DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Showing posts with label Hwarang. Show all posts
Showing posts with label Hwarang. Show all posts

Saturday, 10 February 2018

HUBUNGAN JEPANG-KOREA DARI MASA KE MASA: RIWAYAT PERANG ANTARA JEPANG DAN KOREA



Hubungan Jepang dan Korea memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarah panjang kedua bangsa ini didominasi oleh berbagai perselisihan yang kerap menghasilkan perang. Perang-perang antara Jepang dan Korea selalu perang berskala besar yang menimbulkan kehancuran yang luar biasa. Pada masa kini, sengketa Pulau Dokdo seakan menegaskan kembali hubungan buruk kedua bangsa ini sejak masa lalu.

Berdasarkan letak geografi, Korea adalah daratan penghubung dan jalur terdekat antara kepulauan Jepang dan wilayah Tiongkok. Selain itu, Korea memiliki infrastruktur yang baik untuk memobilisasi sejumlah besar orang untuk menuju ke Tiongkok dengan menggunakan jalur darat. Inilah yang diincar oleh Jepang. Letak geografis Korea lalu menjadi salah-satu motivasi Jepang menyerbu daratan semenanjung ini dalam hampir semua penyerbuan-penyerbuannya. Namun, bukan berarti hanya Jepang saja yang pernah mengawali serbuannya, sebab balatentara Korea-pun pernah menyerbu Jepang.

Inilah riwayat peran-perang besar Jepang dan Korea sejak masa Tiga Kerajaan Korea hingga era Restorasi Meiji.




PENYERBUAN-PENYERBUAN JEPANG KE SILLA

Diantara semua kerajaan dan dinasti yang pernah berkuasa di Korea, hubungan terburuk Jepang adalah dengan Kerajaan Silla. Silla adalah kerajaan yang paling sering diserbu Jepang tapi Silla juga adalah kerajaan Korea yang mengakhiri serbuan Jepang yang sudah terjadi selama 600 tahun, dan membuat Jepang tidak pernah mampu menyerbu Korea selama hampir 1000 tahun.

Kerajaan Silla sebenarnya tidak pernah menyerbu Jepang, tapi Jepang melakukan banyak sekali penyerbuan ke wilayah selatan Korea ini. Uniknya, diantara Tiga Kerajaan Korea (Goguryeo, Silla, Baekje), Silla adalah kerajaan yang memiliki pertalian paling erat dengan Jepang, sebab salah-satu raja Silla (Raja Talhae) berasal dari Jepang. Menteri kepercayaan Raja Hyeokgeose (raja pertama Silla), yaitu menteri Hogong, juga berasal dari Jepang. Meski demikian, Silla justru merupakan satu-satunya kerajaan Korea yang anggota keluarga kerajaan-nya pernah menjadi tawanan Kekaisaran Jepang sebelum keruntuhan Joseon.

Serbuan pertama Jepang tercatat sudah terjadi sejak periode awal Tiga Kerajaan, yaitu tahun 14 M. Ketika itu, Jepang yang dipimpin oleh Kaisar Suinin berusaha menguasai Semenanjung Korea dengan menyerbu daratan semenanjung yang letaknya terdekat dengan Jepang yaitu wilayah Silla. Mungkin sang kaisar memiliki keinginan untuk menyerbu Tiongkok atau setidaknya menguasai jalur perdagangan ke Tiongkok yang terhalangi oleh wilayah Kerajaan Silla dan juga wilayah Konfederasi Gaya. Silla berhasil menghalau serbuan ini, tapi ini membuat hubungan Jepang dan Silla menjadi sangat buruk.

Hubungan Silla dan Jepang bisa diperbaiki berkat sikap bersahabat yang ditunjukan oleh Kaisarina Himiko. Persahabatan Silla dan Jepang terjalin erat selama masa pemerintahan Raja Adalla dan Kaisarina Himiko.

Tapi, hampir seabad setelah kematian dua penguasa yang bersahabat ini, hubungan Silla dan Jepang kembali memburuk ketika Silla diserbu Jepang pada masa pemerintahan Raja Jobun (raja Silla ke-11) padahal Raja Jobun (dari klan Seok) adalah keturunan Raja Talhae yang berasal dari Jepang.

Jepang kembali menyerbu Silla pada masa pengganti Raja Jobun, Raja Cheomhae. Awalnya, Silla tidak membalas dan juga tampaknya kedua kerajaan berhasil menghasilkan kesepakatan gencatan senjata. Tapi, ketika salah-satu pangeran Silla, yang juga adalah sahabat terdekat Raja Cheomhae, tewas dibunuh oleh mata-mata dari Jepang, Raja Cheomhae-pun murka dan memulai perang dengan Jepang.

Saat Baekje menyerang perbatasan Silla di-era pemerintahan Raja Yurye (raja Silla ke-14), Jepang memanfaatkan hal itu untuk kembali menyerbu Silla, dan perang dengan Jepang ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Beolhyu (raja Silla ke-15, 298-310 M).

Raja Heulhae (raja Silla ke-16, 310-356), yang dikenal cinta damai, berusaha menunjukan ikhtiar baik demi memperbaiki hubungan kedua kerajaan melalui pernikahannya dengan salah satu putri bangsawan Jepang (313 M). Usaha Raja Heulhae membuahkan hasil dan berjalan dengan baik, tapi Jepang lalu membatalkan perjanjian damai dengan Silla (346 M) dan menyerbu Silla pada tahun berikutnya.

Sepeninggal Raja Heulhae (356 M), serbuan-serbuan Jepang ke Korea sempat surut. Silla diserbu Jepang pada tahun 364 M saat Raja Naemul (raja Silla ke-17, 356-402 M) berkuasa. Jepang saat itu dipimpin oleh Kaisar Nintoku. Tapi, hubungan buruk kedua negara juga berhasil diperbaiki pada masa pemerintahan Raja Naemul. Saat itu, Kaisar Jepang mengirim utusan ke Silla (391 M) sebagai tanda persahabatan. Sebagai gantinya, Raja Naemul mengirimkan putranya (Pangeran Misaheun) bersama dengan menteri istana Park Saram ke istana Jepang (391) sebagai utusan dan tanda persahabatan. Tapi, setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak menganggapnya sebagai seorang utusan melainkan sebagai tawanan yang menjadi jaminan bagi Jepang agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak diijinkan untuk kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun.

Setelah Raja Naemul meninggal, penggantinya, Raja Silseong (raja Silla ke-18, 402-417) kembali mempererat perdamaian dengan Jepang. Hubungan ini terus terjalin baik di era Raja Nulji (raja Silla ke-19, 417-458) meskipun Raja Nulji secara rahasia membawa kembali adiknya, Pangeran Misaheun, ke Silla, sehingga sempat membuat Kaisar Jepang sangat marah.

Perdamaian Silla-Jepang yang diinisiasi oleh Raja Naemul ini terus bertahan walaupun Jepang menjalin aliansi dengan musuh terbesar Silla saat itu, yaitu Kerajaan Baekje. Namun, permusuhan Silla-Baekje juga sempat berakhir dengan menjalin perjanjian damai yang panjang sebab sejak era Raja Jabi (raja Silla ke-20) Silla menjalin aliansi dengan Baekje, yang bertahan lebih dari 200 tahun. Hubungan baik Silla-Baekje selama 200 tahun ini juga memperbaiki hubungan antara Jepang dengan Silla sebab pihak Jepang ditekan oleh Baekje untuk tidak mengganggu Silla.

Berkat Jepang, Silla mendapatkan banyak pasokan produk dari Asia Tenggara. Juga, berkat aliansinya dengan kerajaan Baekje, Jepang juga bisa lebih mudah mengimpor produk-produk dari negeri Tiongkok, dan juga dari India dan Timur Tengah (walaupun sedikit). Sangat lama kemudian barulah Jepang kembali menyerbu Silla pada tahun 663 M melalui pertempuran maritim besar yang dikenal dengan nama Perang Baekgang.




PEMBUNUHAN PANGERAN SEOK URO OLEH MATA-MATA JEPANG

Pangeran Seok Uro (juga dikenal dengan nama Jenderal Seok Uro) adalah putra Raja Naehae dan keponakan Raja Cheomhae. Meskipun statusnya dengan Raja Cheomhae adalah paman dan keponakan, namun besar kemungkinan usia mereka tidak berbeda jauh.

Pangeran Uro kehilangan hak waris-nya sebagai pewaris tahta Silla setelah ayahnya, Raja Naehae, menunjuk pamannya, Raja Jobun, sebagai pewaris tahta. Ayahnya meninggal saat Pangeran Uro masih kecil, sehingga saat itu pihak kerajaan harus menuruti rekomendasi dewan istana yang merekomendasikan Jobun sebagai pewarisnya. Saat itu, peran dewan istana sangat kuat dalam menentukan pewaris tahta, sama seperti saat kakek buyutnya (Raja Beolhyu) meninggal dan kakeknya, Pangeran Imae juga telah meninggal, dan Putra Mahkota Goljeong juga meninggal maka ayahnya lalu ditunjuk sebagai raja. Saat ayahnya meninggal, tahta dikembalikan pada pamannya, Jobun (putra mendiang Putra Mahkota Goljeong, saudara ayahnya) yang sebelumnya tidak tunjuk sebagai raja karena masih kecil. Ketika Raja Jobun meninggal, tahta lalu diberikan pada Raja Cheomhae yang dianggap lebih matang, bukannya pada Pangeran Uro.

Meski demikian, Pangeran Uro menjadi pendukung setia tahta Silla dan tidak pernah mencoba menggulingkan raja yang sah. Dia mengabdi pada Silla sebagai seorang jenderal dan memenangkan banyak pertempuran termasuk pertempuran-pertempuran melawan Jepang.

Silla dan Jepang akhirnya berhasil melakukan gencatan senjata, tapi periode ini adalah masa-masa terjadinya perang mata-mata yang makin lama kian memanas dan akhirnya memuncak ketika Pangeran Uro tewas dibunuh (250 M) oleh mata-mata Jepang. 

Kematian Pangeran Uro ini membuat Raja Cheomhae murka dan kembali berperang dengan Jepang.




RAJA NULJI DAN PARK JESANG

Setelah kekuasaan klan Park, pemerintahan Kerajaan Silla dilanjutkan oleh klan Kim yang berasal dari keluarga Raja Michu.

Raja Naemul (raja Silla ke-17) adalah raja pertama di-era kekuasaan klan Kim ini dan raja pertama Silla yang menggunakan gelar “Maripgan”. Raja Naemul juga adalah raja Silla pertama yang namanya tercatat dalam catatan sejarah Tiongkok dan yang mempelopori era keemasan Silla yang berlangsung selama berabad-abad.

Raja Naemul ini adalah ayah dari Raja Nulji. Nulji sendiri adalah cucu maternal Raja Michu. Kakek paternalnya adalah Jenderal Kim Daeseoji (adik Raja Michu). Ibu Nulji adalah Putri Boban (putri Raja Michu). Saat Raja Heulhae (raja Silla ke-16, putra Pangeran Uro) wafat, Ayahnya, Naemul, adalah kandidat tertua sehingga dinobatkan sebagai raja. Saat itu, keputusan pengangkatan raja melibatkan raja dan dewan istana, yang lebih mendahulukan para kandidat yang paling dewasa diantara seluruh keturunan raja lainnya. Baru pada masa pemerintahan ayahnya, sistem pemerintahan monarki turun-temurun diterapkan dan Silla dipimpin klan Kim sampai kerajaan ini runtuh.

Ayah Nulji (Naemul) adalah raja yang cinta damai. Beliau menjalin persahabatan dengan Goguryeo dan Jepang. Namun, semuanya harus dibayar mahal karena dia harus mengirim putra dan adiknya sebagai tawanan.

Putra ketiga Naemul, Pangeran Misaheun dikirim ke istana Jepang sebagai tanda persahabatan Silla dan Jepang. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun. Setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak memperlakukan Pangeran Misaheun sebagai utusan tapi sebagai tawanan agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak pernah diijinkan kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun.

Selain Pangeran Misaheun, Raja Naemul juga mengirim adiknya, Pangeran Silseong ke Goguryeo sebagai jaminan. Sebenarnya, putranya yang lain, Nulji, seharusnya yang dikirim ke Goguryeo, bukan Silseong, tapi Naemul sangat menyayangi putra pertamanya itu sebab hanya dia yang tersisa, sehingga Silseong-lah yang dikirim ke Goguryeo. Naemul tidak pernah melihat mereka lagi hingga kematiannya. Setelah Naemul meningga, dia digantikan oleh Silseong yang dipanggil dari Goguryeo. Sebagai gantinya, putra Naemul, Nulji dikirim ke Goguryeo sebagai pengganti Silseong (dan juga sebagai balasan Silseong yang mendendam pada kakaknya karena dikirim ke Goguryeo sejak masih berusia 10 tahun). Konflik istana membuat Raja Silseong tewas akibat ulahnya sendiri yang ingin membunuh Nulji. Nulji lalu diangkat menjadi raja (417-456).

Pada tahun ke-3 pemerintahan Raja Nulji, Goguryeo kembali meminta Silla mengirim anggota keluarga kerajaan sebagai jaminan. Untuk itu, Nulji mengirimkan adiknya, Pangeran Bokho, ke Goguryeo. Sama seperti pihak Jepang, Goguryeo juga memperlakukan Pangeran Bokho sebagai tawanan.

Peristiwa ini membuat Nulji sangat sedih dan teringat pada ayahnya. Saat itu, Nulji merasa bahwa penderitaan ayahnya jauh lebih besar karena tidak pernah melihat putra-putranya hingga hari kematiannya, dan ini membuat hati Nulji menderita bertahun-tahun. Nulji akhirnya bertekad membawa pulang adik-adiknya kembali ke Silla. Akhirnya, pada tahun ke-10 pemerintahannya, Nulji mengundang para pejabat dan para jenderalnya dalam jamuan makan. Pada saat itu, Nulji mengutarakan keinginannya untuk membawa adik-adiknya pulang ke Silla dan meminta saran mereka. Raja juga bertanya andaikan ada salah-satu dari mereka yang mau membawa adik-adiknya pulang. Tapi, para pejabat dan jenderalnya menjawab bahwa keinginan raja itu adalah hal yang mustahil.

Nulji semakin sedih mendengar jawaban para pejabat dan jenderalnya. Tapi, ada satu pejabat senior yang mengajukan diri. Pejabat itu bernama Park Jesang.

Park Jesang adalah seorang menteri istana Silla. Beliau dikenal sebagai seorang loyalis raja. Park Je-sang (lahir tahun 363) adalah keturunan pendiri Silla Park Hyeokgeose dan juga keturunan dari Raja Pasa (raja Silla ke-5). Sejak masih kecil, Park Je-sang sangat pintar. Saat dia telah memenuhi tugasnya sebagai pejabat di salah-satu daerah kekuasaan Silla, beliau ditarik oleh Raja Nulji untuk mengabdi di istana.

Park Jesang meminta Nulji memberikannya perintah kerajaan untuk membawa pulang adik-adik raja itu. Nulji sangat terharu mendengar keberanian Park Jesang dan menganugerahkannya banyak gelar dan hadiah sebelum dia berangkat. Raja mengijinkan Park Jesang minum di cawan yang sama dengan raja dan melepas kepergiannya dengan suasana yang penuh cinta. Nulji menggenggam tangan Park Jesang saat mengantar Park Jesang meninggalkan istana. Itu adalah tanda persahabatan dan penghormatan yang sangat tinggi dari seorang raja. Saat melaksanakan tugas itu, Park Jesang telah berusia 64 tahun.

Tugas pertama Park Jesang adalah menuju Goguryeo dengan menyamar. Berkat kecerdikannya, Park Jesang berhasil masuk ke wilayah istana tempat Pangeran Bokho tinggal. Park Jesang lalu menjelaskan rencananya pada Pangeran Bokho dan mengatur tempat pertemuan mereka untuk melarikan diri. Untuk itu, Pangeran Bokho beralasan sakit sehingga tidak bisa memberikan “penghormatan pagi” di istana pada raja Goguryeo selama beberapa hari. Pangeran Bokho lalu memanfaatkan waktu yang terbatas itu untuk melarikan diri dari Pyeongyang menuju Kaeseong. Dari sana, Park Jesang dan Pangeran Bokho berusaha menuju Silla sesegera mungkin. Tapi, raja Goguryeo yang marah lalu memerintahkan pasukan untuk memburu mereka di Kaeseong. Pelarian Pangeran Bokho ini akhirnya berhasil berkat bantuan dari orang-orang Goguryeo, sebab selama berada di Goguryeo, Pangeran Bokho sangat ramah dan membantu banyak orang Goguryeo sehingga dia dicintai banyak orang Goguryeo dan juga penghuni istana. Bahkan, pasukan yang mengejarnya diperintahkan oleh komandan mereka untuk memanahnya dengan menggunakan panah yang ditumpulkan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972). Mereka akhirnya tiba dengan selamat di istana Silla dan disambut dengan sukacita oleh Raja Nulji dan seluruh Silla.

Tapi, Raja Nulji masih tetap bersedih memikirkan adiknya, Pangeran Misaheun, yang tidak pernah kembali dari Jepang selama 30 tahun. Park Jesang lalu meminta raja memberikan perintah kerajaan padanya agar dia bisa berangkat ke Jepang. Nulji akhirnya kembali memberikan perintah kerajaan pada Park Jesang. Menteri setia ini langsung berangkat ke Jepang setelah mendapat perintah raja, padahal saat itu dia belum sempat mengunjungi rumahnya. Istrinya mengejar Park Jesang ke pelabuhan sambil membawa kuda putih bagi suaminya, tapi kapal Park Jesang telah berangkat. Istrinya menangis dan meminta Park Jesang kembali agar dia dapat mengucapkan salam perpisahan, tapi Park Jesang hanya bisa melambaikan tangannya dari atas kapal.

Park Jesang akhirnya tiba di Jepang (kemungkinan besar di Pulau Kyushu) dan langsung menghadap pada kaisar. Di hadapan kaisar, Park Jesang mengaku sebagai mengaku sebagai seorang bangsawan Silla yang melarikan diri dari kejaran raja Silla.

Raja Gyerim (nama Silla pada masa itu) telah membunuh ayah dan kakak-kakakku tanpa alasan yang jelas, sehingga saya melarikan diri dan tiba di wilayah kerajaanmu untuk mencari suaka.” Kata Park Jesang.
Raja Shiragi (sebutan Silla bagi orang Jepang) bukan raja yang baik,” kata penguasa Jepang itu. “Aku akan memberikan padamu tempat yang nyaman untuk tinggal
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972).

Setelah mendapat kepercayaan kaisar, Park Jesang secepat mungkin menghubungi Pangeran Misaheun dan menjalin komunikasi dengannya, juga mulai merencanakan pelarian mereka. Mereka berdua sering memancing bersama pada pagi hari dan memberikan hasil tangkapan mereka pada kaisar sehingga kaisar sangat senang dan menyayangi mereka tanpa mencurigai apapun.

Akhirnya, kesempatan yang mereka tunggu-tunggu tiba. Saat itu, kembali memancing di laut seperti biasa, tapi kabut tebal menyelimuti pulau tempat mereka berada. Melihat situasi seperti itu, Park Jesang langsung menyarankan pada Pangeran Misaheun agar segera melarikan diri. Tapi, Pangeran Misaheun harus melarikan diri sendirian sebab Park Jesang harus tetap tinggal untuk menghalangi pasukan musuh. Tapi, Pangeran Misaheun menolak usul Park Jesang.

Dengan perasaan yang sedih, Pangeran Misaheun berkata,
Saya sudah menganggapmu seperti ayahku dan kakakku. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dan pergi seorang diri?”
Jika saya bisa menyelamatkanmu dan menyenangkan hati raja-ku saya akan sangat bahagia. Saya tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri,” jawab Park Jesang lalu menuangkan anggur ke cawan pangeran sebagai tanda perpisahan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Beliau lalu memerintahkan Kang Guryeo, seorang awak kapal dari Silla untuk membawa pangeran pergi.

Park Jesang lalu kembali ke rumah pangeran dan menjalani hari seperti biasanya. Pada penjaga-penjaga, dia memberitahukan bahwa Pangeran Misaheun baru pulang berburu dan sangat lelah sehingga harus istirahat. Para penjaga ini mulai curiga dan memeriksa kamar sang pangeran. Park Jesang lalu memberi-tahukan pada mereka bahwa Pangeran Misaheun telah pulang ke Silla.

Pelarian Pangeran Misaheun membuat kaisar murka dan menangkap Park Jesang. Saat kaisar menanyakan alasan Park Jesang melakukan hal itu, Park Jesang pun menjawab,
Aku adalah rakyat Gyerim (Silla) dan bukan bawahanmu. Aku harus melakukan apa yang diperintahkan rajaku. Saya tidak memiliki hal lain yang bisa dikatakan.”

Jawaban Park Jesang ini membuat kaisar murka, dan memerintahkan agar Park Jesang dihukum dengan menggunaan metode penyiksaan terberat. Tapi, kaisar kagum pada keteguhan hati Park Jesang menawarkan pembebasan dan hak kebangsawanan bagi Park Jesang jika mau mengabdi padanya. Tapi Park Jesang menjawab:
Lebih baik menjadi seekor babi atau anjing di Gyerim ketimbang menjadi seorang bangsawan disini.
Lebih baik dicambuk dengan cemeti panjang di Gyerim ketimbang menerima gelar bangsawan Jepang.
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Kaisar pun memerintahkan penyiksaan yang mengerikan untuk menghukum Park Jesang.

Setelah kulit paha Park Jesang dikuliti, kaisar bertanya pada Park Jesang,
Jadi, pada siapa kau mengabdi?” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)

Park Jesang pun menjawab bahwa dia adalah abdi Silla. Kaisar pun memerintahkan agar Park Jesang berdiri di besi panas dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dan Park Jesang tetap menjawab,
Saya adalah abdi Gyerim” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)
Akhirnya kaisar menyerah, dan memerintahkan dia digantung. Jenasahnya lalu dikremasi oleh orang Jepang. 

Lepas dari semua itu, Pangeran Misaheun berhasil tiba di pantai wilayah Silla. Beliau mengirim Kang Guryeo ke istana di Seorabeol untuk mengumumkan kedatangannya. Raja Nulji sangat terkejut saat mendengar adiknya sudah tiba di Silla. Bersama dengan Pangeran Bokho, beliau langsung berangkat menemui Pangeran Misaheun. Saat mereka melihat Pangeran Misaheun, raja dan Pangeran Bokho yang mengikutinya langsung menangis dan berlari memeluknya. Raja mengadakan jamuan besar untuk menyambut adik bungsunya itu.

Ditengah-tengah kegembiraan itu, ada kesedihan ditengah-tengah mereka. Park Jesang tidak kembali.

Raja sudah menduga apa yang terjadi pada Park Jesang, dan sebagai penghormatannya, raja mengadakan jamuan kerajaan untuk menghormati Park Jesang. Raja menganugerahi istrinya gelar kebangsawanan yang sangat tinggi yang hanya satu tingkat lebih rendah dari ratu (di-era modern setara dengan “Grand Duchess”). Raja juga menikahkan Pangeran Misaheun dengan salah-satu putri Park Jesang. Tapi, isteri tidak mau menikmati semua hadia raja karena kesedihannya. Beliau dan 3 putrinya yang lain pergi ke bukit Chisulryeong dan memandang ke arah Jepang. Istrinya meninggal tidak lama kemudian di bukit itu.

Kesetiaan Park Jesang ini terus diabadikan secara turun-temurun melalui literatur-literatur dan penceritaan lisan orang-orang Silla dan Korea hingga era Joseon, dan terus didengungkan pada era perjuangan kemerdekaan Korea dari Jepang dikalangan pejuang Korea agar mengingatkan bahwa mereka bukanlah abdi Jepang melainkan abdi Korea, seperti kata-kata terakhir Park Jesang.




PERANG BAEKGANG

Silla adalah kerajaan terkecil diantara Tiga Kerajaan, oleh karena itu kerajaan ini adalah kerajaan yang paling sering diserbu oleh dua kerajaan Korea lainnya, dan juga dengan Jepang. Bosan dengan gangguan-gangguan itu, Silla bertekad menaklukan dua kerajaan lainnya dengan membentuk aliansi dengan Kekaisaran Tang. Perang penyatuan Tiga Kerajaan pun dilakukan dengan target pertama mereka adalah kerajaan Goguryeo. Tapi, Goguryeo masih terlalu kuat bagi Silla-Tang sehingga mereka mengubah target pertama mereka ke kerajaan lainnya, Baekje.

Secara dramatis, Kerajaan Baekje berhasil ditaklukan. Baekje yang telah berdiri selama 678 tahun akhirnya runtuh pada 18 Juli 660. Runtuhnya Kerajaan Baekje ini sangat mengejutkan seluruh penjuru Goguryeo, dan terlebih lagi sekutu utama mereka, Jepang.

Tapi, rupanya Baekje belum sepenuhnya runtuh. Saat Raja Uija menyerah, para bangsawan Baekje yang dipimpin oleh Gwisil Boksin melarikan diri ke Jepang meminta bantuan sekutu setia mereka itu. Sisa-sisa pasukan Baekje juga bergerilya melawan pasukan pemerintahan proktetorat Tang yang berpusat di Sabi. Jepang yang sejak dulu dibantu oleh Baekje merespons positif permintaan Baekje. Pada Agustus 661 bala bantuan pertama Jepang yang dikirim oleh Kaisarina Semei tiba di wilayah Baekje. Kaisarina Semei sendiri yang melepas kapal-kapal Jepang itu. Tak lama setelah kapal-kapal pertama itu berangkat, Kaisarina Semei meninggal dunia. Bala bantuan pertama ini terdiri dari 170 kapal dan 5.000 prajurit dibawah pimpinan Jenderal Abe no Hirafu.

Usai menaklukan Baekje (660 M), Silla mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo ditahun berikutnya. Tapi, penyerbuan ke Goguryeo ini gagal total (662 M) dan membuat pasukan Tang kehilangan sejumlah besar pasukan. Ditahun yang sama, Kekaisaran Jepang mengirimkan pasukan gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar (662 M), yang terdiri dari dua pasukan: 27.000 prajurit pimpinan Jenderal Kamitsukeno no Kimi Wakako dan 10.000 prajurit yang dipimpin Jenderal Iohara no Kimi. Pangeran Buyeo Pung (Putra bungsu Raja Uija) yang sudah tingga selama 30 tahun di Jepang ikut dalam rombongan ini sebagai calon raja Baekje.

Situasi pasukan Silla-Tang pada masa ini sangat sulit. Usai ditarik mundur dari Pyeongyang, pasukan Tang langsung menghadapi serbuan dari pasukan Kekaisaran Tibet. Serbuan ini membuat mereka tidak bisa kembali ke wilayah Korea dalam waktu lama. Sedangkan, Silla justru harus menghadapi rangkaian serbuan koalisi Goguryeo-Magal yang terjadi selama lebih dari 5 tahun.

Kekalahan di Goguryeo, penyerbuan tentara Tibet ke wilayah Tang, dan serbuan masif pasukan Goguryeo-Magal dimanfaatkan oleh pasukan restorasi Baekje dan Jepang untuk merebut kembali wilayah-wilayah lama Baekje, dan mulai melancarkan perang dengan Silla.

Sebagai respon, pada Agustus 663 pasukan Silla dan para Hwarang (dipimpin oleh Kim Ohgi) mengepung ibukota restorasi Baekje di Benteng Juryu. Pasukan restorasi Baekje sendiri dipimpin oleh Gwisil Boksin (sepupu Raja Uija). Di Benteng Juryu itu Gwisil Boksin, Pangeran Buyeo Pung (putra bunsu Raja Uija) dan Biksu Dochim, dan sebagian pasukan Jepang berjuang mempertahankan benteng terakhir Baekje itu. Pada 27 Agustus 663 armada utama Jepang di Korea yang berada di wilayah pantai terluar Korea dikirim menyusuri Sungai Geum untuk menghalau pengepungan pasukan Silla di Benteng Juryu. Tapi Tang memblokade pasukan bantuan Jepang itu sehingga meletuslah pertempuran sengit di sungai Geum yang dikenal sebagai Perang Baekgang atau Perang Hakusukinoe oleh orang Jepang.

Armada Jepang diblokade oleh pasukan Tang dengan menggunakan 170 kapal dan 7.000 prajurit. Kapal-kapal Tang merapatkan barisan kapal mereka dan berusaha menghalau serangan Jepang. Keesokan harinya, armada bantuan Jepang juga tiba dengan jumlahnya lebih besar dari armada Tang. Namun, sungai Geum yang sempit membantu armada Tang karena armada Jepang hanya bisa menyerbu pertahanan terdepan Tang sehingga Tang dapat melindungi kapal-kapal di sisi kanan dan kiri dan bagian belakang selama pertempuran. Jepang sangat yakin pada keunggulan jumlah mereka dan menyerang armada Tang setidaknya tiga kali sepanjang hari, tapi Tang masih mampu bertahan walau kewalahan.

Terlepas dari situasi di Perang Baekgang, koalisi pasukan restorasi Baekje dan pasukan Jepang di Benteng Juryu juga menghadapi situasi yang tidak kalah genting. Pasukan infanteri dan kaveleri Silla bersama dengan pasukan Hwarang mengepung Benteng Juryu selama berminggu-minggu sehingga membuat pasukan restorasi Baekje sangat frustasi. 

Situasi di Sungai Geum juga tidak berbeda jauh bagi kubu pasukan restorasi Baekje. Masih pada hari yang sama, 28 Agustus 663 menjelang malam prajurit Jepang frustasi dan kelelahan karena mereka tidak henti-hentinya menyerbu armada Tang tanpa hasil. Armada mereka juga kehilangan kohesi setelah berulang kali mencoba untuk menerobos garis pertahanan Tang. Pasukan Tang melihat peluang ini dan melakukan serangan balasan. Armada Tang bukan menerobos pertahanan terdepan melainkan sisi kiri dan kanan armada Jepang, hingga akhirnya kapal-kapal Tang berhasil menembus hingga bagian belakang armada Jepang dan mengepung armada mereka sehingga mereka tidak bisa bergerak atau mundur. Sejumlah besar pasukan Jepang jatuh ke air dan tenggelam, dan banyak kapal mereka dibakar dan ditenggelamkan oleh pasukan Tang. Perang ini diakhiri oleh kematian admiral utama armada Jepang, Jenderal Echi no Takutsu yang tewas setelah dia membunuh lusinan pasukan Tang yang menerobos ke kapalnya.

Di waktu yang hampir bersamaan, keadaan di Benteng Juryu senada dengan di Sungai Geum, tapi mungkin lebih buruk karena mereka saling menyerang satu sama lain. Di tengah-tengah pertempuran yang kian sengit, entah karena perbedaan pendapat atau karena ketidak-setiaan salah-satu dari mereka, Gwisil Boksin berusaha untuk membunuh Pangeran Pung setelah sebelumnya Biksu Dochil tewas ditangannya. Namun, pada perkelahian itu Pangeran Pung berhasil membunuh Gwisil Boksin. Kematian Gwisil Boksin menjadi pertanda buruk bagi pasukan restorasi Baekje. 

Kekalahan armada Jepang mengakibatkan pasukan Baekje terisolasi di Benteng Juryu. Pertempuran di Benteng Juryu berakhir pada 7 September 663 dengan kemenangan di pihak Silla. Pangeran Buyeo Pung terpaksa melarikan diri dengan menggunakan perahu ke Goguryeo. Dia hidup dalam pengasingan hingga akhir hidupnya karena setelah Goguryeo runtuh, Pangeran Pung ditangkap dan diasingkan ke wilayah Utara.

Perang Baekgang adalah kekalahan terbesar Jepang dalam sejarah kuno dan kekalahan maritim terbesar mereka sebelum Perang Imjin. Berdasarkan semua sumber sejarah dari Jepang, Korea, dan China, kerugian Jepang sangat besar dan jumlah korban Jepang sangat banyak. Menurut catatan Nihon Shoki sekitar 400 kapal Jepang hilang dalam pertempuran, sedangkan catatan sejarah China mengklaim sekitar 10.000 prajurit Jepang tewas dalam perang itu. Sisa-sisa kapal Jepang yang berhasil selamat kembali ke Jepang dipenuhi oleh para pengungsi dari Baekje.

Dampak terbesar dari keruntuhan Baekje bagi Jepang adalah mereka kehilangan sekutu utama di Asia Timur sebab Kerajaan Baekje merupakan sumber perkembangan teknologi, agama Buddha, dan peningkatan budaya bagi Jepang.

Kekalahan ini mengubah Jepang menjadi kerajaan yang lebih defensif padahal dulu mereka sangat agresif menyerbu Silla, bahkan membunuh seorang pangeran Silla (Seok Uro). Jepang lalu melakukan reformasi yang sangat terkenal, Reformasi Taika, yang dicetuskan oleh Pangeran Naka-no-Oe (Kaisar Tenji).

Ini adalah reformasi sistem birokrasi dan sistem militer Jepang yang lama menjadi sistem ala Dinasti Tang. Imbas dari reformasi ini, pada tahun 702, Kaisar Monmoku menerapkan sistem “Bangsawan Militer” yang terinspirasi dari kelompok Hwarang, yaitu dengan mewajibkan 3-4 laki-laki tiap keluarga bangsawan untuk mengabdi kepada kekaisaran sebagai perwira militer. Secara diam-diam, Jepang lalu mempelajari sistem kemiliteran Silla, juga ilmu beladiri dan ilmu berpedang para Hwarang yang berbeda dari ilmu beladiri dan ilmu berpedang Tiongkok. Inilah cikal-bakal Samurai Jepang, dan ilmu pedang kuno di Jepang.




PENYERBUAN KOALISI GORYEO-MONGOL KE JEPANG

Pada abad ke-13, Bangsa Mongol menjadi kekuatan baru di Asia dan Eropa Timur. Setelah sebelumnya mereka menaklukkan Dinasti Song di Tiongkok, mereka mulai menyerang Korea dan juga bertujuan menaklukan Jepang.

Perang dengan Goryeo ini adalah perang terlama yang dihadapi oleh Kaisar Kubilai Khan dan juga Kekaisaran Mongol sejak era Gengis Khan. Akhirnya, di tahun terakhir pemerintahan Raja Gojong (Raja Goryeo ke-23), setelah beperang selama 30 tahun, Goryeo akhirnya menyerah (1259) dan menjadi kerajaan jajahan Kekaisaran Yuan (Mongol). Goryeo cukup beruntung sebab dari semua kerajaan yang takluk setelah berperang dengan Mongol, Goryeo adalah satu-satunya kerajaan solid yang tidak dihancurkan oleh Mongol.

Raja Gojong lalu digantikan oleh putranya yang lemah, Raja Wonjang. Masa pemerintahannya adalah awal masa ketika Goryeo mendapat pengawasan dan intervensi yang sangat ketat dari pemerintah Yuan (Mongol).

Wonjong hanya memerintah selama 3 tahun dan digantikan oleh putranya, Raja Chungyeol (raja Goryeo ke-25). Chungyeol adalah Raja Goryeo pertama yang dikenang hanya memakai gelar “Wang” (Raja), sebab para raja sebelumnya mendapat nama kuil dengan akhiran -jo atau -jong (artinya "leluhur terhormat"). Kaisar Kubilai Khan merasa gelar itu merupakan ancaman baginya dan memerintahkan agar raja-raja Goryeo tidak boleh memakai nama itu lagi. Pada masa pemerintahan Chungyeol inilah untuk pertama kali dalam sejarah Korea menyerbu Jepang sehingga membuatnya menjadi raja Korea pertama dan satu-satunya yang menyerbu Jepang.

Kaisar Kubilai Khan adalah pemimpin yang sangat ambisius. Beliau ingin menguasai seluruh Asia Eropa dan membuat kerajaan-kerajaan di wilayah itu takluk padanya. Penaklukan Kekaisaran Song dan Goryeo hanya permulaan. Kaisar mengirim pasukan Mongol menyerbu wilayah Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Indonesia. Pasukan Mongol gagal menaklukan Indonesia dengan cara yang sangat memalukan. Setelah utusan pertama mereka dipermalukan oleh Raja Kertanegara (raja terakhir Kerajaan Singasari), pasukan Mongol yang dikirim untuk menghukum Indonesia dikelabui dan dikalahkan oleh Raden Wijaya (raja pertama Kerajaan Majapahit). Indonesia memang adalah wilayah yang sulit ditaklukan karena merupakan wilayah kepulauan, dan juga pusat-pusat pemerintahan kerajaan-kerajaannya terpisah dari daratan utama Asia.

Kejadian memalukan yang dialami oleh pasukannya di Indonesia tidak mengurungkan niat Kubilai Khan untuk menyerbu kerajaan kepulauan lainnya, Jepang.

Serbuan Mongol ke Jepang diwujudkan oleh Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1274 setelah ultimatumnya pada Jepang tidak diindahkan oleh pihak istana Jepang. Untuk mengamankan tahtanya, Chungnyeol dengan sukarela menawarkan bantuan dan mengirim angkatan laut Goryeo sebagai bantuan pada armada Mongol untuk menyerang Jepang.

Serbuan aliansi Mongol-Goryeo ke Jepang ini membuat seluruh Jepang, yang saat itu terpecah-pecah oleh sistem feodal, bersatu. Para daimyo mengirimkan tentara mereka agar bisa bergabung dengan tentara kekaisaran. Aliansi Mongol dan Goryeo ini tentu sangat menakutkan bagi Jepang sebab kedua kerajaan ini sudah terbiasa dengan perang melawan bangsa asing, sedangkan Jepang, sejak kekalahan di Perang Baekgang 600 tahun lalu, tidak pernah lagi menyerang negara lain. Hal lain yang ditakutkan Jepang adalah kekuatan armada Goryeo. Armada Goryeo secara tidak langsung membantu Jepang mengatasi bajak laut yang berkeliaran di antara perairan Korea dan Jepang, dan dibanding Jepang, Goryeo jauh lebih berhasil. Kehebatan armada Goryeo juga membuat wilayah Korea aman dari serbuan asing. Mereka hanya kalah dari Mongol melalui perang darat, yang juga sangat melelahkan pasukan Mongol.

Tapi, upaya armada laut aliansi Yuan dan Goryeo untuk menguasai Jepang berakhir dengan bencana. Armada laut mereka hancur oleh badai besar yang dikenal dengan nama "Kamikaze".

Kegagalan armada pertama membuat Kubilai Khan murka. Tapi itu tidak membuat bangsa Mongol mundur dari Jepang. Bersama Goryeo, Mongol kembali menyerang Jepang tahun 1281. Armada pada invasi kedua ini terdiri dari 4.400 kapal perang. Namun, kali ini Bangsa Jepang telah siap dan pasukan aliansi ini tetap kalah.

Kekalahan ini membuat Korea banyak belajar. Mereka menyadari bahwa kapal perang mereka bukan kapal perang yang cocok untuk menyerang wilayah perairan Jepang yang pantai-pantainya lebih curam. Pengetahuan mengenai kapal-kapal perang Jepang melalui invasi ini sangat penting bagi Korea dan membantu mereka melawan armada Jepang 300 tahun kemudian saat Jepang menyerbu Korea dalam Perang Tujuh Tahun.




BAJAK LAUT WOKOU

Setelah kekalahan Mongol-Korea saat menginvasi Jepang pada abad ke-13 itu, pelaut-pelaut Jepang semakin percaya diri mengarungi lautan dan bahkan berani berlayar diluar perairan Jepang. Lama-kelamaan jumlah mereka semakin banyak.

Pada abad pertengahan ini, laut menjadi tempat pelarian bagi warga Jepang terutama yang memiliki masalah hukum. Bajak laut dari Jepang ini kemungkinan besar terdiri lebih dari satu kelompok. Kelompok-kelompok ini memiliki peraturan dan sistem organisasi yang semuanya serba misterius. Tidak jelas nama apa yang mereka gunakan sebagai sebutan bagi kelompok mereka. Tapi, orang Korea menyebut mereka, Waeku (왜구), atau Wokou.

Akasara kanji Wokou adalah “倭寇”, yang dalam pengucapan Jepang menjadi "wakō". Secara harafiah, Wokou diterjemahkan sebagai "bajak laut Jepang", tapi arti sebenarnya adalah "penjahat kerdil". Bangsa Jepang memang disebut “Bangsa Wa” dalam catatan-catatan Tiongkok. Negara mereka juga disebut “Negeri Wa”. Dalam bahasa China kuno, “Wa” berarti “kurcaci” atau “kerdil”, sehingga sebutan ini diberikan pada orang-orang Jepang yang pada masa itu memiliki tubuh yang jauh lebih pendek daripada bangsa Korea, Han (Tiongkok), Uygur, Turk, Tibet, dan bangsa-bangsa lain yang pernah berinteraksi dengan Tiongkok. Korea juga mengadopsi kata itu untuk menyebut Jepang sebab tubuh orang Korea memang jauh lebih tinggi dari bangsa Jepang pada masa kuno. Istilah “Wokou” adalah kombinasi dari kata “Wa”, yang artinya "kurcaci", dan “Kou”, yang berarti "penjahat".

Sebagai bajak laut Jepang, kehadiran Wokou tentu memperpanjang catatan buruk hubungan Korea-Jepang dimasa lalu. Tapi, kontradiktif dengan status mereka sebagai bajak laut Jepang yang kerap menyerbu Korea, saat itu kehadiran mereka justru memperbaiki hubungan Korea-Jepang yang kaku paska invasi Mongol, yang juga menggandeng pasukan Korea, ke Jepang.

Bajak laut Wokou sudah menjadi organisasi militer yang terorganisasi dengan baik dan fokus merampok pesisir Korea-Jepang, termasuk kapal-kapal Tiongkok yang melintas di sekitar wilayah itu. Ada dua era dalam sejarah pembajakan Wokou. Pertama adalah pada abad ke-13 hingga abad ke-14, dan periode kedua yang lebih pendek adalah pada abad ke-16.

Pada periode pertama eksistensi Wokou, kamp-kamp utama Wokou adalah Pulau Tsushima, Pulau Iki, dan Kepulauan Gotō, tapi mereka memusatkan perhatian di Semenanjung Korea sehingga mereka menjadi teror bagi penduduk kota-kota pesisir timur Goryeo. Pada era pemerintahan Raja Gongmin (raja Goryeo ke-31), raja mengirim Jenderal Choe Yeong dan Jenderal Yi Seong-gye (bakal raja pertama Joseon) untuk memerangi bajak laut ini. Goryeo memang adalah kerajaan yang paling mampu mengalahkan bajak laut Wokou, tapi lama-kelamaan Goryeo kewalahan menghadapi mereka. Raja Woo (pengganti Raja Gongmin) lalu mengirim Na Hong-yu sebagai utusan ke Jepang (1375) untuk meminta pemerintah Jepang membantu melawan bajak laut Wokou. Pemerintah Jepang menyanggupi tapi mereka hanya akan memerangi Wokou disekitar perairan mereka saja. Karena wilayah tradisional mereka diusik, akhirnya Wokou semakin fokus menyerang Korea untuk mendapatkan wilayah baru. Tahun 1376, bajak laut Wokou memasuki wilayah Goryeo dan menaklukan kota Gongju setelah mengalahkan walikota Kim Sa-hyuk. Untuk melawan mereka, Raja Woo memerintahkan membentuk pasukan besar yang dipimpin Jenderal Choi Young. Pasukan Jenderal Choi Young berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hongsan.

Kekalahan di Hongsan tidak berarti bajak laut Wokou tidak berhasil merampok kota-kota pesisir Korea. Salah-satu hasil rampokannya adalah ratusan warga Korea yang diculik oleh mereka. Orang Korea adalah yang terbanyak yang diculik oleh bajak laut Wokou. Untuk memulangkan kembali orang-orang Korea yang diculik, Raja Woo mengirim Jeong Mong-ju ke Jepang. Selama kunjungannya ke Kyushu, Gubernur Imagawa Sadayo berhasil menekan Wokou, dan mengambil kembali hasil rampasan mereka termasuk orang Korea. Berkat Jeong Mong-ju, orang-orang Korea yang diculik itu berhasil dibawa kembali ke Korea (1377). Ini menjadi kerjasama yang sukses antara Korea dan Jepang usai pengalaman buruk dalam invasi Mongol sebelumnya. 

Usai kekalahan di Hongsan, Wokou mundur sementara dari Korea dan menyebar melintasi Laut Kuning ke Tiongkok. Tapi mereka kembali menghantui Korea pada tahun 1380. Kali ini, Jenderal Yi Seong-gye yang dikirim menghadapi Wokou. Beliau berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hwangsan berkat bantuan Na Sae dan ilmuwan Choi Mu-seon (penemu bubuk mesiu Korea) yang berhasil membakar lebih dari 500 kapal bajak laut dengan menggunakan mesiu dan meriam. Tiga tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Wokou kembali menyerbu Korea (1383). Kali ini, Jendral Jeong Ji yang dikirim untuk memerangi mereka dan sang jenderal berhasil menghancurkan ratusan kapal bajak laut Wokou.

Sembilan tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Kerajaan Goryeo runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Joseon yang didirikan oleh seorang jenderal yang dulunya menjadi salah-satu musuh utama Wokou, Yi Seong-gye.

Belajar dari pengalaman, Yi Seong-gye dan putranya menaruh perhatian khusus dalam memerangi bajak laut ini. Seakan tidak mau kalah dengan gebrakan Korea, Shogun Ashikaga Yoshimitsu mengirim 20 bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap ke Tiongkok, di mana mereka direbus dalam kuali di Ningbo (1405). meski mendapat perlawanan, Wokou masih mengganggu Korea pada masa pemerintahan Yi Bang-won sehingga membuat Yi Bang-won mengInvasi Pulau Tsushima (1419). Upaya Yi Bang-won menumpas bajak laut Wokou dilanjutkan oleh putranya, Raja Sejong Yang Agung, dalam Ekspedisi Timur Gimhae ke Pulau Tsushima.

Pada Ekspedisi Timur Gimhae ini, armada Korea dipimpin oleh Jenderal Yi Jong-mu. Armada ini terdiri dari 227 kapal dan 17.285 prajurit, dan berangkat dari Pulau Geoje Pulau Geoje (Mei 1419) dan tiba di Pulau Tsushima (19 Juni 1419). Armada Korea ini dipandu oleh bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap. Setelah mendarat, Jenderal Yi Jongmu mengirim bajak laut yang mereka tangkap itu sebagai utusan yang menyampaikan ultimatum Korea pada pemimpin Wokou. Pemimpin Wokou tidak mengirim jawaban sehingga pasukan Jenderal Yi Jongmu mulai menyerang markas Wokou itu dan menghancurkan pemukiman mereka. Pasukan Korea menghancurkan 129 kapal Wokou dan 1.939 rumah mereka. Sebanyak 700 perompak berhasil dibunuh, dan 110 lainnya ditangkap hidup-hidup dan dijadikan budak. Pada ekspedisi itu, 180 tentara Joseon tewas. Pasukan Korea membebaskan para tawanan termasuk 135 warga Korea dan 140 orang China yang diculik oleh bajak laut.

Ekspedisi Timur Gimhae yang digalakkan oleh Raja Sejong berhasil menumpas Wokou sehingga membuat mereka hilang dari perairan Korea selama lebih dari 100 tahun. Dampak lain dari keberhasilan Ekspedisi Timur Gimhae ini adalah Perjanjian Gyehae yang dicapai 24 tahun kemudian (1443) yang memuat pengakuan Daimyo Pulau Tsushima atas kedaulatan Raja Joseon di wilayahnya.

Keberhasilan Ekspedisi Gimhae malah membuat Kekaisaran Ming mengembargo Jepang dengan melarang perdagangan sipil dengan Jepang, meskipun masih mengijinkan perdagangan antar-pemerintah. Embargo ini tidak sepenuhnya berhasil karena para pedagang Tiongkok tetap melindungi kepentingan mereka. Pedagang-pedagang ini terus berdagang dengan Jepang secara ilegal. Kenyataan bahwa perdagangan antar-pemerintah itu tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri Tiongkok dan membuat banyak perajin bangkrut justru memicu era kedua perompakan Wokou yang justru menjadi masa keemasan para perompak itu.

Pada periode kedua ini, sepertinya Wokou sudah cukup trauma mengganggu Korea sehingga mereka hampir tidak terlalu mengganggu wilayah perairan Korea, dan menjadikan Tiongkok sebagai basis mereka setelah Jepang. Pada masa keemasannya sekitar 1550-an, Wokou beroperasi di lautan Asia Timur mampu berlayar di sungai-sungai besar termasuk Sungai Yangtze.

Walaupun tidak lagi secara khusus menargetkan Korea sebagai sasaran perompakan mereka tapi Bajak laut Wokou sempat masuk dan menjarah wilayah pesisir selatan Korea pada masa pemerintahan Raja Jungjong (raja Joseon ke-11). Wokou juga masih menyerbu Korea pada masa pemerintahan Raja Myeongjong (raja Joseon ke-13). Raja Myeongjong lalu menghukum seorang bajak laut asal Tiongkok yang berpura-pura menjadi orang Jepang. Kisah pamungkas serbuan Wokou ke Korea adalah para bajak laut yang berkebangsaan Jepang dilibatkan oleh seorang jenderal Jepang saat Jepang menginvasi Korea dalam Peang Tujuh Tahun.




PERANG TUJUH TAHUN

Perang Tujuh Tahun (Imjin) adalah perang maritim terbesar dalam sejarah Korea dan Asia Timur, dan juga menjadi salah-satu perang maritim terbesar dunia. Ini adalah perang yang sangat heroik di abad pertengahan. Terlepas dari dampak buruknya, perang ini menjadi salah-satu kebanggaan orang Korea dan juga kebanggaan sejarah Asia sebab perang ini menunjukan keanggungan orang Korea dan Asia. 

Selama ini, perang maritim yang paling terkenal rata-rata berasal dari pertempuran-pertempuran di kawasan Eropa, yang melibatkan bangsa-bangsa kuno di kawasan Eropa dan Asia Barat. Diwaktu yang sama dengan waktu terjadinya perang ini, tidak ada yang menyangka jika ada perang maritim besar yang berkecamuk antara sebuah kerajaan pertapa kecil dengan sebuah kekaisaran yang besar. Perang ini melibatkan banyak sekali jenderal dan admiral, dan juga membuahkan berbagai penemuan penting bagi dunia maritim.

Saat itu, Korea dipimpin oleh Raja Seonjo (raja Joseon ke-14). situasi Korea saat itu kurang baik. Berbagai konflik internal istana, persaingan antar menteri, hingga kudeta berdarah mewarnai pemerintahan saat itu yang dipimpin oleh Wangsa Yi (wangsa Kerajaan Joseon). Selain itu, pergerakan bangsa Manchu di utara membuat Seonjo mengirimkan banyak komandan militer yang berpengalaman ke perbatasan Utara, bersamaan dengan itu Seonjo juga harus menghadapi para pemimpin Jepang yaitu Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu di bagian selatan.

Awal mula perang ini adalah saat mantan abdi shogun pemersatu Jepang, Oda Nobunaga, yang bernama Toyotomi Hideyoshi berhasil muncul menjadi penguasa baru di Jepang. Berbeda dengan Oda Nobunaga yang ingin bekerja sama dengan negeri asing dan mengutamakan diplomasi, Hideyoshi memilih untuk menjadi seorang agresor.

Shogun baru ini memiliki ambisi yang dulu diutarakan pada Oda Nobunaga, menaklukan dunia. Bagi seorang Hideyoshi, dunia itu diawali oleh Tiongkok. Untuk itu, beliau mengirim delegasinya ke Raja Seonjo untuk meminta izin melewati Semenanjung Korea menuju Tiongkok. Permintaan juga bermakna mereka akan berperang melawan Joseon yang menjalin aliansi dengan Kekaisaran Ming. Seonjo, yang terperanjat, menolak permintaan itu dan secepat mungkin mengirim surat ke istana Ming untuk memperingatkan bahwa Jepang sedang mempersiapkan perang berskala penuh melawan aliansi Korea-Ming.

Orang-orang Korea mulai khawatir jika Jepang menyerang negeri mereka. Para pejabat mendesak raja untuk mengirim para delegasi ke Hideyoshi untuk mencari tahu apakah Hideyoshi sedang mempersiapkan untuk invasi atau tidak. Namun dua faksi pemerintahan yang kerap berseteru tidak mencapai kata sepakat mengenai kepentingan nasional ini sehingga sebuah persetujuan dibuat dan satu delegasi dari setiap faksi dikirim ke Hideyoshi. Ketika para utusan itu kembali ke Korea, laporan mereka justru menambahkan kebingungan. Hwang Yun-gil, dari Faksi Barat, melaporkan bahwa Hideyoshi sedang meningkatkan jumlah pasukan dalam jumlah yang sangat besar, tapi Kim Seong-il dari Faksi Timur melaporkan kalau pasukan besar digunakan untuk mempercepat reformasi, mencegah pelanggaran hukum, melawan para bandit. Karena Faksi Timur memiliki lebih banyak suara, laporan dari Hwang Yun-gil diabaikan dan Seonjo memutuskan untuk tidak bersiap-siap perang, padahal saat itu Daimyo dari Tsukushima (pulau yang menjalin hubungan dagang dengan Joseon) sudah memperingatkan akan ambisi Hideyoshi dan hasratnya untuk menaklukkan Asia termasuk Joseon.

Secara tiba-tiba, pada 13 April 1592, armada pertama Jepang (sekitar 700 kapal) di bawah pimpinan Konishi Yukinaga menyerang Korea. Konishi dengan mudah membakar Benteng Busan dan Benteng Donglae, membunuh komandan Jeong Bal dan Song Sang-hyeon, dan menuju ke arah utara. Raja Seonjo panik dan mengirim Jenderal Sin-rip (Wakil Menteri Perang) dan Jenderal Yi Il ke Chungju bersama 8.000 tentara kavaleri, tapi semuanya sudah terlambat..

Pada hari berikutnya datang pasukan lebih banyak di bawah pimpinan Kato Kiyomasa dan Kuroda Nagamasa, dan menuju ke arah Hanyang. Shin-rip bergabung dengan Kim Su (Gubernur Gyeongsang), yang telah mengumpulkan pasukan besar di Daegu, lalu menuju Benteng Choryeong untuk memblokir jalan pintas yang akan digunakan pasukan Jepang ke ibukota. Armada Jepang yang besar dibawah pimpinan Todo Takatora dan Kuki Yoshitaka membantu mereka dari laut. Jenderal Yi Il menghadapi Kato Kiyomasa di dalam Perang Sangju, yang dimenangkan oleh Jepang. Namun, pasukan Jendral Yi Il dikalahkan oleh pasukan Jenderal Konishi Yukinaga. Kemudian Yi Il bertemu Sin-rip, namun gabungan pasukan mereka juga dikalahkan di dalam Perang Ch'ungju oleh Kato Kiyomasa. Shin-rip mengabaikan saran Pangeran Gwanghae (raja Joseon ke-15) yang menganjurkan menggunakan pasukan infanteri karena medan yang penuh lumpur dan mengerahkan pasukan kavaleri melawan pasukan infanteri Jepang yang dilengkapi berbagai jenis senapan. Pasukan Korea panik dan melarikan diri, tapi mereka tewas dibunuh prajurit Jepang dan tenggelam di sungai. Jendral Shin-rip dan beberapa komandan yang setia yang tidak mau melarikan diri memilih bunuh diri (1592). Ini adalah kekalahan pertama Korea dalam Perang Imjin

Seonjo lalu menunjuk Jenderal Kim Myeong-won sebagai Panglima Tertinggi dan memerintahkannya mempertahankan ibukota bersama dengan Putra Mahkota Gwanghae (penguasa de facto/in action Joseon saat itu). Raja terpaksa melarikan diri ke Pyongyang karena Jepang merebut ibukota. Raja akhirnya pindah lebih jauh lagi ke utara di kota Uiju karena Pyongyang juga direbut. Banyak orang yang telah kehilangan kepercayaan pada raja lalu merampok istana dan mengakibatkan lebih banyak kerusakan dari yang ditimbulkan pasukan Jepang.

Meskipun kalah dalam banyak pertempuran, angkatan laut Korea berhasil memotong bantuan logistik Jepang. Laksamana Yi Sun-sin beberapa kali mengalahkan armada Jepang dan kapal-kapal penyalur logistik, sehingga pasukan bantuan dari Ming pimpinan Jenderal Li Rusong bisa tiba di pantai-pantai Korea dan mulai memukul mundur Jepang ke arah selatan dan akhirnya merebut kembali Pyongyang. Pasukan Jenderal Gwon Yul juga yang jauh lebih kecil juga berhasil mengalahkan pasukan Jepang dalam Perang Hangju. Akhirnya, pada invasi pertama ini Jepang terpaksa menegosiasikan gencatan senjata dengan pihak Ming. Selama negosiasi ini, pasukan Korea berhasil merebut Hanyang. Invasi Jepang pertama ini merenggut nyawa salah-satu putra Seonjo, Pangeran Silseong, yang meninggal di pengungsian.

Masa gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Jenderal Yi Sun-shin untuk pergi ke wilayah Jeolla dan mengumpulkan kapal, awak-awak kapal dan prajurit, dan senjata. Beliau akhirnya berhasil merampungkan kapal perang yang dikenal dengan nama “Kapal Kura-kura”, yang merupakan kapal besi pertama di dunia.

Negosiasi damai antara Jepang dan Ming berakhir (1598) tanpa hasil positif. Jepang langsung berusaha merebut Hanyang baik dari rute darat dan laut. Mulanya rencana itu kelihatannya berjalan lancar ketika Jepang menang di Pertempuran Chilchonryang, namun saat armada Jepang berusaha melewati Sungai Myeongnang, mereka mendapat perlawanan sengit dari armada Korea pimpinan Laksamana Yi Sun-shin.

Raja Seonjo yang mengetahui bahwa Yi Sun-shin hanya mendapatkan 13 buah kapal menyarankan agar Yi Sun-shin bergabung dengan angkatan darat. Namun, Yi Sun-shin meyakinkan bahwa perairan di Jeolla dan Chungcheong harus dilindungi untuk mencegah pasukan Jepang menuju ibukota dari jalur laut.

Armada Yi Sun-shin bergerak ke Selat Myeongnyang. Myeongnyang adalah selat yang harus dilewati musuh untuk mencapai ibukota. Selat ini memiliki arus paling deras di Korea yang selalu berganti arah setiap 4 jam sekali. Di selat ini, Yi Sun-shin memasang kawat besi dibawah air yang dapat diputar menggunakan agar menggoyahkan kapal musuh dan membuat mereka saling bertabrakkan pada saat arus deras terjadi. Kapal Joseon mempunyai dasar berbentuk datar dan dangkal, sementara kapal Jepang yang memiliki dasar yang lancip dan dalam akan mudah tersangkut jebakan itu.

Pada 16 September 1597, armada Jepang tiba dengan 330 kapal, tapi berkat sempitnya selat Myeongnyang, hanya 130 kapal Jepang yang dapat masuk. Dalam waktu singkat, mereka sudah mengelilingi armada Yi Sun-shin. Kapal-kapal Korea menyerang dengan menembakkan panah dan meriam. Entah bagaimana, di dekat kapal Yi Sun-shin mengapung sesosok mayat musuh, yang ternyata adalah Jenderal Matashi Kurushima. Mayat itu ditarik dan diperlihatkan ke arah musuh dari haluan kapal sehingga menimbulkan kehebohan ditengah pasukan Jepang. Pada saat arus mulai deras, kekuatan arus mulai menggoyahkan kapal-kapal Jepang dan merusak posisi mereka. Pasukan Yi Sun-shin mulai mengencangkan kawat besi di bawah air. Kapal mereka mulai tersangkut dan mulai bertabrakkan satu sama lain. Laksamana Yi Sun-sin berhasil mengalahkan armada Jepang pimpinan Todo Takatora dalam Pertempuran Myeongnyang. Dari 130 kapal Jepang yang masuk ke Selat Myeongnyang, 31 kapal tenggelam dan 90 kapal rusak parah, tapi tak satupun kapal Yi Sun-shin yang kalah. 

Setahun setelah Pertempuran Myeongnyang, pada Agustus 1598, Hideyoshi akhirnya menarik semua pasukan Jepang dari Korea karena merasa kematiannya sudah dekat. Tapi, kapal-kapal Jepang yang hendak pulang ini dihadang oleh armada Yi Sun-shi dengan bantuan armada Kekaisaran Ming pimpinan Laksamana Chen Lien (en.wikipedia/yisunshin).

Dalam pertempuran tahap awal, armada Jepang dipukul mundur dengan 50 buah kapal dihancurkan sehingga mereka melarikan diri, namun mereka telah terjebak. Karena tak ada pilihan lain, mereka berbalik dan melawan. Kapal-kapal Jepang lalu mengincar kapal yang membawa Yi Sun-shin. Yi Sun-shin berkali-kali dalam bahaya karena hampir terkurung tapi beliau berhasil menghindar. Saat sedang meneriakkan perintah maju, Yi Sun-shin tertembus peluru yang ditembakan dari kapal musuh sehingga beliau terluka parah. Ia lalu meminta anak-buahnya menutupi tubuhnya dengan perisai dan merahasiakan kondisinya dari prajurit lain. Beliau menghembuskan napas terakhir didepan putra sulungnya dan keponakannya, yang berdua meneruskan pertempuran. Pertempuran ini dimenangkan armada Korea. Kekalahan Jepang di Pertempuran Noryang mengakibatkan hancurnya 450 buah kapal Jepang. Hasil dari pertempuran itu mengakhiri perang selama 7 tahun. Perang ini merupakan perang terbesar sepanjang sejarah Joseon dan menjadi salah-satu perang maritim terbesar dalam sejarah dunia.

Perang-perang laut ini adalah kebanggaan bagi Korea sebab mereka mampu menumbangkan pasukan musuh hanya dengan kekuatan yang sangat kecil. Tapi, perang ini membawa dampak negatif bagi semua yang terlibat, yakni Korea (Joseon), Ming, dan Jepang.

Kemenangan Korea dalam perang ini dibayar mahal. Infrastruktur hancur, termasuk istana-istana dan dan gedung-gedung pemerintahan. Para budak memberontak akibat musnahnya sebagian besar catatan budak. Keputusan raja yang melarikan diri dari ibukota membuat raja kehilangan kewibawaannya dimata rakyat dan para bangsawan, termasuk para cendekiawan Sungkyunkwan, dan mereka lebih menghormati Pangeran Gwanghae yang berjuang di medang perang demi merebut dan mempertahankan ibukota. Ketidakstabilan politik Joseon ini melemahkan pertahanan Joseon sehingga 30 tahun kemudian pasukan Manchu berhasil menaklukan Korea dengan pasukan yang lebih kecil daripada yang sebelumnya dikerahkan oleh Jepang.

Kemenangan pasukan mereka juga dibayar mahal oleh Kekaisaran Ming. Sikap kaisar Ming yang tidak bijaksana diperparah oleh kerugian besar akibat Perang Tujuh Tahun ini yang sangat mengganggu kas negara. Walaupun menang melawan Jepang tapi kekuatan pasukan Ming melemah drastis sehingga mengakibatkan mereka kewalahan menghadang kemajuan bangsa Manchu dibagian timur laut. Kurang dari 30 tahun setelah Perang 7 Tahun, Kekaisaran Ming diruntuhkan oleh bangsa Machu yang lalu mendirikan kekaisaran baru, Kekaisaran Qing.

Kekalahan dalam Perang 7 Tahun ini memberikan pelajaran yang sangat besar bagi Jepang. Perang ini menimbulkan kerugian yang besar bagi Jepang, baik itu kerugian finansial dan juga korban jiwa. Kepercayaan para daimyo pada klan Toyotomi juga menurun drastis, terlebih lagi pengganti Hideyoshi tidak secakap ayahnya. Tapi, ambisi Jepang untuk menaklukan Tiongkok tidak pernah surut. Jalur utama mencapai Tiongkok adalah daratan Semenanjung Korea sehingga Korea tetap menjadi bagian dari rencana jangka panjang mereka untuk menaklukan seluruh Asia. Setelah Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan Toyotomi Hideyori (penerus Hideyoshi), klan Toyotomi pun berakhir dan digantikan oleh klan Tokugawa yang menandai dimulainya era Edo. Keshogunan Tokugawa meniru politik isolasi Joseon yang bertahan selama 200 tahun. Selama era ini, Tokugawa berusaha mempersatukan seluruh Jepang dan menstabilkan politik, hingga akhirnya Kaisar Meiji naik tahta dan menghapus keshogunan dan melakukan restorasi. 

Restorasi Meiji yang berhasil memodernisasi seluruh Jepang dalam waktu yang sangat singkat menjadi indikator utama keruntuhan Kerajaan Korea (Kekaisaran Han Raya, penerus Kerajaan Joseon).



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; the Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Koreana (Korean Culture & Art) Vol.25.No.1; 2011; National Museum Of Korea
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


______________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saturday, 20 May 2017

KERAJAAN SILLA, ERA AWAL SILLA BERSATU DAN PUNCAK KEMAKMURAN SILLA





Setelah Raja Muyeol wafat, tongkat estafet penyatuan Semenanjung Korea diberikan kepada putra sulungnya, Raja Munmu yang berhasil menguasai sebagian besar semenanjung hingga menaklukkan ibukota Goguryeo. Setelah Raja Munmu meninggal, putranya menjadi raja dan dilanjutkan oleh dan keturunan-keturunan Raja Muyeol yang menduduki tahta Silla selama lebih dari seratus tahun. Klan Kim menjadi penguasa tunggal diera ini. 

Era ini merupakan era keemasan Silla dan bisa dibilang sebagai era keemasan Semenanjung Korea dimasa kuno. Kemakmuran bangsa Korea pada era ini belum bisa tertandingi oleh gabungan kemakmuran diera Kerajaan Goryeo dan Joseon. Uniknya, era ini diawali oleh pemerintahan putra Raja Muyeol namun diakhiri oleh keturunan terakhir Raja Muyeol.

Inilah nama para raja dan ratu yang memerintah pada periode awal penyatuan Korea sekaligus periode puncak kemakmuran Silla (nomor urut para raja disesuaikan dengan urutan raja-raja itu berkuasa sebagai raja Silla):





31. RAJA SINMUN

Raja Sinmun adalah raja Silla ke-31. Beliau adalah putra sulung Raja Munmu. Ibunya bernama Ratu Jaeui.

Sinmun ditunjuk sebagai putra mahkota oleh ayahnya pada tahun 665. Beliau memerintah Silla selama 11 tahun (681 M–692 M). Raja Sinmun menggunakan gelar “Wang” sebagai gelar raja Silla yang disematkan padanya. Sinmun adalah salah-satu cucu Raja Taejong Muyeol.

Berbeda dengan kakek-kakeknya dan ayahnya yang hidup di medan perang, Sinmun lebih banyak tinggal di istana dan menikmati kehidupan aristokrat kelas atas Silla. Inilah yang menyebabkan Sinmun tidak mengetahui kehidupan di medan perang sehingga beliau tidak berempati pada para veteran perang dan juga para hwarang. Inilah yang membuat Sinmun sering berseteru dengan para veteran peran dan kelompok hwarang. Perseteruan ini mulai mengemuka pada masa-masa akhir pemerintahan Raja Munmu.

Tidak ada lagi perang pada masa itu. Sayangnya, justru terjadi konflik pelik di istana antar para pejabat teras dengan raja mengenai kelayakan putra-mahkota (Sinmun) menduduki tahta karena dianggap tidak kompeten dan anti-aristokrat serta tidak menghormati Resimen Hwarang.

Tradisi kebangsawanan Silla sejak kerajaan ini berdiri menganut sistem semi-demokratis. Raja pertama Silla, Park Hyeok-geose, diangkat atas musyawarah para pemimpin klan. Selanjutnya, walaupun rata-rata suksesi diturunkan turun-temurun tetapi dewan istana, yang terdiri dari para bangsawan tinggi, sangat berperan mempengaruhi keputusan raja atas suksesi. Itulah mengapa Raja Talhae, Raja Beolhyu, Raja Michu, Raja Heulhae, Raja Naemul, dan termasuk Raja Jinheung dan Raja Muyeol bisa bertahta walaupun mereka bukan putra raja terdahulu, padahal pendahulu mereka masih memiliki putra pewaris. Ini juga mengapa Raja Jinpyeong (kakek buyut) bekerja-keras melobi dewan istana agar putrinya bisa direstui sebagai pewaris. 

Peran para bangsawan membuat kubu Raja Jinpyeong dan Putri Deokman (Ratu Seondeok) harus bergerak cepat dengan memanfaatkan pemberontakan yang dipimpin Chilsuk dan Seokphum untuk menyingkirkan para penentangnya. Inilah juga yang membuat Ratu Seondeok, yang berhasil menduduki tahta, menempatkan para pendukung-nya diberbagai posisi strategis. Dan untuk berjaga-jaga, Ratu Seondeok dan Jenderal Kim Yushin juga menempatkan para pendukungnya di dewan negara. Tujuan dari ratu adalah untuk memuluskan Pangeran Chunchu menjadi penerusnya jika kelak beliau nanti tidak memiliki keturunan. Rencana Ratu Seondeok ini awalnya berjalan mulus, tapi perseteruan antara Bidam dan Yushin membuyarkan rencana jangka panjang ratu sebab perseteruan ini membuat Bidam memberontak dan banyak bangsawan yang mendukungnya, termasuk para bangsawan yang dipercaya ratu akan dapat mendukung Pangeran Chunchu nanti. Untunglah pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Kim Yushin, dan Bidam serta semua pendukungnya dihukum mati. Sayangnya, Ratu Seondeok, yang sangat syok akan pemberontakan ini, meninggal tepat setelah pemberontakan padam. Pengganti Ratu Seondeok, Ratu Jindeok, melanjutkan kebijakan Ratu Seondeok mengenai posisi para bangsawan. Langkah Ratu Jindeok ini memuluskan upaya Ratu Seondeok untuk menjadikan Pangeran Chunchu sebagai raja sebab Ratu Jindeok juga tidak memiliki putra.

Akan tetapi, rupanya para bangsawan tidak sesolid dulu sebab suara mereka tidak mengerucut pada calon tunggal melainkan dua calon raja, Pangeran Alcheon dan Pangeran Chunchu. Pangeran Alcheon yang saat itu menjabat sebagai perdana-menteri mendapatkan mayoritas dukungan dari para pejabat dan bangsawan termasuk para keturunan raja. Namun, sahabat terdekat Alcheon, Jenderal Kim Yushin dan kubunya (para bangsawan Gaya) tetap konsisten mendukung Pangeran Chunchu sebagai pewaris. Pangeran Alcheon rupanya juga tetap konsisten dengan pendiriannya saat Ratu Seondeok masih hidup yaitu menjadikan Pangeran Chunchu sebagai raja. 

Pangeran Alcheon lalu menolak dukungan para bangsawan yang ingin menaikkan dia ke atas tahta dengan cara yang cukup ekstrim pada masa itu, mengganti nama marganya dari “Kim” menjadi “So” sehingga otomatis membuatnya tidak bisa menjadi raja sebab syarat utama menjadi raja Silla saat itu adalah harus bermarga “Kim”. Dengan ini, suara para bangsawan mau tidak mau harus bulat untuk menjadikan Pangeran Chunchu sebagai calon tunggal pengganti Ratu Jindeok. Sikap Alcheon inilah yang membuatnya dikenal sebagai “Hwarang yang paling setia.”

Kebijakan-kebijakan kerajaan yang diputuskan oleh raja juga didiskusikan oleh raja kepada anggota dewan istana dan anggota dewan negara. Harmonisasi antara raja dan para bangsawan lah yang membuat Silla sangat solid selama berabad-abad. Percobaan pemberontakan pertama dalam sejarah Silla terjadi setelah 138 tahun kerajaan ini berdiri (165 M) oleh seorang menteri Silla. Tapi, para bangsawan menentang sehingga usahanya pemberontakan ini gagal. Pertikaian berdarah pertama di Silla baru terjadi 444 tahun setelah Silla berdiri ketika Raja Silseong dibunuh (417) oleh Raja Nulji, tapi tidak dikategorikan sebagai pemberontakan sebab saat itu Raja Silseong-lah berusaha membunuh Nulji sehingga Nulji membela-diri. Silla baru mengalami pemberontakan ketika Raja Jinji diturunkan dari tahta (579), 606 tahun setelah kerajaan itu berdiri. Bandingkan dengan pemberontakan besar yang meletus di dua kerajaan lainnya, Goguryeo dan Baekje, dan bahkan di-era dinasti-dinasti penerus mereka, Goryeo dan Joseon, yang rata-rata terjadi kurang dari sepuluh tahun setelah kerajaan-kerajaan ini berdiri.

Harmonisasi politik juga berhasil diciptakan oleh Raja Muyeol dengan menggandeng kelompok rahasia “Mumyeong” untuk membantunya memenangkan perang, padahal kelompok ini sebelumnya merupakan motor utama penggerak pemberontakan Bidam selain Yeomjong dan tentunya Bidam. 

Namun, usaha kakeknya ini justru dirusak oleh Sinmun, sehingga para menterinya gencar memprotes raja. Sikap Sinmun inilah yang menjadi indikator pembubaran Resimen Hwarang.

Raja Sinmun selalu memimpikan sentralisasi kekuasaan ditangan raja. Impiannya ini terbaca oleh para bangsawan sehingga para bangsawan itu lalu meminta Raja Munmu mengganti putra-mahkota. Munmu marah mendengar hal ini, tapi Munmu tidak mau menyingkirkan para bangsawan itu karena sangat menghormati mereka sebab rata-rata para bangsawan itu adalah para veteran perang sejak pemberontakan Bidam dan perang penyatuan Tiga Kerajaan dan bahkan ada yang sudah membela tahta Silla sejak pemberontakan Chilsuk dan Seokpum meletus. Terlebih lagi, hampir semua bangsawan itu adalah mantan hwarang.

Perseteruan antara raja dan para bangsawan adalah hal yang biasa dan Silla telah memiliki pengalaman tentang bagaimana cara mengatasinya. Pada setiap perseteruan ini raja dan ratu selalu dibela oleh Resimen Hwarang, kecuali Raja Jinji yang dianggap mengkhianati Raja Jinheung karena memalsukan surat wasiat Raja Jinheung. Oleh karena itu, saat Sinmun tidak menghormati Resimen Hwarang maka para mantan Hwarang dan mantan Pungwolju pun marah.

Arogansi Sinmun ini tentu membuat banyak hal terjadi dimasa pemerintahannya. Inilah peristiwa-peristiwa terkenal sepanjang pemerintahannya:

- Musim semi 681, pemberontakan Kim Heumdol meletus.
Kim Heumdol adalah mertua Sinmun, tapi beliau memimpin para bangsawan memprotes sikap Sinmun yang selalu berseberangan dengan para bangsawan. Namun, raja menganggap protes ini sebagai pemberontakan. Akibat tekanan dari raja, Heumdol dan kelompoknya lalu mempertahankan diri dengan menggunakan pasukan-pasukan pribadi mereka. Gelombang protes ini melibatkan separuh menteri Silla termasuk menteri senior, Jin-gong (pungwolju ke-26). Bahkan, Kim Gun-gwan (sangdaedung, pungwolju ke-23) juga ikut memprotes raja walau tidak berniat memberontak. Konflik ini lalu semakin mengarah pada pemberontakan. Pemberontakan ini mendapat perlawanan dari kubu pendukung raja serta para Hwarang. Kim Sin-gong sebagai Pungwolju Hwarang tetap mendukung Raja Sinmun sebab sebagai seorang Hwarang dia tidak boleh membelot dari raja, walaupun Kim Sin-gong adalah putra dari Jin-gong. Pemberontakan ini dipadamkan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan diyakini sudah diatasi sebelum sempat meletus.

- Tahun 681, Pungwolju Kim Sin-gong gugur dalam tugas di-usia 32 tahun saat memadamkan pemberontakan Kim Heum-dol. Tidak jelas apakah dia tewas akibat terbunuh oleh pemberontak atau karena di-eksekusi mati oleh raja. Kemungkinan besar dia gugur dalam tugas saat menghadapi pemberontak, tapi jika melihat sikap Raja Sinmun yang penuh curiga dan anti aristokrat bisa jadi Sin-gong tewas karena dieksekusi mati atas perintah raja, karena walaupun dia tetap membela raja namun dia adalah putra salah-satu pemimpin pemberontak. Kim Sin-gong adalah Pungwolju Resimen Hwarang terakhir.

- Tahun 681, Kim Heum-on (pungwolju ke-31, putra Kim Heumdol, keponakan Kim Yushin) terbunuh dalam pemberontakan.

- Tahun 681, para pemimpin pemberontak, Kim Heumdol dan Kim Jin-gong, dieksekusi.

- Tahun 681, Sangdaedung Kim Gun-gwan (pungwolju ke-23) dieksekusi mati diusia 79 tahun karena memprotes raja, tapi namanya tidak dimasukan dalam daftar pemberontak karena beliau memang tidak memberontak.

- Tahun 681, Resimen Hwarang dibubarkan oleh Raja Sinmun dan dikembalikan fungsinya sebagai Kelompok Hwarang (kelompok pemuda cendekia) yang bukan lagi berupa pasukan militer.

- Tahun 683, mantan pewaris tahta Goguryeo, Pangeran Anseung, datang ke Silla bersama para pendukungnya dan diterima oleh Raja Sinmun. Anseung dianugerahi gelar kebangsawanan Silla dan diijinkan tinggal di Silla.

- Tahun 684, para pendukung Anseung melakukan pemberontakan pada Silla di kota Iksan. Anseung tetap setia pada Silla dan tidak terlibat dalam pemberontakan ini. Pemberontakan mereka berhasil dipadamkan oleh pasukan Silla yang dipimpin oleh Jenderal Kim Young-yoon (putra Kim Ban-geul dan cucu Kim Heumsun/adik Kim Yushin).

- Tahun 689, Raja Sinmun mencoba memindahkan ibukota pemerintahan dari Seorabeol (Gyeongju) ke Dalgubeol (Daegu) untuk mencegah gangguan dari para bangsawan sebagai imbas dari pemberontakan Kim Heumdol, tapi usaha ini tidak berhasil.



Meskipun banyak pemberontakan terjadi pada masa pemerintahannya, tapi Silla juga menikmati kemajuan pesat selama pemerintahan Sinmun. Banyak sekali yang dilakukan sepanjang pemerintahannya, diantaranya:

- Tahun 682, Gukhak (universitas kerajaan di Silla) dibangun. Gukhak bertahan selama ratusan tahun dan menjadi cikal-bakal Universitas Sungkyunkwan (universitas kerajaan di Joseon).

- Pengiriman utusan pada Kaisarina Wu Zetian dari Kekaisaran Tang untuk meminta salinan “Buku Ritual” dan berbagai salinan buku-buku klasik dari China.

- Pembentukan 9 Provinsi di seluruh Silla yang meniru sistem pembagian provinsi oleh Raja Yu dari Kerajaan Xia (Kerajaan China kuno).

- Pembangunan “ibukota kedua” yang ditujukan untuk menampung bangsawan-bwangsawan pelarian dari Baekje dan Goguryeo.

- Pemulihan hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Tang yang sempat putus saat terjadi perang antara Silla dan Tang.

- Tahun 689, sistem pemberian upah dihapus dan digantikan dengan pemberian tanah.

- Penolakan Sinmun atas permintaan Kaisar Gaozong dari Tang. Saat itu, Gaozong mengirim utusan ke Silla dan disertai pesan yang meminta agar gelar “Taejong” yang diberikan kepada Raja Muyeol dihapus, sebab itu adalah gelar yang sama yang dimiliki oleh ayah Kaisar Gaozong, Kaisar Taizong (Taizong = Taejong), yang dianggap tidak sepadan dengan Raja Muyeol karena hanya berasal dari kerajaan kecil. Tapi, Raja Sinmun menolak dengan sopan melalui sebuah surat yang berbunyi:
Walaupun Silla adalah kerajaan kecil, raja kami mampu mempersatukan tiga kerajaan (Samhan/Tiga Konfederasi) melalui kebaikan Kim Yushin yang membantu raja dengan keberanian yang tidak tertandingi. Oleh sebab itu, raja kami dianugerahi gelar Taejong.
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 91-92, tahun 1972).

Sinmun adalah raja pertama Silla yang menggunakan sistem pemerintahan terpusat, meninggalkan sistem feodal yang sudah diterapkan Silla selama lebih dari 600 tahun. Sistem terpusat ini ditujukan untuk mengontrol wilayah Silla yang sudah semakin luas.

Terlepas dari semua upayanya membangun Silla, pemberontakan Kim Heumdol pada awal pemerintahan Sinmun tetap membekas dan berdampak luas. Pemberontakan Kim Heumdol memang tidak besar, tapi dampaknya sangat besar bagi Silla. Selain terbunuhnya pungwolju saat itu dan dieksekusinya mantan-mantan hwarang dan mantan pungwolju, pemberontakan ini juga mengakibatkan Resimen Hwarang dibubarkan. Kelompok Hwarang masih diijinkan tetap ada tapi tidak lagi sebagai resimen militer karena keberadaan mereka saat itu hanya sebagai kelompok pemuda bangsawan yang belajar berbagai ilmu dan kemudian membantu pemerintahan. Para Hwarang yang tersisa dilarang membentuk pasukan militer dan mengumpulkan nangdo. Hwarang juga tidak bisa lagi memiliki seorang Pungwolju sebab fungsi Pungwolju adalah sebagai komandan pasukan. Kelompok Hwarang dikembalikan fungsinya sebagai kelompok pemuda cendekia seperti saat mereka pertama kali dikumpulkan oleh Raja Beopheung.

Raja Sinmun meninggal pada tahun 692, 11 tahun setelah bertahta dan setelah pembubaran Resimen Hwarang. Sinmun digantikan oleh putranya, Raja Hyoso.

Kematian Sinmun tidak menyelesaikan perseteruan keluarga kerajaan dengan para bangsawan. Setelah Raja Sinmun meninggal, para penguasa Silla penerusnya justru menyesali keputusan Kim Sinmun sebab tidak ada lagi pasukan ‘berani mati’ yang setia membela raja hingga titik-darah penghabisan. Tidak ada lagi para pangeran dan bangsawan yang mempelajari dan mendalami berbagai ilmu serta teruji kesetiaannya pada raja dan negara melalui pengalaman mereka sebagai anggota Resimen Hwarang, sehingga kesetiaan pada raja mulai runtuh dan pemberontakan-pemberontakan besar terjadi secara konstan hingga kerajaan ini runtuh.

Pada beberapa pemberontakan, beberapa raja justru terbunuh oleh pengawal kerajaan. Serial pemberontakan-pemberontakan ini dimulai pada masa pemerintahan Sinmun, dan secara konstan terus berlangsung hanya 8 tahun setelah kematian Sinmun atau 19 tahun setelah pembubaran resimen hwarang. Pemberontakan itu terus berlangsung hingga akhir sejarah Silla.

Kurang dari seabad, tepatnya 99 tahun, setelah pembubaran Resimen Hwarang tidak ada lagi keturunan Raja Muyeol (juga Raja Sinmun) yang menduduki tahta Silla setelah Raja Hyegong terbunuh dalam sebuah pemberontakan yang membuatnya menjadi keturunan terakhir Raja Muyeol diatas tahta Silla. Raja-raja terakhir Silla juga semakin kewalahan menghadapi serbuan dari negara-negara musuh termasuk bekas wilayah Baekje dan Goguryeo, padahal wilayah-wilayah itu dulunya ditaklukkan oleh Resimen Hwarang dibawah pimpinan Kim Heumdol. 

Raja-raja Silla diperiode itu sempat ingin kembali membangkitkan kelompok Hwarang sebagai resimen militer tapi hal itu sudah sangat terlambat.

196 tahun setelah pembubaran resimen hwarang seorang yang bernama Wang Geon lahir di Songak (Kaesong), wilayah yang dulu ditaklukkan pasukan hwarang saat menyerbu Goguryeo. Pria inilah yang meruntuhkan Silla 253 tahun setelah pembubaran Resimen Hwarang.

Tanda-tanda keruntuhan Silla sebenarnya mulai terlihat saat Gyeonhwon dari Hu-Baekje menjadi pemimpin asing pertama dalam sejarah Silla yang berhasil membuat seorang raja Silla terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 927 atau 246 tahun setelah pembubaran Resimen Hwarang, dan 8 tahun kemudian kerajaan Silla resmi runtuh karena menyerah pada Wang Geon dari Goryeo.

Pada periode terakhir ini, banyak bangsawan Silla khususnya kalangan kongfusian yang kembali mengenang masa Silla lalu terutama pada masa-masa kejayaan hwarang.

Hampir tidak ada orang Silla yang setuju pada keputusan Raja Sinmun yang membubarkan Resimen Hwarang di masa-lalu.






32. RAJA HYOSO

Raja Hyoso adalah raja Silla ke-32. Beliau adalah putra tertua Raja Sinmun. Ibunya adalah ratu kedua Sinmun, Ratu Sinmok. Beliau dilahirkan ditahun ke-6 pemerintahan ayahnya, tahun 687 M.

Hyoso diangkat sebagai putra mahkota tidak lama setelah kelahirannya, dan saat ayahnya meninggal (692), Hyoso diangkat menjadi raja Silla diusia 5 tahun. Beliau memerintah Silla selama 10 tahun (692–702). Raja Hyoso menggunakan gelar “Wang” sebagai gelar raja Silla yang disematkan padanya. Hyoso adalah cucu Raja Munmu Yang Agung.

Hyoso adalah raja Silla yang termuda saat naik tahta. Karena masih kecil saat masih menjadi raja, pemerintahan dijalankan oleh walinya. Cukup banyak peristiwa yang terjadi sepanjang masa pemerintahannya, diantaranya:

- Rangkaian pemberontakan para bangsawan dari kasta Jin-geol

- Tahun 702, seorang Ichan (bangsawan tingkat dua dari kasta Jin-geol) yang bernama Gyeong-yeong mencoba melakukan pemberontakan. Gyeong-yeong berhasil ditangkap dan dieksekusi.

- Tahun 702, Menteri Dalam Negeri Silla dipecat karena dianggap bertanggung-jawab atas meletusnya pemberontakan Gyeong-yeong.

- Penguatan sistem pemerintahan sentralisasi.

- Pengiriman utusan-utusan ke Kekaisaran Tang untuk mempererat hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Tang.

- Jepang mengirim utusan ke Silla untuk memulihkan hubungan diplomatik yang sempat putus sejak tahun 663 pasca Perang Baekgang.


Hyoso memerintah selama 10 tahun. Beliau meninggal karena sakit di Seorabeol pada musim gugur 702 saat dia baru berusia 15 tahun. Meskipun meninggal diusia muda tapi nama Hyoso sebagai raja Silla tercantum dalam catatan-catatan sejarah pemerintahan Tang dan Jepang (Shoku Nihongi). Hyoso meninggal tanpa keturunan sehingga beliau digantikan oleh adik kandungnya, Raja Seongdeok.






33. RAJA SEONGDEOK

Raja Seongdeok adalah raja Silla ke-33. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan ayahnya, Raja Sinmun. Seongdeok diangkat menjadi raja Silla pada tahun 702 M setelah kematian kakak-kandungnya, Raja Hyoso. Beliau memerintah Silla selama 34 tahun (702–736 M). Raja Seongdeok menggunakan gelar “Wang” sebagai gelar raja Silla yang disematkan padanya, namun sejarah Silla menghormatinya dengan menyebut namanya “Seongdeok Daewang” yang artinya “Raja Seongdeok Yang Agung” (Seongdeok The Great). Seongdeok dihormati sebagai “raja agung” oleh sejarawan Silla karena pada masa pemerintahannya Silla memperoleh kedamaian dan mampu memperluas wilayahnya. Era Seondeok juga adalah puncak keemasan Silla.

Seongdeok adalah salah-satu raja Silla yang naik tahta saat masih belia, dan bahkan belum menikah. Pemerintahan sempat dijalankan oleh walinya. Dia baru menikah pada tahun 702 M dengan Lady Baeso. 

Banyak sekali peristiwa yang terjadi sepanjang 35 tahun masa pemerintahannya, diantaranya:

- Tahun 702, Lady Baeso (putri dari Kim Muntae) diangkat sebagai permaisuri dengan gelar “Ratu Seongjong”.

- Terjadi perselihan antara Raja Seongdeok dengan para bangsawan dari kasta Jin-geol yang berasal dari klan Ratu Seongjeong.

- Tahun 715, Pangeran Jung-gyeong (putra pertama Raja Seongdeok yang lahir dari Ratu Seongjong) diangkat sebagai putra mahkota.

- Tahun 716, Ratu Seongjong digulingkan dari tahta ratu dan diusir dari istana.

- Tahun 717, Putra Mahkota Jung-gyeong meninggal karena penyebab yang tidak jelas.

- Tahun 718, Nugakjeon (Departemen Pemantau Waktu) diresmikan oleh raja.

- Tahun 720, Seongdeok menikahi ratu keduanya, Ratu Sodeok (putri dari Menteri Kim Sunwon). Ratu Sodeok adalah ibu dari Raja Hyoseong dan Raja Gyeongdeok.

- Tahun 721, Seongdeok memerintahkan pembangunan “Tembok Raksasa Silla Utara” (sekarang terletak di provinsi Hamgyeong, Korea Utara).

- Tahun 721, bajak laut Jepang merampok wilayah pantai selatan Silla.

- Tahun 722, Seongdeok memperluas benteng pertahanan di utara Seorabeol (Gyeongju) yang dibangun seluas 10 kilometer, yang dibangun menggunakan tenaga 40.000 orang. Benteng ini menjadi simbol otoritas raja Silla saat itu untuk memuluskan penerapan sistem pemerintahan sentralisasi.

- Pengiriman utusan-utusan ke Kekaisaran Tang untuk mempererat hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Tang.

- Tahun 733, Kerajaan Balhae menyerbu wilayah Kekaisaran Tang.

- Tahun 733, Kaisar Xuangzong dari Tang menganugerahi Seongdeok gelar “Komandan Pasukan Ninghai” dan seakan memerintahkan Seongdeok menyerbu Kerajaan Balhae, padahal Seongdeok memang berencana menyerbu Balhae.

- Tahun 733, Seongdeok menggalakan “Kampanye Militer ke Utara” untuk menekan Kerajaan Balhae.

- Tahun 735, Kaisar Xuanzong memberikan wilayah di selatan Sungai Taedong kepada Silla.

- Penguatan sistem pemerintahan sentralisasi.



Seongdeok memerintah selama 34 tahun. Selama pemerintahannya, beliau mencapai banyak hal termasuk penguatan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan penting seperti Tang dan Jepang. Seongdeok juga mampu menstabilkan politik dalam negeri dengan merangkul banyak pihak dan membuat wilayah-wilayah taklukan Silla tunduk padanya.

Seongdeok meninggal pada tahun 736 saat dia berusia sekitar 45-47 tahun. Seongdeok digantikan oleh putra keduanya, Raja Hyoseong.






34. RAJA HYOSEONG

Raja Hyoseong adalah raja Silla ke-34. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan ayahnya, Raja Seongdeok, disekitar tahun 721. Hyoseong menjadi putra mahkota setelah sebelumnya, kakak tirinya, Putra Mahkota Jung-gyeong, meninggal. Hyoseong diangkat menjadi raja Silla pada akhir 736 M setelah kematian ayahnya. Beliau memerintah Silla selama 5-6 tahun (736–742 M). Raja Hyoseong menggunakan gelar “Wang” sebagai gelar raja Silla yang disematkan padanya.

Hyoseong naik tahta saat dia masih berusia belasan tahun. Tidak banyak peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahannya yang dicatat dalam sejarah. Tetapi, konflik istana yang melibatkan ratu dan selirnya adalah salah satu konflik yang sangat terkenal dimasa pemerintahannya.

Hyoseong memiliki seorang ratu tapi dia lalu mengangkat putri dari seorang phajinchan (bangsawan Jin-geol tingkat ke-4), yang bernama Yeongjong, sebagai selirnya. Ratu utama Raja Hyoseong sangat cemburu melihat kehadiran selir baru itu dan membunuh selir itu. Phajinchan Yeongjong, yang sangat marah pada ratu atas kematian putri kesayangannya, membuat konspirasi membunuh ratu. Ratu pun tewas terbunuh. Kematian ratu ini membuat istana gempar, dan dengan mudah Yeongjong ditangkap atas tuduhan pembunuhan itu. Yeongjong akhirnya dihukum mati dan disaksikan sendiri oleh Hyoseong.

Tidak lama setelah konflik berdarah itu, Hyoseong meninggal, padahal dia baru memerintah sekitar 5 tahun, dan baru berusia sekitar 21 tahun. Jenasah Hyoseong, yang meninggal pada tahun 742, dikremasi di selatan Kuil Beomnyusa. Abunya ditaburkan di Laut Jepang (Laut Timur). Hyoseong digantikan oleh adik kandungnya, Raja Gyeongdeok.






35. RAJA GYEONGDEOK

Raja Gyeongdeok adalah raja Silla ke-35. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan ayahnya, Raja Seongdeok, disekitar tahun 723-726. Gyeongdeok diangkat menjadi raja Silla pada tahun 742 M setelah kematian kakaknya. Kakaknya, Raja Hyeoseong, meninggal setelah menghadapi konflik berdarah yang membuatnya kehilangan istri-istrinya.

Gyeongdeok memerintah Silla selama 23 tahun (742-765 M). Raja Gyeongdeok menggunakan gelar “Wang” sebagai gelar raja Silla yang disematkan padanya. Gyeongdeok naik tahta saat dia berusia sekitar 17-18 tahun.

Ada banyak peristiwa yang terjadi pada jamannya tapi Gyeongdeok dikenang dalam sejarah bukan karena berbagai peristiwa yang terjadi pada jamannya, melainkan atas karya-karyanya yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Karya-karyanya yang sangat terkenal adalah:

- Kuil Bulguksa. Gyeongdeok adalah raja yang membangun Kuil Bulguksa yang terkenal itu. Kuil ini dibangun pada tahun 751.

- Lonceng Perunggu Raja Seongdeok, yang dibuat sebagai penghormatan pada ayahnya, Raja Seongdeok.

- Gua Seokguram, yang berisikan relief-relief Buddha dan patung Buddha. Gua ini juga memuat fitur-fitur yang menceritakan tentang shamanisme kehidupan Silla sebelum shamanisme dianut oleh orang Silla.


Semua karya Gyeongdeok kini menjadi harta nasional Korea Selatan, dan juga termasuk dalam kumpulan peninggalan-peninggalan Buddhisme terpenting di seluruh dunia. Ada beberapa karya-karyanya diselesaikan pada masa pemerintahan anaknya. Gyeongdeok meninggal pada tahun 765 setelah memerintah selama 23 tahun. Saat itu dia berusia sekitar 42-45 tahun. Gyeongdeok digantikan oleh putranya, Raja Hyegong.






36. RAJA HYEGONG

Raja Hyegong adalah raja Silla ke-36. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan ayahnya, Raja Gyeongdeok, tahun 758. Hyegong diangkat menjadi raja Silla pada tahun 765 M setelah kematian ayahnya.

Hyegong memerintah Silla selama 15 tahun (765-780 M). Raja Hyegong menggunakan gelar “Wang” sebagai gelar raja Silla yang disematkan padanya. Hyegong naik tahta saat dia baru berusia 8 tahun. Ibunya bernama, Lady Manwol.

Ada banyak peristiwa yang terjadi pada jamannya, dan yang paling terkenal adalah rangkaian pemberontakan yang meletus akibat ketidak-puasan para bangsawan yang tidak sudi dipimpin oleh anak kecil. Selain itu, sikap Hyegong yang sejak kecil sudah sering merisaukan banyak pihak juga membuat istana sering berada dalam kekacauan. Sebenarnya, usia Hyegong dan sifat kekanak-kanakannya tidak terlalu menjadi masalah, tapi yang menjadi masalah besar saat itu adalah sifat dan tingkah laku Hyegong yang sangat “kewanitaan”.

Hyegong naik tahta saat Silla sudah sangat makmur dan menjadi salah-satu kerajaan besar dan makmur di Asia. Seorabeol (Gyeongju) saat itu menjadi satu dari 4 kota terpadat didunia. Hidup makmur dan berada dalam masa keemasan membuat Hyegong yang sejak lahir dimanja oleh semua orang tidak bisa menyesuaikan diri pada tuntutan dan tanggung-jawab sebagai raja dalam menjalankan pemerintahan Silla. Saat itu, sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi pemberontakan di Silla, sehingga Hyegong terbuai dengan keadaan sebagai seorang bangsawan dan raja dari kerajaan yang damai dan makmur.

Adapun ciri khas pria-pria bangsawan Silla adalah suka berdandan (seperti para hwarang dulu) dan memakai berbagai perhiasan, dan juga banyak yang berwajah cantik. Para bangsawan muda Silla, terutama kelompok Hwarang, juga suka menari, menyanyi, dan memainkan berbagai alat musik. Semua perilaku orang-orang Silla ini dianggap sangat feminim oleh dinasti-dinasti penerusnya, terutama oleh orang-orang Goryeo, tetapi pada masa Silla, kebiasaan “feminim” ini adalah hal yang biasa. Namun, apa yang dilakukan oleh Raja Hyegong bukan sekedar melakukan hal-hal yang dianggap feminim itu, melainkan memiliki sifat, gaya, dan perilaku seperti seorang gadis.

Perilaku ini dianggap tidak pantas oleh bangsawan-bangsawan pada masa itu sehingga mereka melakukan pemberontakan, yang tidak terjadi hanya sekali tapi berkali-kali hingga Raja Hyegong tewas dalam salah-satu pemberontakan itu. Pemberontakan-pemberontakan itu dan peristiwa-peritiwa lainnya diantaranya adalah:

- Tahun 768, Kim Daegong (seorang pejabat tinggi) memberontak.

- Penyelesaian Lonceng Perunggu Raja Seongdeok, yang dibuat pada masa pemerintahan ayahnya, Raja Gyeongdeok.

- Tahun 770, beberapa bangsawan tinggi memberontak.

- Tahun 775, beberapa bangsawan tinggi kembali memberontak.

- Kim Yang-sang (bakal Raja Seondeok) diangkat sebagai Sangdaedung (perdana-menteri)



Rangkaian pemberontakan ini ditutup oleh pemberontakan ichan Kim Ji-jeom pada tahun 780. untuk menumpas pemberontakan ini, Hyegong menugaskan Kim Yang-sang untuk menumpas para pemberontak. Pemberontakan ini tidak sebesar pemberontakan-pemberontakan yang pernah terjadi di Silla pada masa lalu, tapi, ini adalah pemberontakan pertama yang menewaskan seorang raja Silla.

Memang Raja Silseong tewas terbunuh dalam pertikaian istana tapi dia tidak terbunuh oleh pemberontak melainkan karena ulahnya sendiri. Sedangkan, Raja Jinji, yang dikudeta dan kemudian meninggal, tidak tewas dalam pemberontakan melainkan beberapa saat lamanya setelah pemberontakan tersebut.

Pada saat itu, pemberontak berhasil memasuki istana dan mengacaukan seisi istana. Mereka langsung menuju ke paviliun raja. Raja Hyegong tidak sempat menyelamatkan diri dalam pemberontakan ini sehingga dia ditangkap oleh para pemberontak. Hyegong dibunuh bersama dengan ratunya. Setelah Hyegong terbunuh, barulah pasukan kerajaan yang dipimpin sangdaedung Kim Yang-sang dapat menembus istana dan membunuh para pemberontak, termasuk pemimpin mereka, Kim Ji-jeom.

Beberapa sejarawan berspekulasi bahwa sebenarnya Hyegong dibunuh oleh Kim Yang-sang, karena dialah yang mendapatkan keuntungan paling besar setelah kematian Hyegong. Atau, setidaknya Kim Yang-sang membiarkan para pemberontak itu membunuh Hyegong baru kemudian dia berpura-pura menumpas para pemberontak dan mengambil keuntungan dengan membunuh pemimpin pemberontakan saat itu. Tapi, sejarawan lainnya menolak hal ini, sebab saat itu Seondeok sudah tidak muda lagi dan juga dia tidak memiliki keturunan laki-laki.

Hyegong meninggal pada tahun 780 setelah memerintah selama 15 tahun. Saat itu dia berusia 23 tahun. Hyegong digantikan oleh perdana-menterinya, Kim Yang-sang, yang dinobatkan sebagai Raja Seondeok.

Kematian Hyegong ini menjadikannya sebagai keturunan Raja Muyeol terakhir yang menjadi raja Silla, karena walaupun keturunan Muyeol lainnya berusaha naik tahta tapi semua itu selalu gagal. Kematian Hyegong ini mengawali rangkaian pemberontakan dan kudeta berdarah, sehingga dia bukan satu-satunya raja Silla yang tewas saat dikudeta. Apa yang dialami oleh Hyegong dan raja-raja Silla sesudahnya yang juga tewas saat dikudeta seakan menjadi ironi dengan apa yang dilakukan oleh kakek buyutnya, Raja Sinmun, 99 tahun saat dia membubarkan Resimen Hwarang.






Notes (catatan):

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)



Didahului oleh:
KERAJAAN SILLA
Raja-raja Silla Pada Periode Awal (Era Klan Park)
Raja-raja Silla pada periode kekuasaan Klan Seok
Raja-raja Silla Pada Periode Awal Kekuasaan Klan Kim
KERAJAAN SILLA, PERSIAPAN PENYATUAN TIGA KERAJAAN
KERAJAAN SILLA, PENYATUAN TIGA KERAJAAN


Artikel yang berhubungan dengan Kerajaan Silla:
HWARANG, THE FLOWER KNIGHT OF SILLA
PARA PUNGWOLJU HWARANG
Para Jenderal Termasyur Pada Masa Korea Kuno


Artikel lainnya tentang Sejarah Korea:


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture : MBC (2009), KBS (2011)

Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media



Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; The Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


Sumber Website: