tahun 1972)

Beberapa hari kemudian, ratu mengadakan pesta pernikahan yang besar bagi keponakan kesayangannya itu. Munhee lalu melahirkan 6 orang putra bagi Pangeran Chunchu (Beopmin/Raja Munmu, Inmun, Munwang, Notan, Chigyeong, dan Gaewon). Setelah Pangeran Chunchu menjadi raja, Munhee pun menjadi permaisuri dan ratu, sehingga anak-anak selir dan dayang yang dilahirkan bagi raja juga menjadi anaknya secara hukum.

Ini menggenapi mimpi Bohee yang dibeli Munhee,
"Air (anak-anak) yang mengalir keluar dari tubuhnya (dilahirkannya) membajiri Gyeongju (Silla)."




KIM YUSHIN DAN PARA DEWI

Pada masa ketika Kim Yushin masih menjadi hwarang, ada seorang di pasukan hwarang (besar kemungkinan dia adalah seorang nangdo) yang asal-usulnya tidak jelas. Orang itu bernama Baek-seok (artinya batu putih). Baek-seok sudah bergabung dalam Pasukan Hwarang bertahun-tahun lamanya, mungkin sebelum Kim Yushin menjadi hwarang. Tidak seorang-pun yang tahu dari wilayah mana dia berasal (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 77, tahun 1972).

Saat Kim Yushin menjadi hwarang, Baek Seok sangat tertarik padanya dan mendekatinya. Entah saat itu dia menjadi nangdo Kim Yushin atau tidak, tapi tepatnya dia sudah menjadi nangdo yang mengabdi pada seorang hwarang.

Baek-seok tahu Kim Yushin selalu ingin menaklukan Baekje dan Goguryeo dan membuat rencana untuk impiannya itu. Pada suatu malam (kemungkinan saat Kim Yushin sudah menjadi pungwolju dan memimpin Pasukan Hwarang dalam perang perang 100 hari atau pertempuran di Benteng Mosan) Baek-seok menemui Kim Yushin secara rahasia dan berbisik padanya:

Komandan, kita harus memata-matai kekuatan musuh sebelum kita menyerang mereka,”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 77, tahun 1972).

Kim Yushin menyetujui saran Baek-seok dan segera memulai perjalanan untuk memata-matai wilayah musuh. Suatu hari saat mereka tiba suatu pegunungan dan beristirahat, ada dua gadis yang muncul dari hutan. Mereka lalu mengikuti Kim Yushin kemanapun Kim Yushin pergi. Akhirnya, Kim Yushin dan Baek-seok kembali melanjutkan perjalanan, dan tetap dibuntuti oleh dua gadis itu. Kim Yushin dan Baek-seok akhirnya tiba disebuah desa yang bernama Geolhwacheon, dan saat itu munculah gadis lain, sehingga jumlah gadis-gadis yang mengikuti Kim Yushin ada tiga orang.

Ketiga gadis itu, dengan penuh kesopanan, menyajikan cemilan yang lezat untuk Kim Yushin (saat itu Baek-seok sedang tidak bersama-sama dengan mereka). Kehadiran tiga gadis ini dan kebaikan mereka membuat Kim Yushin sangat senang.Kim Yushin memuji mereka dan menjuluki ketiganya sebagai ‘Tiga Bunga Bahagia’, sebab mereka sering tersenyum dan tertawa.

Gadis-gadis ini lalu mengajak Kim Yushin masuk ke hutan tanpa mengajak Baek-seok. Sebagai balasan atas kebaikan mereka, Kim Yushin menyetujui ajakan mereka. Setibanya dihutan, tiba-tiba tiga gadis itu berubah wujud dan terlihat seperti dewi-dewi yang agung, dan mereka berkata pada Kim Yushin:

Kami bukanlah Tiga Gadis Bahagia, melainkan tiga dewi yang menjaga tiga gunung keramat, Naerim, Hyeolhye, dan Geolhwa. Kami datang untuk memperingatkanmu bahwa kau sudah diperdaya oleh seorang mata-mata musuh. Berjaga-jagalah. Selamat tinggal.” Setelah mereka berkata seperti itu, tiga dewi ini terbang ke langit (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 78, tahun 1972).

Kim Yushin sangat takjub, untunglah dia masih sempat menunjukan rasa terima-kasihnya sebelum dewi-dewi itu meninggalkannya. Kim Yushin lalu kembali ke kedai di desa tempat dia dan Baek-seok, dan langsung tertidur. 

Pada pagi harinya, Kim Yushin membangunkan Baek-seok dan berkata,
Lihatlah! Kita berdua telah memulai perjalanan panjang ke negeri asing dengan terburu-buru sehingga lupa membawa kantong uang (dompet pada masa itu), saya meninggalkannya dirumah. Ayo kita kembali sebelum kita pergi lebih jauh,”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 78, tahun 1972).

Baek-seok yang tidak mencurigai apapun mengikuti Kim Yushin kembali ke Gyeongju (wilayah dimana Seorabeol berada). Begitu tiba di Seorabeol, Kim Yushin langsung segera menangkap Baek-seok dan mengikat tangan dan kakinya.

Kawan”, teriak Kim Yushin, “bukalah topeng penyamaran hwarang-mu itu dan mengakulah!
Baek-seok yang sudah tidak bisa kabur akhirnya mengaku,
Aku adalah seorang Goguryeo...” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 78, tahun 1972) sambil menceritakan alasannya dikirim ke Silla yaitu untuk memata-matai Kim Yushin, karena seorang peramal terkenal Goguryeo yang bernama Chunam berkata bahwa kelak dia akan lahir kembali menjadi seorang jenderal besar yang meruntuhkan Goguryeo. Ramalan itu diucapkannya sebelum dia dihukum mati oleh Raja Bojang. Tidak lama kemudian Raja Bojang bermimpi, roh Chunam masuk ke tubuh ibu Kim Yushin. Baek-seok adalah orang yang dikirim untuk mencari tahu apakah mimpi Raja Bojang itu benar adanya, dan dia melihat kenyataan yang membenarkan mimpi raja itu.

Setelah mendengar pengakuan Baek-seok, Kim Yushin pun menebas leher Baek-seok. Tidak beberapa lama setelah peristiwa itu, Kim Yushin mempersembahkan berbagai makanan lezat pada Tiga Dewi yang menyelamatkan nyawanya (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 78, tahun 1972).

Ramalan Chunam terbukti benar. Puluhan tahun kemudian, Kim Yushin berhasil memimpin pasukan Silla, sebagai Jenderal Utama Pasukan Kerajaan, meruntuhkan Baekje (660). Tujuh tahun setelah itu, Kim Yushin memimpin pasukan Silla menuju Goguryeo dan mengepung ibukota Pyeongyang. Setahun setelah pengepungan Pyeongyang, Kerajaan Goguryeo berhasil ditaklukan (668) dan Raja Bojang ditawan.




PEMBERONTAKAN BIDAM

Pada era pemerintahan Ratu Seondeok, Kim Yushin kembali memperoleh kepercayaan besar dari ratu dan diangkat menjadi “Panglima Utama Pasukan Kerajaan”. Era Ratu Seondeok ditutup oleh pemberontakan terbesar dalam sejarah Silla (647) yang dipimpin oleh Sangdaedung Bidam.

Pasukan Bidam terdiri atas berbagai pasukan dari 30an orang pendukungnya, sedangkan pasukan ratu terdiri atas pasukan kerajaan, pasukan para loyalis ratu dan mendiang Raja Jinpyeong, seperti Pangeran Chunchu (Raja Muyeol), Alcheon, Putri Seungman (Ratu Jindeok), bangsawan-bangsawan Gaya, dan lainnya. Pasukan ratu dipimpin oleh Kim Yushin.

Awalnya, pasukan Bidam memenangkan berbagai pertempuran dan mampu mendekati istana. Ketika pertempuran semakin berat bagi pasukan Silla, tiba-tiba terlihat oleh kedua pasukan ada bintang jatuh (meteor) yang arah jatuhnya mengarah ke istana utama Silla di Seorabeol. Bidam menggunakan hal itu untuk membenarkan pemberontakannya dan berkata bahwa meteor itu merupakan tanda langit, ‘Ratu Seondeok akan jatuh melalui melalui pemberontakan mereka’, dan semangat pasukannya semakin membara.

Peristiwa ini justru menjadi malapetaka bagi pasukan ratu dan juga KIm Yushin. Semangat tempur pasukan pendukung Ratu Seondeok anjlok karena “bintang yang jatuh ke arah istana” itu. Para tentara bahkan menolak untuk bertempur karena menganggap perjuangan mereka sia-sia. Hanya pasukan hwarang yang tetap teguh melawan pasukan pemberontak. 

Kim Yushin berusaha mencari akal agar semangat tempur pasukan kerajaan naik kembali. Beliau lalu mendapat ide dan segera mengkoordinasikan rencananya pada pasukan hwarang. Kim Cheon-gwang (pungwolju ke-24, Komandan Resimen Hwarang saat itu) memerintahkan beberapa Hwarang mengikuti Kim Yushin, sedangkan yang lainnya pergi ke bukit yang paling tinggi. Dibukit itu, para Hwarang menerbangkan layang-layang berapi dari arah istana ke langit, sesuai dengan perintah Kim Yushin. Diwaktu yang tepat, para hwarang berteriak sambil pura-pura terkejut dan menengok kearah istana, dan terlihatlah layang-layang berapi itu oleh pasukan ratu.

Kim Yushin lalu berteriak, “Bintang yang tadi jatuh ke istana telah naik kembali ke langit”, sambil berteriak bahwa langit memihak pada Ratu Seondeok. Para Hwarang pun meneriakan kembali kata-kata Kim Yushin itu sambil berkeliling ke seluruh perkemahan pasukan Silla dan meminta mereka melihat ‘bintang’ di langit.

Pasukannya kembali bersemangat sambil menggaungkan teriakan perang yang terdengar hingga ke perkemahan pasukan Bidam. Melalui mata-mata mereka, pasukan Bidam akhirnya tahu penyebab naiknya semangat tempur pasukan ratu.

‘Bintang’ yang tadi jatuh telah naik kembali ke langit.

Seketika itu juga semangat tempur pasukan Bidam jatuh. 

Strategi sederhana ini mampu membalikkan keadaan dimedan perang. Perang pun dimenangkan oleh pasukan pendukung ratu dan ribuan tentara pemberontak ditahan, termasuk Bidam dan para pendukungnya yang berhasil ditangkap hidup-hidup. Pemberontakan besar yang hanya memakan waktu 10 hari inipun berhasil dipadamkan.

Sayangnya, pemberontakan Bidam ini membuat ratu begitu syok sehingga Ratu Seondeok wafat pada 17 Februari 647, ditahun yang sama ketika pemberontakan itu terjadi.




PERTEMUAN DI GUNUNG NAMSAN

Kitab Samguk Yusa memuat sebuah pertemuan legendaris di Pegunungan Selatan (Namsan), salah satu tempat keramat Silla. Pertemuan ini dilakukan pada masa kepemimpinan Ratu Jindeok dan disinyalir sebagai tradisi pertemuan yang dilakukan para pemimpin klan di Silla. Pertemuan yang dilakukan enam pemimpin klan ini diduga membahas posisi-posisi pemerintahan. Diantara enam pejabat tinggi yang bertemu itu, Kim Yushin yang berusia paling muda.

Pertemuan ini diceritakan secara mitologi dalam kitab Samguk Yusa sebagai berikut:

Pada suatu hari enam pejabat tinggi kerajaan, Alcheon, Suljong, Horim (Pungwolju ke-14), Yeomjang (Pungwolju ke-17), dan Kim Yushin, mengadakan pertemuan di bukit batu di Gunung Namsan untuk membahas mengenai permasalahan negara. Tiba-tiba, seekor harimau besar muncul dan menyerang mereka. Pejabat-pejabat yang lain sangat ketakutan, tetapi Alcheon hanya tertawa. Dia menangkap ekor harimau itu, memutar dan melemparnya hingga membentur karang dan otak harimau itu pecah”,
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 76, tahun 1972).

Menurut Samguk Yusa, setelah harimau itu mati, Alcheon mendapat penghormatan oleh lima pejabat lainnya karena keberanianannya sehingga Alcheon-lah yang ditunjuk untuk memimpin rapat legendaris itu, tapi mereka semua memuji Kim Yushin karena kebijaksanannya dalam bertindak dan taktiknya untuk mengalahkan harimau itu.




PERANG HWANGSANBEOL

Goguryeo adalah kerajaan pertama yang diserang pasukan Silla dalam Perang Penyatuan Tiga Kerajaan, tetapi Baekje adalah kerajaan pertama yang ditaklukan Silla. Perang terberat melawan Kerajaan Baekje adalah perang Hwangsanbeol. Dalam perang melawan Baekje ini Kim Yushin menjadi Komandan Pasukan Utama Kerajaan.

Setelah gagal menaklukan Goguryeo (658) Kim Yushin menganjurkan pada Raja Muyeol untuk menyerbu Baekje lebih dulu. Silla yang berkoalisi dengan Tang langsung mempersiapkan perang melawan Kerajaan Baekje setelah mendapat laporan dari anak angkat Kim Yushin, Kim Gwan-chang yang memata-matai Baekje bahwa Kerajaan Baekje tidak sekuat dulu.

Pasukan Kim Yushin lalu memimpin 50.000 pasukan Silla menuju wilayah yang bernama Hwangsan (Nosan modern). Disitu, dia menghadapi dengan 5.000 pasukan Baekje yang dipimpin oleh Jenderal Gyebaek. 

Jumlah pasukan Silla yang lebih banyak rupanya tidak menciutkan nyali tentara Baekje. Mereka bertempur dengan gagah berani. Korban dalam jumlah besar-pun berjatuhan di pihak Silla. Mengetahui mental pasukan Silla menurun, nyali pasukan Baekje semakin tinggi dan mereka membabat habis lini terdepan Silla. Para hwarang pun berguguran, termasuk Kim Gwan-chang dan Kim Ban-geul (keponakan Kim Yushin).

Ketika itu, tiba-tiba ada burung pemangsa yang terbang mengitari kepala jenderal Tang. Peramal yang melihat itu lalu berkata bahwa itu adalah pertanda buruk, tapi Kim Yushin segera menebas burung itu dengan pedangnya, dan berkata,

seekor burung kecil yang aneh tidak akan mempengaruhi perang kami melawan raja yang jahat.”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 85, tahun 1972).

Keteguhan hati Kim Yushin membuahkan hasil. Pertempuran sengit kembali berkecamuk, tapi kali ini, Jenderal Gyebaek-pun harus mengakui keunggulan pasukan Silla dan Tang. Sang jenderal dan 5.000 prajuritnya gugur dalam perang legendaris ini.

Saat melihat jasad musuhnya itu, Kim Yushin justru sedih. Yushin sangat kagum dan tersentuh melihat perjuangan dan pengorbanan Jenderal Gyebaek bagi negaranya, dan mengumumkan bahwa Jenderal Gyebaek dan 5.000 prajuritnya adalah patriot. Jenazah mereka diperlakukan dengan layak oleh Kim Yushin dan pasukan Silla.

Perang dengan Baekje ini berlanjut dengan penyerahan diri Raja Uija dan putra-mahkotanya dan dibukanya gerbang kota Buyeo (ibukota Baekje) serta jatuhnya Istana Sabi ke-tangan Pangeran Beopmin (putra mahkota Silla). Perang berakhir dengan keruntuhan kerajaan Baekje (660).




KIM YUSHIN DAN PEDANG TERBANGNYA

Perang Hwangsanbeol memiliki banyak sekali cerita. Selain cerita tentang kepahlawanan hwarang Kim Gwan-chang, cerita mengenai pedang Kim Yushin juga adalah kisah yang paling terkenal dalam perang ini.

Saat itu, para jenderal Tang yang frustasi karena berbagai kekalahan pasukan mereka dari pasukan Baekje di pertempuran datang menemui Kim Yushin dan berdiskusi dengannya.

Diskusi yang seharusnya membuahkan jalan keluar ini berjalan dengan alot dan justru menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara Kim Yushin dan jenderal-jenderal Tang, terutama Jenderal So Jung-bang.

Tensi yang tinggi membuat suasana ditengah para jenderal pasukan koalisi ini kian panas. Perdebatan bahkan menyulut amarah Kim Yushin. 

Dengan penuh kemarahan, Kim mengambil pedang dari pinggangnya dan mengarahkannya pada para jenderal Tang. Jenderal-jenderal Tang ini sangat kaget dan ketakutan melihat amarah Kim Yushin. 

Penyebab ketakutan mereka sebenarnya bukan karena amarah Kim Yushin, tapi karena mereka bukan melihat Kim Yushin menghunus pedang dari sarung pedangnya melainkan melihat pedang itu yang melompat ke tangan Kim Yushin dengan sendirinya.

Jenderal So Jung-bang yang takjub karena ‘kesaktian’ Kim Yushin itu akhirnya menurut pada setiap keputusan Kim Yushin dalam perang fenomenal itu.

Kesaktian dan cerita pedang Kim Yushin ini terus diceritakan sehingga menjadi cerita umum diantara para jenderal Tang dan prajurit mereka saat itu.

Lama kemudian, setelah perang Hwangsanbeol, pasukan Silla justru berseteru dengan pasukan pemerintah Tang. Kaisar Tang sangat marah akan hal ini dan mempersiapkan pasukan besar untuk menggempur ibukota Silla (Seorabeol). Tapi, para jenderal Tang yang pernah berperang bersama Kim Yushin dan Pasukan Hwarang menolak permintaan kaisar mereka sebab mereka menilai bahwa perang itu tidak akan pernah mereka menang-kan. Mereka memilih dihukum mati ketimbang harus memusnahkan seluruh pasukan mereka saat berhadapan dengan Kim Yushin.

Dalam setiap pembicaraan mereka pada kaisar atau pada siapapun tentang Kim Yushin, mereka selalu menceritakan kembali tentang kesaktian Kim Yushin dan cerita pedangnya yang pernah mereka saksikan dengan mata mereka sendiri.




LUKISAN JENDERAL SU DINFANG

Setelah menaklukan Baekje (660) pasukan Tang langsung bergerak menuju ke Goguryeo pada tahun berikutnya. Perang ini adalah perang terberat bagi koalisi Tang dan Silla dalam perang Penyatuan Korea melebihi Perang Hwangsanbeol. Periode ini juga adalah periode terberat Silla dalam perang Penyatuan Korea. Ini karena Goguryeo adalah kerajaan terkuat diantara tiga kerajaan kuno Korea. Selain wilayah yang lebih besar dan perekonomian yang relatif stabil dan makmur, kekuatan militer Goguryeo juga sangat kuat. Jika Baekje adalah kerajaan maritim terkuat di Asia Timur dan kerajaannya para ilmuwan, dan Silla adalah kerajaan aristokrat, maka Goguryeo terkenal sebagai kerajaan perang.

Semenjak Goguryeo berdiri, kerajaan ini adalah momok yang paling menakutkan bagi dinasti-dinasti Tiongkok. Goguryeo adalah wilayah pertama yang mampu memerdekakan diri dari Kekaisaran Han dan setelah mengalahkan Balatentara Han, Goguryeo mulai menaklukan wilayah-wilayah disekitarnya. Luas wilayah mereka menjadi sangat besar, mencakup seluruh wilayah Korea Utara modern, juga sebagian besar Manchuria, dan beberapa wilayah selatan Rusia.Mereka kemudian menjadi musuh yang paling rajin menyerbu Han. Kedigdayaan militer Goguryeo dalam mengalahkan serbuan satu juta tentara Kekaisaran Sui juga menjadi indikator utama keruntuhan dinasti itu.

Selain mampu mengusir balatentara Kekaisaran Han dan Sui, Goguryeo juga adalah satu-satunya kerajaan di Asia yang selalu mengalahkan balatentara Kekaisaran Tang.

Pada invasi kedua ke Goguryeo (662), Silla tidak dilibatkan secara maksimal melainkan hanya sebagai penyedia logistik makanan dan logistik perang.

Permintaan Tang pada Silla untuk membawa logistik sangat susah karena Tang tidak mengijinkan Silla membawa banyak tentara. Kendala-kendala ini membuat Raja Munmu sangat bimbang, sebab jika mereka berangkat menuju Goguryeo maka pasukan kecil Silla bisa dibantai habis oleh pasukan penjaga perbatasan Goguryeo, sedangkan jika mereka menolak maka pihak Tang akan menganggap hal itu sebagai tindaka yang tidak setia.

Ditengah-tengah kebimbangan itu, Kim Yushin mengajukan diri untuk memimpin pasukan menuju Goguryeo beserta logistik yang diminta oleh Tang. Mereka pun berangkat disertai hwarang-hwarang yang dipimpin oleh pungwolju saat itu, Kim Cheon-gwan.

Pasukan Silla harus melalui medan yang berat dan musim dingin telah tiba dan pasukan Silla harus melalui medan yang berat.

Ketika Kim Yushin dan pasukannya memasuki ke wilayah Goguryeo, Kim Yushin mengirimkan pesan pada Jenderal Su Dinfang (jenderal utama pasukan Tang), apakah mereka sudah diijinkan bergabung dengan pasukan Tang. Su Dinfang membalas pesan Kim Yushin itu dengan lukisan seekor anak sapi dan seekor burung phonix muda yang dilukisnya sendiri.

Lukisan ini tentu memiliki arti yang penting bagi keselamatan kedua pasukan. Kim Yushin lalu meminta saran pada Biksu Wonhyo untuk mengartikan pesan dalam lukisan itu. 

Biksu Wonhyo yang bijak lalu memberitahu arti lukisan Su Dinfang tersebut. Arti lukisan itu adalah: "kedua hewan itu adalah hewan muda yang kehilangan induknya. Hewan-hewan itu adalah Silla dan Tang. Operasi pasukan Silla di Goguryeo sedang dalam bahaya sehingga harus kembali ke induknya (Silla)", (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 87, tahun 1972).

Mendengar hal itu Kim Yushin langsung menarik mundur pasukannya, sayangnya saat mereka sedang menyeberangi sungai pasukan Goguryeo menyerang dari belakang. Banyak prajurit Silla tewas. Kim Yushin yang sangat menjunjung tinggi kehormatan prajurit sangat marah saat pasukan Goguryeo menyerang mereka dengan cara yang dianggap Kim Yushin sangat pengecut. Dengan marah Kim Yushin menyerang balik dan membantai prajurit-prajurit Goguryeo juga ksatria-ksatria mereka.

Setelah melalui banyak kendala, akhirnya logistik itu pun bisa sampai ke pasukan Tang. Misi Kim Yushin pun terpenuhi.




ALTAR DI GUNUNG SEONGBU

Setelah menaklukan Baekje (660), dan gagal menaklukan Goguryeo pada invasi kedua (662) pasukan Tang meninggalkan wilayah Korea, sedangkan Silla harus menghadapi serangan balasan dari pasukan Goguryeo. Serbuan-serbuan ini berlangsung selama lebih lima tahun, dan merupakan periode terberat dalam perang Penyatuan Korea melebihi Perang Hwangsanbeol dan juga perang melawan Tang.

Koalisi Silla-Tang gagal menaklukan Goguryeo pada invasi kedua (661-662). Invasi itu membuat Goguryeo marah lalu melakukan serangan balasan. Ini menjadi mimpi buruk bagi koalisi Silla-Tang. Tang memang langsung direpotkan oleh serbuan Kekaisaran Tibet setelah itu tapi letak ibukota Tang yang jauh dari Goguryeo membuat pihak istana Tang bisa sedikit lega. Konsekuensi terburuk itu justru harus di alami oleh Silla yang letaknya berbatasan dengan Goguryeo dan posisi Seorabeol yang tidak jauh dari Goguryeo.

Saat itu, Raja Munmu mengirim pasukan untuk operasi pembersihan di sekitar perbatasan. Tidak berapa lama kemudian pasukan Silla mencapai Benteng Hansan. Celakanya, di Benteng itulah mereka dikepung oleh pasukan gabungan Goguryeo dan Malgal (suku bangsa Manchuria yang mengabdi pada Goguryeo).

Pasukan Goguryeo-Malgal mengepung selama 40 hari, dan ini membuat mereka frustasi. Jika Benteng Hansan jatuh maka hilanglah pertahanan wilayah utara yang melindungi Gyeongju dan jalan pasukan musuh ke Seorabeol terbuka lebar.

Peristiwa ini membuat pejabat-pejabat istana dan para menteri Silla frustasi. Dengan ketakutan, Raja Munmu mengumpulkan menteri-menterinya dan meminta saran mereka, tapi para menterinya memutuskan untuk menggantung diri sebagai pengunduran diri mereka. Jenderal Kim Yushin akhirnya mengumpulkan para bangsawan dan mengadakan pertemuan kerajaan (pertemuan dewan negara), dan berkata pada raja,

Yang Mulia, ini adalah masalah yang terlalu berat untuk diatasi oleh kekuatan manusia. Hanya keajaiban yang dapat menolong pasukan kita,”(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 90, tahun 1972).

Kim Yushin lalu mendaki Gunung Seongbu dimana dia membangun sebuah altar untuk memohon keajaiban dari langit. Tiba-tiba, sebuah bola api besar keluar dari altar itu dan terbang ke arah utara sambil mengeluarkan lidah-lidah api. Ketika pasukan musuh akan menyerang pasukan Silla yang bertahan di benteng itu, bola api besar tersebut lalu menjadi sangat terang dan menghantam pelontar-pelontar batu (ketapel raksasa dalam perang) milik pasukan Goguryeo-Malgal. Dengan suara yang sangat mengerikan, bola api raksasa itu lalu menabrak pelontar-pelotar panah (busur raksasa dalam perang), panah-panah, tombak, dan proyektil-proyektil, dan juga menghantam banyak tentara musuh. Orang-orang yang selamat dari bola api itu kocar-kacir dan melarikan diri, dan hanya pasukan Silla yang selamat (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 90, tahun 1972).




JAMUAN MAKAN BAGI TENTARA TANG

Usai penaklukan Goguryeo, terjadi gesekan antara pemerintah Silla dan Tang.

Penulis kitab Samguk Yusa, Biksu Ilyeon menulis ulang salah-satu legenda Silla tentang Kim Yushin yang berlatarkan beriode ini. Dikatakan bahwa:
“..setelah keruntuhan Baekje dan Goguryeo, pasukan Tiongkok (Tang) yang sedang berada di Sangju menunggu kesempatan untuk menyerang Silla dan menjadikan seluruh wilayah Semenanjung Korea menjadi bagian Kekaisaran Tang.”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 89, tahun 1972).

Pasukan Tang memang menyerbu Silla setelah penaklukan Goguryeo. Rupanya, hal ini dipicu oleh keserakahan Kaisar Gaozong yang ingin menguasai seluruh Korea dengan menempatkan pemerintahan proktetorat Kekaisaran Tang di bekas istana Sabi dan di Pyeongyang. Hal ini membuat marah seluruh Silla sehingga pecah perang antara Silla dengan Tang yang dimulai oleh penyerbuan Pasukan Hwarang ke Sabi, dan juga merebut Pyeongyang. Kaisar Tang sangat marah, dan mempersiapkan pasukan besar untuk menghalau pasukan Silla dari Pyeongyang sekaligus menggempur ibukota Silla, Seorabeol. 

Menurut catatan biksu Ilyeon, legenda Silla itu mengatakan bahwa:
“...Kim Yushin mencegah rencana mereka dengan mengundang tentara Tang dalam jamuan makan yang besar dan menyajikan daging burung beracun...”
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 89, tahun 1972).

Menurut legenda ini, para prajurit Tang yang hadir dalam jamuan makan itu semua tewas dan dikuburkan menjadi satu. Ada gundukan di Sangju, bagian barat-laut Gyeongju yang diklaim sebagai kuburan massal para prajurit Tang yang tewas itu.

Tapi, kebenaran legenda ini diragukan oleh sejarawan.
Alasan pertama adalah karakter Kim Yushin.

Kim Yushin adalah seorang jenderal yang memiliki harga diri tinggi dan menjalani hidup dengan penuh kehormatan. Sebagai seorang jenderal terhormat yang memiliki reputasi tinggi yang sangat menghormati perjuangan para prajurit, baik itu prajurit Silla maupun prajurit musuh, sangat tidak mungkin melakukan tindakan yang saat itu dianggap sangat picik. 

Karakter Kim Yushin ini bisa dilihat pada salah satu peristiwa pada periode ini juga. Ketika itu beberapa utusan Tang datang ke Silla menemui Kim Yushin dan mengultimatum Silla agar meninggalkan Pyeongyang. Kim Yushin sangat berang berang dan hampir membunuh utusan-utusan itu. Tapi, beliau sangat menjunjung tinggi kehormatan dan sikap seorang prajurit, juga etika. Para Hwarang saat sudah bersiap memenggal kepala para komandan Tang, jika diperintahkan Kim Yushin, tetapi Kim Yushin tidak melakukan hal itu.

Alasan kedua adalah tidak adanya catatan sejarah yang memuat peristiwa ini, baik dalam catatan  resmi sejarah Silla (yang dirangkum dalam Samguk Sagi) maupun catatan pemerintahan Tang.

Para utusan Tang tadi sangat ketakutan melihat kemarahan Yushin dan para Hwarang. Mereka pulang ke Tang dan menyarankan agar kaisar tidak meremehkan Kim Yushin.

Selain utusan-utusan itu, para jenderal Tang yang pernah berperang bersama Kim Yushin dan Pasukan Hwarang juga menolak permintaan kaisar sebab mereka menilai bahwa perang itu tidak akan pernah mereka menang-kan. Bagi mereka, menghadapi Kim Yushin dan Resimen Hwarang jauh lebih menakutkan dibandingkan menghadapi amarah kaisar. Sebab, walaupun mereka harus kehilangan nyawa ditangan kaisar namun setidaknya seluruh pasukan mereka selamat, sedangkan jika mereka menaati perintah kaisar dan berperang melawan Silla maka selain kehilangan nyawa, sebagian besar pasukan Tang akan musnah.




PRAJURIT LANGIT DAN KEMATIAN KIM YUSHIN

Diceritakan dalam Samguk Yusa bahwa pada bulan Juni tahun 673, beberapa rakyat Silla menyaksikan beberapa lusin pasukan berbaju besi dan lengkap dengan senjata masing-masing dan berjalan keluar dari rumah Yushin yang kemudian menghilang tanpa bekas. Mendengar kejadian aneh tersebut, Yushin pun berkata, “Mereka adalah prajurit penjaga langit yang melindungiku. Sekarang keberuntunganku sudah punah. Aku akan segera meninggal." (ko.wikipedia/김유신).

Hanya satu bulan setelah kejadian itu, pada tanggal 1 Juli 673 di masa pemerintahan Raja Munmu, Kim Yushin wafat pada usia 79 tahun, padahal saat itu Silla masih berperang dengan Tang. Kematian Kim Yushin ini membuat gempar seluruh Silla. Kematian Yushin itu juga membuat Munmu kehilangan guru yang telah mengajar dan mendampinginya selama 47 tahun.

Dua tahun setelah itu (675) pasukan Silla berhasil mengusir pasukan Tang dari seluruh Korea berkat peran besar dari putra kedua Kim Yushin, Jenderal Kim Wonsul.




KAISAR TANG DAN SUARA DARI LANGIT

Setelah Kim Yushin meninggal (675), tak berapa lama kemudian Raja Munmu juga meninggal (681). Raja Munmu digantikan oleh putranya (yang juga cucu Kim Yushin), Raja Sinmun.

Walaupun diawal masa pemerintahannya, Sinmun berselisih dengan para bangsawan termasuk dari keluarga Kim Yushin dan mengeksekusi mereka, tapi beliau tetap menghormati jenderal besar ini.

Saat itu, Kaisar Gaozong kembali berulah. Kali ini sama-sekali tidak berhubungan dengan Kim Yushin, melainkan dengan mendiang Raja Muyeol (kakek Raja Sinmun). Kaisar mengirim utusan dan disertai pesan, yang isinya meminta Sinmun mengganti gelar “Taejong” yang diberikan kepada kakeknya, Raja Muyeol (Pangeran Chunchu) sebab itu adalah gelar yang sama yang dimiliki oleh ayah Kaisar Gaozong, Kaisar Taizong (Taizong = Taejong), setelah Kaisar Taizong mempersatukan seluruh China, dan sangat tidak sepadan dengan Raja Muyeol yang hanya berasal dari kerajaan kecil yang meninggal sebelum mempersatukan Korea.

Tapi, Raja Sinmun menolak dengan sopan melalui sebuah surat yang berbunyi:
Walaupun Silla adalah kerajaan kecil, raja kami mampu mempersatukan tiga kerajaan (Samhan/Tiga Konfederasi) melalui kebaikan Kim Yushin yang membantu raja dengan keberanian yang tidak tertandingi. Oleh sebab itu, raja kami dianugerahi gelar Taejong.
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 91-92, tahun 1972).

Sesaat setelah kaisar membaca surat dari Sinmun itu, tiba-tiba terdengar suara dari langit, yang berkata bahwa salah-satu pria terhebat di surga ke-33 dilahirkan di Silla, dan orang itu bernama Kim Yushin. Sehingga, jangan coba-coba mengganggu Silla karena Kim Yushin yang kuat itu akan membalasnya. Suara itu membuat Kaisar Gaozong ketakutan dan kembali mengingat apa yang dulu pernah dikatakan para jenderalnya tentang Kim Yushin. Kaisar pun langsung mengirim utusan ke Silla dengan pesan yang berbunyi:

Tidak perlu mengganti gelar ‘Taejong’ itu.
Nama itu terlalu bagus untuk diganti.
Dari Kaisar Tang
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 91-92, tahun 1972)

200 tahun setelah kematian Kim Yushin, Raja Gyeongmyeong (raja Silla ke-54) menganugerahi Kim Yushin gelar anumerta kerajaan, “Kaisar Heungmu”.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media

Sumber Pustaka:
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul

Sumber Web:
wikipedia.org/kimyushin


Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media

_________________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Monday, 1 October 2018

RATU SEONDEOK DAN RAMALANNYA



Ratu Seondeok adalah penguasa ke-27 Kerajaan Silla. Ratu Seondeok diangkat menjadi Ratu Silla setelah kematian ayahnya, Raja Jinpyeong (632). Nama lahir beliau adalah Kim Deokman sehingga beliau juga dikenal sebagai Putri Deokman. Beliau adalah putri Raja Jinpyeong dan Ratu Maya. Ratu Seondeok memerintah Silla selama 15 tahun (632-647).

Ratu Seondeok adalah ratu pertama dalam sejarah Silla dan merupakan pemimpin wanita pertama sepanjang sejarah Korea. Selain itu, beliau juga merupakan pemimpin wanita kedua terkuat dalam sejarah kuno di Asia Timur. Nama besarnya sebagai pemimpin wanita di Asia Timur hanya tidak lebih besar dari Kaisarina Wu Zetian dari Kekaisaran Tang.

Menurut Samguk Sagi, Ratu Seondeok adalah putri pertama Raja Jinpyeong, namun menurut catatan-catatan yang lainnya, Ratu Seondeok adalah putri kedua, adik dari Putri Cheonmyeong. Catatan-catatan diluar Samguk Sagi mengindikasikan dia diangkat sebagai pewaris bukannya Putri Cheonmyeong (yang menurut catatan-catatan itu adalah anak tertua) dikarenakan Putri Cheonmyeong telah terlebih dahulu meninggal.

Sebenarnya, Putri Deokman memiliki adik laki-laki yang bernama Pangeran Borochun (putra tunggalnya dengan cucunya sendiri, Putri Bomyeong). Tapi karena intrik-intrik politik istana yang di dalangi oleh Ratu Seungman (ratu kedua Raja Jinpyeong), nama Pangeran Borochun dicoret dari daftar pewaris Raja Jinpyeong sebagai imbas dari diusirnya Putri Boryang dari istana. Saat itu, ibu Pangeran Borochun, Putri Bomyeong (yang juga adalah cucu Raja Raja Jinpyeong) memiliki posisi yang kuat di istana karena melahirkan satu-satu pangeran bagi raja. Tapi, Ratu Seungman dan kubu pendukungnya melakukan konspirasi sehingga Putri Bomyeong dituduh berkhianat pada raja dan diusir dari istana. Kastanya juga diturunkan menjadi bangsawan Jin-geol. Otomatis, kasta Pangeran Borochun sudah bukan kasta Seon-geol murni (kastanya raja) melainkan kasta campuran (Seon-geol dan Jin-geol) seperti Pangeran Chunchu (bakal Raja Muyeol). Inilah yang membuat Putri Deokman menjadi anak raja tertua yang berasal dari kelas Seon-geol murni dan dinobatkan sebagai pewaris raja.

Sebenarnya, selain Putri Deokman masih ada bangsawan lainnya yang berasal dari kelas Seon-geol murni tapi Raja Jinpyeong bersikeras menjadikan putrinya yang sangat cerdas itu sebagai seorang ratu.

Sejak kecil, Ratu Seondeok telah menunjukkan kepandaiannya sehingga beliau menjadi kesayangan Raja Jinpyeong. Beliau sangat tertarik dibidang astronomi dan memberi sumbangan besar bagi ilmu astronomi Korea dan Asia melalui berbagai penelitian dan penemuan melalui observatorium yang dibangunnya (yang tertua di Asia Timur), yang lalu menjadi acuan bagi berbagai studi astronomi di-era setelahnya.

Ratu Seondeok juga membangun berbagai kuil, meskipun peninggalan arkeologi yang paling terkenal yang dibangunnya adalah observatorium di Gyeongju tersebut.

Ada satu lagi yang paling dikenal dari sosok Ratu Seondeok. Ramalan.

Catatan-catatan sejarah Silla yang memuat kisah Ratu Seondeok seakan-akan mengklaim bahwa ramalan-ramalan sang ratu memang menjadi kenyataan. Dari begitu banyak ramalan yang pernah diucapkannya, ada tiga ramalannya yang paling terkenal dan dicatat kembali oleh Biksu Ilyeon dalam kitab Samguk Yusa.




LUKISAN KAISAR TAIZONG DARI TANG

Saat ratu masih muda dan masih menjadi seorang putri mahkota, ayahnya, Raja Jinpyeong mendapat hadiah dari Kaisar Taizong dari Dinasti Tang, berupa satu kotak benih bunga dan lukisan yang menggambarkan bunga tersebut. Banyak orang memuji keindahan lukisan tersebut, namun Ratu Seondeok lebih tertarik pada benih bunga.

Banyak orang memuji keindahan lukisan tersebut, namun Ratu Seondeok lebih tertarik pada benih bunga. Ratu lalu berkata pada raja bahwa bunga dari bibit bunga yang dihadiahkan oleh kaisar itu tidak akan memiliki bau, karena “....jika lukisan itu wangi, maka akan ada kupu-kupu dan lebah disekitarnya,” (en.wikipedia/queenseondeok).

Jawaban Ratu Seondeok ini sangat mengesankan raja dan orang-orang disekitarnya. Prediksi Ratu Seondeok benar. Bibit yang ditanam itu memang tumbuh dan berbunga, tapi bunga yang tumbuh dari bibit itu memang tidak berbau, baik itu bau yang busuk maupun wangi.

Ratu Seondeok juga menyadari bahwa lukisan itu bukan sekedar hadiah melainkan sindiran pada ayahnya yang tidak memiliki keturunan laki-laki, dan kemudian digunakan oposisinya sebagai sindiran padanya karena ketidak-mampuannya memiliki suami, seperti bunga yang indah tapi tidak ada kupu-kupu hinggap padanya.

Menurut kitab Samguk Yusa, dalam lukisan yang dikirim oleh Kaisar Taizong itu bukan cuma ada satu kuntum bunga, melainkan tiga kuntum bunga yang melambangkan tiga ratu Silla, oleh karena itu beberapa orang juga meyakini Kaisar Taizong memiliki kemampuan yang sama seperti Ratu Seondeok, kemampuan meramal masa depan. Sebab, ketidak-mampuan Ratu Seondeok dalam memiliki keturunan memang bisa diprediksi saat itu sebab Ratu Seondeok hidup dimasa yang sama dengan Kaisar Taizong. Tapi, penggantinya, Ratu Jindeok (ratu kedua Silla) baru naik tahta tahun 647, dua tahun setelah Kaisar Taizong meninggal, dan Ratu Jinseong (ratu ketiga Silla) baru naik tahta tahun 888, lama setelah Kaisar Taizong meninggal, sehingga orang-orang juga berpendapat bahwa Kaisar Taizong juga mampu meramal masa depan




KATAK-KATAK DI KOLAM PERMATA

Suatu hari, saat beliau sudah menjadi ratu, Ratu Seondeok mendengar suara katak-katak yang sangat ribut dan terus-menerus menimbulkan kebisingan di Kolam Eokmun disekitar Gerbang Permata, padahal saat itu adalah musim dingin.

Ratu lalu memerintahkan para pengawalnya melihat apa yang terjadi. Rupanya, suara ribut itu berasal dari gerombolan katak putih.

Mendengar informasi itu, ratu langsung memerintahkan jenderal-jenderalnya untuk mempersiapkan pasukan menuju arah barat-laut tepatnya ditempat yang dikenal dengan nama “Lembah Wanita” untuk menahan serbuan pasukan Baekje.

Tidak ada laporan dari pasukan mata-mata mengenai pergerakan tentara Baekje menuju Silla, namun ratu bersikeras agar perintahnya segera dilaksanakan, dan menjelaskan alasan mengapa perintah itu diberikan.

Bagi ratu, suara katak-katak itu terdengar seperti suara teriakan prajurit sehingga sehingga ratu menganggap itu merupakan pertanda adanya pasukan yang akan menyerang Silla di wilayah barat-daya (katak putih diartikan sebagai warna putih yang dalam astronomi Asia menandakan arah barat), tepatnya di Lembah Wanita (Gerbang Permata, permata dianggap menggambarkan wanita).

Diantara semua jenderal hanya Pildan (ajudan ratu), Kim Yushin (panglima utama kerajaan), dan Alcheon (kepala pasukan pengawal) yang percaya pada ratu. Ratu lalu memerintahkan Pildan dan Alcheon menuju ke tempat yang disebutkannya itu.

Secara tak terduga sebelumnya, pasukan Silla berhasil menangkap 2.000 tentara Baekje yang sedang bersiap menyerbu Silla tepat ditempat yang disebutkan oleh Ratu Seondeok.




DUA SURGA, DORICHEON DAN SACHEONWANGCHEON

Suatu hari ketika kondisi Ratu Seondeok sedang sangat sehat, tiba-tiba ratu memanggil seluruh pejabat istana dan berkata bahwa dia mungkin tidak berumur panjang. Dia meminta dimakamkan di Doricheon. Pildan dan para jenderalnya juga para pejabat, termasuk Bidam (sangdaedung saat itu), bingung akan nama tempat yang disebutkannya sebab tidak ada tempat dengan nama itu. Tapi ratu berkata bahwa tempat itu terletak di dekat pegunungan di wilayah selatan Silla.

Secara mengejutkan, Silla diguncang pemberontakan terbesar dalam sejarah yang justru dikobarkan oleh Perdana Menteri-nya sendiri, Bidam (647).

Bidam melakukan pemberontakan (647) dengan menggemakan semboyan “seorang wanita tidak mampu memimpin negara”, sebagai kritik dan responnya terhadap pemerintahan Ratu Seondeok, dan ketidak-puasannya atas skema pewarisan tahta yang juga akan diwariskan pada seorang wanita sebab selain Ratu Seondeok, hanya Putri Seungman (Ratu Jindeok) yang tersisa dari kasta Seon-geol yang artinya beliau yang akan menggantikan Ratu Seondeok.

Bidam didukung oleh para oposan Ratu Seondeok, terutama para bangsawan dan pejabat yang memiliki hubungan dengan bangsawan yang menjadi oposan Raja Jinpyeong saat pemberontakan Chilsuk-Seok Phum. Karena pengangkatan Ratu Seondeok sebelumnya menyebabkan konflik besar di istana maka Bidam dengan mudah dapat mengumpulkan pengikut dalam jumlah yang sangat besar. Ratu Seondeok didukung penuh oleh Kim Yushin dan kubunya didominasi oleh para bangsawan campuran (Seongeol-Jinggeol) terutama Pangeran Chunchu (bakal Raja Muyeol), Putri Seungman (bakal Ratu Jindeok), Alcheon, dan Horim. Ratu Seondeok juga tetap didukung oleh para komandan hwarang ibukota Seorabeol dan para bangsawan, pejabat, dan jenderal-jenderal keturunan suku Gaya.

Pemberontakan Bidam ini menjadi pemberontakan terbesar dalam sejarah Silla, bukan karena lama pemberontakannya melainkan karena banyaknya para pejabat, bangsawan, dan perwira-perwira militer yang terlibat. Kubu Bidam terdiri dari 30-an lebih pendukung yang masing-masing memiliki pasukan pribadi atau merupakan komandan dari salah-satu pasukan kerajaan, atau merupakan pejabat yang memiliki koneksi dengan para komandan pasukan kerajaan sehingga 30-an orang pendukung Bidam ini mampu mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar.

Demi menyemangati pasukannya, Ratu Seondeok bergabung dengan pasukannya di perkemahan pasukan utama.

Pemberontakan terbesar dalam sejarah Silla yang hanya memakan waktu 10 hari inipun berhasil dipadamkan. Sayangnya, pemberontakan Bidam, yang sebelumnya adalah salah-seorang kepercayaannya dan yang pernah mendukungnya disaat-saat sulit, membuat ratu sangat syok. Perang ini menyita pikiran ratu dan menghabiskan energinya. Kesehatan ratu merosot drastis selama 10 hari pemberontakan ini. Ratu Seondeok akhirnya wafat pada 17 Februari 647, ditahun yang sama ketika pemberontakan itu terjadi.

Sang ratu dikuburkan ditempat yang ditunjuknya (tapi saat itu belum bernama Doricheon). 10 tahun kemudian penerusnya membangun kuil diatas makamnya dan menamainya “Kuil Sacheonwang”. Saat itu barulah pejabat-pejabat kepercayaannya yang masih hidup sadar bahwa didalam teks-teks Buddha ada tertulis tentang nama dua surga, Sacheonwangcheon dan Doricheon, sehingga jika kuilnya dinamakan Sacheonwang maka otomatis kuburannya akan disebut Doricheon yan seakan menggambarkan dua surga itu, Sacheonwangcheon dan Doricheon. Pada akhirnya makam ratu ini dinamakan Doricheon.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media

Sumber Pustaka:
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul

Sumber Web:
wikipedia.org/queen seondeok


Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media

_________________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saturday, 10 February 2018

HUBUNGAN JEPANG-KOREA DARI MASA KE MASA: RIWAYAT PERANG ANTARA JEPANG DAN KOREA



Hubungan Jepang dan Korea memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarah panjang kedua bangsa ini didominasi oleh berbagai perselisihan yang kerap menghasilkan perang. Perang-perang antara Jepang dan Korea selalu perang berskala besar yang menimbulkan kehancuran yang luar biasa. Pada masa kini, sengketa Pulau Dokdo seakan menegaskan kembali hubungan buruk kedua bangsa ini sejak masa lalu.

Berdasarkan letak geografi, Korea adalah daratan penghubung dan jalur terdekat antara kepulauan Jepang dan wilayah Tiongkok. Selain itu, Korea memiliki infrastruktur yang baik untuk memobilisasi sejumlah besar orang untuk menuju ke Tiongkok dengan menggunakan jalur darat. Inilah yang diincar oleh Jepang. Letak geografis Korea lalu menjadi salah-satu motivasi Jepang menyerbu daratan semenanjung ini dalam hampir semua penyerbuan-penyerbuannya. Namun, bukan berarti hanya Jepang saja yang pernah mengawali serbuannya, sebab balatentara Korea-pun pernah menyerbu Jepang.

Inilah riwayat peran-perang besar Jepang dan Korea sejak masa Tiga Kerajaan Korea hingga era Restorasi Meiji.




PENYERBUAN-PENYERBUAN JEPANG KE SILLA

Diantara semua kerajaan dan dinasti yang pernah berkuasa di Korea, hubungan terburuk Jepang adalah dengan Kerajaan Silla. Silla adalah kerajaan yang paling sering diserbu Jepang tapi Silla juga adalah kerajaan Korea yang mengakhiri serbuan Jepang yang sudah terjadi selama 600 tahun, dan membuat Jepang tidak pernah mampu menyerbu Korea selama hampir 1000 tahun.

Kerajaan Silla sebenarnya tidak pernah menyerbu Jepang, tapi Jepang melakukan banyak sekali penyerbuan ke wilayah selatan Korea ini. Uniknya, diantara Tiga Kerajaan Korea (Goguryeo, Silla, Baekje), Silla adalah kerajaan yang memiliki pertalian paling erat dengan Jepang, sebab salah-satu raja Silla (Raja Talhae) berasal dari Jepang. Menteri kepercayaan Raja Hyeokgeose (raja pertama Silla), yaitu menteri Hogong, juga berasal dari Jepang. Meski demikian, Silla justru merupakan satu-satunya kerajaan Korea yang anggota keluarga kerajaan-nya pernah menjadi tawanan Kekaisaran Jepang sebelum keruntuhan Joseon.

Serbuan pertama Jepang tercatat sudah terjadi sejak periode awal Tiga Kerajaan, yaitu tahun 14 M. Ketika itu, Jepang yang dipimpin oleh Kaisar Suinin berusaha menguasai Semenanjung Korea dengan menyerbu daratan semenanjung yang letaknya terdekat dengan Jepang yaitu wilayah Silla. Mungkin sang kaisar memiliki keinginan untuk menyerbu Tiongkok atau setidaknya menguasai jalur perdagangan ke Tiongkok yang terhalangi oleh wilayah Kerajaan Silla dan juga wilayah Konfederasi Gaya. Silla berhasil menghalau serbuan ini, tapi ini membuat hubungan Jepang dan Silla menjadi sangat buruk.

Hubungan Silla dan Jepang bisa diperbaiki berkat sikap bersahabat yang ditunjukan oleh Kaisarina Himiko. Persahabatan Silla dan Jepang terjalin erat selama masa pemerintahan Raja Adalla dan Kaisarina Himiko.

Tapi, hampir seabad setelah kematian dua penguasa yang bersahabat ini, hubungan Silla dan Jepang kembali memburuk ketika Silla diserbu Jepang pada masa pemerintahan Raja Jobun (raja Silla ke-11) padahal Raja Jobun (dari klan Seok) adalah keturunan Raja Talhae yang berasal dari Jepang.

Jepang kembali menyerbu Silla pada masa pengganti Raja Jobun, Raja Cheomhae. Awalnya, Silla tidak membalas dan juga tampaknya kedua kerajaan berhasil menghasilkan kesepakatan gencatan senjata. Tapi, ketika salah-satu pangeran Silla, yang juga adalah sahabat terdekat Raja Cheomhae, tewas dibunuh oleh mata-mata dari Jepang, Raja Cheomhae-pun murka dan memulai perang dengan Jepang.

Saat Baekje menyerang perbatasan Silla di-era pemerintahan Raja Yurye (raja Silla ke-14), Jepang memanfaatkan hal itu untuk kembali menyerbu Silla, dan perang dengan Jepang ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Beolhyu (raja Silla ke-15, 298-310 M).

Raja Heulhae (raja Silla ke-16, 310-356), yang dikenal cinta damai, berusaha menunjukan ikhtiar baik demi memperbaiki hubungan kedua kerajaan melalui pernikahannya dengan salah satu putri bangsawan Jepang (313 M). Usaha Raja Heulhae membuahkan hasil dan berjalan dengan baik, tapi Jepang lalu membatalkan perjanjian damai dengan Silla (346 M) dan menyerbu Silla pada tahun berikutnya.

Sepeninggal Raja Heulhae (356 M), serbuan-serbuan Jepang ke Korea sempat surut. Silla diserbu Jepang pada tahun 364 M saat Raja Naemul (raja Silla ke-17, 356-402 M) berkuasa. Jepang saat itu dipimpin oleh Kaisar Nintoku. Tapi, hubungan buruk kedua negara juga berhasil diperbaiki pada masa pemerintahan Raja Naemul. Saat itu, Kaisar Jepang mengirim utusan ke Silla (391 M) sebagai tanda persahabatan. Sebagai gantinya, Raja Naemul mengirimkan putranya (Pangeran Misaheun) bersama dengan menteri istana Park Saram ke istana Jepang (391) sebagai utusan dan tanda persahabatan. Tapi, setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak menganggapnya sebagai seorang utusan melainkan sebagai tawanan yang menjadi jaminan bagi Jepang agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak diijinkan untuk kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun.

Setelah Raja Naemul meninggal, penggantinya, Raja Silseong (raja Silla ke-18, 402-417) kembali mempererat perdamaian dengan Jepang. Hubungan ini terus terjalin baik di era Raja Nulji (raja Silla ke-19, 417-458) meskipun Raja Nulji secara rahasia membawa kembali adiknya, Pangeran Misaheun, ke Silla, sehingga sempat membuat Kaisar Jepang sangat marah.

Perdamaian Silla-Jepang yang diinisiasi oleh Raja Naemul ini terus bertahan walaupun Jepang menjalin aliansi dengan musuh terbesar Silla saat itu, yaitu Kerajaan Baekje. Namun, permusuhan Silla-Baekje juga sempat berakhir dengan menjalin perjanjian damai yang panjang sebab sejak era Raja Jabi (raja Silla ke-20) Silla menjalin aliansi dengan Baekje, yang bertahan lebih dari 200 tahun. Hubungan baik Silla-Baekje selama 200 tahun ini juga memperbaiki hubungan antara Jepang dengan Silla sebab pihak Jepang ditekan oleh Baekje untuk tidak mengganggu Silla.

Berkat Jepang, Silla mendapatkan banyak pasokan produk dari Asia Tenggara. Juga, berkat aliansinya dengan kerajaan Baekje, Jepang juga bisa lebih mudah mengimpor produk-produk dari negeri Tiongkok, dan juga dari India dan Timur Tengah (walaupun sedikit). Sangat lama kemudian barulah Jepang kembali menyerbu Silla pada tahun 663 M melalui pertempuran maritim besar yang dikenal dengan nama Perang Baekgang.




PEMBUNUHAN PANGERAN SEOK URO OLEH MATA-MATA JEPANG

Pangeran Seok Uro (juga dikenal dengan nama Jenderal Seok Uro) adalah putra Raja Naehae dan keponakan Raja Cheomhae. Meskipun statusnya dengan Raja Cheomhae adalah paman dan keponakan, namun besar kemungkinan usia mereka tidak berbeda jauh.

Pangeran Uro kehilangan hak waris-nya sebagai pewaris tahta Silla setelah ayahnya, Raja Naehae, menunjuk pamannya, Raja Jobun, sebagai pewaris tahta. Ayahnya meninggal saat Pangeran Uro masih kecil, sehingga saat itu pihak kerajaan harus menuruti rekomendasi dewan istana yang merekomendasikan Jobun sebagai pewarisnya. Saat itu, peran dewan istana sangat kuat dalam menentukan pewaris tahta, sama seperti saat kakek buyutnya (Raja Beolhyu) meninggal dan kakeknya, Pangeran Imae juga telah meninggal, dan Putra Mahkota Goljeong juga meninggal maka ayahnya lalu ditunjuk sebagai raja. Saat ayahnya meninggal, tahta dikembalikan pada pamannya, Jobun (putra mendiang Putra Mahkota Goljeong, saudara ayahnya) yang sebelumnya tidak tunjuk sebagai raja karena masih kecil. Ketika Raja Jobun meninggal, tahta lalu diberikan pada Raja Cheomhae yang dianggap lebih matang, bukannya pada Pangeran Uro.

Meski demikian, Pangeran Uro menjadi pendukung setia tahta Silla dan tidak pernah mencoba menggulingkan raja yang sah. Dia mengabdi pada Silla sebagai seorang jenderal dan memenangkan banyak pertempuran termasuk pertempuran-pertempuran melawan Jepang.

Silla dan Jepang akhirnya berhasil melakukan gencatan senjata, tapi periode ini adalah masa-masa terjadinya perang mata-mata yang makin lama kian memanas dan akhirnya memuncak ketika Pangeran Uro tewas dibunuh (250 M) oleh mata-mata Jepang. 

Kematian Pangeran Uro ini membuat Raja Cheomhae murka dan kembali berperang dengan Jepang.




RAJA NULJI DAN PARK JESANG

Setelah kekuasaan klan Park, pemerintahan Kerajaan Silla dilanjutkan oleh klan Kim yang berasal dari keluarga Raja Michu.

Raja Naemul (raja Silla ke-17) adalah raja pertama di-era kekuasaan klan Kim ini dan raja pertama Silla yang menggunakan gelar “Maripgan”. Raja Naemul juga adalah raja Silla pertama yang namanya tercatat dalam catatan sejarah Tiongkok dan yang mempelopori era keemasan Silla yang berlangsung selama berabad-abad.

Raja Naemul ini adalah ayah dari Raja Nulji. Nulji sendiri adalah cucu maternal Raja Michu. Kakek paternalnya adalah Jenderal Kim Daeseoji (adik Raja Michu). Ibu Nulji adalah Putri Boban (putri Raja Michu). Saat Raja Heulhae (raja Silla ke-16, putra Pangeran Uro) wafat, Ayahnya, Naemul, adalah kandidat tertua sehingga dinobatkan sebagai raja. Saat itu, keputusan pengangkatan raja melibatkan raja dan dewan istana, yang lebih mendahulukan para kandidat yang paling dewasa diantara seluruh keturunan raja lainnya. Baru pada masa pemerintahan ayahnya, sistem pemerintahan monarki turun-temurun diterapkan dan Silla dipimpin klan Kim sampai kerajaan ini runtuh.

Ayah Nulji (Naemul) adalah raja yang cinta damai. Beliau menjalin persahabatan dengan Goguryeo dan Jepang. Namun, semuanya harus dibayar mahal karena dia harus mengirim putra dan adiknya sebagai tawanan.

Putra ketiga Naemul, Pangeran Misaheun dikirim ke istana Jepang sebagai tanda persahabatan Silla dan Jepang. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun. Setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak memperlakukan Pangeran Misaheun sebagai utusan tapi sebagai tawanan agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak pernah diijinkan kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun.

Selain Pangeran Misaheun, Raja Naemul juga mengirim adiknya, Pangeran Silseong ke Goguryeo sebagai jaminan. Sebenarnya, putranya yang lain, Nulji, seharusnya yang dikirim ke Goguryeo, bukan Silseong, tapi Naemul sangat menyayangi putra pertamanya itu sebab hanya dia yang tersisa, sehingga Silseong-lah yang dikirim ke Goguryeo. Naemul tidak pernah melihat mereka lagi hingga kematiannya. Setelah Naemul meningga, dia digantikan oleh Silseong yang dipanggil dari Goguryeo. Sebagai gantinya, putra Naemul, Nulji dikirim ke Goguryeo sebagai pengganti Silseong (dan juga sebagai balasan Silseong yang mendendam pada kakaknya karena dikirim ke Goguryeo sejak masih berusia 10 tahun). Konflik istana membuat Raja Silseong tewas akibat ulahnya sendiri yang ingin membunuh Nulji. Nulji lalu diangkat menjadi raja (417-456).

Pada tahun ke-3 pemerintahan Raja Nulji, Goguryeo kembali meminta Silla mengirim anggota keluarga kerajaan sebagai jaminan. Untuk itu, Nulji mengirimkan adiknya, Pangeran Bokho, ke Goguryeo. Sama seperti pihak Jepang, Goguryeo juga memperlakukan Pangeran Bokho sebagai tawanan.

Peristiwa ini membuat Nulji sangat sedih dan teringat pada ayahnya. Saat itu, Nulji merasa bahwa penderitaan ayahnya jauh lebih besar karena tidak pernah melihat putra-putranya hingga hari kematiannya, dan ini membuat hati Nulji menderita bertahun-tahun. Nulji akhirnya bertekad membawa pulang adik-adiknya kembali ke Silla. Akhirnya, pada tahun ke-10 pemerintahannya, Nulji mengundang para pejabat dan para jenderalnya dalam jamuan makan. Pada saat itu, Nulji mengutarakan keinginannya untuk membawa adik-adiknya pulang ke Silla dan meminta saran mereka. Raja juga bertanya andaikan ada salah-satu dari mereka yang mau membawa adik-adiknya pulang. Tapi, para pejabat dan jenderalnya menjawab bahwa keinginan raja itu adalah hal yang mustahil.

Nulji semakin sedih mendengar jawaban para pejabat dan jenderalnya. Tapi, ada satu pejabat senior yang mengajukan diri. Pejabat itu bernama Park Jesang.

Park Jesang adalah seorang menteri istana Silla. Beliau dikenal sebagai seorang loyalis raja. Park Je-sang (lahir tahun 363) adalah keturunan pendiri Silla Park Hyeokgeose dan juga keturunan dari Raja Pasa (raja Silla ke-5). Sejak masih kecil, Park Je-sang sangat pintar. Saat dia telah memenuhi tugasnya sebagai pejabat di salah-satu daerah kekuasaan Silla, beliau ditarik oleh Raja Nulji untuk mengabdi di istana.

Park Jesang meminta Nulji memberikannya perintah kerajaan untuk membawa pulang adik-adik raja itu. Nulji sangat terharu mendengar keberanian Park Jesang dan menganugerahkannya banyak gelar dan hadiah sebelum dia berangkat. Raja mengijinkan Park Jesang minum di cawan yang sama dengan raja dan melepas kepergiannya dengan suasana yang penuh cinta. Nulji menggenggam tangan Park Jesang saat mengantar Park Jesang meninggalkan istana. Itu adalah tanda persahabatan dan penghormatan yang sangat tinggi dari seorang raja. Saat melaksanakan tugas itu, Park Jesang telah berusia 64 tahun.

Tugas pertama Park Jesang adalah menuju Goguryeo dengan menyamar. Berkat kecerdikannya, Park Jesang berhasil masuk ke wilayah istana tempat Pangeran Bokho tinggal. Park Jesang lalu menjelaskan rencananya pada Pangeran Bokho dan mengatur tempat pertemuan mereka untuk melarikan diri. Untuk itu, Pangeran Bokho beralasan sakit sehingga tidak bisa memberikan “penghormatan pagi” di istana pada raja Goguryeo selama beberapa hari. Pangeran Bokho lalu memanfaatkan waktu yang terbatas itu untuk melarikan diri dari Pyeongyang menuju Kaeseong. Dari sana, Park Jesang dan Pangeran Bokho berusaha menuju Silla sesegera mungkin. Tapi, raja Goguryeo yang marah lalu memerintahkan pasukan untuk memburu mereka di Kaeseong. Pelarian Pangeran Bokho ini akhirnya berhasil berkat bantuan dari orang-orang Goguryeo, sebab selama berada di Goguryeo, Pangeran Bokho sangat ramah dan membantu banyak orang Goguryeo sehingga dia dicintai banyak orang Goguryeo dan juga penghuni istana. Bahkan, pasukan yang mengejarnya diperintahkan oleh komandan mereka untuk memanahnya dengan menggunakan panah yang ditumpulkan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972). Mereka akhirnya tiba dengan selamat di istana Silla dan disambut dengan sukacita oleh Raja Nulji dan seluruh Silla.

Tapi, Raja Nulji masih tetap bersedih memikirkan adiknya, Pangeran Misaheun, yang tidak pernah kembali dari Jepang selama 30 tahun. Park Jesang lalu meminta raja memberikan perintah kerajaan padanya agar dia bisa berangkat ke Jepang. Nulji akhirnya kembali memberikan perintah kerajaan pada Park Jesang. Menteri setia ini langsung berangkat ke Jepang setelah mendapat perintah raja, padahal saat itu dia belum sempat mengunjungi rumahnya. Istrinya mengejar Park Jesang ke pelabuhan sambil membawa kuda putih bagi suaminya, tapi kapal Park Jesang telah berangkat. Istrinya menangis dan meminta Park Jesang kembali agar dia dapat mengucapkan salam perpisahan, tapi Park Jesang hanya bisa melambaikan tangannya dari atas kapal.

Park Jesang akhirnya tiba di Jepang (kemungkinan besar di Pulau Kyushu) dan langsung menghadap pada kaisar. Di hadapan kaisar, Park Jesang mengaku sebagai mengaku sebagai seorang bangsawan Silla yang melarikan diri dari kejaran raja Silla.

Raja Gyerim (nama Silla pada masa itu) telah membunuh ayah dan kakak-kakakku tanpa alasan yang jelas, sehingga saya melarikan diri dan tiba di wilayah kerajaanmu untuk mencari suaka.” Kata Park Jesang.
Raja Shiragi (sebutan Silla bagi orang Jepang) bukan raja yang baik,” kata penguasa Jepang itu. “Aku akan memberikan padamu tempat yang nyaman untuk tinggal
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972).

Setelah mendapat kepercayaan kaisar, Park Jesang secepat mungkin menghubungi Pangeran Misaheun dan menjalin komunikasi dengannya, juga mulai merencanakan pelarian mereka. Mereka berdua sering memancing bersama pada pagi hari dan memberikan hasil tangkapan mereka pada kaisar sehingga kaisar sangat senang dan menyayangi mereka tanpa mencurigai apapun.

Akhirnya, kesempatan yang mereka tunggu-tunggu tiba. Saat itu, kembali memancing di laut seperti biasa, tapi kabut tebal menyelimuti pulau tempat mereka berada. Melihat situasi seperti itu, Park Jesang langsung menyarankan pada Pangeran Misaheun agar segera melarikan diri. Tapi, Pangeran Misaheun harus melarikan diri sendirian sebab Park Jesang harus tetap tinggal untuk menghalangi pasukan musuh. Tapi, Pangeran Misaheun menolak usul Park Jesang.

Dengan perasaan yang sedih, Pangeran Misaheun berkata,
Saya sudah menganggapmu seperti ayahku dan kakakku. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dan pergi seorang diri?”
Jika saya bisa menyelamatkanmu dan menyenangkan hati raja-ku saya akan sangat bahagia. Saya tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri,” jawab Park Jesang lalu menuangkan anggur ke cawan pangeran sebagai tanda perpisahan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Beliau lalu memerintahkan Kang Guryeo, seorang awak kapal dari Silla untuk membawa pangeran pergi.

Park Jesang lalu kembali ke rumah pangeran dan menjalani hari seperti biasanya. Pada penjaga-penjaga, dia memberitahukan bahwa Pangeran Misaheun baru pulang berburu dan sangat lelah sehingga harus istirahat. Para penjaga ini mulai curiga dan memeriksa kamar sang pangeran. Park Jesang lalu memberi-tahukan pada mereka bahwa Pangeran Misaheun telah pulang ke Silla.

Pelarian Pangeran Misaheun membuat kaisar murka dan menangkap Park Jesang. Saat kaisar menanyakan alasan Park Jesang melakukan hal itu, Park Jesang pun menjawab,
Aku adalah rakyat Gyerim (Silla) dan bukan bawahanmu. Aku harus melakukan apa yang diperintahkan rajaku. Saya tidak memiliki hal lain yang bisa dikatakan.”

Jawaban Park Jesang ini membuat kaisar murka, dan memerintahkan agar Park Jesang dihukum dengan menggunaan metode penyiksaan terberat. Tapi, kaisar kagum pada keteguhan hati Park Jesang menawarkan pembebasan dan hak kebangsawanan bagi Park Jesang jika mau mengabdi padanya. Tapi Park Jesang menjawab:
Lebih baik menjadi seekor babi atau anjing di Gyerim ketimbang menjadi seorang bangsawan disini.
Lebih baik dicambuk dengan cemeti panjang di Gyerim ketimbang menerima gelar bangsawan Jepang.
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Kaisar pun memerintahkan penyiksaan yang mengerikan untuk menghukum Park Jesang.

Setelah kulit paha Park Jesang dikuliti, kaisar bertanya pada Park Jesang,
Jadi, pada siapa kau mengabdi?” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)

Park Jesang pun menjawab bahwa dia adalah abdi Silla. Kaisar pun memerintahkan agar Park Jesang berdiri di besi panas dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dan Park Jesang tetap menjawab,
Saya adalah abdi Gyerim” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)
Akhirnya kaisar menyerah, dan memerintahkan dia digantung. Jenasahnya lalu dikremasi oleh orang Jepang. 

Lepas dari semua itu, Pangeran Misaheun berhasil tiba di pantai wilayah Silla. Beliau mengirim Kang Guryeo ke istana di Seorabeol untuk mengumumkan kedatangannya. Raja Nulji sangat terkejut saat mendengar adiknya sudah tiba di Silla. Bersama dengan Pangeran Bokho, beliau langsung berangkat menemui Pangeran Misaheun. Saat mereka melihat Pangeran Misaheun, raja dan Pangeran Bokho yang mengikutinya langsung menangis dan berlari memeluknya. Raja mengadakan jamuan besar untuk menyambut adik bungsunya itu.

Ditengah-tengah kegembiraan itu, ada kesedihan ditengah-tengah mereka. Park Jesang tidak kembali.

Raja sudah menduga apa yang terjadi pada Park Jesang, dan sebagai penghormatannya, raja mengadakan jamuan kerajaan untuk menghormati Park Jesang. Raja menganugerahi istrinya gelar kebangsawanan yang sangat tinggi yang hanya satu tingkat lebih rendah dari ratu (di-era modern setara dengan “Grand Duchess”). Raja juga menikahkan Pangeran Misaheun dengan salah-satu putri Park Jesang. Tapi, isteri tidak mau menikmati semua hadia raja karena kesedihannya. Beliau dan 3 putrinya yang lain pergi ke bukit Chisulryeong dan memandang ke arah Jepang. Istrinya meninggal tidak lama kemudian di bukit itu.

Kesetiaan Park Jesang ini terus diabadikan secara turun-temurun melalui literatur-literatur dan penceritaan lisan orang-orang Silla dan Korea hingga era Joseon, dan terus didengungkan pada era perjuangan kemerdekaan Korea dari Jepang dikalangan pejuang Korea agar mengingatkan bahwa mereka bukanlah abdi Jepang melainkan abdi Korea, seperti kata-kata terakhir Park Jesang.




PERANG BAEKGANG

Silla adalah kerajaan terkecil diantara Tiga Kerajaan, oleh karena itu kerajaan ini adalah kerajaan yang paling sering diserbu oleh dua kerajaan Korea lainnya, dan juga dengan Jepang. Bosan dengan gangguan-gangguan itu, Silla bertekad menaklukan dua kerajaan lainnya dengan membentuk aliansi dengan Kekaisaran Tang. Perang penyatuan Tiga Kerajaan pun dilakukan dengan target pertama mereka adalah kerajaan Goguryeo. Tapi, Goguryeo masih terlalu kuat bagi Silla-Tang sehingga mereka mengubah target pertama mereka ke kerajaan lainnya, Baekje.

Secara dramatis, Kerajaan Baekje berhasil ditaklukan. Baekje yang telah berdiri selama 678 tahun akhirnya runtuh pada 18 Juli 660. Runtuhnya Kerajaan Baekje ini sangat mengejutkan seluruh penjuru Goguryeo, dan terlebih lagi sekutu utama mereka, Jepang.

Tapi, rupanya Baekje belum sepenuhnya runtuh. Saat Raja Uija menyerah, para bangsawan Baekje yang dipimpin oleh Gwisil Boksin melarikan diri ke Jepang meminta bantuan sekutu setia mereka itu. Sisa-sisa pasukan Baekje juga bergerilya melawan pasukan pemerintahan proktetorat Tang yang berpusat di Sabi. Jepang yang sejak dulu dibantu oleh Baekje merespons positif permintaan Baekje. Pada Agustus 661 bala bantuan pertama Jepang yang dikirim oleh Kaisarina Semei tiba di wilayah Baekje. Kaisarina Semei sendiri yang melepas kapal-kapal Jepang itu. Tak lama setelah kapal-kapal pertama itu berangkat, Kaisarina Semei meninggal dunia. Bala bantuan pertama ini terdiri dari 170 kapal dan 5.000 prajurit dibawah pimpinan Jenderal Abe no Hirafu.

Usai menaklukan Baekje (660 M), Silla mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo ditahun berikutnya. Tapi, penyerbuan ke Goguryeo ini gagal total (662 M) dan membuat pasukan Tang kehilangan sejumlah besar pasukan. Ditahun yang sama, Kekaisaran Jepang mengirimkan pasukan gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar (662 M), yang terdiri dari dua pasukan: 27.000 prajurit pimpinan Jenderal Kamitsukeno no Kimi Wakako dan 10.000 prajurit yang dipimpin Jenderal Iohara no Kimi. Pangeran Buyeo Pung (Putra bungsu Raja Uija) yang sudah tingga selama 30 tahun di Jepang ikut dalam rombongan ini sebagai calon raja Baekje.

Situasi pasukan Silla-Tang pada masa ini sangat sulit. Usai ditarik mundur dari Pyeongyang, pasukan Tang langsung menghadapi serbuan dari pasukan Kekaisaran Tibet. Serbuan ini membuat mereka tidak bisa kembali ke wilayah Korea dalam waktu lama. Sedangkan, Silla justru harus menghadapi rangkaian serbuan koalisi Goguryeo-Magal yang terjadi selama lebih dari 5 tahun.

Kekalahan di Goguryeo, penyerbuan tentara Tibet ke wilayah Tang, dan serbuan masif pasukan Goguryeo-Magal dimanfaatkan oleh pasukan restorasi Baekje dan Jepang untuk merebut kembali wilayah-wilayah lama Baekje, dan mulai melancarkan perang dengan Silla.

Sebagai respon, pada Agustus 663 pasukan Silla dan para Hwarang (dipimpin oleh Kim Ohgi) mengepung ibukota restorasi Baekje di Benteng Juryu. Pasukan restorasi Baekje sendiri dipimpin oleh Gwisil Boksin (sepupu Raja Uija). Di Benteng Juryu itu Gwisil Boksin, Pangeran Buyeo Pung (putra bunsu Raja Uija) dan Biksu Dochim, dan sebagian pasukan Jepang berjuang mempertahankan benteng terakhir Baekje itu. Pada 27 Agustus 663 armada utama Jepang di Korea yang berada di wilayah pantai terluar Korea dikirim menyusuri Sungai Geum untuk menghalau pengepungan pasukan Silla di Benteng Juryu. Tapi Tang memblokade pasukan bantuan Jepang itu sehingga meletuslah pertempuran sengit di sungai Geum yang dikenal sebagai Perang Baekgang atau Perang Hakusukinoe oleh orang Jepang.

Armada Jepang diblokade oleh pasukan Tang dengan menggunakan 170 kapal dan 7.000 prajurit. Kapal-kapal Tang merapatkan barisan kapal mereka dan berusaha menghalau serangan Jepang. Keesokan harinya, armada bantuan Jepang juga tiba dengan jumlahnya lebih besar dari armada Tang. Namun, sungai Geum yang sempit membantu armada Tang karena armada Jepang hanya bisa menyerbu pertahanan terdepan Tang sehingga Tang dapat melindungi kapal-kapal di sisi kanan dan kiri dan bagian belakang selama pertempuran. Jepang sangat yakin pada keunggulan jumlah mereka dan menyerang armada Tang setidaknya tiga kali sepanjang hari, tapi Tang masih mampu bertahan walau kewalahan.

Terlepas dari situasi di Perang Baekgang, koalisi pasukan restorasi Baekje dan pasukan Jepang di Benteng Juryu juga menghadapi situasi yang tidak kalah genting. Pasukan infanteri dan kaveleri Silla bersama dengan pasukan Hwarang mengepung Benteng Juryu selama berminggu-minggu sehingga membuat pasukan restorasi Baekje sangat frustasi. 

Situasi di Sungai Geum juga tidak berbeda jauh bagi kubu pasukan restorasi Baekje. Masih pada hari yang sama, 28 Agustus 663 menjelang malam prajurit Jepang frustasi dan kelelahan karena mereka tidak henti-hentinya menyerbu armada Tang tanpa hasil. Armada mereka juga kehilangan kohesi setelah berulang kali mencoba untuk menerobos garis pertahanan Tang. Pasukan Tang melihat peluang ini dan melakukan serangan balasan. Armada Tang bukan menerobos pertahanan terdepan melainkan sisi kiri dan kanan armada Jepang, hingga akhirnya kapal-kapal Tang berhasil menembus hingga bagian belakang armada Jepang dan mengepung armada mereka sehingga mereka tidak bisa bergerak atau mundur. Sejumlah besar pasukan Jepang jatuh ke air dan tenggelam, dan banyak kapal mereka dibakar dan ditenggelamkan oleh pasukan Tang. Perang ini diakhiri oleh kematian admiral utama armada Jepang, Jenderal Echi no Takutsu yang tewas setelah dia membunuh lusinan pasukan Tang yang menerobos ke kapalnya.

Di waktu yang hampir bersamaan, keadaan di Benteng Juryu senada dengan di Sungai Geum, tapi mungkin lebih buruk karena mereka saling menyerang satu sama lain. Di tengah-tengah pertempuran yang kian sengit, entah karena perbedaan pendapat atau karena ketidak-setiaan salah-satu dari mereka, Gwisil Boksin berusaha untuk membunuh Pangeran Pung setelah sebelumnya Biksu Dochil tewas ditangannya. Namun, pada perkelahian itu Pangeran Pung berhasil membunuh Gwisil Boksin. Kematian Gwisil Boksin menjadi pertanda buruk bagi pasukan restorasi Baekje. 

Kekalahan armada Jepang mengakibatkan pasukan Baekje terisolasi di Benteng Juryu. Pertempuran di Benteng Juryu berakhir pada 7 September 663 dengan kemenangan di pihak Silla. Pangeran Buyeo Pung terpaksa melarikan diri dengan menggunakan perahu ke Goguryeo. Dia hidup dalam pengasingan hingga akhir hidupnya karena setelah Goguryeo runtuh, Pangeran Pung ditangkap dan diasingkan ke wilayah Utara.

Perang Baekgang adalah kekalahan terbesar Jepang dalam sejarah kuno dan kekalahan maritim terbesar mereka sebelum Perang Imjin. Berdasarkan semua sumber sejarah dari Jepang, Korea, dan China, kerugian Jepang sangat besar dan jumlah korban Jepang sangat banyak. Menurut catatan Nihon Shoki sekitar 400 kapal Jepang hilang dalam pertempuran, sedangkan catatan sejarah China mengklaim sekitar 10.000 prajurit Jepang tewas dalam perang itu. Sisa-sisa kapal Jepang yang berhasil selamat kembali ke Jepang dipenuhi oleh para pengungsi dari Baekje.

Dampak terbesar dari keruntuhan Baekje bagi Jepang adalah mereka kehilangan sekutu utama di Asia Timur sebab Kerajaan Baekje merupakan sumber perkembangan teknologi, agama Buddha, dan peningkatan budaya bagi Jepang.

Kekalahan ini mengubah Jepang menjadi kerajaan yang lebih defensif padahal dulu mereka sangat agresif menyerbu Silla, bahkan membunuh seorang pangeran Silla (Seok Uro). Jepang lalu melakukan reformasi yang sangat terkenal, Reformasi Taika, yang dicetuskan oleh Pangeran Naka-no-Oe (Kaisar Tenji).

Ini adalah reformasi sistem birokrasi dan sistem militer Jepang yang lama menjadi sistem ala Dinasti Tang. Imbas dari reformasi ini, pada tahun 702, Kaisar Monmoku menerapkan sistem “Bangsawan Militer” yang terinspirasi dari kelompok Hwarang, yaitu dengan mewajibkan 3-4 laki-laki tiap keluarga bangsawan untuk mengabdi kepada kekaisaran sebagai perwira militer. Secara diam-diam, Jepang lalu mempelajari sistem kemiliteran Silla, juga ilmu beladiri dan ilmu berpedang para Hwarang yang berbeda dari ilmu beladiri dan ilmu berpedang Tiongkok. Inilah cikal-bakal Samurai Jepang, dan ilmu pedang kuno di Jepang.




PENYERBUAN KOALISI GORYEO-MONGOL KE JEPANG

Pada abad ke-13, Bangsa Mongol menjadi kekuatan baru di Asia dan Eropa Timur. Setelah sebelumnya mereka menaklukkan Dinasti Song di Tiongkok, mereka mulai menyerang Korea dan juga bertujuan menaklukan Jepang.

Perang dengan Goryeo ini adalah perang terlama yang dihadapi oleh Kaisar Kubilai Khan dan juga Kekaisaran Mongol sejak era Gengis Khan. Akhirnya, di tahun terakhir pemerintahan Raja Gojong (Raja Goryeo ke-23), setelah beperang selama 30 tahun, Goryeo akhirnya menyerah (1259) dan menjadi kerajaan jajahan Kekaisaran Yuan (Mongol). Goryeo cukup beruntung sebab dari semua kerajaan yang takluk setelah berperang dengan Mongol, Goryeo adalah satu-satunya kerajaan solid yang tidak dihancurkan oleh Mongol.

Raja Gojong lalu digantikan oleh putranya yang lemah, Raja Wonjang. Masa pemerintahannya adalah awal masa ketika Goryeo mendapat pengawasan dan intervensi yang sangat ketat dari pemerintah Yuan (Mongol).

Wonjong hanya memerintah selama 3 tahun dan digantikan oleh putranya, Raja Chungyeol (raja Goryeo ke-25). Chungyeol adalah Raja Goryeo pertama yang dikenang hanya memakai gelar “Wang” (Raja), sebab para raja sebelumnya mendapat nama kuil dengan akhiran -jo atau -jong (artinya "leluhur terhormat"). Kaisar Kubilai Khan merasa gelar itu merupakan ancaman baginya dan memerintahkan agar raja-raja Goryeo tidak boleh memakai nama itu lagi. Pada masa pemerintahan Chungyeol inilah untuk pertama kali dalam sejarah Korea menyerbu Jepang sehingga membuatnya menjadi raja Korea pertama dan satu-satunya yang menyerbu Jepang.

Kaisar Kubilai Khan adalah pemimpin yang sangat ambisius. Beliau ingin menguasai seluruh Asia Eropa dan membuat kerajaan-kerajaan di wilayah itu takluk padanya. Penaklukan Kekaisaran Song dan Goryeo hanya permulaan. Kaisar mengirim pasukan Mongol menyerbu wilayah Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Indonesia. Pasukan Mongol gagal menaklukan Indonesia dengan cara yang sangat memalukan. Setelah utusan pertama mereka dipermalukan oleh Raja Kertanegara (raja terakhir Kerajaan Singasari), pasukan Mongol yang dikirim untuk menghukum Indonesia dikelabui dan dikalahkan oleh Raden Wijaya (raja pertama Kerajaan Majapahit). Indonesia memang adalah wilayah yang sulit ditaklukan karena merupakan wilayah kepulauan, dan juga pusat-pusat pemerintahan kerajaan-kerajaannya terpisah dari daratan utama Asia.

Kejadian memalukan yang dialami oleh pasukannya di Indonesia tidak mengurungkan niat Kubilai Khan untuk menyerbu kerajaan kepulauan lainnya, Jepang.

Serbuan Mongol ke Jepang diwujudkan oleh Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1274 setelah ultimatumnya pada Jepang tidak diindahkan oleh pihak istana Jepang. Untuk mengamankan tahtanya, Chungnyeol dengan sukarela menawarkan bantuan dan mengirim angkatan laut Goryeo sebagai bantuan pada armada Mongol untuk menyerang Jepang.

Serbuan aliansi Mongol-Goryeo ke Jepang ini membuat seluruh Jepang, yang saat itu terpecah-pecah oleh sistem feodal, bersatu. Para daimyo mengirimkan tentara mereka agar bisa bergabung dengan tentara kekaisaran. Aliansi Mongol dan Goryeo ini tentu sangat menakutkan bagi Jepang sebab kedua kerajaan ini sudah terbiasa dengan perang melawan bangsa asing, sedangkan Jepang, sejak kekalahan di Perang Baekgang 600 tahun lalu, tidak pernah lagi menyerang negara lain. Hal lain yang ditakutkan Jepang adalah kekuatan armada Goryeo. Armada Goryeo secara tidak langsung membantu Jepang mengatasi bajak laut yang berkeliaran di antara perairan Korea dan Jepang, dan dibanding Jepang, Goryeo jauh lebih berhasil. Kehebatan armada Goryeo juga membuat wilayah Korea aman dari serbuan asing. Mereka hanya kalah dari Mongol melalui perang darat, yang juga sangat melelahkan pasukan Mongol.

Tapi, upaya armada laut aliansi Yuan dan Goryeo untuk menguasai Jepang berakhir dengan bencana. Armada laut mereka hancur oleh badai besar yang dikenal dengan nama "Kamikaze".

Kegagalan armada pertama membuat Kubilai Khan murka. Tapi itu tidak membuat bangsa Mongol mundur dari Jepang. Bersama Goryeo, Mongol kembali menyerang Jepang tahun 1281. Armada pada invasi kedua ini terdiri dari 4.400 kapal perang. Namun, kali ini Bangsa Jepang telah siap dan pasukan aliansi ini tetap kalah.

Kekalahan ini membuat Korea banyak belajar. Mereka menyadari bahwa kapal perang mereka bukan kapal perang yang cocok untuk menyerang wilayah perairan Jepang yang pantai-pantainya lebih curam. Pengetahuan mengenai kapal-kapal perang Jepang melalui invasi ini sangat penting bagi Korea dan membantu mereka melawan armada Jepang 300 tahun kemudian saat Jepang menyerbu Korea dalam Perang Tujuh Tahun.




BAJAK LAUT WOKOU

Setelah kekalahan Mongol-Korea saat menginvasi Jepang pada abad ke-13 itu, pelaut-pelaut Jepang semakin percaya diri mengarungi lautan dan bahkan berani berlayar diluar perairan Jepang. Lama-kelamaan jumlah mereka semakin banyak.

Pada abad pertengahan ini, laut menjadi tempat pelarian bagi warga Jepang terutama yang memiliki masalah hukum. Bajak laut dari Jepang ini kemungkinan besar terdiri lebih dari satu kelompok. Kelompok-kelompok ini memiliki peraturan dan sistem organisasi yang semuanya serba misterius. Tidak jelas nama apa yang mereka gunakan sebagai sebutan bagi kelompok mereka. Tapi, orang Korea menyebut mereka, Waeku (왜구), atau Wokou.

Akasara kanji Wokou adalah “倭寇”, yang dalam pengucapan Jepang menjadi "wakō". Secara harafiah, Wokou diterjemahkan sebagai "bajak laut Jepang", tapi arti sebenarnya adalah "penjahat kerdil". Bangsa Jepang memang disebut “Bangsa Wa” dalam catatan-catatan Tiongkok. Negara mereka juga disebut “Negeri Wa”. Dalam bahasa China kuno, “Wa” berarti “kurcaci” atau “kerdil”, sehingga sebutan ini diberikan pada orang-orang Jepang yang pada masa itu memiliki tubuh yang jauh lebih pendek daripada bangsa Korea, Han (Tiongkok), Uygur, Turk, Tibet, dan bangsa-bangsa lain yang pernah berinteraksi dengan Tiongkok. Korea juga mengadopsi kata itu untuk menyebut Jepang sebab tubuh orang Korea memang jauh lebih tinggi dari bangsa Jepang pada masa kuno. Istilah “Wokou” adalah kombinasi dari kata “Wa”, yang artinya "kurcaci", dan “Kou”, yang berarti "penjahat".

Sebagai bajak laut Jepang, kehadiran Wokou tentu memperpanjang catatan buruk hubungan Korea-Jepang dimasa lalu. Tapi, kontradiktif dengan status mereka sebagai bajak laut Jepang yang kerap menyerbu Korea, saat itu kehadiran mereka justru memperbaiki hubungan Korea-Jepang yang kaku paska invasi Mongol, yang juga menggandeng pasukan Korea, ke Jepang.

Bajak laut Wokou sudah menjadi organisasi militer yang terorganisasi dengan baik dan fokus merampok pesisir Korea-Jepang, termasuk kapal-kapal Tiongkok yang melintas di sekitar wilayah itu. Ada dua era dalam sejarah pembajakan Wokou. Pertama adalah pada abad ke-13 hingga abad ke-14, dan periode kedua yang lebih pendek adalah pada abad ke-16.

Pada periode pertama eksistensi Wokou, kamp-kamp utama Wokou adalah Pulau Tsushima, Pulau Iki, dan Kepulauan Gotō, tapi mereka memusatkan perhatian di Semenanjung Korea sehingga mereka menjadi teror bagi penduduk kota-kota pesisir timur Goryeo. Pada era pemerintahan Raja Gongmin (raja Goryeo ke-31), raja mengirim Jenderal Choe Yeong dan Jenderal Yi Seong-gye (bakal raja pertama Joseon) untuk memerangi bajak laut ini. Goryeo memang adalah kerajaan yang paling mampu mengalahkan bajak laut Wokou, tapi lama-kelamaan Goryeo kewalahan menghadapi mereka. Raja Woo (pengganti Raja Gongmin) lalu mengirim Na Hong-yu sebagai utusan ke Jepang (1375) untuk meminta pemerintah Jepang membantu melawan bajak laut Wokou. Pemerintah Jepang menyanggupi tapi mereka hanya akan memerangi Wokou disekitar perairan mereka saja. Karena wilayah tradisional mereka diusik, akhirnya Wokou semakin fokus menyerang Korea untuk mendapatkan wilayah baru. Tahun 1376, bajak laut Wokou memasuki wilayah Goryeo dan menaklukan kota Gongju setelah mengalahkan walikota Kim Sa-hyuk. Untuk melawan mereka, Raja Woo memerintahkan membentuk pasukan besar yang dipimpin Jenderal Choi Young. Pasukan Jenderal Choi Young berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hongsan.

Kekalahan di Hongsan tidak berarti bajak laut Wokou tidak berhasil merampok kota-kota pesisir Korea. Salah-satu hasil rampokannya adalah ratusan warga Korea yang diculik oleh mereka. Orang Korea adalah yang terbanyak yang diculik oleh bajak laut Wokou. Untuk memulangkan kembali orang-orang Korea yang diculik, Raja Woo mengirim Jeong Mong-ju ke Jepang. Selama kunjungannya ke Kyushu, Gubernur Imagawa Sadayo berhasil menekan Wokou, dan mengambil kembali hasil rampasan mereka termasuk orang Korea. Berkat Jeong Mong-ju, orang-orang Korea yang diculik itu berhasil dibawa kembali ke Korea (1377). Ini menjadi kerjasama yang sukses antara Korea dan Jepang usai pengalaman buruk dalam invasi Mongol sebelumnya. 

Usai kekalahan di Hongsan, Wokou mundur sementara dari Korea dan menyebar melintasi Laut Kuning ke Tiongkok. Tapi mereka kembali menghantui Korea pada tahun 1380. Kali ini, Jenderal Yi Seong-gye yang dikirim menghadapi Wokou. Beliau berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hwangsan berkat bantuan Na Sae dan ilmuwan Choi Mu-seon (penemu bubuk mesiu Korea) yang berhasil membakar lebih dari 500 kapal bajak laut dengan menggunakan mesiu dan meriam. Tiga tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Wokou kembali menyerbu Korea (1383). Kali ini, Jendral Jeong Ji yang dikirim untuk memerangi mereka dan sang jenderal berhasil menghancurkan ratusan kapal bajak laut Wokou.

Sembilan tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Kerajaan Goryeo runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Joseon yang didirikan oleh seorang jenderal yang dulunya menjadi salah-satu musuh utama Wokou, Yi Seong-gye.

Belajar dari pengalaman, Yi Seong-gye dan putranya menaruh perhatian khusus dalam memerangi bajak laut ini. Seakan tidak mau kalah dengan gebrakan Korea, Shogun Ashikaga Yoshimitsu mengirim 20 bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap ke Tiongkok, di mana mereka direbus dalam kuali di Ningbo (1405). meski mendapat perlawanan, Wokou masih mengganggu Korea pada masa pemerintahan Yi Bang-won sehingga membuat Yi Bang-won mengInvasi Pulau Tsushima (1419). Upaya Yi Bang-won menumpas bajak laut Wokou dilanjutkan oleh putranya, Raja Sejong Yang Agung, dalam Ekspedisi Timur Gimhae ke Pulau Tsushima.

Pada Ekspedisi Timur Gimhae ini, armada Korea dipimpin oleh Jenderal Yi Jong-mu. Armada ini terdiri dari 227 kapal dan 17.285 prajurit, dan berangkat dari Pulau Geoje Pulau Geoje (Mei 1419) dan tiba di Pulau Tsushima (19 Juni 1419). Armada Korea ini dipandu oleh bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap. Setelah mendarat, Jenderal Yi Jongmu mengirim bajak laut yang mereka tangkap itu sebagai utusan yang menyampaikan ultimatum Korea pada pemimpin Wokou. Pemimpin Wokou tidak mengirim jawaban sehingga pasukan Jenderal Yi Jongmu mulai menyerang markas Wokou itu dan menghancurkan pemukiman mereka. Pasukan Korea menghancurkan 129 kapal Wokou dan 1.939 rumah mereka. Sebanyak 700 perompak berhasil dibunuh, dan 110 lainnya ditangkap hidup-hidup dan dijadikan budak. Pada ekspedisi itu, 180 tentara Joseon tewas. Pasukan Korea membebaskan para tawanan termasuk 135 warga Korea dan 140 orang China yang diculik oleh bajak laut.

Ekspedisi Timur Gimhae yang digalakkan oleh Raja Sejong berhasil menumpas Wokou sehingga membuat mereka hilang dari perairan Korea selama lebih dari 100 tahun. Dampak lain dari keberhasilan Ekspedisi Timur Gimhae ini adalah Perjanjian Gyehae yang dicapai 24 tahun kemudian (1443) yang memuat pengakuan Daimyo Pulau Tsushima atas kedaulatan Raja Joseon di wilayahnya.

Keberhasilan Ekspedisi Gimhae malah membuat Kekaisaran Ming mengembargo Jepang dengan melarang perdagangan sipil dengan Jepang, meskipun masih mengijinkan perdagangan antar-pemerintah. Embargo ini tidak sepenuhnya berhasil karena para pedagang Tiongkok tetap melindungi kepentingan mereka. Pedagang-pedagang ini terus berdagang dengan Jepang secara ilegal. Kenyataan bahwa perdagangan antar-pemerintah itu tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri Tiongkok dan membuat banyak perajin bangkrut justru memicu era kedua perompakan Wokou yang justru menjadi masa keemasan para perompak itu.

Pada periode kedua ini, sepertinya Wokou sudah cukup trauma mengganggu Korea sehingga mereka hampir tidak terlalu mengganggu wilayah perairan Korea, dan menjadikan Tiongkok sebagai basis mereka setelah Jepang. Pada masa keemasannya sekitar 1550-an, Wokou beroperasi di lautan Asia Timur mampu berlayar di sungai-sungai besar termasuk Sungai Yangtze.

Walaupun tidak lagi secara khusus menargetkan Korea sebagai sasaran perompakan mereka tapi Bajak laut Wokou sempat masuk dan menjarah wilayah pesisir selatan Korea pada masa pemerintahan Raja Jungjong (raja Joseon ke-11). Wokou juga masih menyerbu Korea pada masa pemerintahan Raja Myeongjong (raja Joseon ke-13). Raja Myeongjong lalu menghukum seorang bajak laut asal Tiongkok yang berpura-pura menjadi orang Jepang. Kisah pamungkas serbuan Wokou ke Korea adalah para bajak laut yang berkebangsaan Jepang dilibatkan oleh seorang jenderal Jepang saat Jepang menginvasi Korea dalam Peang Tujuh Tahun.




PERANG TUJUH TAHUN

Perang Tujuh Tahun (Imjin) adalah perang maritim terbesar dalam sejarah Korea dan Asia Timur, dan juga menjadi salah-satu perang maritim terbesar dunia. Ini adalah perang yang sangat heroik di abad pertengahan. Terlepas dari dampak buruknya, perang ini menjadi salah-satu kebanggaan orang Korea dan juga kebanggaan sejarah Asia sebab perang ini menunjukan keanggungan orang Korea dan Asia. 

Selama ini, perang maritim yang paling terkenal rata-rata berasal dari pertempuran-pertempuran di kawasan Eropa, yang melibatkan bangsa-bangsa kuno di kawasan Eropa dan Asia Barat. Diwaktu yang sama dengan waktu terjadinya perang ini, tidak ada yang menyangka jika ada perang maritim besar yang berkecamuk antara sebuah kerajaan pertapa kecil dengan sebuah kekaisaran yang besar. Perang ini melibatkan banyak sekali jenderal dan admiral, dan juga membuahkan berbagai penemuan penting bagi dunia maritim.

Saat itu, Korea dipimpin oleh Raja Seonjo (raja Joseon ke-14). situasi Korea saat itu kurang baik. Berbagai konflik internal istana, persaingan antar menteri, hingga kudeta berdarah mewarnai pemerintahan saat itu yang dipimpin oleh Wangsa Yi (wangsa Kerajaan Joseon). Selain itu, pergerakan bangsa Manchu di utara membuat Seonjo mengirimkan banyak komandan militer yang berpengalaman ke perbatasan Utara, bersamaan dengan itu Seonjo juga harus menghadapi para pemimpin Jepang yaitu Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu di bagian selatan.

Awal mula perang ini adalah saat mantan abdi shogun pemersatu Jepang, Oda Nobunaga, yang bernama Toyotomi Hideyoshi berhasil muncul menjadi penguasa baru di Jepang. Berbeda dengan Oda Nobunaga yang ingin bekerja sama dengan negeri asing dan mengutamakan diplomasi, Hideyoshi memilih untuk menjadi seorang agresor.

Shogun baru ini memiliki ambisi yang dulu diutarakan pada Oda Nobunaga, menaklukan dunia. Bagi seorang Hideyoshi, dunia itu diawali oleh Tiongkok. Untuk itu, beliau mengirim delegasinya ke Raja Seonjo untuk meminta izin melewati Semenanjung Korea menuju Tiongkok. Permintaan juga bermakna mereka akan berperang melawan Joseon yang menjalin aliansi dengan Kekaisaran Ming. Seonjo, yang terperanjat, menolak permintaan itu dan secepat mungkin mengirim surat ke istana Ming untuk memperingatkan bahwa Jepang sedang mempersiapkan perang berskala penuh melawan aliansi Korea-Ming.

Orang-orang Korea mulai khawatir jika Jepang menyerang negeri mereka. Para pejabat mendesak raja untuk mengirim para delegasi ke Hideyoshi untuk mencari tahu apakah Hideyoshi sedang mempersiapkan untuk invasi atau tidak. Namun dua faksi pemerintahan yang kerap berseteru tidak mencapai kata sepakat mengenai kepentingan nasional ini sehingga sebuah persetujuan dibuat dan satu delegasi dari setiap faksi dikirim ke Hideyoshi. Ketika para utusan itu kembali ke Korea, laporan mereka justru menambahkan kebingungan. Hwang Yun-gil, dari Faksi Barat, melaporkan bahwa Hideyoshi sedang meningkatkan jumlah pasukan dalam jumlah yang sangat besar, tapi Kim Seong-il dari Faksi Timur melaporkan kalau pasukan besar digunakan untuk mempercepat reformasi, mencegah pelanggaran hukum, melawan para bandit. Karena Faksi Timur memiliki lebih banyak suara, laporan dari Hwang Yun-gil diabaikan dan Seonjo memutuskan untuk tidak bersiap-siap perang, padahal saat itu Daimyo dari Tsukushima (pulau yang menjalin hubungan dagang dengan Joseon) sudah memperingatkan akan ambisi Hideyoshi dan hasratnya untuk menaklukkan Asia termasuk Joseon.

Secara tiba-tiba, pada 13 April 1592, armada pertama Jepang (sekitar 700 kapal) di bawah pimpinan Konishi Yukinaga menyerang Korea. Konishi dengan mudah membakar Benteng Busan dan Benteng Donglae, membunuh komandan Jeong Bal dan Song Sang-hyeon, dan menuju ke arah utara. Raja Seonjo panik dan mengirim Jenderal Sin-rip (Wakil Menteri Perang) dan Jenderal Yi Il ke Chungju bersama 8.000 tentara kavaleri, tapi semuanya sudah terlambat..

Pada hari berikutnya datang pasukan lebih banyak di bawah pimpinan Kato Kiyomasa dan Kuroda Nagamasa, dan menuju ke arah Hanyang. Shin-rip bergabung dengan Kim Su (Gubernur Gyeongsang), yang telah mengumpulkan pasukan besar di Daegu, lalu menuju Benteng Choryeong untuk memblokir jalan pintas yang akan digunakan pasukan Jepang ke ibukota. Armada Jepang yang besar dibawah pimpinan Todo Takatora dan Kuki Yoshitaka membantu mereka dari laut. Jenderal Yi Il menghadapi Kato Kiyomasa di dalam Perang Sangju, yang dimenangkan oleh Jepang. Namun, pasukan Jendral Yi Il dikalahkan oleh pasukan Jenderal Konishi Yukinaga. Kemudian Yi Il bertemu Sin-rip, namun gabungan pasukan mereka juga dikalahkan di dalam Perang Ch'ungju oleh Kato Kiyomasa. Shin-rip mengabaikan saran Pangeran Gwanghae (raja Joseon ke-15) yang menganjurkan menggunakan pasukan infanteri karena medan yang penuh lumpur dan mengerahkan pasukan kavaleri melawan pasukan infanteri Jepang yang dilengkapi berbagai jenis senapan. Pasukan Korea panik dan melarikan diri, tapi mereka tewas dibunuh prajurit Jepang dan tenggelam di sungai. Jendral Shin-rip dan beberapa komandan yang setia yang tidak mau melarikan diri memilih bunuh diri (1592). Ini adalah kekalahan pertama Korea dalam Perang Imjin

Seonjo lalu menunjuk Jenderal Kim Myeong-won sebagai Panglima Tertinggi dan memerintahkannya mempertahankan ibukota bersama dengan Putra Mahkota Gwanghae (penguasa de facto/in action Joseon saat itu). Raja terpaksa melarikan diri ke Pyongyang karena Jepang merebut ibukota. Raja akhirnya pindah lebih jauh lagi ke utara di kota Uiju karena Pyongyang juga direbut. Banyak orang yang telah kehilangan kepercayaan pada raja lalu merampok istana dan mengakibatkan lebih banyak kerusakan dari yang ditimbulkan pasukan Jepang.

Meskipun kalah dalam banyak pertempuran, angkatan laut Korea berhasil memotong bantuan logistik Jepang. Laksamana Yi Sun-sin beberapa kali mengalahkan armada Jepang dan kapal-kapal penyalur logistik, sehingga pasukan bantuan dari Ming pimpinan Jenderal Li Rusong bisa tiba di pantai-pantai Korea dan mulai memukul mundur Jepang ke arah selatan dan akhirnya merebut kembali Pyongyang. Pasukan Jenderal Gwon Yul juga yang jauh lebih kecil juga berhasil mengalahkan pasukan Jepang dalam Perang Hangju. Akhirnya, pada invasi pertama ini Jepang terpaksa menegosiasikan gencatan senjata dengan pihak Ming. Selama negosiasi ini, pasukan Korea berhasil merebut Hanyang. Invasi Jepang pertama ini merenggut nyawa salah-satu putra Seonjo, Pangeran Silseong, yang meninggal di pengungsian.

Masa gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Jenderal Yi Sun-shin untuk pergi ke wilayah Jeolla dan mengumpulkan kapal, awak-awak kapal dan prajurit, dan senjata. Beliau akhirnya berhasil merampungkan kapal perang yang dikenal dengan nama “Kapal Kura-kura”, yang merupakan kapal besi pertama di dunia.

Negosiasi damai antara Jepang dan Ming berakhir (1598) tanpa hasil positif. Jepang langsung berusaha merebut Hanyang baik dari rute darat dan laut. Mulanya rencana itu kelihatannya berjalan lancar ketika Jepang menang di Pertempuran Chilchonryang, namun saat armada Jepang berusaha melewati Sungai Myeongnang, mereka mendapat perlawanan sengit dari armada Korea pimpinan Laksamana Yi Sun-shin.

Raja Seonjo yang mengetahui bahwa Yi Sun-shin hanya mendapatkan 13 buah kapal menyarankan agar Yi Sun-shin bergabung dengan angkatan darat. Namun, Yi Sun-shin meyakinkan bahwa perairan di Jeolla dan Chungcheong harus dilindungi untuk mencegah pasukan Jepang menuju ibukota dari jalur laut.

Armada Yi Sun-shin bergerak ke Selat Myeongnyang. Myeongnyang adalah selat yang harus dilewati musuh untuk mencapai ibukota. Selat ini memiliki arus paling deras di Korea yang selalu berganti arah setiap 4 jam sekali. Di selat ini, Yi Sun-shin memasang kawat besi dibawah air yang dapat diputar menggunakan agar menggoyahkan kapal musuh dan membuat mereka saling bertabrakkan pada saat arus deras terjadi. Kapal Joseon mempunyai dasar berbentuk datar dan dangkal, sementara kapal Jepang yang memiliki dasar yang lancip dan dalam akan mudah tersangkut jebakan itu.

Pada 16 September 1597, armada Jepang tiba dengan 330 kapal, tapi berkat sempitnya selat Myeongnyang, hanya 130 kapal Jepang yang dapat masuk. Dalam waktu singkat, mereka sudah mengelilingi armada Yi Sun-shin. Kapal-kapal Korea menyerang dengan menembakkan panah dan meriam. Entah bagaimana, di dekat kapal Yi Sun-shin mengapung sesosok mayat musuh, yang ternyata adalah Jenderal Matashi Kurushima. Mayat itu ditarik dan diperlihatkan ke arah musuh dari haluan kapal sehingga menimbulkan kehebohan ditengah pasukan Jepang. Pada saat arus mulai deras, kekuatan arus mulai menggoyahkan kapal-kapal Jepang dan merusak posisi mereka. Pasukan Yi Sun-shin mulai mengencangkan kawat besi di bawah air. Kapal mereka mulai tersangkut dan mulai bertabrakkan satu sama lain. Laksamana Yi Sun-sin berhasil mengalahkan armada Jepang pimpinan Todo Takatora dalam Pertempuran Myeongnyang. Dari 130 kapal Jepang yang masuk ke Selat Myeongnyang, 31 kapal tenggelam dan 90 kapal rusak parah, tapi tak satupun kapal Yi Sun-shin yang kalah. 

Setahun setelah Pertempuran Myeongnyang, pada Agustus 1598, Hideyoshi akhirnya menarik semua pasukan Jepang dari Korea karena merasa kematiannya sudah dekat. Tapi, kapal-kapal Jepang yang hendak pulang ini dihadang oleh armada Yi Sun-shi dengan bantuan armada Kekaisaran Ming pimpinan Laksamana Chen Lien (en.wikipedia/yisunshin).

Dalam pertempuran tahap awal, armada Jepang dipukul mundur dengan 50 buah kapal dihancurkan sehingga mereka melarikan diri, namun mereka telah terjebak. Karena tak ada pilihan lain, mereka berbalik dan melawan. Kapal-kapal Jepang lalu mengincar kapal yang membawa Yi Sun-shin. Yi Sun-shin berkali-kali dalam bahaya karena hampir terkurung tapi beliau berhasil menghindar. Saat sedang meneriakkan perintah maju, Yi Sun-shin tertembus peluru yang ditembakan dari kapal musuh sehingga beliau terluka parah. Ia lalu meminta anak-buahnya menutupi tubuhnya dengan perisai dan merahasiakan kondisinya dari prajurit lain. Beliau menghembuskan napas terakhir didepan putra sulungnya dan keponakannya, yang berdua meneruskan pertempuran. Pertempuran ini dimenangkan armada Korea. Kekalahan Jepang di Pertempuran Noryang mengakibatkan hancurnya 450 buah kapal Jepang. Hasil dari pertempuran itu mengakhiri perang selama 7 tahun. Perang ini merupakan perang terbesar sepanjang sejarah Joseon dan menjadi salah-satu perang maritim terbesar dalam sejarah dunia.

Perang-perang laut ini adalah kebanggaan bagi Korea sebab mereka mampu menumbangkan pasukan musuh hanya dengan kekuatan yang sangat kecil. Tapi, perang ini membawa dampak negatif bagi semua yang terlibat, yakni Korea (Joseon), Ming, dan Jepang.

Kemenangan Korea dalam perang ini dibayar mahal. Infrastruktur hancur, termasuk istana-istana dan dan gedung-gedung pemerintahan. Para budak memberontak akibat musnahnya sebagian besar catatan budak. Keputusan raja yang melarikan diri dari ibukota membuat raja kehilangan kewibawaannya dimata rakyat dan para bangsawan, termasuk para cendekiawan Sungkyunkwan, dan mereka lebih menghormati Pangeran Gwanghae yang berjuang di medang perang demi merebut dan mempertahankan ibukota. Ketidakstabilan politik Joseon ini melemahkan pertahanan Joseon sehingga 30 tahun kemudian pasukan Manchu berhasil menaklukan Korea dengan pasukan yang lebih kecil daripada yang sebelumnya dikerahkan oleh Jepang.

Kemenangan pasukan mereka juga dibayar mahal oleh Kekaisaran Ming. Sikap kaisar Ming yang tidak bijaksana diperparah oleh kerugian besar akibat Perang Tujuh Tahun ini yang sangat mengganggu kas negara. Walaupun menang melawan Jepang tapi kekuatan pasukan Ming melemah drastis sehingga mengakibatkan mereka kewalahan menghadang kemajuan bangsa Manchu dibagian timur laut. Kurang dari 30 tahun setelah Perang 7 Tahun, Kekaisaran Ming diruntuhkan oleh bangsa Machu yang lalu mendirikan kekaisaran baru, Kekaisaran Qing.

Kekalahan dalam Perang 7 Tahun ini memberikan pelajaran yang sangat besar bagi Jepang. Perang ini menimbulkan kerugian yang besar bagi Jepang, baik itu kerugian finansial dan juga korban jiwa. Kepercayaan para daimyo pada klan Toyotomi juga menurun drastis, terlebih lagi pengganti Hideyoshi tidak secakap ayahnya. Tapi, ambisi Jepang untuk menaklukan Tiongkok tidak pernah surut. Jalur utama mencapai Tiongkok adalah daratan Semenanjung Korea sehingga Korea tetap menjadi bagian dari rencana jangka panjang mereka untuk menaklukan seluruh Asia. Setelah Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan Toyotomi Hideyori (penerus Hideyoshi), klan Toyotomi pun berakhir dan digantikan oleh klan Tokugawa yang menandai dimulainya era Edo. Keshogunan Tokugawa meniru politik isolasi Joseon yang bertahan selama 200 tahun. Selama era ini, Tokugawa berusaha mempersatukan seluruh Jepang dan menstabilkan politik, hingga akhirnya Kaisar Meiji naik tahta dan menghapus keshogunan dan melakukan restorasi. 

Restorasi Meiji yang berhasil memodernisasi seluruh Jepang dalam waktu yang sangat singkat menjadi indikator utama keruntuhan Kerajaan Korea (Kekaisaran Han Raya, penerus Kerajaan Joseon).



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; the Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Koreana (Korean Culture & Art) Vol.25.No.1; 2011; National Museum Of Korea
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


______________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------