DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Showing posts with label Korean Culture. Show all posts
Showing posts with label Korean Culture. Show all posts

Monday, 1 October 2018

RATU SEONDEOK DAN RAMALANNYA



Ratu Seondeok adalah penguasa ke-27 Kerajaan Silla. Ratu Seondeok diangkat menjadi Ratu Silla setelah kematian ayahnya, Raja Jinpyeong (632). Nama lahir beliau adalah Kim Deokman sehingga beliau juga dikenal sebagai Putri Deokman. Beliau adalah putri Raja Jinpyeong dan Ratu Maya. Ratu Seondeok memerintah Silla selama 15 tahun (632-647).

Ratu Seondeok adalah ratu pertama dalam sejarah Silla dan merupakan pemimpin wanita pertama sepanjang sejarah Korea. Selain itu, beliau juga merupakan pemimpin wanita kedua terkuat dalam sejarah kuno di Asia Timur. Nama besarnya sebagai pemimpin wanita di Asia Timur hanya tidak lebih besar dari Kaisarina Wu Zetian dari Kekaisaran Tang.

Menurut Samguk Sagi, Ratu Seondeok adalah putri pertama Raja Jinpyeong, namun menurut catatan-catatan yang lainnya, Ratu Seondeok adalah putri kedua, adik dari Putri Cheonmyeong. Catatan-catatan diluar Samguk Sagi mengindikasikan dia diangkat sebagai pewaris bukannya Putri Cheonmyeong (yang menurut catatan-catatan itu adalah anak tertua) dikarenakan Putri Cheonmyeong telah terlebih dahulu meninggal.

Sebenarnya, Putri Deokman memiliki adik laki-laki yang bernama Pangeran Borochun (putra tunggalnya dengan cucunya sendiri, Putri Bomyeong). Tapi karena intrik-intrik politik istana yang di dalangi oleh Ratu Seungman (ratu kedua Raja Jinpyeong), nama Pangeran Borochun dicoret dari daftar pewaris Raja Jinpyeong sebagai imbas dari diusirnya Putri Boryang dari istana. Saat itu, ibu Pangeran Borochun, Putri Bomyeong (yang juga adalah cucu Raja Raja Jinpyeong) memiliki posisi yang kuat di istana karena melahirkan satu-satu pangeran bagi raja. Tapi, Ratu Seungman dan kubu pendukungnya melakukan konspirasi sehingga Putri Bomyeong dituduh berkhianat pada raja dan diusir dari istana. Kastanya juga diturunkan menjadi bangsawan Jin-geol. Otomatis, kasta Pangeran Borochun sudah bukan kasta Seon-geol murni (kastanya raja) melainkan kasta campuran (Seon-geol dan Jin-geol) seperti Pangeran Chunchu (bakal Raja Muyeol). Inilah yang membuat Putri Deokman menjadi anak raja tertua yang berasal dari kelas Seon-geol murni dan dinobatkan sebagai pewaris raja.

Sebenarnya, selain Putri Deokman masih ada bangsawan lainnya yang berasal dari kelas Seon-geol murni tapi Raja Jinpyeong bersikeras menjadikan putrinya yang sangat cerdas itu sebagai seorang ratu.

Sejak kecil, Ratu Seondeok telah menunjukkan kepandaiannya sehingga beliau menjadi kesayangan Raja Jinpyeong. Beliau sangat tertarik dibidang astronomi dan memberi sumbangan besar bagi ilmu astronomi Korea dan Asia melalui berbagai penelitian dan penemuan melalui observatorium yang dibangunnya (yang tertua di Asia Timur), yang lalu menjadi acuan bagi berbagai studi astronomi di-era setelahnya.

Ratu Seondeok juga membangun berbagai kuil, meskipun peninggalan arkeologi yang paling terkenal yang dibangunnya adalah observatorium di Gyeongju tersebut.

Ada satu lagi yang paling dikenal dari sosok Ratu Seondeok. Ramalan.

Catatan-catatan sejarah Silla yang memuat kisah Ratu Seondeok seakan-akan mengklaim bahwa ramalan-ramalan sang ratu memang menjadi kenyataan. Dari begitu banyak ramalan yang pernah diucapkannya, ada tiga ramalannya yang paling terkenal dan dicatat kembali oleh Biksu Ilyeon dalam kitab Samguk Yusa.




LUKISAN KAISAR TAIZONG DARI TANG

Saat ratu masih muda dan masih menjadi seorang putri mahkota, ayahnya, Raja Jinpyeong mendapat hadiah dari Kaisar Taizong dari Dinasti Tang, berupa satu kotak benih bunga dan lukisan yang menggambarkan bunga tersebut. Banyak orang memuji keindahan lukisan tersebut, namun Ratu Seondeok lebih tertarik pada benih bunga.

Banyak orang memuji keindahan lukisan tersebut, namun Ratu Seondeok lebih tertarik pada benih bunga. Ratu lalu berkata pada raja bahwa bunga dari bibit bunga yang dihadiahkan oleh kaisar itu tidak akan memiliki bau, karena “....jika lukisan itu wangi, maka akan ada kupu-kupu dan lebah disekitarnya,” (en.wikipedia/queenseondeok).

Jawaban Ratu Seondeok ini sangat mengesankan raja dan orang-orang disekitarnya. Prediksi Ratu Seondeok benar. Bibit yang ditanam itu memang tumbuh dan berbunga, tapi bunga yang tumbuh dari bibit itu memang tidak berbau, baik itu bau yang busuk maupun wangi.

Ratu Seondeok juga menyadari bahwa lukisan itu bukan sekedar hadiah melainkan sindiran pada ayahnya yang tidak memiliki keturunan laki-laki, dan kemudian digunakan oposisinya sebagai sindiran padanya karena ketidak-mampuannya memiliki suami, seperti bunga yang indah tapi tidak ada kupu-kupu hinggap padanya.

Menurut kitab Samguk Yusa, dalam lukisan yang dikirim oleh Kaisar Taizong itu bukan cuma ada satu kuntum bunga, melainkan tiga kuntum bunga yang melambangkan tiga ratu Silla, oleh karena itu beberapa orang juga meyakini Kaisar Taizong memiliki kemampuan yang sama seperti Ratu Seondeok, kemampuan meramal masa depan. Sebab, ketidak-mampuan Ratu Seondeok dalam memiliki keturunan memang bisa diprediksi saat itu sebab Ratu Seondeok hidup dimasa yang sama dengan Kaisar Taizong. Tapi, penggantinya, Ratu Jindeok (ratu kedua Silla) baru naik tahta tahun 647, dua tahun setelah Kaisar Taizong meninggal, dan Ratu Jinseong (ratu ketiga Silla) baru naik tahta tahun 888, lama setelah Kaisar Taizong meninggal, sehingga orang-orang juga berpendapat bahwa Kaisar Taizong juga mampu meramal masa depan




KATAK-KATAK DI KOLAM PERMATA

Suatu hari, saat beliau sudah menjadi ratu, Ratu Seondeok mendengar suara katak-katak yang sangat ribut dan terus-menerus menimbulkan kebisingan di Kolam Eokmun disekitar Gerbang Permata, padahal saat itu adalah musim dingin.

Ratu lalu memerintahkan para pengawalnya melihat apa yang terjadi. Rupanya, suara ribut itu berasal dari gerombolan katak putih.

Mendengar informasi itu, ratu langsung memerintahkan jenderal-jenderalnya untuk mempersiapkan pasukan menuju arah barat-laut tepatnya ditempat yang dikenal dengan nama “Lembah Wanita” untuk menahan serbuan pasukan Baekje.

Tidak ada laporan dari pasukan mata-mata mengenai pergerakan tentara Baekje menuju Silla, namun ratu bersikeras agar perintahnya segera dilaksanakan, dan menjelaskan alasan mengapa perintah itu diberikan.

Bagi ratu, suara katak-katak itu terdengar seperti suara teriakan prajurit sehingga sehingga ratu menganggap itu merupakan pertanda adanya pasukan yang akan menyerang Silla di wilayah barat-daya (katak putih diartikan sebagai warna putih yang dalam astronomi Asia menandakan arah barat), tepatnya di Lembah Wanita (Gerbang Permata, permata dianggap menggambarkan wanita).

Diantara semua jenderal hanya Pildan (ajudan ratu), Kim Yushin (panglima utama kerajaan), dan Alcheon (kepala pasukan pengawal) yang percaya pada ratu. Ratu lalu memerintahkan Pildan dan Alcheon menuju ke tempat yang disebutkannya itu.

Secara tak terduga sebelumnya, pasukan Silla berhasil menangkap 2.000 tentara Baekje yang sedang bersiap menyerbu Silla tepat ditempat yang disebutkan oleh Ratu Seondeok.




DUA SURGA, DORICHEON DAN SACHEONWANGCHEON

Suatu hari ketika kondisi Ratu Seondeok sedang sangat sehat, tiba-tiba ratu memanggil seluruh pejabat istana dan berkata bahwa dia mungkin tidak berumur panjang. Dia meminta dimakamkan di Doricheon. Pildan dan para jenderalnya juga para pejabat, termasuk Bidam (sangdaedung saat itu), bingung akan nama tempat yang disebutkannya sebab tidak ada tempat dengan nama itu. Tapi ratu berkata bahwa tempat itu terletak di dekat pegunungan di wilayah selatan Silla.

Secara mengejutkan, Silla diguncang pemberontakan terbesar dalam sejarah yang justru dikobarkan oleh Perdana Menteri-nya sendiri, Bidam (647).

Bidam melakukan pemberontakan (647) dengan menggemakan semboyan “seorang wanita tidak mampu memimpin negara”, sebagai kritik dan responnya terhadap pemerintahan Ratu Seondeok, dan ketidak-puasannya atas skema pewarisan tahta yang juga akan diwariskan pada seorang wanita sebab selain Ratu Seondeok, hanya Putri Seungman (Ratu Jindeok) yang tersisa dari kasta Seon-geol yang artinya beliau yang akan menggantikan Ratu Seondeok.

Bidam didukung oleh para oposan Ratu Seondeok, terutama para bangsawan dan pejabat yang memiliki hubungan dengan bangsawan yang menjadi oposan Raja Jinpyeong saat pemberontakan Chilsuk-Seok Phum. Karena pengangkatan Ratu Seondeok sebelumnya menyebabkan konflik besar di istana maka Bidam dengan mudah dapat mengumpulkan pengikut dalam jumlah yang sangat besar. Ratu Seondeok didukung penuh oleh Kim Yushin dan kubunya didominasi oleh para bangsawan campuran (Seongeol-Jinggeol) terutama Pangeran Chunchu (bakal Raja Muyeol), Putri Seungman (bakal Ratu Jindeok), Alcheon, dan Horim. Ratu Seondeok juga tetap didukung oleh para komandan hwarang ibukota Seorabeol dan para bangsawan, pejabat, dan jenderal-jenderal keturunan suku Gaya.

Pemberontakan Bidam ini menjadi pemberontakan terbesar dalam sejarah Silla, bukan karena lama pemberontakannya melainkan karena banyaknya para pejabat, bangsawan, dan perwira-perwira militer yang terlibat. Kubu Bidam terdiri dari 30-an lebih pendukung yang masing-masing memiliki pasukan pribadi atau merupakan komandan dari salah-satu pasukan kerajaan, atau merupakan pejabat yang memiliki koneksi dengan para komandan pasukan kerajaan sehingga 30-an orang pendukung Bidam ini mampu mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar.

Demi menyemangati pasukannya, Ratu Seondeok bergabung dengan pasukannya di perkemahan pasukan utama.

Pemberontakan terbesar dalam sejarah Silla yang hanya memakan waktu 10 hari inipun berhasil dipadamkan. Sayangnya, pemberontakan Bidam, yang sebelumnya adalah salah-seorang kepercayaannya dan yang pernah mendukungnya disaat-saat sulit, membuat ratu sangat syok. Perang ini menyita pikiran ratu dan menghabiskan energinya. Kesehatan ratu merosot drastis selama 10 hari pemberontakan ini. Ratu Seondeok akhirnya wafat pada 17 Februari 647, ditahun yang sama ketika pemberontakan itu terjadi.

Sang ratu dikuburkan ditempat yang ditunjuknya (tapi saat itu belum bernama Doricheon). 10 tahun kemudian penerusnya membangun kuil diatas makamnya dan menamainya “Kuil Sacheonwang”. Saat itu barulah pejabat-pejabat kepercayaannya yang masih hidup sadar bahwa didalam teks-teks Buddha ada tertulis tentang nama dua surga, Sacheonwangcheon dan Doricheon, sehingga jika kuilnya dinamakan Sacheonwang maka otomatis kuburannya akan disebut Doricheon yan seakan menggambarkan dua surga itu, Sacheonwangcheon dan Doricheon. Pada akhirnya makam ratu ini dinamakan Doricheon.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media

Sumber Pustaka:
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul

Sumber Web:
wikipedia.org/queen seondeok


Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media

_________________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saturday, 10 February 2018

HUBUNGAN JEPANG-KOREA DARI MASA KE MASA: RIWAYAT PERANG ANTARA JEPANG DAN KOREA



Hubungan Jepang dan Korea memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarah panjang kedua bangsa ini didominasi oleh berbagai perselisihan yang kerap menghasilkan perang. Perang-perang antara Jepang dan Korea selalu perang berskala besar yang menimbulkan kehancuran yang luar biasa. Pada masa kini, sengketa Pulau Dokdo seakan menegaskan kembali hubungan buruk kedua bangsa ini sejak masa lalu.

Berdasarkan letak geografi, Korea adalah daratan penghubung dan jalur terdekat antara kepulauan Jepang dan wilayah Tiongkok. Selain itu, Korea memiliki infrastruktur yang baik untuk memobilisasi sejumlah besar orang untuk menuju ke Tiongkok dengan menggunakan jalur darat. Inilah yang diincar oleh Jepang. Letak geografis Korea lalu menjadi salah-satu motivasi Jepang menyerbu daratan semenanjung ini dalam hampir semua penyerbuan-penyerbuannya. Namun, bukan berarti hanya Jepang saja yang pernah mengawali serbuannya, sebab balatentara Korea-pun pernah menyerbu Jepang.

Inilah riwayat peran-perang besar Jepang dan Korea sejak masa Tiga Kerajaan Korea hingga era Restorasi Meiji.




PENYERBUAN-PENYERBUAN JEPANG KE SILLA

Diantara semua kerajaan dan dinasti yang pernah berkuasa di Korea, hubungan terburuk Jepang adalah dengan Kerajaan Silla. Silla adalah kerajaan yang paling sering diserbu Jepang tapi Silla juga adalah kerajaan Korea yang mengakhiri serbuan Jepang yang sudah terjadi selama 600 tahun, dan membuat Jepang tidak pernah mampu menyerbu Korea selama hampir 1000 tahun.

Kerajaan Silla sebenarnya tidak pernah menyerbu Jepang, tapi Jepang melakukan banyak sekali penyerbuan ke wilayah selatan Korea ini. Uniknya, diantara Tiga Kerajaan Korea (Goguryeo, Silla, Baekje), Silla adalah kerajaan yang memiliki pertalian paling erat dengan Jepang, sebab salah-satu raja Silla (Raja Talhae) berasal dari Jepang. Menteri kepercayaan Raja Hyeokgeose (raja pertama Silla), yaitu menteri Hogong, juga berasal dari Jepang. Meski demikian, Silla justru merupakan satu-satunya kerajaan Korea yang anggota keluarga kerajaan-nya pernah menjadi tawanan Kekaisaran Jepang sebelum keruntuhan Joseon.

Serbuan pertama Jepang tercatat sudah terjadi sejak periode awal Tiga Kerajaan, yaitu tahun 14 M. Ketika itu, Jepang yang dipimpin oleh Kaisar Suinin berusaha menguasai Semenanjung Korea dengan menyerbu daratan semenanjung yang letaknya terdekat dengan Jepang yaitu wilayah Silla. Mungkin sang kaisar memiliki keinginan untuk menyerbu Tiongkok atau setidaknya menguasai jalur perdagangan ke Tiongkok yang terhalangi oleh wilayah Kerajaan Silla dan juga wilayah Konfederasi Gaya. Silla berhasil menghalau serbuan ini, tapi ini membuat hubungan Jepang dan Silla menjadi sangat buruk.

Hubungan Silla dan Jepang bisa diperbaiki berkat sikap bersahabat yang ditunjukan oleh Kaisarina Himiko. Persahabatan Silla dan Jepang terjalin erat selama masa pemerintahan Raja Adalla dan Kaisarina Himiko.

Tapi, hampir seabad setelah kematian dua penguasa yang bersahabat ini, hubungan Silla dan Jepang kembali memburuk ketika Silla diserbu Jepang pada masa pemerintahan Raja Jobun (raja Silla ke-11) padahal Raja Jobun (dari klan Seok) adalah keturunan Raja Talhae yang berasal dari Jepang.

Jepang kembali menyerbu Silla pada masa pengganti Raja Jobun, Raja Cheomhae. Awalnya, Silla tidak membalas dan juga tampaknya kedua kerajaan berhasil menghasilkan kesepakatan gencatan senjata. Tapi, ketika salah-satu pangeran Silla, yang juga adalah sahabat terdekat Raja Cheomhae, tewas dibunuh oleh mata-mata dari Jepang, Raja Cheomhae-pun murka dan memulai perang dengan Jepang.

Saat Baekje menyerang perbatasan Silla di-era pemerintahan Raja Yurye (raja Silla ke-14), Jepang memanfaatkan hal itu untuk kembali menyerbu Silla, dan perang dengan Jepang ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Beolhyu (raja Silla ke-15, 298-310 M).

Raja Heulhae (raja Silla ke-16, 310-356), yang dikenal cinta damai, berusaha menunjukan ikhtiar baik demi memperbaiki hubungan kedua kerajaan melalui pernikahannya dengan salah satu putri bangsawan Jepang (313 M). Usaha Raja Heulhae membuahkan hasil dan berjalan dengan baik, tapi Jepang lalu membatalkan perjanjian damai dengan Silla (346 M) dan menyerbu Silla pada tahun berikutnya.

Sepeninggal Raja Heulhae (356 M), serbuan-serbuan Jepang ke Korea sempat surut. Silla diserbu Jepang pada tahun 364 M saat Raja Naemul (raja Silla ke-17, 356-402 M) berkuasa. Jepang saat itu dipimpin oleh Kaisar Nintoku. Tapi, hubungan buruk kedua negara juga berhasil diperbaiki pada masa pemerintahan Raja Naemul. Saat itu, Kaisar Jepang mengirim utusan ke Silla (391 M) sebagai tanda persahabatan. Sebagai gantinya, Raja Naemul mengirimkan putranya (Pangeran Misaheun) bersama dengan menteri istana Park Saram ke istana Jepang (391) sebagai utusan dan tanda persahabatan. Tapi, setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak menganggapnya sebagai seorang utusan melainkan sebagai tawanan yang menjadi jaminan bagi Jepang agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak diijinkan untuk kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun.

Setelah Raja Naemul meninggal, penggantinya, Raja Silseong (raja Silla ke-18, 402-417) kembali mempererat perdamaian dengan Jepang. Hubungan ini terus terjalin baik di era Raja Nulji (raja Silla ke-19, 417-458) meskipun Raja Nulji secara rahasia membawa kembali adiknya, Pangeran Misaheun, ke Silla, sehingga sempat membuat Kaisar Jepang sangat marah.

Perdamaian Silla-Jepang yang diinisiasi oleh Raja Naemul ini terus bertahan walaupun Jepang menjalin aliansi dengan musuh terbesar Silla saat itu, yaitu Kerajaan Baekje. Namun, permusuhan Silla-Baekje juga sempat berakhir dengan menjalin perjanjian damai yang panjang sebab sejak era Raja Jabi (raja Silla ke-20) Silla menjalin aliansi dengan Baekje, yang bertahan lebih dari 200 tahun. Hubungan baik Silla-Baekje selama 200 tahun ini juga memperbaiki hubungan antara Jepang dengan Silla sebab pihak Jepang ditekan oleh Baekje untuk tidak mengganggu Silla.

Berkat Jepang, Silla mendapatkan banyak pasokan produk dari Asia Tenggara. Juga, berkat aliansinya dengan kerajaan Baekje, Jepang juga bisa lebih mudah mengimpor produk-produk dari negeri Tiongkok, dan juga dari India dan Timur Tengah (walaupun sedikit). Sangat lama kemudian barulah Jepang kembali menyerbu Silla pada tahun 663 M melalui pertempuran maritim besar yang dikenal dengan nama Perang Baekgang.




PEMBUNUHAN PANGERAN SEOK URO OLEH MATA-MATA JEPANG

Pangeran Seok Uro (juga dikenal dengan nama Jenderal Seok Uro) adalah putra Raja Naehae dan keponakan Raja Cheomhae. Meskipun statusnya dengan Raja Cheomhae adalah paman dan keponakan, namun besar kemungkinan usia mereka tidak berbeda jauh.

Pangeran Uro kehilangan hak waris-nya sebagai pewaris tahta Silla setelah ayahnya, Raja Naehae, menunjuk pamannya, Raja Jobun, sebagai pewaris tahta. Ayahnya meninggal saat Pangeran Uro masih kecil, sehingga saat itu pihak kerajaan harus menuruti rekomendasi dewan istana yang merekomendasikan Jobun sebagai pewarisnya. Saat itu, peran dewan istana sangat kuat dalam menentukan pewaris tahta, sama seperti saat kakek buyutnya (Raja Beolhyu) meninggal dan kakeknya, Pangeran Imae juga telah meninggal, dan Putra Mahkota Goljeong juga meninggal maka ayahnya lalu ditunjuk sebagai raja. Saat ayahnya meninggal, tahta dikembalikan pada pamannya, Jobun (putra mendiang Putra Mahkota Goljeong, saudara ayahnya) yang sebelumnya tidak tunjuk sebagai raja karena masih kecil. Ketika Raja Jobun meninggal, tahta lalu diberikan pada Raja Cheomhae yang dianggap lebih matang, bukannya pada Pangeran Uro.

Meski demikian, Pangeran Uro menjadi pendukung setia tahta Silla dan tidak pernah mencoba menggulingkan raja yang sah. Dia mengabdi pada Silla sebagai seorang jenderal dan memenangkan banyak pertempuran termasuk pertempuran-pertempuran melawan Jepang.

Silla dan Jepang akhirnya berhasil melakukan gencatan senjata, tapi periode ini adalah masa-masa terjadinya perang mata-mata yang makin lama kian memanas dan akhirnya memuncak ketika Pangeran Uro tewas dibunuh (250 M) oleh mata-mata Jepang. 

Kematian Pangeran Uro ini membuat Raja Cheomhae murka dan kembali berperang dengan Jepang.




RAJA NULJI DAN PARK JESANG

Setelah kekuasaan klan Park, pemerintahan Kerajaan Silla dilanjutkan oleh klan Kim yang berasal dari keluarga Raja Michu.

Raja Naemul (raja Silla ke-17) adalah raja pertama di-era kekuasaan klan Kim ini dan raja pertama Silla yang menggunakan gelar “Maripgan”. Raja Naemul juga adalah raja Silla pertama yang namanya tercatat dalam catatan sejarah Tiongkok dan yang mempelopori era keemasan Silla yang berlangsung selama berabad-abad.

Raja Naemul ini adalah ayah dari Raja Nulji. Nulji sendiri adalah cucu maternal Raja Michu. Kakek paternalnya adalah Jenderal Kim Daeseoji (adik Raja Michu). Ibu Nulji adalah Putri Boban (putri Raja Michu). Saat Raja Heulhae (raja Silla ke-16, putra Pangeran Uro) wafat, Ayahnya, Naemul, adalah kandidat tertua sehingga dinobatkan sebagai raja. Saat itu, keputusan pengangkatan raja melibatkan raja dan dewan istana, yang lebih mendahulukan para kandidat yang paling dewasa diantara seluruh keturunan raja lainnya. Baru pada masa pemerintahan ayahnya, sistem pemerintahan monarki turun-temurun diterapkan dan Silla dipimpin klan Kim sampai kerajaan ini runtuh.

Ayah Nulji (Naemul) adalah raja yang cinta damai. Beliau menjalin persahabatan dengan Goguryeo dan Jepang. Namun, semuanya harus dibayar mahal karena dia harus mengirim putra dan adiknya sebagai tawanan.

Putra ketiga Naemul, Pangeran Misaheun dikirim ke istana Jepang sebagai tanda persahabatan Silla dan Jepang. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun. Setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak memperlakukan Pangeran Misaheun sebagai utusan tapi sebagai tawanan agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak pernah diijinkan kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun.

Selain Pangeran Misaheun, Raja Naemul juga mengirim adiknya, Pangeran Silseong ke Goguryeo sebagai jaminan. Sebenarnya, putranya yang lain, Nulji, seharusnya yang dikirim ke Goguryeo, bukan Silseong, tapi Naemul sangat menyayangi putra pertamanya itu sebab hanya dia yang tersisa, sehingga Silseong-lah yang dikirim ke Goguryeo. Naemul tidak pernah melihat mereka lagi hingga kematiannya. Setelah Naemul meningga, dia digantikan oleh Silseong yang dipanggil dari Goguryeo. Sebagai gantinya, putra Naemul, Nulji dikirim ke Goguryeo sebagai pengganti Silseong (dan juga sebagai balasan Silseong yang mendendam pada kakaknya karena dikirim ke Goguryeo sejak masih berusia 10 tahun). Konflik istana membuat Raja Silseong tewas akibat ulahnya sendiri yang ingin membunuh Nulji. Nulji lalu diangkat menjadi raja (417-456).

Pada tahun ke-3 pemerintahan Raja Nulji, Goguryeo kembali meminta Silla mengirim anggota keluarga kerajaan sebagai jaminan. Untuk itu, Nulji mengirimkan adiknya, Pangeran Bokho, ke Goguryeo. Sama seperti pihak Jepang, Goguryeo juga memperlakukan Pangeran Bokho sebagai tawanan.

Peristiwa ini membuat Nulji sangat sedih dan teringat pada ayahnya. Saat itu, Nulji merasa bahwa penderitaan ayahnya jauh lebih besar karena tidak pernah melihat putra-putranya hingga hari kematiannya, dan ini membuat hati Nulji menderita bertahun-tahun. Nulji akhirnya bertekad membawa pulang adik-adiknya kembali ke Silla. Akhirnya, pada tahun ke-10 pemerintahannya, Nulji mengundang para pejabat dan para jenderalnya dalam jamuan makan. Pada saat itu, Nulji mengutarakan keinginannya untuk membawa adik-adiknya pulang ke Silla dan meminta saran mereka. Raja juga bertanya andaikan ada salah-satu dari mereka yang mau membawa adik-adiknya pulang. Tapi, para pejabat dan jenderalnya menjawab bahwa keinginan raja itu adalah hal yang mustahil.

Nulji semakin sedih mendengar jawaban para pejabat dan jenderalnya. Tapi, ada satu pejabat senior yang mengajukan diri. Pejabat itu bernama Park Jesang.

Park Jesang adalah seorang menteri istana Silla. Beliau dikenal sebagai seorang loyalis raja. Park Je-sang (lahir tahun 363) adalah keturunan pendiri Silla Park Hyeokgeose dan juga keturunan dari Raja Pasa (raja Silla ke-5). Sejak masih kecil, Park Je-sang sangat pintar. Saat dia telah memenuhi tugasnya sebagai pejabat di salah-satu daerah kekuasaan Silla, beliau ditarik oleh Raja Nulji untuk mengabdi di istana.

Park Jesang meminta Nulji memberikannya perintah kerajaan untuk membawa pulang adik-adik raja itu. Nulji sangat terharu mendengar keberanian Park Jesang dan menganugerahkannya banyak gelar dan hadiah sebelum dia berangkat. Raja mengijinkan Park Jesang minum di cawan yang sama dengan raja dan melepas kepergiannya dengan suasana yang penuh cinta. Nulji menggenggam tangan Park Jesang saat mengantar Park Jesang meninggalkan istana. Itu adalah tanda persahabatan dan penghormatan yang sangat tinggi dari seorang raja. Saat melaksanakan tugas itu, Park Jesang telah berusia 64 tahun.

Tugas pertama Park Jesang adalah menuju Goguryeo dengan menyamar. Berkat kecerdikannya, Park Jesang berhasil masuk ke wilayah istana tempat Pangeran Bokho tinggal. Park Jesang lalu menjelaskan rencananya pada Pangeran Bokho dan mengatur tempat pertemuan mereka untuk melarikan diri. Untuk itu, Pangeran Bokho beralasan sakit sehingga tidak bisa memberikan “penghormatan pagi” di istana pada raja Goguryeo selama beberapa hari. Pangeran Bokho lalu memanfaatkan waktu yang terbatas itu untuk melarikan diri dari Pyeongyang menuju Kaeseong. Dari sana, Park Jesang dan Pangeran Bokho berusaha menuju Silla sesegera mungkin. Tapi, raja Goguryeo yang marah lalu memerintahkan pasukan untuk memburu mereka di Kaeseong. Pelarian Pangeran Bokho ini akhirnya berhasil berkat bantuan dari orang-orang Goguryeo, sebab selama berada di Goguryeo, Pangeran Bokho sangat ramah dan membantu banyak orang Goguryeo sehingga dia dicintai banyak orang Goguryeo dan juga penghuni istana. Bahkan, pasukan yang mengejarnya diperintahkan oleh komandan mereka untuk memanahnya dengan menggunakan panah yang ditumpulkan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972). Mereka akhirnya tiba dengan selamat di istana Silla dan disambut dengan sukacita oleh Raja Nulji dan seluruh Silla.

Tapi, Raja Nulji masih tetap bersedih memikirkan adiknya, Pangeran Misaheun, yang tidak pernah kembali dari Jepang selama 30 tahun. Park Jesang lalu meminta raja memberikan perintah kerajaan padanya agar dia bisa berangkat ke Jepang. Nulji akhirnya kembali memberikan perintah kerajaan pada Park Jesang. Menteri setia ini langsung berangkat ke Jepang setelah mendapat perintah raja, padahal saat itu dia belum sempat mengunjungi rumahnya. Istrinya mengejar Park Jesang ke pelabuhan sambil membawa kuda putih bagi suaminya, tapi kapal Park Jesang telah berangkat. Istrinya menangis dan meminta Park Jesang kembali agar dia dapat mengucapkan salam perpisahan, tapi Park Jesang hanya bisa melambaikan tangannya dari atas kapal.

Park Jesang akhirnya tiba di Jepang (kemungkinan besar di Pulau Kyushu) dan langsung menghadap pada kaisar. Di hadapan kaisar, Park Jesang mengaku sebagai mengaku sebagai seorang bangsawan Silla yang melarikan diri dari kejaran raja Silla.

Raja Gyerim (nama Silla pada masa itu) telah membunuh ayah dan kakak-kakakku tanpa alasan yang jelas, sehingga saya melarikan diri dan tiba di wilayah kerajaanmu untuk mencari suaka.” Kata Park Jesang.
Raja Shiragi (sebutan Silla bagi orang Jepang) bukan raja yang baik,” kata penguasa Jepang itu. “Aku akan memberikan padamu tempat yang nyaman untuk tinggal
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972).

Setelah mendapat kepercayaan kaisar, Park Jesang secepat mungkin menghubungi Pangeran Misaheun dan menjalin komunikasi dengannya, juga mulai merencanakan pelarian mereka. Mereka berdua sering memancing bersama pada pagi hari dan memberikan hasil tangkapan mereka pada kaisar sehingga kaisar sangat senang dan menyayangi mereka tanpa mencurigai apapun.

Akhirnya, kesempatan yang mereka tunggu-tunggu tiba. Saat itu, kembali memancing di laut seperti biasa, tapi kabut tebal menyelimuti pulau tempat mereka berada. Melihat situasi seperti itu, Park Jesang langsung menyarankan pada Pangeran Misaheun agar segera melarikan diri. Tapi, Pangeran Misaheun harus melarikan diri sendirian sebab Park Jesang harus tetap tinggal untuk menghalangi pasukan musuh. Tapi, Pangeran Misaheun menolak usul Park Jesang.

Dengan perasaan yang sedih, Pangeran Misaheun berkata,
Saya sudah menganggapmu seperti ayahku dan kakakku. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dan pergi seorang diri?”
Jika saya bisa menyelamatkanmu dan menyenangkan hati raja-ku saya akan sangat bahagia. Saya tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri,” jawab Park Jesang lalu menuangkan anggur ke cawan pangeran sebagai tanda perpisahan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Beliau lalu memerintahkan Kang Guryeo, seorang awak kapal dari Silla untuk membawa pangeran pergi.

Park Jesang lalu kembali ke rumah pangeran dan menjalani hari seperti biasanya. Pada penjaga-penjaga, dia memberitahukan bahwa Pangeran Misaheun baru pulang berburu dan sangat lelah sehingga harus istirahat. Para penjaga ini mulai curiga dan memeriksa kamar sang pangeran. Park Jesang lalu memberi-tahukan pada mereka bahwa Pangeran Misaheun telah pulang ke Silla.

Pelarian Pangeran Misaheun membuat kaisar murka dan menangkap Park Jesang. Saat kaisar menanyakan alasan Park Jesang melakukan hal itu, Park Jesang pun menjawab,
Aku adalah rakyat Gyerim (Silla) dan bukan bawahanmu. Aku harus melakukan apa yang diperintahkan rajaku. Saya tidak memiliki hal lain yang bisa dikatakan.”

Jawaban Park Jesang ini membuat kaisar murka, dan memerintahkan agar Park Jesang dihukum dengan menggunaan metode penyiksaan terberat. Tapi, kaisar kagum pada keteguhan hati Park Jesang menawarkan pembebasan dan hak kebangsawanan bagi Park Jesang jika mau mengabdi padanya. Tapi Park Jesang menjawab:
Lebih baik menjadi seekor babi atau anjing di Gyerim ketimbang menjadi seorang bangsawan disini.
Lebih baik dicambuk dengan cemeti panjang di Gyerim ketimbang menerima gelar bangsawan Jepang.
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Kaisar pun memerintahkan penyiksaan yang mengerikan untuk menghukum Park Jesang.

Setelah kulit paha Park Jesang dikuliti, kaisar bertanya pada Park Jesang,
Jadi, pada siapa kau mengabdi?” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)

Park Jesang pun menjawab bahwa dia adalah abdi Silla. Kaisar pun memerintahkan agar Park Jesang berdiri di besi panas dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dan Park Jesang tetap menjawab,
Saya adalah abdi Gyerim” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)
Akhirnya kaisar menyerah, dan memerintahkan dia digantung. Jenasahnya lalu dikremasi oleh orang Jepang. 

Lepas dari semua itu, Pangeran Misaheun berhasil tiba di pantai wilayah Silla. Beliau mengirim Kang Guryeo ke istana di Seorabeol untuk mengumumkan kedatangannya. Raja Nulji sangat terkejut saat mendengar adiknya sudah tiba di Silla. Bersama dengan Pangeran Bokho, beliau langsung berangkat menemui Pangeran Misaheun. Saat mereka melihat Pangeran Misaheun, raja dan Pangeran Bokho yang mengikutinya langsung menangis dan berlari memeluknya. Raja mengadakan jamuan besar untuk menyambut adik bungsunya itu.

Ditengah-tengah kegembiraan itu, ada kesedihan ditengah-tengah mereka. Park Jesang tidak kembali.

Raja sudah menduga apa yang terjadi pada Park Jesang, dan sebagai penghormatannya, raja mengadakan jamuan kerajaan untuk menghormati Park Jesang. Raja menganugerahi istrinya gelar kebangsawanan yang sangat tinggi yang hanya satu tingkat lebih rendah dari ratu (di-era modern setara dengan “Grand Duchess”). Raja juga menikahkan Pangeran Misaheun dengan salah-satu putri Park Jesang. Tapi, isteri tidak mau menikmati semua hadia raja karena kesedihannya. Beliau dan 3 putrinya yang lain pergi ke bukit Chisulryeong dan memandang ke arah Jepang. Istrinya meninggal tidak lama kemudian di bukit itu.

Kesetiaan Park Jesang ini terus diabadikan secara turun-temurun melalui literatur-literatur dan penceritaan lisan orang-orang Silla dan Korea hingga era Joseon, dan terus didengungkan pada era perjuangan kemerdekaan Korea dari Jepang dikalangan pejuang Korea agar mengingatkan bahwa mereka bukanlah abdi Jepang melainkan abdi Korea, seperti kata-kata terakhir Park Jesang.




PERANG BAEKGANG

Silla adalah kerajaan terkecil diantara Tiga Kerajaan, oleh karena itu kerajaan ini adalah kerajaan yang paling sering diserbu oleh dua kerajaan Korea lainnya, dan juga dengan Jepang. Bosan dengan gangguan-gangguan itu, Silla bertekad menaklukan dua kerajaan lainnya dengan membentuk aliansi dengan Kekaisaran Tang. Perang penyatuan Tiga Kerajaan pun dilakukan dengan target pertama mereka adalah kerajaan Goguryeo. Tapi, Goguryeo masih terlalu kuat bagi Silla-Tang sehingga mereka mengubah target pertama mereka ke kerajaan lainnya, Baekje.

Secara dramatis, Kerajaan Baekje berhasil ditaklukan. Baekje yang telah berdiri selama 678 tahun akhirnya runtuh pada 18 Juli 660. Runtuhnya Kerajaan Baekje ini sangat mengejutkan seluruh penjuru Goguryeo, dan terlebih lagi sekutu utama mereka, Jepang.

Tapi, rupanya Baekje belum sepenuhnya runtuh. Saat Raja Uija menyerah, para bangsawan Baekje yang dipimpin oleh Gwisil Boksin melarikan diri ke Jepang meminta bantuan sekutu setia mereka itu. Sisa-sisa pasukan Baekje juga bergerilya melawan pasukan pemerintahan proktetorat Tang yang berpusat di Sabi. Jepang yang sejak dulu dibantu oleh Baekje merespons positif permintaan Baekje. Pada Agustus 661 bala bantuan pertama Jepang yang dikirim oleh Kaisarina Semei tiba di wilayah Baekje. Kaisarina Semei sendiri yang melepas kapal-kapal Jepang itu. Tak lama setelah kapal-kapal pertama itu berangkat, Kaisarina Semei meninggal dunia. Bala bantuan pertama ini terdiri dari 170 kapal dan 5.000 prajurit dibawah pimpinan Jenderal Abe no Hirafu.

Usai menaklukan Baekje (660 M), Silla mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo ditahun berikutnya. Tapi, penyerbuan ke Goguryeo ini gagal total (662 M) dan membuat pasukan Tang kehilangan sejumlah besar pasukan. Ditahun yang sama, Kekaisaran Jepang mengirimkan pasukan gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar (662 M), yang terdiri dari dua pasukan: 27.000 prajurit pimpinan Jenderal Kamitsukeno no Kimi Wakako dan 10.000 prajurit yang dipimpin Jenderal Iohara no Kimi. Pangeran Buyeo Pung (Putra bungsu Raja Uija) yang sudah tingga selama 30 tahun di Jepang ikut dalam rombongan ini sebagai calon raja Baekje.

Situasi pasukan Silla-Tang pada masa ini sangat sulit. Usai ditarik mundur dari Pyeongyang, pasukan Tang langsung menghadapi serbuan dari pasukan Kekaisaran Tibet. Serbuan ini membuat mereka tidak bisa kembali ke wilayah Korea dalam waktu lama. Sedangkan, Silla justru harus menghadapi rangkaian serbuan koalisi Goguryeo-Magal yang terjadi selama lebih dari 5 tahun.

Kekalahan di Goguryeo, penyerbuan tentara Tibet ke wilayah Tang, dan serbuan masif pasukan Goguryeo-Magal dimanfaatkan oleh pasukan restorasi Baekje dan Jepang untuk merebut kembali wilayah-wilayah lama Baekje, dan mulai melancarkan perang dengan Silla.

Sebagai respon, pada Agustus 663 pasukan Silla dan para Hwarang (dipimpin oleh Kim Ohgi) mengepung ibukota restorasi Baekje di Benteng Juryu. Pasukan restorasi Baekje sendiri dipimpin oleh Gwisil Boksin (sepupu Raja Uija). Di Benteng Juryu itu Gwisil Boksin, Pangeran Buyeo Pung (putra bunsu Raja Uija) dan Biksu Dochim, dan sebagian pasukan Jepang berjuang mempertahankan benteng terakhir Baekje itu. Pada 27 Agustus 663 armada utama Jepang di Korea yang berada di wilayah pantai terluar Korea dikirim menyusuri Sungai Geum untuk menghalau pengepungan pasukan Silla di Benteng Juryu. Tapi Tang memblokade pasukan bantuan Jepang itu sehingga meletuslah pertempuran sengit di sungai Geum yang dikenal sebagai Perang Baekgang atau Perang Hakusukinoe oleh orang Jepang.

Armada Jepang diblokade oleh pasukan Tang dengan menggunakan 170 kapal dan 7.000 prajurit. Kapal-kapal Tang merapatkan barisan kapal mereka dan berusaha menghalau serangan Jepang. Keesokan harinya, armada bantuan Jepang juga tiba dengan jumlahnya lebih besar dari armada Tang. Namun, sungai Geum yang sempit membantu armada Tang karena armada Jepang hanya bisa menyerbu pertahanan terdepan Tang sehingga Tang dapat melindungi kapal-kapal di sisi kanan dan kiri dan bagian belakang selama pertempuran. Jepang sangat yakin pada keunggulan jumlah mereka dan menyerang armada Tang setidaknya tiga kali sepanjang hari, tapi Tang masih mampu bertahan walau kewalahan.

Terlepas dari situasi di Perang Baekgang, koalisi pasukan restorasi Baekje dan pasukan Jepang di Benteng Juryu juga menghadapi situasi yang tidak kalah genting. Pasukan infanteri dan kaveleri Silla bersama dengan pasukan Hwarang mengepung Benteng Juryu selama berminggu-minggu sehingga membuat pasukan restorasi Baekje sangat frustasi. 

Situasi di Sungai Geum juga tidak berbeda jauh bagi kubu pasukan restorasi Baekje. Masih pada hari yang sama, 28 Agustus 663 menjelang malam prajurit Jepang frustasi dan kelelahan karena mereka tidak henti-hentinya menyerbu armada Tang tanpa hasil. Armada mereka juga kehilangan kohesi setelah berulang kali mencoba untuk menerobos garis pertahanan Tang. Pasukan Tang melihat peluang ini dan melakukan serangan balasan. Armada Tang bukan menerobos pertahanan terdepan melainkan sisi kiri dan kanan armada Jepang, hingga akhirnya kapal-kapal Tang berhasil menembus hingga bagian belakang armada Jepang dan mengepung armada mereka sehingga mereka tidak bisa bergerak atau mundur. Sejumlah besar pasukan Jepang jatuh ke air dan tenggelam, dan banyak kapal mereka dibakar dan ditenggelamkan oleh pasukan Tang. Perang ini diakhiri oleh kematian admiral utama armada Jepang, Jenderal Echi no Takutsu yang tewas setelah dia membunuh lusinan pasukan Tang yang menerobos ke kapalnya.

Di waktu yang hampir bersamaan, keadaan di Benteng Juryu senada dengan di Sungai Geum, tapi mungkin lebih buruk karena mereka saling menyerang satu sama lain. Di tengah-tengah pertempuran yang kian sengit, entah karena perbedaan pendapat atau karena ketidak-setiaan salah-satu dari mereka, Gwisil Boksin berusaha untuk membunuh Pangeran Pung setelah sebelumnya Biksu Dochil tewas ditangannya. Namun, pada perkelahian itu Pangeran Pung berhasil membunuh Gwisil Boksin. Kematian Gwisil Boksin menjadi pertanda buruk bagi pasukan restorasi Baekje. 

Kekalahan armada Jepang mengakibatkan pasukan Baekje terisolasi di Benteng Juryu. Pertempuran di Benteng Juryu berakhir pada 7 September 663 dengan kemenangan di pihak Silla. Pangeran Buyeo Pung terpaksa melarikan diri dengan menggunakan perahu ke Goguryeo. Dia hidup dalam pengasingan hingga akhir hidupnya karena setelah Goguryeo runtuh, Pangeran Pung ditangkap dan diasingkan ke wilayah Utara.

Perang Baekgang adalah kekalahan terbesar Jepang dalam sejarah kuno dan kekalahan maritim terbesar mereka sebelum Perang Imjin. Berdasarkan semua sumber sejarah dari Jepang, Korea, dan China, kerugian Jepang sangat besar dan jumlah korban Jepang sangat banyak. Menurut catatan Nihon Shoki sekitar 400 kapal Jepang hilang dalam pertempuran, sedangkan catatan sejarah China mengklaim sekitar 10.000 prajurit Jepang tewas dalam perang itu. Sisa-sisa kapal Jepang yang berhasil selamat kembali ke Jepang dipenuhi oleh para pengungsi dari Baekje.

Dampak terbesar dari keruntuhan Baekje bagi Jepang adalah mereka kehilangan sekutu utama di Asia Timur sebab Kerajaan Baekje merupakan sumber perkembangan teknologi, agama Buddha, dan peningkatan budaya bagi Jepang.

Kekalahan ini mengubah Jepang menjadi kerajaan yang lebih defensif padahal dulu mereka sangat agresif menyerbu Silla, bahkan membunuh seorang pangeran Silla (Seok Uro). Jepang lalu melakukan reformasi yang sangat terkenal, Reformasi Taika, yang dicetuskan oleh Pangeran Naka-no-Oe (Kaisar Tenji).

Ini adalah reformasi sistem birokrasi dan sistem militer Jepang yang lama menjadi sistem ala Dinasti Tang. Imbas dari reformasi ini, pada tahun 702, Kaisar Monmoku menerapkan sistem “Bangsawan Militer” yang terinspirasi dari kelompok Hwarang, yaitu dengan mewajibkan 3-4 laki-laki tiap keluarga bangsawan untuk mengabdi kepada kekaisaran sebagai perwira militer. Secara diam-diam, Jepang lalu mempelajari sistem kemiliteran Silla, juga ilmu beladiri dan ilmu berpedang para Hwarang yang berbeda dari ilmu beladiri dan ilmu berpedang Tiongkok. Inilah cikal-bakal Samurai Jepang, dan ilmu pedang kuno di Jepang.




PENYERBUAN KOALISI GORYEO-MONGOL KE JEPANG

Pada abad ke-13, Bangsa Mongol menjadi kekuatan baru di Asia dan Eropa Timur. Setelah sebelumnya mereka menaklukkan Dinasti Song di Tiongkok, mereka mulai menyerang Korea dan juga bertujuan menaklukan Jepang.

Perang dengan Goryeo ini adalah perang terlama yang dihadapi oleh Kaisar Kubilai Khan dan juga Kekaisaran Mongol sejak era Gengis Khan. Akhirnya, di tahun terakhir pemerintahan Raja Gojong (Raja Goryeo ke-23), setelah beperang selama 30 tahun, Goryeo akhirnya menyerah (1259) dan menjadi kerajaan jajahan Kekaisaran Yuan (Mongol). Goryeo cukup beruntung sebab dari semua kerajaan yang takluk setelah berperang dengan Mongol, Goryeo adalah satu-satunya kerajaan solid yang tidak dihancurkan oleh Mongol.

Raja Gojong lalu digantikan oleh putranya yang lemah, Raja Wonjang. Masa pemerintahannya adalah awal masa ketika Goryeo mendapat pengawasan dan intervensi yang sangat ketat dari pemerintah Yuan (Mongol).

Wonjong hanya memerintah selama 3 tahun dan digantikan oleh putranya, Raja Chungyeol (raja Goryeo ke-25). Chungyeol adalah Raja Goryeo pertama yang dikenang hanya memakai gelar “Wang” (Raja), sebab para raja sebelumnya mendapat nama kuil dengan akhiran -jo atau -jong (artinya "leluhur terhormat"). Kaisar Kubilai Khan merasa gelar itu merupakan ancaman baginya dan memerintahkan agar raja-raja Goryeo tidak boleh memakai nama itu lagi. Pada masa pemerintahan Chungyeol inilah untuk pertama kali dalam sejarah Korea menyerbu Jepang sehingga membuatnya menjadi raja Korea pertama dan satu-satunya yang menyerbu Jepang.

Kaisar Kubilai Khan adalah pemimpin yang sangat ambisius. Beliau ingin menguasai seluruh Asia Eropa dan membuat kerajaan-kerajaan di wilayah itu takluk padanya. Penaklukan Kekaisaran Song dan Goryeo hanya permulaan. Kaisar mengirim pasukan Mongol menyerbu wilayah Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Indonesia. Pasukan Mongol gagal menaklukan Indonesia dengan cara yang sangat memalukan. Setelah utusan pertama mereka dipermalukan oleh Raja Kertanegara (raja terakhir Kerajaan Singasari), pasukan Mongol yang dikirim untuk menghukum Indonesia dikelabui dan dikalahkan oleh Raden Wijaya (raja pertama Kerajaan Majapahit). Indonesia memang adalah wilayah yang sulit ditaklukan karena merupakan wilayah kepulauan, dan juga pusat-pusat pemerintahan kerajaan-kerajaannya terpisah dari daratan utama Asia.

Kejadian memalukan yang dialami oleh pasukannya di Indonesia tidak mengurungkan niat Kubilai Khan untuk menyerbu kerajaan kepulauan lainnya, Jepang.

Serbuan Mongol ke Jepang diwujudkan oleh Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1274 setelah ultimatumnya pada Jepang tidak diindahkan oleh pihak istana Jepang. Untuk mengamankan tahtanya, Chungnyeol dengan sukarela menawarkan bantuan dan mengirim angkatan laut Goryeo sebagai bantuan pada armada Mongol untuk menyerang Jepang.

Serbuan aliansi Mongol-Goryeo ke Jepang ini membuat seluruh Jepang, yang saat itu terpecah-pecah oleh sistem feodal, bersatu. Para daimyo mengirimkan tentara mereka agar bisa bergabung dengan tentara kekaisaran. Aliansi Mongol dan Goryeo ini tentu sangat menakutkan bagi Jepang sebab kedua kerajaan ini sudah terbiasa dengan perang melawan bangsa asing, sedangkan Jepang, sejak kekalahan di Perang Baekgang 600 tahun lalu, tidak pernah lagi menyerang negara lain. Hal lain yang ditakutkan Jepang adalah kekuatan armada Goryeo. Armada Goryeo secara tidak langsung membantu Jepang mengatasi bajak laut yang berkeliaran di antara perairan Korea dan Jepang, dan dibanding Jepang, Goryeo jauh lebih berhasil. Kehebatan armada Goryeo juga membuat wilayah Korea aman dari serbuan asing. Mereka hanya kalah dari Mongol melalui perang darat, yang juga sangat melelahkan pasukan Mongol.

Tapi, upaya armada laut aliansi Yuan dan Goryeo untuk menguasai Jepang berakhir dengan bencana. Armada laut mereka hancur oleh badai besar yang dikenal dengan nama "Kamikaze".

Kegagalan armada pertama membuat Kubilai Khan murka. Tapi itu tidak membuat bangsa Mongol mundur dari Jepang. Bersama Goryeo, Mongol kembali menyerang Jepang tahun 1281. Armada pada invasi kedua ini terdiri dari 4.400 kapal perang. Namun, kali ini Bangsa Jepang telah siap dan pasukan aliansi ini tetap kalah.

Kekalahan ini membuat Korea banyak belajar. Mereka menyadari bahwa kapal perang mereka bukan kapal perang yang cocok untuk menyerang wilayah perairan Jepang yang pantai-pantainya lebih curam. Pengetahuan mengenai kapal-kapal perang Jepang melalui invasi ini sangat penting bagi Korea dan membantu mereka melawan armada Jepang 300 tahun kemudian saat Jepang menyerbu Korea dalam Perang Tujuh Tahun.




BAJAK LAUT WOKOU

Setelah kekalahan Mongol-Korea saat menginvasi Jepang pada abad ke-13 itu, pelaut-pelaut Jepang semakin percaya diri mengarungi lautan dan bahkan berani berlayar diluar perairan Jepang. Lama-kelamaan jumlah mereka semakin banyak.

Pada abad pertengahan ini, laut menjadi tempat pelarian bagi warga Jepang terutama yang memiliki masalah hukum. Bajak laut dari Jepang ini kemungkinan besar terdiri lebih dari satu kelompok. Kelompok-kelompok ini memiliki peraturan dan sistem organisasi yang semuanya serba misterius. Tidak jelas nama apa yang mereka gunakan sebagai sebutan bagi kelompok mereka. Tapi, orang Korea menyebut mereka, Waeku (왜구), atau Wokou.

Akasara kanji Wokou adalah “倭寇”, yang dalam pengucapan Jepang menjadi "wakō". Secara harafiah, Wokou diterjemahkan sebagai "bajak laut Jepang", tapi arti sebenarnya adalah "penjahat kerdil". Bangsa Jepang memang disebut “Bangsa Wa” dalam catatan-catatan Tiongkok. Negara mereka juga disebut “Negeri Wa”. Dalam bahasa China kuno, “Wa” berarti “kurcaci” atau “kerdil”, sehingga sebutan ini diberikan pada orang-orang Jepang yang pada masa itu memiliki tubuh yang jauh lebih pendek daripada bangsa Korea, Han (Tiongkok), Uygur, Turk, Tibet, dan bangsa-bangsa lain yang pernah berinteraksi dengan Tiongkok. Korea juga mengadopsi kata itu untuk menyebut Jepang sebab tubuh orang Korea memang jauh lebih tinggi dari bangsa Jepang pada masa kuno. Istilah “Wokou” adalah kombinasi dari kata “Wa”, yang artinya "kurcaci", dan “Kou”, yang berarti "penjahat".

Sebagai bajak laut Jepang, kehadiran Wokou tentu memperpanjang catatan buruk hubungan Korea-Jepang dimasa lalu. Tapi, kontradiktif dengan status mereka sebagai bajak laut Jepang yang kerap menyerbu Korea, saat itu kehadiran mereka justru memperbaiki hubungan Korea-Jepang yang kaku paska invasi Mongol, yang juga menggandeng pasukan Korea, ke Jepang.

Bajak laut Wokou sudah menjadi organisasi militer yang terorganisasi dengan baik dan fokus merampok pesisir Korea-Jepang, termasuk kapal-kapal Tiongkok yang melintas di sekitar wilayah itu. Ada dua era dalam sejarah pembajakan Wokou. Pertama adalah pada abad ke-13 hingga abad ke-14, dan periode kedua yang lebih pendek adalah pada abad ke-16.

Pada periode pertama eksistensi Wokou, kamp-kamp utama Wokou adalah Pulau Tsushima, Pulau Iki, dan Kepulauan Gotō, tapi mereka memusatkan perhatian di Semenanjung Korea sehingga mereka menjadi teror bagi penduduk kota-kota pesisir timur Goryeo. Pada era pemerintahan Raja Gongmin (raja Goryeo ke-31), raja mengirim Jenderal Choe Yeong dan Jenderal Yi Seong-gye (bakal raja pertama Joseon) untuk memerangi bajak laut ini. Goryeo memang adalah kerajaan yang paling mampu mengalahkan bajak laut Wokou, tapi lama-kelamaan Goryeo kewalahan menghadapi mereka. Raja Woo (pengganti Raja Gongmin) lalu mengirim Na Hong-yu sebagai utusan ke Jepang (1375) untuk meminta pemerintah Jepang membantu melawan bajak laut Wokou. Pemerintah Jepang menyanggupi tapi mereka hanya akan memerangi Wokou disekitar perairan mereka saja. Karena wilayah tradisional mereka diusik, akhirnya Wokou semakin fokus menyerang Korea untuk mendapatkan wilayah baru. Tahun 1376, bajak laut Wokou memasuki wilayah Goryeo dan menaklukan kota Gongju setelah mengalahkan walikota Kim Sa-hyuk. Untuk melawan mereka, Raja Woo memerintahkan membentuk pasukan besar yang dipimpin Jenderal Choi Young. Pasukan Jenderal Choi Young berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hongsan.

Kekalahan di Hongsan tidak berarti bajak laut Wokou tidak berhasil merampok kota-kota pesisir Korea. Salah-satu hasil rampokannya adalah ratusan warga Korea yang diculik oleh mereka. Orang Korea adalah yang terbanyak yang diculik oleh bajak laut Wokou. Untuk memulangkan kembali orang-orang Korea yang diculik, Raja Woo mengirim Jeong Mong-ju ke Jepang. Selama kunjungannya ke Kyushu, Gubernur Imagawa Sadayo berhasil menekan Wokou, dan mengambil kembali hasil rampasan mereka termasuk orang Korea. Berkat Jeong Mong-ju, orang-orang Korea yang diculik itu berhasil dibawa kembali ke Korea (1377). Ini menjadi kerjasama yang sukses antara Korea dan Jepang usai pengalaman buruk dalam invasi Mongol sebelumnya. 

Usai kekalahan di Hongsan, Wokou mundur sementara dari Korea dan menyebar melintasi Laut Kuning ke Tiongkok. Tapi mereka kembali menghantui Korea pada tahun 1380. Kali ini, Jenderal Yi Seong-gye yang dikirim menghadapi Wokou. Beliau berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hwangsan berkat bantuan Na Sae dan ilmuwan Choi Mu-seon (penemu bubuk mesiu Korea) yang berhasil membakar lebih dari 500 kapal bajak laut dengan menggunakan mesiu dan meriam. Tiga tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Wokou kembali menyerbu Korea (1383). Kali ini, Jendral Jeong Ji yang dikirim untuk memerangi mereka dan sang jenderal berhasil menghancurkan ratusan kapal bajak laut Wokou.

Sembilan tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Kerajaan Goryeo runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Joseon yang didirikan oleh seorang jenderal yang dulunya menjadi salah-satu musuh utama Wokou, Yi Seong-gye.

Belajar dari pengalaman, Yi Seong-gye dan putranya menaruh perhatian khusus dalam memerangi bajak laut ini. Seakan tidak mau kalah dengan gebrakan Korea, Shogun Ashikaga Yoshimitsu mengirim 20 bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap ke Tiongkok, di mana mereka direbus dalam kuali di Ningbo (1405). meski mendapat perlawanan, Wokou masih mengganggu Korea pada masa pemerintahan Yi Bang-won sehingga membuat Yi Bang-won mengInvasi Pulau Tsushima (1419). Upaya Yi Bang-won menumpas bajak laut Wokou dilanjutkan oleh putranya, Raja Sejong Yang Agung, dalam Ekspedisi Timur Gimhae ke Pulau Tsushima.

Pada Ekspedisi Timur Gimhae ini, armada Korea dipimpin oleh Jenderal Yi Jong-mu. Armada ini terdiri dari 227 kapal dan 17.285 prajurit, dan berangkat dari Pulau Geoje Pulau Geoje (Mei 1419) dan tiba di Pulau Tsushima (19 Juni 1419). Armada Korea ini dipandu oleh bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap. Setelah mendarat, Jenderal Yi Jongmu mengirim bajak laut yang mereka tangkap itu sebagai utusan yang menyampaikan ultimatum Korea pada pemimpin Wokou. Pemimpin Wokou tidak mengirim jawaban sehingga pasukan Jenderal Yi Jongmu mulai menyerang markas Wokou itu dan menghancurkan pemukiman mereka. Pasukan Korea menghancurkan 129 kapal Wokou dan 1.939 rumah mereka. Sebanyak 700 perompak berhasil dibunuh, dan 110 lainnya ditangkap hidup-hidup dan dijadikan budak. Pada ekspedisi itu, 180 tentara Joseon tewas. Pasukan Korea membebaskan para tawanan termasuk 135 warga Korea dan 140 orang China yang diculik oleh bajak laut.

Ekspedisi Timur Gimhae yang digalakkan oleh Raja Sejong berhasil menumpas Wokou sehingga membuat mereka hilang dari perairan Korea selama lebih dari 100 tahun. Dampak lain dari keberhasilan Ekspedisi Timur Gimhae ini adalah Perjanjian Gyehae yang dicapai 24 tahun kemudian (1443) yang memuat pengakuan Daimyo Pulau Tsushima atas kedaulatan Raja Joseon di wilayahnya.

Keberhasilan Ekspedisi Gimhae malah membuat Kekaisaran Ming mengembargo Jepang dengan melarang perdagangan sipil dengan Jepang, meskipun masih mengijinkan perdagangan antar-pemerintah. Embargo ini tidak sepenuhnya berhasil karena para pedagang Tiongkok tetap melindungi kepentingan mereka. Pedagang-pedagang ini terus berdagang dengan Jepang secara ilegal. Kenyataan bahwa perdagangan antar-pemerintah itu tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri Tiongkok dan membuat banyak perajin bangkrut justru memicu era kedua perompakan Wokou yang justru menjadi masa keemasan para perompak itu.

Pada periode kedua ini, sepertinya Wokou sudah cukup trauma mengganggu Korea sehingga mereka hampir tidak terlalu mengganggu wilayah perairan Korea, dan menjadikan Tiongkok sebagai basis mereka setelah Jepang. Pada masa keemasannya sekitar 1550-an, Wokou beroperasi di lautan Asia Timur mampu berlayar di sungai-sungai besar termasuk Sungai Yangtze.

Walaupun tidak lagi secara khusus menargetkan Korea sebagai sasaran perompakan mereka tapi Bajak laut Wokou sempat masuk dan menjarah wilayah pesisir selatan Korea pada masa pemerintahan Raja Jungjong (raja Joseon ke-11). Wokou juga masih menyerbu Korea pada masa pemerintahan Raja Myeongjong (raja Joseon ke-13). Raja Myeongjong lalu menghukum seorang bajak laut asal Tiongkok yang berpura-pura menjadi orang Jepang. Kisah pamungkas serbuan Wokou ke Korea adalah para bajak laut yang berkebangsaan Jepang dilibatkan oleh seorang jenderal Jepang saat Jepang menginvasi Korea dalam Peang Tujuh Tahun.




PERANG TUJUH TAHUN

Perang Tujuh Tahun (Imjin) adalah perang maritim terbesar dalam sejarah Korea dan Asia Timur, dan juga menjadi salah-satu perang maritim terbesar dunia. Ini adalah perang yang sangat heroik di abad pertengahan. Terlepas dari dampak buruknya, perang ini menjadi salah-satu kebanggaan orang Korea dan juga kebanggaan sejarah Asia sebab perang ini menunjukan keanggungan orang Korea dan Asia. 

Selama ini, perang maritim yang paling terkenal rata-rata berasal dari pertempuran-pertempuran di kawasan Eropa, yang melibatkan bangsa-bangsa kuno di kawasan Eropa dan Asia Barat. Diwaktu yang sama dengan waktu terjadinya perang ini, tidak ada yang menyangka jika ada perang maritim besar yang berkecamuk antara sebuah kerajaan pertapa kecil dengan sebuah kekaisaran yang besar. Perang ini melibatkan banyak sekali jenderal dan admiral, dan juga membuahkan berbagai penemuan penting bagi dunia maritim.

Saat itu, Korea dipimpin oleh Raja Seonjo (raja Joseon ke-14). situasi Korea saat itu kurang baik. Berbagai konflik internal istana, persaingan antar menteri, hingga kudeta berdarah mewarnai pemerintahan saat itu yang dipimpin oleh Wangsa Yi (wangsa Kerajaan Joseon). Selain itu, pergerakan bangsa Manchu di utara membuat Seonjo mengirimkan banyak komandan militer yang berpengalaman ke perbatasan Utara, bersamaan dengan itu Seonjo juga harus menghadapi para pemimpin Jepang yaitu Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu di bagian selatan.

Awal mula perang ini adalah saat mantan abdi shogun pemersatu Jepang, Oda Nobunaga, yang bernama Toyotomi Hideyoshi berhasil muncul menjadi penguasa baru di Jepang. Berbeda dengan Oda Nobunaga yang ingin bekerja sama dengan negeri asing dan mengutamakan diplomasi, Hideyoshi memilih untuk menjadi seorang agresor.

Shogun baru ini memiliki ambisi yang dulu diutarakan pada Oda Nobunaga, menaklukan dunia. Bagi seorang Hideyoshi, dunia itu diawali oleh Tiongkok. Untuk itu, beliau mengirim delegasinya ke Raja Seonjo untuk meminta izin melewati Semenanjung Korea menuju Tiongkok. Permintaan juga bermakna mereka akan berperang melawan Joseon yang menjalin aliansi dengan Kekaisaran Ming. Seonjo, yang terperanjat, menolak permintaan itu dan secepat mungkin mengirim surat ke istana Ming untuk memperingatkan bahwa Jepang sedang mempersiapkan perang berskala penuh melawan aliansi Korea-Ming.

Orang-orang Korea mulai khawatir jika Jepang menyerang negeri mereka. Para pejabat mendesak raja untuk mengirim para delegasi ke Hideyoshi untuk mencari tahu apakah Hideyoshi sedang mempersiapkan untuk invasi atau tidak. Namun dua faksi pemerintahan yang kerap berseteru tidak mencapai kata sepakat mengenai kepentingan nasional ini sehingga sebuah persetujuan dibuat dan satu delegasi dari setiap faksi dikirim ke Hideyoshi. Ketika para utusan itu kembali ke Korea, laporan mereka justru menambahkan kebingungan. Hwang Yun-gil, dari Faksi Barat, melaporkan bahwa Hideyoshi sedang meningkatkan jumlah pasukan dalam jumlah yang sangat besar, tapi Kim Seong-il dari Faksi Timur melaporkan kalau pasukan besar digunakan untuk mempercepat reformasi, mencegah pelanggaran hukum, melawan para bandit. Karena Faksi Timur memiliki lebih banyak suara, laporan dari Hwang Yun-gil diabaikan dan Seonjo memutuskan untuk tidak bersiap-siap perang, padahal saat itu Daimyo dari Tsukushima (pulau yang menjalin hubungan dagang dengan Joseon) sudah memperingatkan akan ambisi Hideyoshi dan hasratnya untuk menaklukkan Asia termasuk Joseon.

Secara tiba-tiba, pada 13 April 1592, armada pertama Jepang (sekitar 700 kapal) di bawah pimpinan Konishi Yukinaga menyerang Korea. Konishi dengan mudah membakar Benteng Busan dan Benteng Donglae, membunuh komandan Jeong Bal dan Song Sang-hyeon, dan menuju ke arah utara. Raja Seonjo panik dan mengirim Jenderal Sin-rip (Wakil Menteri Perang) dan Jenderal Yi Il ke Chungju bersama 8.000 tentara kavaleri, tapi semuanya sudah terlambat..

Pada hari berikutnya datang pasukan lebih banyak di bawah pimpinan Kato Kiyomasa dan Kuroda Nagamasa, dan menuju ke arah Hanyang. Shin-rip bergabung dengan Kim Su (Gubernur Gyeongsang), yang telah mengumpulkan pasukan besar di Daegu, lalu menuju Benteng Choryeong untuk memblokir jalan pintas yang akan digunakan pasukan Jepang ke ibukota. Armada Jepang yang besar dibawah pimpinan Todo Takatora dan Kuki Yoshitaka membantu mereka dari laut. Jenderal Yi Il menghadapi Kato Kiyomasa di dalam Perang Sangju, yang dimenangkan oleh Jepang. Namun, pasukan Jendral Yi Il dikalahkan oleh pasukan Jenderal Konishi Yukinaga. Kemudian Yi Il bertemu Sin-rip, namun gabungan pasukan mereka juga dikalahkan di dalam Perang Ch'ungju oleh Kato Kiyomasa. Shin-rip mengabaikan saran Pangeran Gwanghae (raja Joseon ke-15) yang menganjurkan menggunakan pasukan infanteri karena medan yang penuh lumpur dan mengerahkan pasukan kavaleri melawan pasukan infanteri Jepang yang dilengkapi berbagai jenis senapan. Pasukan Korea panik dan melarikan diri, tapi mereka tewas dibunuh prajurit Jepang dan tenggelam di sungai. Jendral Shin-rip dan beberapa komandan yang setia yang tidak mau melarikan diri memilih bunuh diri (1592). Ini adalah kekalahan pertama Korea dalam Perang Imjin

Seonjo lalu menunjuk Jenderal Kim Myeong-won sebagai Panglima Tertinggi dan memerintahkannya mempertahankan ibukota bersama dengan Putra Mahkota Gwanghae (penguasa de facto/in action Joseon saat itu). Raja terpaksa melarikan diri ke Pyongyang karena Jepang merebut ibukota. Raja akhirnya pindah lebih jauh lagi ke utara di kota Uiju karena Pyongyang juga direbut. Banyak orang yang telah kehilangan kepercayaan pada raja lalu merampok istana dan mengakibatkan lebih banyak kerusakan dari yang ditimbulkan pasukan Jepang.

Meskipun kalah dalam banyak pertempuran, angkatan laut Korea berhasil memotong bantuan logistik Jepang. Laksamana Yi Sun-sin beberapa kali mengalahkan armada Jepang dan kapal-kapal penyalur logistik, sehingga pasukan bantuan dari Ming pimpinan Jenderal Li Rusong bisa tiba di pantai-pantai Korea dan mulai memukul mundur Jepang ke arah selatan dan akhirnya merebut kembali Pyongyang. Pasukan Jenderal Gwon Yul juga yang jauh lebih kecil juga berhasil mengalahkan pasukan Jepang dalam Perang Hangju. Akhirnya, pada invasi pertama ini Jepang terpaksa menegosiasikan gencatan senjata dengan pihak Ming. Selama negosiasi ini, pasukan Korea berhasil merebut Hanyang. Invasi Jepang pertama ini merenggut nyawa salah-satu putra Seonjo, Pangeran Silseong, yang meninggal di pengungsian.

Masa gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Jenderal Yi Sun-shin untuk pergi ke wilayah Jeolla dan mengumpulkan kapal, awak-awak kapal dan prajurit, dan senjata. Beliau akhirnya berhasil merampungkan kapal perang yang dikenal dengan nama “Kapal Kura-kura”, yang merupakan kapal besi pertama di dunia.

Negosiasi damai antara Jepang dan Ming berakhir (1598) tanpa hasil positif. Jepang langsung berusaha merebut Hanyang baik dari rute darat dan laut. Mulanya rencana itu kelihatannya berjalan lancar ketika Jepang menang di Pertempuran Chilchonryang, namun saat armada Jepang berusaha melewati Sungai Myeongnang, mereka mendapat perlawanan sengit dari armada Korea pimpinan Laksamana Yi Sun-shin.

Raja Seonjo yang mengetahui bahwa Yi Sun-shin hanya mendapatkan 13 buah kapal menyarankan agar Yi Sun-shin bergabung dengan angkatan darat. Namun, Yi Sun-shin meyakinkan bahwa perairan di Jeolla dan Chungcheong harus dilindungi untuk mencegah pasukan Jepang menuju ibukota dari jalur laut.

Armada Yi Sun-shin bergerak ke Selat Myeongnyang. Myeongnyang adalah selat yang harus dilewati musuh untuk mencapai ibukota. Selat ini memiliki arus paling deras di Korea yang selalu berganti arah setiap 4 jam sekali. Di selat ini, Yi Sun-shin memasang kawat besi dibawah air yang dapat diputar menggunakan agar menggoyahkan kapal musuh dan membuat mereka saling bertabrakkan pada saat arus deras terjadi. Kapal Joseon mempunyai dasar berbentuk datar dan dangkal, sementara kapal Jepang yang memiliki dasar yang lancip dan dalam akan mudah tersangkut jebakan itu.

Pada 16 September 1597, armada Jepang tiba dengan 330 kapal, tapi berkat sempitnya selat Myeongnyang, hanya 130 kapal Jepang yang dapat masuk. Dalam waktu singkat, mereka sudah mengelilingi armada Yi Sun-shin. Kapal-kapal Korea menyerang dengan menembakkan panah dan meriam. Entah bagaimana, di dekat kapal Yi Sun-shin mengapung sesosok mayat musuh, yang ternyata adalah Jenderal Matashi Kurushima. Mayat itu ditarik dan diperlihatkan ke arah musuh dari haluan kapal sehingga menimbulkan kehebohan ditengah pasukan Jepang. Pada saat arus mulai deras, kekuatan arus mulai menggoyahkan kapal-kapal Jepang dan merusak posisi mereka. Pasukan Yi Sun-shin mulai mengencangkan kawat besi di bawah air. Kapal mereka mulai tersangkut dan mulai bertabrakkan satu sama lain. Laksamana Yi Sun-sin berhasil mengalahkan armada Jepang pimpinan Todo Takatora dalam Pertempuran Myeongnyang. Dari 130 kapal Jepang yang masuk ke Selat Myeongnyang, 31 kapal tenggelam dan 90 kapal rusak parah, tapi tak satupun kapal Yi Sun-shin yang kalah. 

Setahun setelah Pertempuran Myeongnyang, pada Agustus 1598, Hideyoshi akhirnya menarik semua pasukan Jepang dari Korea karena merasa kematiannya sudah dekat. Tapi, kapal-kapal Jepang yang hendak pulang ini dihadang oleh armada Yi Sun-shi dengan bantuan armada Kekaisaran Ming pimpinan Laksamana Chen Lien (en.wikipedia/yisunshin).

Dalam pertempuran tahap awal, armada Jepang dipukul mundur dengan 50 buah kapal dihancurkan sehingga mereka melarikan diri, namun mereka telah terjebak. Karena tak ada pilihan lain, mereka berbalik dan melawan. Kapal-kapal Jepang lalu mengincar kapal yang membawa Yi Sun-shin. Yi Sun-shin berkali-kali dalam bahaya karena hampir terkurung tapi beliau berhasil menghindar. Saat sedang meneriakkan perintah maju, Yi Sun-shin tertembus peluru yang ditembakan dari kapal musuh sehingga beliau terluka parah. Ia lalu meminta anak-buahnya menutupi tubuhnya dengan perisai dan merahasiakan kondisinya dari prajurit lain. Beliau menghembuskan napas terakhir didepan putra sulungnya dan keponakannya, yang berdua meneruskan pertempuran. Pertempuran ini dimenangkan armada Korea. Kekalahan Jepang di Pertempuran Noryang mengakibatkan hancurnya 450 buah kapal Jepang. Hasil dari pertempuran itu mengakhiri perang selama 7 tahun. Perang ini merupakan perang terbesar sepanjang sejarah Joseon dan menjadi salah-satu perang maritim terbesar dalam sejarah dunia.

Perang-perang laut ini adalah kebanggaan bagi Korea sebab mereka mampu menumbangkan pasukan musuh hanya dengan kekuatan yang sangat kecil. Tapi, perang ini membawa dampak negatif bagi semua yang terlibat, yakni Korea (Joseon), Ming, dan Jepang.

Kemenangan Korea dalam perang ini dibayar mahal. Infrastruktur hancur, termasuk istana-istana dan dan gedung-gedung pemerintahan. Para budak memberontak akibat musnahnya sebagian besar catatan budak. Keputusan raja yang melarikan diri dari ibukota membuat raja kehilangan kewibawaannya dimata rakyat dan para bangsawan, termasuk para cendekiawan Sungkyunkwan, dan mereka lebih menghormati Pangeran Gwanghae yang berjuang di medang perang demi merebut dan mempertahankan ibukota. Ketidakstabilan politik Joseon ini melemahkan pertahanan Joseon sehingga 30 tahun kemudian pasukan Manchu berhasil menaklukan Korea dengan pasukan yang lebih kecil daripada yang sebelumnya dikerahkan oleh Jepang.

Kemenangan pasukan mereka juga dibayar mahal oleh Kekaisaran Ming. Sikap kaisar Ming yang tidak bijaksana diperparah oleh kerugian besar akibat Perang Tujuh Tahun ini yang sangat mengganggu kas negara. Walaupun menang melawan Jepang tapi kekuatan pasukan Ming melemah drastis sehingga mengakibatkan mereka kewalahan menghadang kemajuan bangsa Manchu dibagian timur laut. Kurang dari 30 tahun setelah Perang 7 Tahun, Kekaisaran Ming diruntuhkan oleh bangsa Machu yang lalu mendirikan kekaisaran baru, Kekaisaran Qing.

Kekalahan dalam Perang 7 Tahun ini memberikan pelajaran yang sangat besar bagi Jepang. Perang ini menimbulkan kerugian yang besar bagi Jepang, baik itu kerugian finansial dan juga korban jiwa. Kepercayaan para daimyo pada klan Toyotomi juga menurun drastis, terlebih lagi pengganti Hideyoshi tidak secakap ayahnya. Tapi, ambisi Jepang untuk menaklukan Tiongkok tidak pernah surut. Jalur utama mencapai Tiongkok adalah daratan Semenanjung Korea sehingga Korea tetap menjadi bagian dari rencana jangka panjang mereka untuk menaklukan seluruh Asia. Setelah Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan Toyotomi Hideyori (penerus Hideyoshi), klan Toyotomi pun berakhir dan digantikan oleh klan Tokugawa yang menandai dimulainya era Edo. Keshogunan Tokugawa meniru politik isolasi Joseon yang bertahan selama 200 tahun. Selama era ini, Tokugawa berusaha mempersatukan seluruh Jepang dan menstabilkan politik, hingga akhirnya Kaisar Meiji naik tahta dan menghapus keshogunan dan melakukan restorasi. 

Restorasi Meiji yang berhasil memodernisasi seluruh Jepang dalam waktu yang sangat singkat menjadi indikator utama keruntuhan Kerajaan Korea (Kekaisaran Han Raya, penerus Kerajaan Joseon).



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; the Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Koreana (Korean Culture & Art) Vol.25.No.1; 2011; National Museum Of Korea
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


______________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Wednesday, 13 January 2016

KERAJAAN SILLA

*Various information about history is available in ENGLISH





Awal-mula Berdirinya Kerajaan Silla

Kerajaan Silla adalah kerajaan yang terletak dibagian tenggara negara Korea Selatan. Penduduk Silla terdiri dari penduduk asli Korea dan pendatang dari dinasti Jin (Tiongkok). Wilayah awal Silla merupakan bagian dari Konfederasi Jinhan (satu dari Konfederasi di bagian timur dan Selatan semenanjung Korea sebelum era tiga kerajaan). Konfederasi lainnya adalah Konfederasi Mahan (wilayah yang akan dikuasai oleh Baekje), dan Konfederasi Byeonhan (wilayah yang menjadi kekuasaan Gaya). Menurut kisah yang tertulis dalam kitab Samguk Yusa, pada masa pertikaian antara Dinasti Qin (setelah meninggalnya Kaisar Qin Shi Huang Di) dengan Dinasti Han yang dimenangkan oleh dinasti Han, sekelompok bangsawan dari Dinasti Qin berhasil melarikan diri dari negeri Tiongkok dan tiba di wilayah Konfederasi Manhan. Pemimpin wilayah Mahan memberikan pada para pengungsi itu daerah Jinhan. Para pengungsi itu lalu tiba di Jinhan dan menetap disana turun-temurun dan berbaur dengan penduduk asli Jinhan. Nama “Jin” juga diambil dari “Qin” (dibaca “Chin” atau “Jin”), dan nama “Jinhan” dibentuk dari menggabungkan kata “Jin” dari nama Dinasti Qin dan kata “han” dalam bahasa Korea yang artinya “negeri”. 

Konfederasi Jinhan terdiri dari 12 wilayah, dan salah-satu wilayahnya bernama negeri Saro atau yang dikenal dengan nama “Saro-guk” yang memiliki 6 klan (atau desa). Negeri Saro yang terletak didekat wilayah Busan modern inilah yang merupakan asal-mula kerajaan Silla. Kerajaan Silla dibangun dan berkembang karena terciptanya keharmonisan antara masyarakat pribumi dan para pendatang yang memiliki kebudayaan yang lebih maju dari masyarakat pribumi. Park Hyeokgeose lalu berhasil menyatukan 6 klan di negeri Saro dan mendirikan kerajaan Silla.

Kerajaan Silla dikenal dengan nama “Shinluo” oleh orang Tiongkok, dan orang Jurchen (leluhur bangsa Manchu) menyebut Silla dengan sebutan “Sholgo” atau “Solho”. Sedangkan bangsa Jepang kuno menyebut Silla dengan nama “Shiragi” dalam catatan-catatan kerajaan Yamato (nama kerajaan kuno di Jepang). Ibukota Kerajaan Silla berada di kota Gyeongju pada masa kini, yang pada masa Silla kuno bernama “Seorabeol”. Nama Seorabeol (diucapkan: Sorabol) diambil dari bahasa Silla kuno, yaitu “syeo-beul” yang artinya “ibukota kerajaan”. Kata ini kalau diucapkan dengan cepat dapat disingkat menjadi “syeo-ul”, yang menjadi akar kata dari “Seo-ul” atau “Seoul”, ibukota Korea Selatan saat ini.




Silla Sebagai Bagian Dari Tiga Kerajaan

Kerajaan Silla adalah salah satu dari tiga kerajaan kuno yang pernah berkuasa di Semenanjung Korea. Tiga kerajaan kuno tersebut adalah Kerajaan Goguryeo di utara sebagai kerajaan yang paling tua dari tiga kerajaan kuno tersebut, kemudian ada Kerajaan Baekje di barat daya semenanjung sebagai “kerajaan saudara” dari kerajaan Goguryeo karena memiliki leluhur yang sama (pendiri Kerajaan Baekje adalah putra dari Jumong, raja pertama kerajaan Goguryeo), dan kerajaan ketiga adalah Kerajaan Silla. Letak kerajaan Silla berada di sisi tenggara Semenanjung Korea

Kerajaan Goguryeo dikenal sebagai “kerajaan perang” karena kerajaan ini selalu berperang terutama dengan negeri Tiongkok karena ingin memperluas wilayahnya ke bagian utara, dan dengan Kerajaan Baekje yang sering mengganggunya dari selatan. Kerajaan Baekje sering disebut sebagai “Kerajaan Cendekia” karena kerajaan ini sering menghasilkan mahakarya seni dan penemuan yang mengagumkan dan tergolong sangat maju pada jamannya. Sedangkan, Kerajaan Silla dijuluki sebagai “Kerajaan Bangsawan” karena Silla merupakan kerajaan yang memiliki kaum aristokrat (bangsawan) yang sangat banyak dan menguasai banyak lini kerajaan karena kaum bangsawan juga merupakan orang-orang yang menguasai ilmu militer (seluruh putra bangsawan tinggi termasuk putra raja diwajibkan mengabdi sebagai Hwarang) juga berperan sebagai cendekiawan. Silla juga memiliki pengaturan strata kebangsawanan yang sangat ketat dibandingkan dua kerajaan lainnya. 

Periode tiga kerajaan dinamakan “Masa Tiga Kerajaan” atau “Samguk”. Diantara tiga kerajaan lainnya, Silla adalah kerajaan dengan luas wilayah yang paling kecil dan terletak di wilayah yang lebih terpencil dari kerajaan lain, juga memiliki bahasa yang berbeda dengan dua kerajaan lainnya sehingga tidak ada satupun dari kerajaan-kerajaan disekitarnya yang menyangka bahwa Silla akan menjadi kerajaan tunggal di Semenanjung Korea.

Silla lalu menjadi kerajaan yang pelan-pelan bertumbuh menjadi besar dan lebih besar, kuat dan semakin kuat, dan secara tiba-tiba menghancurkan kerajaan-kerajaan yang lainnya.





Kebudayaan Silla

Kebudayaan Silla merupakan kebudayaan yang berasal dari Konfederasi Jinhan yang sangat berbeda dari kebudayaan Kerajaan Baekje dan Goguryeo yang berasal dari kebudayaan Buyeo. Buyeo adalah kerajaan pecahan dari kerajaan kuno Gojoseon yang wilayahnya mencakupi sebagian besar Manchuria, sedangkan Konfederasi Jinhan letaknya di bagian tenggara Semenanjung Korea. Buyeo menjadi kerajaan bawahan Tiongkok (dinasti Han) dan mendapat intervensi ketat dari Tiongkok, namun negeri-negeri kecil Konfederasi Jinhan sangat jauh untuk mendapat intervensi baik secara budaya maupun politik dari istana Han. Selain itu, rakyat Jinhan juga membenci dinasti Han.

Silla sangat mungkin menggabungkan kebudayaan asli Gojoseon dengan kebiasaan masyarakat Dinasti Jin karena Jinhan adalah wilayah yang dihuni oleh para pengungsi dari dinasti Jin, oleh sebab itu budaya dan kebiasaan mereka sangat berbeda dengan dua kerajaan lainnya di semenanjung. Silla memang sangat lambat mendapatkan pengaruh dari utara sehingga baru mengenal dengan agama Buddha pada sekitar abad ke-3 dan baru menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Raja Bopheung di-abad ke-5, padahal dua negara lainnya telah menerima agama Buddha jauh sebelumnya. Silla juga baru mulai memiliki hubungan bilateral yang stabil dengan Tiongkok setelah runtuhnya dinasti Han. 

Setelah agama Buddha menjadi agama negara, maka Buddhisme sangat mempengaruhi setiap lini kehidupan di Silla yang dapat dilihat dari berbagai peninggalan era Silla. Hasil seni dan kerajinan Silla sangat dipengaruhi unsur-unsur Buddhisme yang kental. Yang paling terkenal adalah Bulguksa, Seokkuram, dan Hwangyongsa (Kuil Kaisar Naga) yang dibangun dengan 9 tingkat pagoda kayu, melambangkan 9 buah negeri yang bersatu dalam Silla. Sayangnya, Hwangyongsa terbakar dalam invasi Mongol ke Goryeo abad ke-12. Kuil-kuil Buddha Silla melambang kekuatan kerajaan dan peran Buddhisme dalam ekspansi dan proteksi negara. Setelah era Silla Bersatu, Buddhisme tidak lagi memiliki pengaruh yang sebesar dengan era sebelumnya. 

Silla bukanlah negara dengan banyak cendekiawan seperti Baekje namun periode Silla mewariskan banyak peninggalan sejarah yang menunjukkan bahwa mereka telah memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Silla adalah kerajaan pertama di Asia Timur yang memiliki observatorium. Silla juga telah menggunakan alat cetak berupa cetakan blok kayu yang dipergunakan untuk menyebarkan pengajaran Buddhisme dan karya-karya Konfusianisme. Saat perekonstruksian kembali Pagoda Tanpa Bayangan, sebuah cetakan kuno dari sutra Buddha ditemukan dan bertarikh 751 M. Itu berarti material cetak tertua di dunia berasal dari era Silla. 





Perbauran Budaya Lokal dan Asing pada masa Silla kuno

Semua legenda mengenai kemunculan para leluhur raja-raja Silla menunjukkan bahwa Silla adalah negeri yang terdiri dari percampuran antara orang pribumi Korea dan kaum pendatang, baik yang berasal dari negeri Wa (Jepang), Manchuria, Tiongkok (Dinasti Jin) maupun dari bangsa lain bahkan bangsa-bangsa dari kawasan Asia Barat. Bangsa Korea memang disinyalir merupakan percampuran antara ras Mongoloid (Mongolia dan China) dan ras Kaukasoid (Asia Barat dan bangsa-bangsa dikawasan Soviet). DNA pria Korea menunjukkan bahwa 40% nenek moyang pria Korea berasal dari Manchuria yang datang dari Siberia. Selain itu bahasa Korea kuno juga memiliki beberapa persamaan dengan bahasa Sumeria. 

Percampuran ras, suku, dan budaya di Korea bisa disimak dari cerita mitologi kelahiran Dangun (sesuai kitab Samguk Yusa). Dalam mitologi tersebut, diceritakan bahwa putra dari Dewa Langit (Hwanim) yang bernama Hwanung turun ke bumi dan mendirikan 'kota Dewa' di gunung Taebaek (Gunung Myohang di Korea Utara) untuk memimpin dunia bersama dengan Dewa Angin, Dewa Awan, dan Dewa Hujan. Melihat hal ini, beruang dan harimau meminta pada Hwanung untuk mengubah mereka menjadi manusia. Hwanung menyanggupi dengan memberikan persyaratan yang berat. Harimau gagal sedangkan beruang berhasil dan berubah menjadi wanita yang dinamakan Wungnyeo. Wungnyeo dan Hwanung lalu menikah dan mendapatkan anak laki-laki yang bernama 'Dangun'. Dangun lalu mendirikan kerajaan yang dinamakan 'Gojoseon'.

Sejarawan modern lalu menyimpulkan bahwa proses kelahiran Dangun sebenarnya menjelaskan proses bagaimana nenek moyang bangsa Korea menguasai Semenanjung Korea. Adanya beberapa Dewa menandakan negeri ini telah memiliki teknologi maju termasuk dibidang pertanian. Wungnyeo (inkarnasi dari beruang yang artinya makhluk bumi) merupakan penghuni asli semenanjung, sedangkan Hwanung (putra langit atau berasal dari luar bumi) adalah pendatang dari luar Korea. Perkawinan Hwanung dan Wungnyeo menunjukkan adanya kekuatan baru (dari luar semenanjung) yang datang dan kekuatan lama (pribumi) yang berbaur dengan harmonis yang lalu membentuk bangsa baru. Dangun merupakan pemimpin pertama dari yang bangsa baru terbentuk ini dan mendirikan kerajaan yang bernama Gojoseon, namun kemudian runtuh karena diserang oleh Dinasti Han dari Tiongkok. Gojoseon yang telah runtuh lalu terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil di utara yang mendapat pengaruh kuat dari budaya Tiongkok, dan konfederasi-konfederasi dibagian barat dan Selatan yang tetap mempertahankan budaya asli Gojoseon karena wilayah mereka yang terlalu jauh untuk dicapai oleh pengaruh Tiongkok. Negeri-negeri dibagian barat dan selatan seperti Kerajaan Silla dan Konfederasi Gaya lebih menyambut budaya dari Manchuria dan mungkin budaya lain yang lebih jauh (sangat mungkin dari Asia Barat dan negeri-negeri pecahan Uni Soviet) ketimbang budaya Tiongkok karena menganggap Tiongkok (Dinasti Han) sebagai penjajah yang meruntuhkan kerajaan nenek moyang mereka.







Orang-orang Silla

Penduduk Silla berasimilasi dengan budaya Tiongkok dari dinasti Chin, bukan Han (yang mempengaruhi budaya Baekje dan Goguryeo). Menurut kisah yang tertulis dalam kitab Samguk Yusa, pada masa pertikaian antara Dinasti Chin (setelah meninggalnya Kaisar Chin Shi Huang Di) dengan Dinasti Han yang dimenangkan oleh dinasti Han, sekelompok bangsawan dan orang-orang dari Dinasti Chin berhasil melarikan diri dari negeri Tiongkok dan tiba di wilayah Konfederasi Manhan. Pemimpin wilayah Mahan memberikan pada para pengungsi itu daerah Jinhan. Para pengungsi itu lalu tiba di Jinhan dan menetap disana turun-temurun. Hal inilah yang membuat rakyat Jinhan sangat membenci pengaruh apapun dari Dinasti Han. Nama “Jin” juga diambil dari “Chin”, dan nama “Jinhan” dibentuk dari menggabungkan kata “Jin” dari nama Dinasti Jin dan kata “Han” dalam bahasa Korea yang artinya “negara”. Selain itu, ada kemungkinan jika orang-orang Silla adalah keturunan generasi awal dari Siberia yang mendatangi wilayah Korea sebelum kedatangan orang-orang dari Manchuria dan China (yang menurunkan orang-orang Baekje).

Pengaruh luar Korea di Silla dapat dilihat dari penyebutan gelar "raja" di Kerajaan Silla. Silla adalah satu-satunya kerajaan di Korea yang pernah menggunakan nama yang berbeda-beda untuk menyebut rajanya, yaitu: Geoseogan, Chachaung, Isageum, Maripgan, dan Wang (Daewang untuk raja besar). Gelar “Isageum” berasal dari kata dalam bahasa Korea kuno yaitu “Itgeum” yang artinya “raja”. Kata “Itgeum” merupakan asal kata dari gelar “Imgeum” yaitu salah-satu kata dalam bahasa Korea modern untuk menyebut “Raja”. Gelar “Chachaung” yang berarti “Shaman” atau dukun dalam bahasa Kore kuno menandakan bahwa raja yang menggunakan gelar ini adalah raja yang sakti atau sangat kuat. Kata “Gan” dari gelar “Geoseogan” dan “Maripgan” berasal dari akar kata yang sama dengan gelar “Gan” atau gelar “Khan” yang digunakan oleh suku bangsa Turkik dan Mongol untuk menyebut pemimpin mereka. Gelar “wang” juga berarti raja namun gelar ini berasal dari Tiongkok. Gelar “Geoseogan”, “Maripgan”, dan “Isageum” digunakan pada masa-masa awal dinasti sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal gelar-gelar tersebut digunakan, Silla masih menggunakan bahasa Korea kuno namun mendapat pengaruh kuat dari unsur bahasa asing terutama dari Asia Barat. Ini menegaskan bahwa masyarakat Silla adalah percampuran dari pribumi Korea dan bangsa pendatang yang sangat mungkin berasal dari Manchuria dan Asia Barat. Percampuran-percampuran ini membuat Silla memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa dua kerajaan lain karena budaya Goguryeo dan Baekje berasal dari Buyeo sedangkan budaya Silla berasal dari Konfederasi Jinhan. Bahasa Korea memang digolongkan dalam rumpun bahasa altaic yang berasal dari kawasan Turki dan Asia Barat. 

Perbedaan etnis dan budaya antara Silla dan dua kerajaan lainnya diperkuat oleh penemuan para ahli genetik. Para ahli genetik yang melakukan penelitian atas gen orang-orang Korea memperoleh hasil yang menarik, yaitu meskipun sebagian besar gen orang Korea memiliki kemiripan dengan orang-orang Jepang dan Tiongkok (khususnya dari Beijing dan Jilin) namun orang-orang Korea yang menghuni daerah Gyeongsang (yang meliputi daerah Daegu, Ulsan, dan Busan modern) yang merupakan wilayah asli Silla memiliki asal dan percampuran ras yang berbeda dengan orang-orang Korea dari wilayah lain, karena sebagian besar penduduk wilayah Gyeongsan justru membawa DNA yang berasal dari Siberia.

Postur dan perawakan (khususnya wajah) penduduk Silla (struktur tulang rahang dan wajah, bukan warna kulit) juga dapat dibedakan dari perawakan rakyat dua kerajaan lainnya karena secara genetik penduduk Silla tidak murni ras Mongoloid namun lebih mirip seperti bangsa-bangsa yang berasal dari Siberia (seperti bangsa Kozak dan bangsa-bangsa dibekas kawasan Soviet). Dua kerajaan lain memang juga memiliki percampuran karena dua kerajaan itu berada diwilayah yang lebih mudah dijangkau dari utara, dibandingkan dengan Silla yang tergolong terpencil sehingga dua kerajaan tadi sangat mungkin mendapat pengaruh dari kerajaan-kerajaan utara khususnya Tiongkok. Silla juga mendapat pengaruh dari Tiongkok namun itu terjadi pada masa-masa selanjutnya. Gelar “wang“ dari Tiongkok digunakan pada masa-masa pertengahan dan akhir Kerajaan Silla saat Silla telah menjalin relasi yang erat dengan Tiongkok dan mulai menerapkan sistem birokrasi Tiongkok dalam pemerintahannya sehingga dalam hal ini Tiongkok sangat mempengaruhi sistem aristokrasi dan birokrasi Silla pada masa-masa pertengahan hingga periode akhir dinasti namun tidak mempengaruhi budaya Silla.

Ada satu hal yang menjadi pembeda antara orang Silla dan orang Korea lainnya, wajah oval.

Wajah oval para penduduk Silla ini membuat hampir semua orang Silla termasuk pria-prianya dikenal memiliki wajah yang sangat cantik. Hal ini dibuktikan oleh lukisan-lukisan kuno dari Tiongkok dan juga catatan-catatan kuno dari Jepang. Dalam lukisan-lukisan Tiongkok, utusan-utusan Silla digambarkan sebagai pemuda yang bertubuh lebih tinggi dari utusan dari Jepang, Baekje, dan Goguryeo. Wajah pemuda itu berbentuk oval dan terlihat cantik, dengan hidung yang mancung dan memiliki mata yang tidak terlalu sipit. Pemuda itu juga tampak menggunakan riasan wajah dan perhiasan. Sedangkan, dalam catatan Nihon Shoki, ada catatan yang mencantumkan kedatangan Pangeran Chunchu (Raja Muyeol) pada tahun 647/648 ke Jepang. Pangeran Kim Chunchu ini digambarkan sebagai.
"...seorang diplomat dari Korea yang berwajah sangat cantik...." (Kitab Nihon Shoki, Babad Kaisar Gotoku)

Gambaran-gambaran ini membuat klaim sejarawan Korea bahwa para Hwarang (ksatria Silla) yang dikabarkan terdiri dari pemuda-pemuda yang sangat cantik adalah benar, sebab Pangeran Kim Chunchu juga adalah mantan Hwarang dan bahkan pernah menjabat sebagai seorang Pungwolju (komandan Hwarang). Dan lagi, klaim bahwa para Hwarang itu tetap berwajah sangat cantik (syarat utama menjadi Hwarang) meskipun mereka sudah berusia diatas 30 tahun juga bisa dibenarkan, sebab Pangeran Chunchu tetap digambarkan sebagai seorang pria yang berwajah sangat cantik padahal saat itu dia telah berusia 43 tahun (Pangeran Chunchu lahir pada tahun 654).







Legenda lahirnya Para Leluhur klan Park, Seok, dan Kim


Silla merupakan satu-satunya Kerajaan di Korea yang pernah dipimpin oleh 3 klan yang berbeda, yaitu klan Park, klan Seok, dan klan Kim. Lahirnya para leluhur dari ketiga klan ini, yaitu Park Hyeokgeose (raja pertama Silla dan leluhur klan Park), Seok Talhae (raja keempat Silla dan leluhur klan Seok), dan Kim Alji (leluhur klan Kim) dikisahkan melalui cerita-cerita mitologi.

Menurut legenda, Hyeokgeose lahir dari sebuah telur yang dibawakan oleh seekor kuda putih yang muncul dari langit setelah sebelumnya ada cahaya yang sangat terang dari langit ketika enam pemimpin desa di negeri Saro berkumpul untuk berunding mengenai penunjukkan seorang raja atas negeri mereka. Pada saat telur tersebut pecah, maka terlihatlah seorang bayi laki-laki yang memiliki wajah yang sangat rupawan dan layaknya seorang bangsawan. 

Para sejarawan berusaha menerjemahkan legenda ini kedalam logika dan mengambil kesimpulan bahwa munculnya Hyeokgeose secara ajaib merupakan cerita tentang awal-mula klan Park mendapatkan dukungan dan memperoleh kekuasaan diatas klan lainnya yang justru lebih tua dan lebih banyak kaumnya. Telur yang diceritakan sebagai asal dari Park Hyeokgeose merupakan tanda bahwa Silla didirikan diatas keharmonisan dari rakyat pribumi Korea dan kaum pendatang, dan mungkin juga Hyeokgeose sejatinya dilahirkan dari perkawinan campuran antara orang pribumi dan seorang pendatang karena pada masa Korea kuno telur merupakan lambang dari persatuan unsur asli Korea dan luar Korea. Mungkin juga Hyeokgeose adalah bangsawan yang berasal dari luar Jinhan. Cahaya dari langit dalam legenda tersebut menunjukkan pemujaan pada dewa matahari (dan mungkin juga dewi Bulan), sedangkan kuda dalam legenda tersebut menandakan orang-orang pada masa itu sangat memuja kuda sebagai hewan yang disucikan, seperti rakyat India yang mensucikan sapi dan rakyat Thailand yang mensucikan gajah. 

Raja Talhae yang merupakan raja keempat Silla yang berasal dari sebuah negeri di Jepang, juga diceritakan lahir dari sebuah telur. Ayah Talhae adalah seorang penguasa atau raja kecil suatu wilayah yang bernama kerajaan Dapana di Timur Laut Jepang. Ayahnya yang takut karena menganggap kelahiran Talhae menandakan malapetaka bagi kerajaannya lalu meletakkan Talhae kedalam kotak dan membuangnya ke laut. Kotak tersebut lalu sampai ke Gyerim (dekat dengan Gyeongju) dan ditemukan oleh seorang nelayan. 

Sama seperti kelahiran Hyeokgeose, kelahiran Talhae melalui telur menandakan bahwa Talhae merupakan seorang yang memiliki darah campuran atau berasal dari luar Silla/Semenanjung Korea. Legenda kelahirannya yang dilambangkan berasal telur yang pada masa Korea kuno merupakan lambang dari persatuan unsur asli Korea dan luar Korea sebenarnya menceritakan tentang dirinya yang berasal dari luar Silla/Korea (pendatang) yang tiba di Silla dan mampu berbaur dengan masyarakat Silla. Talhae dan keluarganya diangkat sebagai bangsawan tinggi oleh penguasa Silla karena memiliki keahlian mengolah logam (pandai besi atau pembuat senjata dan peralatan).

Kim Alji yang merupakan leluhur para raja dan ratu Silla dari klan Kim juga diceritakan lahir secara ajaib. Menurut legenda, pada masa pemerintahan Raja Talhae, Kim Alji ditemukan oleh menteri Hogong disebuah hutan di Gyerim. Menurut legenda, Raja Talhae mendengar suara seekor ayam jantan berkokok dengan suara yang nyaring. Suara itu berasal dari arah Sirim (sebelah barat Gyeongju). Raja pun memerintahkan menteri Hogong untuk menyelidikinya. Hogong lalu tiba di hutan di Sirim dan menemukan sebuah kotak emas yang tertambat didahan pohon. Kotak itu memancarkan cahaya terang dan terlihat ada ayam jantan putih yang berkokok dengan suara nyaring. Hogong lalu melaporkan hal itu pada raja dan raja pun memerintahkan agar kotak emas itu dibawa kehadapannya. Saat raja membuka kotak itu, ada seorang bayi didalamnya. Raja sangat takjub dan menyayangi anak tersebut. Karena dia dilahirkan dari kotak emas dan sangat pandai, raja menamainya “Kim Alji”. Kim artinya “emas” (dalam arti sebenarnya), dan Alji juga berarti emas (lebih condong ke arti “emas” sebagai sifat/bersifat emas) dalam bahasa asli Korea.

Legenda kelahiran Kim Alji menunjukkan bahwa dia berasal dari luar Korea karena dia ditemukan didalam kotak. Kotak menunjukkan suatu pemberian atau hadiah, dan kotak emas berarti hadiah yang berharga. Hadiah yang berharga yang diberikan pada raja bisa berupa harta benda dan juga manusia (orang-orang berilmu/cendekiawan, budak, selir, dsb), dalam hal ini “hadiah berharga” itu adalah manusia, yaitu seorang yang cerdas (yang membuat negeri asalnya sangat bangga dan ilmunya dapat membantu kerajaan Silla). Pada masa itu, hadiah-hadiah berharga yang diberikan pada seorang raja sangat mungkin diberikan oleh raja dari kerajaan lain. Namun, Baekje dan Konfederasi Gaya sedang berperang dengan Silla pada masa pemerintahan Raja Talhae sehingga tidak mungkin “hadiah berharga” tersebut berasal dari mereka. Goguryeo juga saat itu sedang tidak bersahabat dengan Silla. Ada kemungkinan juga Kim Alji berasal dari negeri Wa (Jepang), namun adalah hal yang aneh jika Raja Talhae dan menteri Hogong yang keduanya juga berasal dari negeri Wa sangat takjub saat pertama kali melihat sosok Kim Alji, sehingga kemungkinan besar Kim Alji dikirim oleh negeri dari utara semenanjung (kemungkinan Manchuria atau bahkan negeri yang lebih jauh lagi) yang mungkin telah menjalin kontak dengan Silla. 

Para sejarawan mempertimbangkan kemungkinan bahwa Kim Alji mendapat nama “Kim” yang artinya emas (dalam arti sesungguhnya) karena dia adalah seorang pemimpin klan “emas” (mungkin klan yang kaya akan emas atau klan yang orang-orangnya berperawakan berbeda) yang datang dari utara Korea ke Silla. Namun, kemungkinan besar dia adalah putra salah seorang pemimpin negeri dari luar Korea yang diserahkan pada raja Talhae sebagai tanda persahabatan karena legenda tersebut menyebutkan bahwa Kim Alji ditemukan sebagai seorang bayi, yang diartikan bahwa dia adalah putra seseorang (orang yang mengirimnya). Kemungkinan Kim Alji dikirimkan ke Silla saat dia telah remaja atau pemuda yang berusia awal 20-an karena dia diceritakan sebagai seorang anak yang sangat pandai (yang tidak mungkin dimiliki oleh seorang bayi) sehingga membuat raja dan menterinya sangat takjub yang artinya bahwa dia memiliki pengetahuan yang asing bagi raja dan menterinya (yang menegaskan bahwa dia tidak berasal dari negeri Wa/Jepang, negeri asal Raja Talhae dan menteri Hogong) sehingga memperkuat kemungkinan bahwa dia memang seorang putra bangsawan atau bahkan putra pemimpin negeri yang mengirimnya. Kemungkinan dia datang bersama dengan banyak hadiah yang berharga sehingga dia dijuluki “emas” oleh raja Silla. Namun, mungkin juga Kim Alji memiliki perawakan fisik yang pada masa itu digambarkan bersinar layaknya emas, seperti warna kulit atau warna rambutnya yang berbeda dengan perawakan fisik Raja Talhae dan menteri Hogong yang berasal dari negeri Jepang. Sedangkan nama “Alji” (“emas” sebagai kata sifat/bersifat emas) diberikan padanya untuk menggambarkan kepandaiannya, karena legenda menyebutkan dia adalah seorang yang sangat pandai.





Sistem Pemerintahan Silla

Silla menganut sistem pemerintahan monarki yang dijalankan secara turun-temurun. Sama seperti kerajaan-kerajaan di Korea pada umumnya, Silla menjalankan pemerintahan monarki yang dibatasi oleh konstitusi (monarki konstitusional). Meskipun ada masanya seorang raja memiliki kekuasaan yang besar dan kuat namun raja tetap tidak diperbolehkan untuk melanggar undang-undang yang mengatur kekuasaannya. 

Roda pemerintahan dijalankan oleh para menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri (Sangdaedung). Perdana menteri harus tunduk pada raja dan juga undang-undang. Para bangsawan juga memiliki peran dan kekuasaan yang cukup besar dalam pemerintahan, hal yang sama juga berlaku bagi kaum cendekiawan karena setiap kerajaan dan dinasti di Korea sangat menghormati para sarjana. Pada periode akhir dinasti, keluarga bangsawan menjadi kekuatan utama dalam pemerintahan dan juga istana sedangkan raja hanya berperan sebagai kepala negara.

Pada mulanya, Silla terbagi dalam 3 provinsi, yaitu Yangju, Gangju, dan Sangju yang masing-masing provinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Setelah Silla berhasil mempersatukan Semenanjung Korea, maka Silla membentuk provinsi-provinsi di wilayah Baekje dan Goguryeo. Provinsi-provinsi itu adalah Muju, Jeonju, dan Ungju di bekas wilayah Baekje, dan provinsin Hanju, Sakju, dan Myeongju dibekas wilayah Goguryeo. Selain itu, setiap kota-kota di wilayah Silla dipimpin oleh seorang hakim wilayah yang bertanggung-jawab mengirimkan laporan rutin pada raja. Di masa Silla Bersatu, pemerintah mengadakan sensus untuk mengetahui jumlah populasi, luas wilayah, jumlah ternak dan produk-produk hasil bumi. Hal itu dicatat dalam buku Minjeongmunseo, dimana pemimpin tiap wilayah melakukan pelaporannya.

Setelah raja menerapkan kebijakan sentralisasi, Silla mulai mengadopsi sistem birokrasi Tiongkok untuk mengurus wilayah yang sangat luas juga untuk mengekang kekuasaan keluarga bangsawan. Pada periode awal, para pejabat mendapat bayaran dan juga penghargaan (bonus) berupa pemberian tanah (sistem no-geup), namun pada akhir abad ke-7 sampai akhir abad ke-8, raja mengganti sistem penggajian itu dengan sistem pembayaran gaji (jikjeon). Sebelum unifikasi, Silla mengurangi pajak hasil pertanian sampai 1/10 dan memerintahkan rakyat setiap kota membayar upeti berupa produk-produk lokal.





Kekuatan Militer Silla

Silla pada awalnya merupakan kerajaan yang paling lemah diantara tiga kerajaan di Semenanjung Korea. Hal ini dikarenakan oleh wilayah Silla yang lebih kecil dari wilayah kerajaan lainnya, juga letak Silla yang dikepung oleh berbagai negara yang justru berusaha memperluas wilayah mereka masing-masing dengan mencaplok wilayah Silla. Saat Silla berhasil menguasai seluruh wilayah di Konfederasi Jinhan, Silla langsung mulai mendapat gangguan dari selatan yaitu dari Konfederasi Gaya yang telah semakin kuat. Silla juga sering berhadapan dengan Kerajaan Baekje dibagian barat yang selalu ingin memperluas wilayah mereka. Selain itu, Kerajaan Goguryeo dibagian utara dan negeri Wa diseberang lautan juga cukup menjadi ancaman serius bagi Silla. Silla selalu berperang dengan para tetangganya dimasa-masa awal kerajaan ini berdiri karena Silla selalu diserang oleh tetangga-tetangganya.

Silla lalu menerapkan kebijakan diplomasi dan berusaha menjalin persahabatan dengan tetangga-tetangganya, sambil terus memperkuat angkatan perangnya. Silla lalu memperkuat pasukan infantrinya dan berhasil memenangkan banyak pertempuran terutama dengan Konfederasi Gaya dan Kerajaan Baekje. Selain itu, Silla juga berusaha memperkuat armada perangnya untuk menghadapi Baekje di Sungai Han dan juga untuk berjaga-jaga dari serbuan Kerajaan Yamato (Jepang).

Silla menerapkan sistem strata militer yang sangat rapih dan mendidik para calon komandan sejak mereka masih sangat muda. Sistem militer itu berhasil. Silla berhasil memiliki pasukan infanteri dalam jumlah besar yang semuanya adalah tentara yang sangat terlatih dan bukan tentara bayaran. Silla juga berhasil memiliki armada perang yang sangat kuat, dan bahkan menjadi satu-satunya kerajaan di Semenanjung Korea yang pernah memiliki pasukan khusus wanita yang dikenal dengan nama “Wonhwa”.

Militer Silla juga melahirkan pasukan khusus yang sangat disegani yang bernama “Hwarang”. Pasukan Hwarang adalah pasukan khusus Silla yang terdiri dari para ksatria muda yang tersebar diberbagai wilayah Silla. Seluruh bangsawan Silla diwajibkan untuk mendaftarkan anaknya sebagai Hwarang. Keharusan ini juga berlaku bagi para keturunan raja, dan bahkan putra-putra raja. Para Hwarang dan resimen yang dipimpinnya dilatih untuk bertempur didarat dan dilaut. Mereka juga dilatih untuk mampu membuat artileri dan infrastruktur militer seperti jembatan dan peralatan perang, dan bahkan sebagai mata-mata dan kontra-spionase. Para Hwarang juga diwajibkan memiliki moral yang tinggi sehingga mereka mampu berperang tanpa mempedulikan harta rampasan. Karena para Hwarang direkrut sejak usia belia, itu artinya Silla telah memiliki komandan-komandan perang yang berusia sangat muda.

Para Hwarang yang dikenal sangat disiplin dan unggul diberbagai aspek (khususnya kemampuan militer dan beladiri, moral, ilmu pengetahuan, dan ilmu agama) terus membawa semua kemampuan itu hingga mereka dewasa dan mengabdi pada negara. Saat seorang Hwarang melepas tugas sebagai Hwarang dan mengabdi dipemerintahan dan militer, maka artinya Silla telah menambah kekuatan militernya karena bergabungnya seorang komandan muda yang terlatih secara fisik dan mental sebagai prajurit yang memiliki naluri bertempur yang tinggi. Pasukan Hwarang yang terlibat disetiap pertempuran menjadi pasukan mematikan bagi semua lawan-lawan Silla dan menjadi salah satu pasukan yang paling mematikan di kawasan Asia Timur dan dunia pada masa kuno bahkan sepanjang masa. Di Asia Timur, kesuksesan resimen khusus ini hanya bisa disaingi oleh: Bala-tentara Dinasti Qin dibawah pimpinan Kaisar Qin Shi Huang Di, Balatentara Lelang (tentara khusus Dinasti Han), dan pasukan Samurai Jepang. Kekuatan dan kesuksesan resimen ini juga bersanding dengan resimen-resimen pasukan khusus terbaik dimasa kuno, yaitu: Laskar Janissari dari Kesultanan Ottoman, Pasukan Abadi dari Kerajaan Persia, Pasukan Sparta dari Yunani, Resimen Legiun dari Romawi, Pasukan Jaguar dari Kerajaan Indian Aztec, dan Resimen Bhayangkara dari Kerajaan Majapahit. Meskipun banyak resimen pasukan khusus didunia pada masa itu, namun Hwarang diakui sebagai pasukan elit terbaik di Asia pada masanya.

Kekuatan militer Silla juga merupakan satu-satunya kekuatan militer di Asia Timur yang mampu mengalahkan balatentara Tang. Keberhasilan Silla mempersatukan Semenanjung Korea menjadi bukti dari kedigdayaan militernya. Silla mampu mengamankan wilayahnya yang luas dari serbuan kerajaan-kerajaan dibagian utara, khususnya Kerajaan Balhae, juga serbuan dari Manchuria dan negeri-negeri di Asia Barat serta bangsa barbar yang saat itu menguasai beberapa wilayah Rusia. Silla bahkan mampu mengusir balatentara Dinasti Tang beserta seluruh koloni-koloninya dari Semenanjung Korea. Selain itu, Silla juga memiliki armada perang yang besar dan sangat ditakuti dikawasan Asia Timur.





Kehidupan Sosial Masyarakat Silla

Masyarakat Silla sejak masa-masa awal kerajaan ini berdiri dikenal sebagai masyarakat bermoral yang cinta damai dan memiliki peradaban yang tinggi. Saat Balatentara Lelang dari Tiongkok menembus wilayah Silla, mereka melaporkan pada Kaisar Dinasti Han bahwa rakyat Silla adalah rakyat yang hidup dengan menanam padi dan tidak mengunci pintu rumah mereka disaat malam sehingga dalam catatan-catatan Tiongkok disebutkan bahwa Silla adalah kerajaan yang menjunjung nilai moral yang tinggi dan bersahabat.

Namun, Silla lalu menerapkan kebijakan aristokrasi yang ketat. Setelah penaklukan-penaklukan berbagai daerah baru, pihak istana Silla mulai menetapkan kebijakan-kebijakan sosial, birokrasi, dan hukum yang sangat ketat untuk melindungi klan-klan asli Silla. Saat itu, pangkat dan status sosial para pejabat ditentukan oleh sistem “ranking tulang”. Sistem ini juga diterapkan terhadap anggota keluarga kerajaan. Sistem “ranking tulang” anggota keluarga kerajaan terdiri dari kelas “Seon-geol” (Tulang Suci) yaitu para keturunan raja yang kedua orang-tuanya juga adalah murni keturunan raja, dan kelas “Jin-geol” (Tulang Murni) yaitu para keturunan raja yang hanya salah-satu dari kedua orang-tuanya adalah murni keturunan raja. 

Calon raja atau ratu hanya boleh berasal dari keturunan yang kedua orang tuanya berasal dari kelas “Seon-geol” (Tulang Suci), karena jika seorang anak raja atau keturunan raja dari kelas “Seon-geol” (Tulang Suci) menikah dengan bangsawan atau bahkan juga dengan keturunan raja lainnya namun berasal dari kelas “Jin-geol” (Tulang Murni) maka keturunannya akan digolongkan sebagai kelas “Jin-geol” (Tulang Murni), namun anak-anak mereka akan menikmati status yang disebut keturunan campuran (tidak murni dari kelas Seon-geol maupun kelas Jin-geol) yang lebih tinggi dari kelas “Jin-geol” (Tulang Murni), tapi tidak bisa lebih tinggi dari kelas “Seon-geol” (Tulang Suci). Uniknya, ada banyak bangsawan Silla yang masuk ke “golongan campuran” ini, seperti Raja Taejong Muyeol (ayahnya diturunkan ke kelas “Jin-geol” sedangkan ibunya dari kelas “Seon-geol”), Jenderal Kim Yushin (ayahnya adalah bangsawan yang berasal dari Konfederasi Gaya, dan ibunya adalah kelas “Seon-geol”), dan Perdana Menteri Alcheon (ayahnya dari kelas “Seon-geol” dan ibunya dari kelas “Jin-geol”). Sistem kelas “Seon-geol” dan “Jin-geol” ini lalu berakhir setelah semua keturunan raja dari kelas “Seon-geol” wafat. 

Sistem sosial Silla juga mengatur cara berpakaian (model pakaian), bentuk rumah, dan jumlah perkawinan yang diperbolehkan bagi rakyat dan pejabatnya.





Kesetaraan Gender di Kerajaan Silla

Silla merupakan satu-satunya kerajaan di Korea yang pernah dipimpin oleh ratu. Ada tiga ratu yang pernah memimpin Silla, dan hal ini merupakan salah satu rekor di kawasan Asia Timur dan sebuah fenomena sepanjang sejarah panjang Korea. Hal ini mungkin terjadi karena rakyat Silla lebih menjunjung tinggi kesetaraan gender dibandingkan rakyat kerajaan lain di Semenanjung Korea. Kesetaraan gender ini telah terlihat dari legenda pendirian kerajaan Silla, yang menyebutkan bahwa istri Park Hyeokgeose (raja pertama Silla) berasal dari tulang rusuk seekor naga. Naga bisa diartikan sebagai Park Hyeokgeose, karena naga sangat diagungkan sebagai raja atau dewa yang perkasa dalam mitologi Asia Timur. Lahir dari tulang rusuk naga memiliki arti bahwa yang dilahirkan tersebut setara dengan sang naga, karena tidak dilahirkan dari rambut (yang artinya lebih tinggi dari sang naga) atau tulang kaki (yang artinya lebih rendah dari sang naga) meskipun sang naga tetaplah raja atau pemimpinnya. Hal ini mirip dengan proses penciptaan Hawa dalam Alkitab yang diciptakan dari tulang rusuk Adam (dalam filsafat Kristen, tulang rusuk artinya setara, karena letaknya ditengah tubuh) yang dalam filsafat Kristen diartikan bahwa setiap perempuan (yang digambarkan oleh Hawa) diciptakan setara dengan pria meskipun seorang pria tetaplah menjadi kepala dalam keluarga. Faktor kesetaraan gender jugalah yang membuat Silla pernah memiliki satu-satunya pasukan khusus wanita dalam sejarah Korea yang bernama “Wonhwa”. Kesetaraan gender ini hanyalah satu dari banyak kelebihan yang dimiliki oleh kerajaan Silla, yang tidak dimiliki oleh dua kerajaan lainnya.




Perekonomian Silla

Silla adalah negara agraris yang mengandalkan hasil pertanian sebagai produk utamanya. Silla melakukan perdagangan dengan Tiongkok dan Jepang karena wilayah Silla adalah daratan yang menghubungkan Jepang dengan Tiongkok. Melalui Tiongkok, Silla melakukan perdagangan dengan para pedagang dari jazirah Arab dan mungkin juga dengan para pedagang dari kerajaan-kerajaan yang lebih jauh lagi seperti India dan Byzantium. Oleh kerajaan-kerajaan Arab, Silla dikenal sebagai negeri yang sangat kaya dan makmur. Hal ini dapat ditelusuri dari catatan-catatan yang ditulis oleh Ahli geografi dari Arab dan Persia seperti Ibn Khuradhih, Al-Masudi, Dimashiki, Al-Nawairi dan Al-Maqrizi tentang Silla. Melalui Jepang, ada kemungkinan Silla melakukan perdagangan dengan negeri-negeri di Asia Tenggara melalui jalur laut.





Hubungan Bilateral Kerajaan Silla Dengan Kerajaan Lain

Silla menerapkan kebijakan diplomasi aktif dan menjalin persahabatan dengan tetangga-tetangganya. Silla berhasil menjalin persahabatan dengan Goguryeo untuk menekan Baekje, sementara itu Silla juga menjalin persahabatan dengan Baekje untuk mengamankan posisi mereka dan mencegah negerinya diserang dari barat. Silla juga berhasil menjalin persahabatan dengan dinasti-dinasti di Tiongkok dan dengan Kerajaan Yamato. Silla juga berhasil diperkenalkan ke India oleh Biksu Hyecho yang mengunjungi India melalui Tiongkok untuk mencari dan menulis catatan-catatan ajaran Budhha. 




Keruntuhan Kerajaan Silla

Kedigdayaan Silla setelah mempersatukan Semenanjung Korea justru dihancurkan oleh konflik istana. Setelah pembunuhan Raja Hyegyeong (keturunan terakhir Raja Taejong Muyeol) maka wibawa raja telah hilang dan Silla kehilangan pemimpin yang mampu memimpin wilayah yang luas. Negeri-negeri yang dulu ditaklukkan Silla mulai berusaha melepaskan diri dan merdeka. Selain itu, Silla juga mulai diserang oleh kerajaan-kerajaan merdeka yang menaruh dendam pada Silla, seperti Kerajaan Hu-Baekje dan Kerajaan Balhae. Pada masa-masa ini, muncullah seorang jenderal yang kharismatik yang bernama Wang Geon. Wang Geon lalu menyerang Silla dan mengakhiri riwayat kerajaan seribu tahun ini. Raja terakhir Silla yang kehilangan harapan untuk memerintah negerinya lalu menyerahkan diri dan mendapat nasib baik karena dia dan keluarganya tidak dieksekusi oleh Wang Geon melainkan diangkat sebagai gubernur yang membawahi wilayah lama Silla.






Warisan Silla

Banyak hal yang diwariskan Silla bagi kerajaan-kerajaan penerusnya. Selain peninggalan-peninggalan sejarah dan Buddhisme, Silla mewariskan sistem pemerintahan dan birokrasi yang mapan dan rapih bagi kerajaan penerusnya. Birokrasi ala Silla ini diadopsi oleh putra-putra dan cucu-cucu Wang Geon yang bergantian menjadi raja-raja Goryeo. Selain sistem pemerintahan, Silla juga mewariskan etos kemiliteran termasuk sumpah hwarangyang kembali digaungkan disaat-saat Korea mengalami peperangan dengan lawan-lawannya. Selain itu, walaupun diruntuhkan oleh Goryeo namun pada kenyataannya keturunan-keturunan Silla lah yang menduduki tahta di Semenanjung Korea hingga kerajaan terakhir di Semenanjung Korea diruntuhkan, sebab raja-raja Goryeo bukan diturunkan oleh putra pertama Wang Geon, Wang Mu yang berasal dari Naju, atau bahkan raja terkuat Goryeo, Wang So yang berasal dari Hwanghae, melainkan oleh Ahnjong Wook yang dikenal sebagai Pangeran Gyeongju atau Pangeran Silla (pangeran keturunan Silla). Selain itu, wangsa Yi (Lee) yang menjadi penguasa-penguasa Joseon sejatinya merupakan klan asli Silla yang nama marga mereka (marga Yi) diberikan sendiri oleh Raja Yuri pada abad pertama masehi.






Kerajaan Silla dalam budaya populer

Kerajaan Silla diceritakan dalam beberapa drama dan film. Drama “The Great Queen Seondeok” adalah drama pertama yang mengambil cerita dengan latar sejarah Kerajaan Silla. Drama lainnya adalah “The King’s Dream” yang menceritakan bagaimana Raja Taejong Muyeol mempersatukan Semenanjung Korea. Cerita tentang Kerajaan Silla juga muncul dalam drama atau film yang mengambil latar tentang Kerajaan Baekje, Kerajaan Goguryeo, dan juga periode awal Goryeo. Oleh karena itu, Kerajaan Silla diceritakan dalam drama “Gyebaek” yang menceritakan tentang seorang jenderal Baekje yang bertempur habis-habisan melawan pasukan Jendral Kim Yushin dari Silla, dalam drama yang mengambil latar sejarah Kerajaan Baekje lainnya seperti drama “The Ballad Of Seo Dong Yo”,  drama "Wang-geon" tentang pendirian Kerajaan Goryeo, juga drama “Gwanggaeto The Great” dan “Sword Flower” yang merupakan drama berlatarkan Kerajaan Goguryeo. Era Kerajaan Silla juga menjadi latar cerita dalam drama “Hwarang, The Flower Man” yang dibintangi oleh aktor Park Seojoon, V (member BTS), dan Park Hyunshik (member grup ZE:A).





Daftar istilah penting yang sering muncul dalam catatan Kerajaan Silla:

-Gaeseogan: Sebutan gelar bagi raja Silla yang pertama kali digunakan (gelar ini digunakan oleh Park Heokgeose).

-Chachaung: Sebutan gelar bagi raja Silla yang menggantikan sebutan Gaeseogan (gelar ini digunakan oleh Raja Namhae). Arti dari gelar ini adalah "Shaman" dalam bahasa Silla.

-Isageum: Sebutan gelar bagi raja Silla yang menggantikan sebutan Chachaeung (gelar ini mulai digunakan oleh Raja Yuri)

-Maripgan: Sebutan gelar bagi raja Silla yang menggantikan sebutan Isageum (gelar ini digunakan mulai oleh Raja Naemul)

-Wang: Sebutan gelar bagi raja Silla yang menggantikan sebutan Maripgan (gelar ini digunakan mulai oleh Raja Jijeung). Gelar ini diadopsi dari sebutan gelar raja di Tiongkok

-Daewang (atau Taewang): Sama artinya dengan gelar "Wang" hanya saja sebutan "Daewang" khusus diperuntukkan bagi "Raja Besar" dalam sejarah Silla. Raja Silla yang menyandang gelar "Daewang" adalah Raja Jinheung dan Raja Munmu.

-Ranking Tulang: Sistem kasta kebangsawanan Silla yang diterapkan sejak era Raja Bopheung. Sistem kasta ini diterapkan untuk memperkuat otoritas keluarga kerajaan yang berasal dari klan Kim, terutama keturunan langsung raja-raja Silla dari klan Kim agar tidak bercampur dengan bangsawan lain untuk menjaga keistimewaan keluarga raja.

-Seong-geol (tulang suci): Kasta tertinggi dalam sistem aristokrasi (Ranking Tulang) Silla. Kasta ini hanya boleh terdiri dari keluarga kerajaan yang berasal dari klan Kim, dan harus seorang bangsawan yang berasal dari keturunan raja baik dari ayahnya maupun dari ibunya. Jika salah-satu orang-tuanya bukan merupakan keturunan langsung (secara paternal) raja-raja Silla maka orang itu tidak dapat digolongkan kedalam kasta Seong-geol dan akan kehilangan hak atas tahta, kecuali jika seluruh keturunan raja dari kelas Seong-geol telah punah maka para bangsawan keturunan campuran (memiliki salah-satu orang-tua dari kelas Seong-geol dan orang-tua lainnya dari kelas Jing-geol) akan dipertimbangkan sebagai pewaris tahta, karena darah seong-geol nya.

-Jing-geol (Tulang Murni): Kasta tertinggi kedua dalam sistem aristokrasi (Ranking Tulang) Silla. Kasta ini terdiri dari para bangsawan keturunan para raja Silla dari klan Park dan Seok, dan para keturunan raja namun salah-satu orang-tuanya bukan keturunan raja (memiliki darah keturunan raja hanya disatu pihak), dan juga klan Kim (klan Gimhae) yang bukan berasal dari raja-raja Silla klan (Kim Gyeongsang) melainkan berasal dari raja-raja Kerajaan Gaya yang telah ditaklukkan Silla yang memang bermarga Kim. Jika seorang keturunan raja memiliki salah-satu orang-tua bukan keturunan langsung (secara paternal) raja-raja Silla maka orang itu otomatis langsung digolongkan kedalam kelas Jing-geol. Sedangkan, jika seorang bangsawan memiliki salah-satu orang-tua dari kelas Seong-geol dan orang-tua lainnya dari kelas Jing-geol maka dia akan disebut keturunan campuran, dan jika seluruh keturunan raja dari kelas Seong-geol telah punah maka bangsawan tersebut akan dipertimbangkan sebagai pewaris tahta, karena darah seong-geol nya.

-Kepala Kasta (Head Ranking): Sebutan bagi para bangsawan yang memimpin 6 tingkatan kasta dibawah kasta Jing-geol (namun hanya tingkat 6, 5, dan 4 yang memiliki gelar), dan yang bukan berasal dari keturunan raja (secara paternal), baik dari klan Kim Silla, Park, Seok, atau dari klan Kim Gaya. Setinggi apapun posisi mereka dalam pemerintahan, mereka tidak memiliki hak atas tahta Silla.

-Ichan: Sebutan bagi bangsawan dengan level tertinggi di kasta level 6 atau kepala kasta level 6. Ichan merupakan ranking tertinggi dalam kasta bangsawan ke-6 di Silla yang menempatkannya berada dibawah langsung dari para bangsawan kelas Jing-geol. Posisi tertinggi dalam pemerintahan yang dapat mereka duduki adalah sebagai wakil menteri, namun mereka dapat diangkat menjadi seorang perdana-menteri jika raja/ratu sendiri yang menunjuknya atas kesepakatan dengan para bangsawan tinggi dan para menteri di Hwabaek.

-Achan: Sebutan bagi para bangsawan dengan level kedua tertinggi di kasta ke-6 (level dibawah Ichan).

-Jung-achan: Sebutan bagi para bangsawan dengan level ketiga tertinggi di kasta ke-6 (level dibawah Achan)

-Sajung-achan: Sebutan bagi para bangsawan dengan level ketiga tertinggi di kasta ke-6 (level dibawah Jung-achan)

-Galmunwang: Gelar bagi seorang bangsawan dari kasta tertinggi (Seong-geol) dengan posisi tertinggi dalam negara yang setara dengan raja namun tidak memiliki hak atas-tahta maupun kekuasaan di pemerintahan (jika mereka tidak menjabat sebagai salah-satu pejabat negara). Gelar ini biasanya diberikan pada para saudara kandung raja/ratu (para pangeran). Pemberian ini lalu dihilangkan sekitar masa pemerintahan Ratu Seondeok dan Ratu Jindeok akibat maraknya pemberontakan yang menentang kekuasaan ratu, meskipun pemberontakan itu tidak datang dari para galmunwang.

-Sangdaedung: Gelar yang berarti “menteri yang pertama” atau “menteri dari para menteri”. Kini gelar itu merujuk untuk menyebut “perdana-menteri”. Hanya bangsawan tinggi yang bisa menjabat sebagai Sangdaedung, dan mereka harus berasal minimal dari kelas Jing-geol (mulai diterapkan sejak Raja Beopheung berkuasa) dan pernah menjadi seorang hwarang (mulai diterapkan saat Raja Jinpyeong berkuasa). Pada kasus yang jarang terjadi, bangsawan dari kasta ke-6 di level Ichan dapat diangkat menjadi seorang perdana-menteri jika raja/ratu sendiri yang menunjuknya atas kesepakatan dengan para bangsawan tinggi dan para menteri di Hwabaek.

-Daedung: Sebutan bagi “menteri” di Silla yang berasal minimal dari kelas Jing-geol (mulai diterapkan sejak Raja Beopheung berkuasa) dan pernah menjadi seorang hwarang (mulai diterapkan saat Raja Jinpyeong berkuasa).

-Gyeong: Sebutan bagi “wakil-menteri” di Silla. Posisi ini minimal hanya boleh dijabat oleh seorang Ichan (mulai diterapkan sejak Raja Beopheung berkuasa) dan pernah menjadi seorang hwarang (mulai diterapkan saat Raja Jinpyeong berkuasa).

-Hwabaek: Dewan menteri Silla (di era modern disebut “kabinet”)

-Hwarang: Resimen pasukan khusus Silla yang terdiri dari para pemuda bangsawan yang menguasai ilmu beladiri, militer, agama, sastra, dan pemerintahan. 

-Komandan Hwarang: Jabatan bagi setiap kepala pasukan hwarang. Hanya para komandan hwarang yang dapat disebut “Hwarang”, sedangkan para anggota resimen hwarang yang dibawahi oleh seorang komandan hwarang disebut “Nangdo”. Setelah para Nangdo terpilih sebagai pemimpin pasukan, barulah dia dapat mendapat gelar “Hwarang”.

-Pungwolju: Pemimpin para Hwarang (orang yang jabatannya berada diatas para komandan Hwarang)

-Gukseon: Guru para Hwarang (orang yang jabatannya berada diatas Pungwolju)

-Komandan Hwarang Elit Seorabeol: Sebutan bagi para komandan Hwarang yang bertugas di Seorabeol (ibukota Silla) karena hanya para komandan hwarang terbaik yang dapat dipercaya untuk menjadi hwarang yang mengabdi di Seorabeol, dan jumlah normal mereka hanya sepuluh orang.

- -rang: Sebutan dibelakang nama bagi para komandan Hwarang dan Pungwolju (contoh: Seolwon-rang, Alcheon-rang, Yushin-rang, dst)

-Nangdo: Anggota resimen hwarang yang mengabdi pada seorang komandan hwarang, namun belum memperoleh gelar “Hwarang” karena belum menjadi komandan hwarang, tetapi mereka tetap memakai seragam hwarang dan diakui sebagai seorang hwarang (contohnya para sarjana tamatan program D-3 jurusan Ilmu Ekonomi atau Ilmu Keperawatan, dll, tetap akan diakui sebagai seorang sarjana Ilmu Ekonomi atau sarjana Ilmu Keparawatan, namun tidak dapat memperoleh gelar “Sarjana Ekonomi (S.E)” atau “Sarjana Keperawatan (S.Pr), karena gelar-gelar itu hanya bisa disandang oleh para sarjana tamatan S-1).

-Daenama: Level ke-10 dari sistem pegawai negeri sipil & militer Silla. Level ini adalah level tertinggi yang bisa dijabat oleh seorang bangsawan dari kasta ke-5

-Daesa: Level ke-12 dari sistem pegawai negeri sipil & militer Silla. Level ini adalah level tertinggi yang bisa dijabat oleh seorang bangsawan dari kasta ke-4

-Nama Era: Nama yang dipilih oleh para penguasa Silla untuk menyebut era pemerintahannya. Silla mulai memiliki nama era sejak masa pemerinthana Raja Beopheung, namun nama era secara resmi digunakan sejak masa pemerintahan Raja Jinpyeong, yaitu sejak tahun 584. Silla memiliki delapan nama era sepanjang kerajaan ini berdiri, yaitu: Geon-won (artinya “Penetapan Pertama”, yang merupakan nama era pemerintahan Raja Beopheung dan Raja Jinheung yang merujuk pada tahun 536 hingga 551), Gae-guk (artinya: “Pendirian Negara”, yang merupakan nama era pemerintahan Raja Jinheung yang merujuk pada tahun 551 hingga 567), Dae-chang (artinya “Cahaya Besar”, yang merupakan nama era pemerintahan Raja Jinheung yang merujuk pada tahun 568 hingga 572), Hongje (artinya “Pembebasan Besar”, yang merupakan nama era pemerintahan Raja Jinheung, Raja Jinji, dan Raja Jinpyeong yang merujuk pada tahun 572 hingga 583), Geonbeok (artinya “Permulaan Berkat”, yang merupakan nama era pemerintahan Raja Jinpyeong dan Ratu Seondeok yang merujuk pada tahun 584 hingga 634), Inpyeong (artinya “Kebajikan Yang Berimbang”, yang merupakan nama era pemerintahan Ratu Seondeok yang merujuk pada tahun 634 hingga 647), Taehwa (artinya “Harmoni Agung”, yang merupakan nama era pemerintahan Ratu Jindeok yang merujuk pada tahun 647 hingga 650), dan nama era terakhir adalah Gyeong-un (artinya “Perayaan Besar”, yang merupakan nama era pemerintahan Raja Heonchang yang diambil sejak tahun 822). Nama era Silla mulai dihilangkan pada masa pemerintahan Ratu Jindeok karena mengadopsi nama era dari Dinasti Tang, namun nama era ini dimunculkan kembali oleh Raja Heonchang.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture : MBC (drama "The Great Queen Seondeok", 2009), KBS (drama "The King's Dream", 2011)

Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media


Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; The Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


Daftar Website: