DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Friday, 18 September 2015

Perjuangan Tokoh-Tokoh Keturunan Eropa Dalam Sejarah Indonesia


Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah menempuh lika-liku perjuangan untuk dapat menjadi bangsa yang bebas dan merdeka. Perjuangan ini tentunya didominasi oleh kaum pribumi yang gerah dengan penindasan kaum penjajah yang saat itu, selain bangsa Jepang, merupakan bangsa kulit putih dari Eropa. Namun, rupanya ada banyak sekali orang-orang Eropa yang juga gerah dengan tindak-tanduk bangsanya sendiri, bahkan menentang pemerintah mereka secara terbuka. Mereka tentunya menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari pemerintah dan juga bangsa mereka. Ada yang lalu menyerah dan memilih untuk memadamkan api perjuangan mereka, namun ada juga yang tetap memilih untuk tidak pernah mematikan api perjuangan idealisme mereka hingga akhir hayatnya. 

Inilah tokoh-tokoh Eropa dan keturunan Eropa yang terus menyalakan api perjuangan idealisme dan humanisme mereka hingga ajal membawa mereka ke peristirahatan terakhir sebagai pahlawan.



1. ERNEST DOUWES DEKKER (Danudirja Setiabudi)



Ernest Douwes Dekker menjadi tokoh keturunan Eropa yang paling pantas ditempatkan diurutan teratas dalam daftar ini. Ernest Douwes Dekker adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Ia adalah penulis yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Beliau adalah penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Ernest Douwes Dekker adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dua orang lainnya adalah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Ernest Douwes Dekker memiliki nama lengkap, Ernest François Eugène Douwes Dekker. Beliau lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879. Nama panggilannya adalah 'Nes'. Ayahnya, Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker adalah seorang agen bank Nederlandsch Indisch Escomptobank yang memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan Douwes Dekker (adik Eduard Douwes Dekker). Artinya, Ernest Douwes Dekker adalah cucu keponakan dari Eduard Douwes Dekker, penulis terkenal yang menulis buku Max Havelar, dengan nama pena-nya, Multatuli. Ibu Ernest Douwes Dekker, Louisa Neumann, adalah keturunan Jerman-Jawa yang lahir di Pekalongan, Jawa Tengah. Ernest adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (lahir tahun 1876) dan Julius (lahir tahun 1878) dilahirkan sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur) pada tahun 1883. Keluarga Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.

Pendidikan dasar ditempuh Ernest di Pasuruan. Ia melanjutkan pendidikannya ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit setingkat HBS di Batavia. Ernest lalu bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Disitulah ia mulai berseberangan dengan pemerintah Hindia Belanda. Ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai karyawan. Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan sawah para petani. Akibatnya, ia dipecat.

Frustasi karena menganggur dan sedih atas kematian mendadak ibunya membuat Ernest memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris. Ia sempat menjadi warga negara Republik Transvaal. Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Ernest tertangkap lalu dipenjara di sebuah kamp di Ceylon, Srilanka. Perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.

Ernest dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije (1885-1968), putri seorang dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan memperoleh lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini berakhir dengan perceraian pada tahun 1919.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, "De Locomotief". Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad pada tahun 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda "Nieuwe Arnhemsche Courant" setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" (Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda). Ernest kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" (Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?), versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang". Tulisan-tulisan yang mengkritik politik etis ini membuatnya masuk dalam radar intelijen pemerintah Hindia Belanda.

Rumah Ernest, yang terletak didekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Budi Oetomo (BO) lahir atas bantuannya. Ia juga menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian Ernest. Ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV) yang lahir pada tanggal 8 Maret 1910. IUV adalah suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa (THHK).

Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni dan akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah. Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh Ernest untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Melalui organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Ironisnya, ia hanya mendapat sedikit sambutan dari kalangan Indo, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo. Mereka berprinsip, meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" namun mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.

Indische Bond dan Insulinde rupanya tidak bisa bersatu, sehingga pada tahun 1912 Ernest bersama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij (Partai Hindia). Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer dikalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Ernest di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda). Tiga serangkai lalu diasingkan ke Belanda, karena Ernest dan Cipto mendukung Suwardi.

Masa-masanya di Eropa dimanfaatkan Ernest untuk mengambil program doktor di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Dia tinggal bersama-sama keluarganya. Ernest terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner India ketika masih berada di Swiss sehingga ia ditangkap di Hong Kong dan diadili lalu ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda pada 1920. 

Sekembalinya ia ke Batavia, Ernest aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga yang konyol dan kekanak-kanakan". Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada sat itu, seperti "Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita dan modal asing).

Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, Ernest tersangkut dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten dengan tuduhan memprovokasi para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde cabang Surakarta. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan. Namun kasus baru menyusul dari Batavia, ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Setelah melalui pembelaan yang panjang, Ernest divonis bebas oleh pengadilan.

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, Ernest cenderung meninggalkan kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis. Ernest yang telah bercerai dengan istrinya, menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927, namun mereka tidak dikaruniai anak.

Ernest kembali bertemu sahabat-sahabat lamanya. Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Ernest sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. Ernest kemudian juga dilarang mengajar. Karena dilarang mengajar, Ernest kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad

Pemerintah Hindia Belanda yang masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927 kembali terhantam masalah ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan juga harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer). Saat itu, Eropa telah dibayang-bayangi oleh Perang Dunia Kedua.

Serbuan tentara Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, termasuk orang-orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. Ernest akhirnya ikut ditangkap karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis. Alasan lainnya adalah karena ibunya berdarah Jerman. Selain itu, ia juga dituduh komunis.

Ernest ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Saat Ernest dibuang ke Suriname pada tahun 1941. Istrinya, Johanna lalu menikah dengan Djafar Kartodiredjo (Arthur Kolmus), yang juga merupakan seorang Indo, tanpa perceraian resmi terlebih dahulu dengan Ernest. Di Suriname, Ernest ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama "Jodensavanne" (Padang Yahudi). Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena banyak pendatang yang membuat keonaran. Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai Ernest, yang waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini, kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.

Menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk Ernest. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Setelah mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, Ernest kemudian menikahi Nelly pada tahun 1947. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangannya ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena Ernest harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada tanggal 2 Januari 1947. Ernest kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabudhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Soekarno.

Tak lama setelah kembali, ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.

Pada periode ini Ernest tinggal satu rumah dengan Soekarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Di Kaliurang pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali. Tak lama kemudian Ernest dibebaskan dengan alasan kesehatan dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg. Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit pada tahun 1950, dengan judul: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.

Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung. Jasa Ernest dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut nama Indonesia-nya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.

Ernest sangat mencintai anak-anaknya, namun beliau tampaknya terlalu fokus pada idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia Belanda (Indonesia) yang kelak akan merdeka. Namun kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia. Setelah Ernest meninggal, istrinya, Haroemi lalu menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan tinggal di Amerika Serikat.

Nama Ernest juga dihormati di Belanda sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme, meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat".




2. MOEHAMMAD HOESNI THAMRIN



Moehammad Hoesni Thamrin adalah seorang pejuang berdarah Indo yang berjuang melalui dunia birokrasi dengan menjadi politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia. Ayahnya adalah seorang Inggris-Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ayahnya dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda. Sementara itu kakeknya, Ort, seorang Inggris, merupakan pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan seorang Betawi yang bernama Noeraini.

Moehammad Hoesni Thamrin lahir di Weltevreden (Sawah Besar), Batavia, 16 Februari 1894. Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana dibawah gubernur jenderal Johan Cornelis van der Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School de Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij. Munculnya Moehammad Hoesni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang berkaliber nasional tidaklah mudah. Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari bawah yaitu sebagai seorang tokoh (lokal) Betawi. Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat jelata, malah dia sangat dekat dengan mereka. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya, yang terdiri dari anak-anak rakyat jelata, dia pun tidak canggung-canggung untuk mandi bersama di Sungai Ciliwung, juga untuk tidur bersama dengan mereka.

Pada tahun 1927 ditunjuk sebagai anggota Volksraad untuk mengisi lowongan yang dinyatakan kosong oleh Gubernur Jendral. Pada mulanya kedudukan itu ditawarkan kepada H.O.S Cokroaminoto tetapi ditolak. Kemudian ditawarkan lagi kepada Dr.Sutomo tetapi juga dia menolak. Dengan penolakan kedua tokoh besar ini, maka dibentuklah suatu panitia, yaitu panitia Dr.Sarjito yang akan memilih seorang yang dianggap pantas untuk menduduki kursi Volksraad yang lowong. Panitia Dr.Sarjito akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Moehammad Hoesni Thamrin. Alasan yang dikemukakannya ialah pengalaman Moehammad Hoesni Thamrin sebagai anggota Gemeenteraad. Ia adalah tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia Belanda, mewakili kelompok Inlanders ("pribumi").

Pada tahun pengangkatannya sebagai anggota Volksraad, keadaan di Hindia Belanda mengalami perubahan  yang  sangat penting yakni adanya sikap pemerintah kolonial yang keras, lebih  bertangan  besi. Ini adalah salah satu akibat dari terjadinya  pemberontakan  1926 dan 1927. Akan tetapi di lain pihak ketika memasuki tahun 1927 itu pula, langkah pergerakan nasional juga mengalami perubahan sebagai akibat dari didirikannya PNI dan munculnya Bung Karno sebagai pemimpin utamanya. 

Pada tahun  1929  telah  terjadi  suatu  insiden  penting  di dalam  Gemeenteraad,  yaitu  yang menyangkut lowongan jabatan  wakil walikota Betawi (Batavia). Tindakan pemerintah kolonial  ketika  itu  memang  sangat tidak bijaksana, karena ternyata lowongan jabatan itu  diberikan kepada  orang Belanda yang kurang berpengalaman, sedangkan ada orang  Betawi  yang  jauh lebih  berpengalaman dan pantas untuk jabatan itu. Tindakan pemerintah ini  mendapat  reaksi keras dari  fraksi  nasional. Bahkan mereka mengambil langkah melakukan pemogokan. Ternyata  usaha  mereka berhasil dan pada  akhirnya  Moehammad Hoesni Thamrin diangkat sebagai wakil walikota  Batavia. 

Thamrin pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (sekarang Jakarta).

Tantangan terberat dalam perjuangannya adalah penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Pemerintah Belanda memanfaatkan hal ini untuk memadamkan perjuangan Thamrin. Pemerintah kolonial melakukan  tindakan "sangat kasar" terhadap dirinya dengan mengirimkan polisi rahasia Belanda (PID) untuk menggeledah rumahnya. Ia memprotesnya, akan tetapi tidak diindahkan. Sejak itu rumahnya dijaga ketat oleh PID dan tak seorangpun yang diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa seizin PID, termasuk anak  perempuannya, yang harus pergi ke sekolah. Tindakan  polisi Belanda itu tentulah sangat menekan perasaannya dan menambah parah sakitnya. Beliau wafat pada tanggal 11 Januari 1941 di Senen, Batavia pada usia 46 tahun. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri namun ada dugaan ia dibunuh. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.

Di saat pemakamannya, lebih dari 10.000 pelayat mengantarnya yang kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.


Patung M.H.Thamrin di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta

Thamrin sangat dihormati di Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta (Jalan M.H. Thamrin).




3. EDUARD DOUWES DEKKER


Eduard Douwes Dekker dikenal dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin: multa tuli "banyak yang sudah kuderita"). Ia juga adalah penulis Belanda yang terkenal dengan novel satir-nya yang berjudul Max Havelaar (1860). Novel ini yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Beliau dilahirkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 2 Maret 1820Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi). Ayah Eduard adalah seorang kapten di kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan. 

Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin agar bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang. Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan. Ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina, yakni sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak dilupakannya selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van Veer dalam biografi Multatuli.

Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini melahirkan niat pada diri ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir. Kehidupan di kota yang terpencil tersebut justru lebih menyenangkan bagi Eduard.

Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya menemukan kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya. Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya serta adanya kerugian kas pemerintahan, Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatera Barat, Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".

Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard berpacaran dengan Everdine van Wijnbergen, gadis turunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.

Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komisioner di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat menjadi sekretaris residen oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki sertifikat diploma sebagai syarat menjadi pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun, Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo.

Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado pada akhir April 1849. Eduard merasa cocok dengan Residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada Februari 1851.

Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat leluasa. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda.

Pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam. Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan baik. Hutang menumpuk dan dia sering kalah berjudi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855.

Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah selatan keresidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya. Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumi-putra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun, ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah-tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.

Eduard menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya.

Belum saja satu bulan Eduard ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, Residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat. Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, namun menolak permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan ia harus meminjam uang dari saudaranya, Jan yang sukses berbisnis tembakau untuk pulang ke Eropa dan bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara tinggal di Batavia. Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia, namun tidak lama kemudian dia keluar. Upayanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan.

Namun, cita-cita Eduard yaitu menjadi pengarang berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip diantaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya mendesak untuk bercerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang fenomenal.

Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya. Namun, buku itu tetap menimbulkan kegemparan di masyarakat Eropa khususnya Belanda. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan. Lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "Aku sudah menderita cukup banyak" atau "Aku sudah banyak menderita". “Aku” dapat berarti Eduard sendiri, dan bisa juga berarti rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah kenyataan-kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menganggap penggambaran Eduard berlebihan. Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Ini membuat Eduard sangat disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Eduard terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul "Ideen" yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga novelnya "Woutertje Pieterse" serta "Minnebrieven" pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya sangat satir.

Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidak mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat.

Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein hingga akhir hayatnya. Eduard meninggal pada tanggal 19 Februari 1887.

Patung Multatuli di Belanda

Eduard sebagai Multatuli telah mengilhami karya sastra di Indonesia, seperti kelompok "Angkatan Pujangga Baru", dan juga telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Dalam Max Havelar, sisi filosofis dari rasa frustrasi yang dihadapi oleh Max sebenarnya adalah rasa putus asa karena terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.





4. M.IDJON DJANBI (Rokus Bernardus Visser)



Mochammad Idjon Djanbi adalah mantan anggota Korps Speciale Troepen KNIL, yang sebelumnya ditugaskan sebagai supir dari Ratu Wilhemmina, dan kemudian menjadi komandan Kopassus pertama. Beliau adalah seorang Belanda yang dilahirkan di Kanada tahun 1915 dengan nama Rokus Bernardus Visser, sebagai putra seorang petani Tulip yang sukses.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Idjon Djanbi membantu ayahnya berjualan bola lampu di London. Ketika itu perang dunia kedua dimulai dan karena tidak bisa pulang ke Belanda yang dikuasai oleh Jerman, Idjon Djanbi mendaftarkan pada dinas Ketentaraan Belanda yang mengungsi ke Britania dan membentuk kekuatan baru disana. Ia lalu mendaftarkan diri di sebagai operator radio (Radioman) di pasukan Belanda ke-2 (2nd Dutch Troop). Bersama dengan pasukan sekutu, Idjon Djanbi merasakan operasi tempurnya yang pertama, yaitu Operasi Market Garden pada bulan September 1944, saat itu pasukan Belanda ke-2, dimasukan dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Mereka diterjunkan melalui pesawat layang. Idjon Djanbi dan teman-teman Amerika-nya mendarat di daerah yang penuh dengan pasukan Jerman. Idjon Djanbi lalu digabungkan dengan pasukan Sekutu yang lain dan melakukan operasi pendaratan amphibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda bagian selatan. Karena dianggap berprestasi maka dia disekolahkan di Sekolah Perwira sebelum di kirim ke Asia.

Selanjutnya Idjon Djanbi dikirimkan ke India dengan maksud bergabung dengan pasukan untuk memukul kekuatan Jepang di Indonesia. Kekalahan pasukan Jepang pada 1945 mengakhiri perang dunia ke-2 dan Jepang mundur dari Indonesia sebelum pasukan Idjon Djanbi sempat dikirimkan ke Indonesia. Mundurnya Jepang dari Indonesia membuka peluang kepada Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Karena keadaan di Belanda sedang kacau dan mereka tidak mampu mengirimkan pasukan dari Eropa ke Indonesia, maka mereka berusaha membentuk kesatuan unit khusus di India dengan mendirikan "School voor Opleiding van Parachutisten" (sekolah pasukan terjun payung) dan pasukan ini dikirim ke Jakarta pada 1946. dibawah pimpinan Idjon Djanbi yang saat itu berpangkat Letnan. Sekolah ini kemudian di pindah ke Jayapura (Hollandia) di Irian Jaya yang waktu itu dinamakan "Dutch West Guinea" oleh Belanda.

Idjon Djanbi ternyata menyukai kehidupan di Asia, sehingga dia meminta istrinya (wanita Inggris yang dinikahinya semasa perang dunia ke-2) dan keempat anaknya untuk ikut dengannya ke Indonesia. Istrinya menolak, sehingga Idjon Djanbi memilih untuk bercerai. Saat kembali ke Indonesia pada 1947, sekolah pimpinannya sudah dipindah ke Cimahi, Bandung dan Idjon Djanbi dipromosikan naik pangkat menjadi Kapten. Selama tahun 1947 sampai akhir 1949 , Sekolah pimpinannya terus melahirkan tentara terjun payung sampai saat dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaaanya kepada Republik Indonesia. 

Idjon Djanbi memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil. Keputusan ini sangat berisiko, karena walaupun dia bukan termasuk pasukan baret hijau Belanda yang dikenal sangat kejam (Visser/Idjon Djanbi sendiri berbaret merah), namun dia tetaplah seorang mantan perwira penjajah di negara jajahannya yang baru saja merdeka. Idjon Djanbi memutuskan untuk bertani bunga di Pacet, Lembang, Bandung. Idjon Djanbi lalu menjadi mualaf dan menikahi kekasihnya seorang gadis Sunda. Ia mengubah namanya menjadi dari Rokus Bernardus Visser menjadi Mochammad Idjon Djanbi. Pengalaman Idjon Djanbi sebagai anggota pasukan komando pada Perang Dunia II menarik perhatian Kolonel A.E.Kawilarang untuk membantu merintis pasukan komando. Idjon Djanbi kemudian aktif di TNI dengan pangkat Mayor. Idjon melatih kader perwira dan bintara untuk menyusun pasukan.

Pada tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan istimewa tadi dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi sebagai komandannya. Karena satuan Komando ini perlu didukung dengan fasilitas dan sarana yang lebih memadai dan operasional satuan ini diperlukan dalam lingkup yang lebih luas oleh Angkatan Darat, maka Kesko TT. III/Siliwangi beralih kedudukan langsung dibawah komando KSAD bukan dibawah Teritorium lagi dan pada bulan Januari tahun 1953 berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Pada tanggal 29 September 1953 KSAD mengeluarkan Surat Keputusan tentang pengesahan pemakaian baret sebagai tutup kepala prajurit yang lulus pelatihan Komando.

Latihan lanjutan Komando dengan materi Pendaratan Laut (Latihan Selundup) baru bisa dilakukan pada tahun 1954 di Pantai Cilacap Jawa Tengah. Pada tanggal 25 Juli 1955 KKAD berubah namanya menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) dengan komandanya adalah Mayor M.Idjon Djanbi. Untuk meningkatkan kemampuan prajuritnya, tahun 1956 RPKAD menyelenggarakan pelatihan penerjunan yang pertama kalinya di Bandung. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan, maka Mayor Infanteri M.Idjon Djanbi menginginkan agar prajurit RPKAD memiliki kemampuan sebagai penerjun sehingga dapat digerakkan ke medan operasi dengan menggunakan pesawat terbang dan diterjunkan di sana. Lulusan pelatihan ini meraih kualifikasi sebagai penerjun militer dan berhak menyandang Wing Para. 

Pada tanggal 25 Juli 1955, Wakil Presiden Moh. Hatta meresmikan peningkatan KKAD menjadi RPKAD dan tetap dikepalai oleh Mayor M.Idjon Djanbi bersama dengan Kepala Staf Mayor Djaelani yang juga merangkap sebagai Komandan SPKAD (sekolah Pasukan Komando Angkatan Darat) dibantu oleh Letnan L.B.Moerdani sebagai wakilnya. 

Di bawah pimpinan Mayor Djaelani dan wakilnya L.B.Moerdani, pendidikan komando mulai memperlihatkan hasil yang cukup memadai walaupun banyak kekurangan tenaga pengajar maupun dana. Pimpinan MABESAD melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan di RPKAD ke orang asli pribumi tetapi hal tersebut tercium oleh Mayor M. Idjon Djanbi, dan setelah Djanbi ditawarkan jabatan baru yang jauh dari pelatihan komando, Mayor Djanbi yang marah lalu meminta pensiun.

Pada saat itu pada tahun 1956, Indonesia sedang aktif menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing dan M.Idjon Djanbi yang sudah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi. Namun, ia tetap tidak pensiun sebagai anggota RPKAD (di"karyakan"). Pada 1969 pada saat ulang tahun RPKAD, Mayor M.Idjon Djanbi diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel. 

Beliau wafat sebagai warga negara Indonesia dengan nama Mochammad Idjon Djanbi di Yogyakarta pada tanggal 1 April 1977.




5. PONCKE PRINCEN


Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen, yang lebih dikenal sebagai Poncke Princen adalah seorang penentang sejati pemerintah kolonial Belanda yang justru berkebangsaan Belanda. Beliau dilahir di Den Haag, Belanda pada tanggal 21 November 1925. Dia hanya hidup di Belanda sejak lahir hingga masa muda, sedangkan masa tuanya dihabiskan di Indonesia. Nama “Poncke” konon diperolehnya dari roman yang digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor Poncke. Sejak muda hingga tua, beliau melawan berbagai rezim yang melakukan penindasan dan penyelewengan, mulai dari Nazi hingga Orde Baru, mulai dari rezim sayap kanan hingga rezim yang cenderung sosialis. 

Princen yang lahir dan tumbuh di Belanda sempat mengenyam pendidikan di Seminari dari tahun 1939-1943. Pada tahun 1943, tentara Nazi Jerman mulai menginvasi dan menduduki Belanda. Seminari tempatnya sekolah diisolasi karena Belanda berada dalam suasana perang. Pada tahun yang sama dia mencoba melarikan diri dan tertangkap oleh Nazi sehingga dikirim ke kamp konsentrasi di Vught, lalu dikirim lanjut ke penjara kota Utrecht. Di akhir 1944, sesaat setelah dia bebas dari Jerman, dia kembali ditahan oleh pemerintah, namun kali ini oleh pemerintah Belanda, karena dia menolak wajib militer. Ia dengan paksa masuk dinas militer dan dikirim ke Indonesia. Di negara jajahan ini ia tergabung dalam tentara kerajaan Hindia-Belanda (KNIL). 

Saat berada di Indonesia, Princen yang trauma akan penindasan NAZI menjadi bersebrangan dengan negaranya sendiri karena penindasan yang dilakukan oleh Belanda. Indonesia lewat proklamasi sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas jajahan masih terus menerus berkecamuk. Tanggal 26 September 1948, Princen yang muak menyaksikan sikap dan berbagai kebrutalan yang dilakukan bangsanya, meninggalkan KNIL di Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan yakni Tentara Nasional Indonesia. Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. 

Princen mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1948 meskipun pada saat itu dia masih sah warga negara Belanda. Namun, rupanya penghargaan tinggi itu dibayar dengan harga yang tinggi pula. Isterinya, seorang peranakan Republiken-Sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Selain itu, ia juga dicekal oleh pemerintah Belanda yang mengeluarkan larangan baginya untuk menginjakkan kaki di Belanda seumur hidupnya.

Princen lalu beralih menjadi warga negara Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer Indonesia dan menjadi anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu. Dia juga kecewa dengan iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan Soekarno yang mulai otoriter saat itu dan juga terhadap pihak militer yang bertindak sewenang-wenang. Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. Setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi. Karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan oleh pemerintah Soekarno. 

Akhir tahun 1965, saat kekuasaan Partai Komunis Indonesia mulai dibabat habis oleh Angkatan Darat. dan pamor kekuasaan Presiden Sukarno menurun, berdirilah rezim baru, Orde Baru. Princen pun menikmati kebebasannya kembali setelah dipenjara selama 4 tahun. Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia LPHAM dan sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.

Namun, Princen kembali dikecewakan oleh rezim yang baru. Princen malah membela pihak yang dulu memojokkannya, ia membela korban-korban pelanggaran HAM dan pembantaian yang terdiri dari bekas anggota PKI dan orang-orang yang dituduh komunis. Pada tahun 1968 Poncke menitipkan sebuah perekam suara kepada Goenawan Moehammad yang saat itu bekerja di Harian Kami dan termasuk dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru. Poncke memintanya mewawancarai Pramoedya Ananta Noer diam-diam dan membuat sedikit laporan tentang keadaan di Kamp tahanan itu buat Amnesty International. Laporan yang dibuatnya mampu mengguncangkan pemerintah. 

Pada tahun 1968-1969, lewat sebuah investigasi, Princen mengungkapkan sejumlah fakta dan memprotes pembantaian masal PKI di Purwodadi Jawa Tengah. Tidak hanya kritik, Princen juga menyarankan pemerintah membentuk tim independen untuk memeriksa laporan yang ia siarkan ke beberapa media nasional soal kasus Purwodadi. Hal itu ditujukan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang sebenaranya terjadi pada kasus yang cukup menghebohkan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah tersebut. Pada tahun yang sama, ia bersama dengan rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga yang mencoba mengatasi trauma para korban PKI yang ia namakan Pusat Pemulihan Hidup Baru. Kritiknya jelas membuat murka penguasa yang baru dua tahun menikmati imperiumnya. Tidak hanya harus membantah pemberitaan yang menghebohkan tersebut, pemerintah juga perlu mengambil tindakan yang lebih serius terhadap Poncke dan juga terhadap pers, masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia. 

Princen lalu mendapat cap 'komunis' padahal dia dulu dipenjara oleh kaum komunis pada masa Orde Lama. Tuduhan sebagai pengikut komunis adalah senjata untuk mengamputasi musuh politik orde baru termasuk Princen agar kemudian lebih mudah untuk memenjarakannya.

Namun, gerakannya semakin meluas. Tahun 1970, Princen menjadi salah satu pelopor berdirinya Lembaga Bantuan Hukum. 

Pada tahun 1971, Princen menikah dengan Janneke Marckmann. Beliau memiliki empat anak: Ratnawati H.E. Marckmann, Iwan Hamid Marckmann, Nicolaas Hamid Marckmann dan Wilanda Princen.

Tak lama setelah pernikahannya, Princen terlibat dalam penggalangan demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 1974. Pembangunan monumen raksasa ini secara umum dinilai sebagai langkah yang sangat tidak tepat di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih buruk di saat itu. Princen dipenjarakan karena aksinya ini, (1974-1976).

Setelah dibebaskan pada tahun 1976, Princen malah semakin vokal membela Hak Asasi Manusia. Dia terlibat dalam pembelaan HAM di Timor Timur. Salah satu dari dua kasus yang menonjol adalah pembantaian Santa Cruz, dan melindungi puluhan mahasiswa Timor-Timur. Dia juga aktif dalam masalah perburuhan. Dia berulang kali diinterogasi dan juga diawasi secara ketat oleh polisi dan militer. Ia juga ikut mendirikan YLBHI (1980), dan menjadi pengacara para korban peristiwa pembantaian Tanjung Priok (1984), membela puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Mendagri Rudini (1989). Mendirikan sebuah Koalisi HAM yang bernama Indonesia Front for Defending Human Right (INFIGHT) pada tahun 1989, Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (SBMS) tahun 1990, KontraS (1998) dan lain-lain. 

Sebagai seorang pejuang HAM, Princen sangat dihargai dan dihormati oleh banyak kalangan terutama kalangan intelektual. Namun, ada yang memandang rendah perjuangannya. Pada tahun 1994, para veteran perang kolonial yang berseberangan dengannya yang dipimpin oleh Drs. Kamsteeg melarangnya menggunakan nama Poncke. Keputusan ini tidak dihiraukan oleh Princen.

Princen meninggal pada tanggal 22 Februari 2002 sebagai warga negara Indonesia yang sangat dihormati. Atas perjuangannya, Poncke memperoleh penghargaan "Yap Thiam Hien Award" pada tahun 2002 sebagai tokoh HAM.




6. Baron Van Hoevell



Wolter Robert baron van Hoëvell adalah seorang negarawan dan seorang pendeta yang pernah ditugaskan melayani Jemaat Melayu di Batavia. Beliau lahir di Deventer, Belanda pada tanggal 15 Juli 1812.

Beliau adalah penentang tanam paksa. Sebenarnya, Hoevell tidak anti terhadap cara-cara dalam sistem Cultuurstelsel dalam mengeruk keuntungan, namun dia sangat anti terhadap pemerintah Belanda yang mengantungi sebagian besar laba yang didapatkan dari sistem tersebut dan juga menindas para petani pribumi. Beliau menganggap cara-cara Belanda tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Kristen. 

Hoëvell juga sangat memperhatikan peningkatan standar pendidikan penduduk bumiputra Jawa untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum bumiputera. Beliau menolak dan menentang kebijakan-kebijakan tidak manusiawi pemerintah Belanda terhadap kaum pribumi termasuk membatasi kaum pribumi memperoleh pendidikan.

Puncak perseteruannya dengan pemerintah Belanda terjadi pada tahun 1848. Saat itu beliau menggalang demonstrasi di Batavia dan mengajukan petisi untuk kebebasan pers, pembentukan sekolah-sekolah di daerah koloni (dalam hal ini di Jawa), dan perwakilan Hindia Belanda di Tweede Kamer. Akibatnya ia diusir dari Hindia Belanda. Namun, ia kembali dua tahun kemudian dan berhasil masuk ke Tweede Kamer sebagai juru bicara kaum Liberal.

Pendeta Hoevell meninggal di Den Haag, Belanda, pada tanggal 10 Februari 1879 diusia 66 tahun setelah bertahun-tahun berjuang menentang penindasan di tempat pelayananya di Hindia Belanda.




7. Johanna Petronella Mossel

Johanna Petronella Mossel adalah seorang guru dari kalangan Indo yang menjadi istri kedua Ernest Douwes Dekker. Ia lahir di Batavia pada tahun 1904 dari keluarga Belanda keturunan Yahudi.

Perjuangan Johanna diawali ketika dia berprofesi sebagai seorang guru. Ia berhasil mendapat ijazah guru Eropa pada tahun 1924. Ia mulai mengajar sejak tahun 1925 sebagai pengajar dan asisten administrasi Ksatrian Instituut, lembaga pendidikan binaan Ernest Douwes Dekker yang berdiri di Bandung. Johanna dan Ernest berkenalan disini, dan pada tanggal 22 September 1926 mereka menikah. Sewaktu Douwes Dekker dibuang ke Suriname (1941), Johanna disarankan oleh Douwes Dekker untuk berlindung pada Djafar Kartodiredjo, seorang guru Ksatrian Instituut agar tidak ditangkap oleh tentara Jepang. Namun, Johanna lalu memutuskan menikah dengan Djafar pada tahun 1942, tanpa sepengetahuan Douwes Dekker.

Pada masa pendudukan Jepang, Johanna tidak menjadi incaran Jepang karena ia dekat dengan Douwes Dekker yang memiliki hubungan yang baik dengan kalangan orang Jepang. Sekembalinya Douwes Dekker dari Suriname pada awal 1947, keduanya bertemu kembali namun tidak dapat bersatu sebagai keluarga. Di akhir 1947 mereka memutuskan bercerai secara resmi.

Johanna Mossel dikenal sebagai pendukung kemerdekaan Indonesia pada masa Perang Revolusi (1945-1949) yang gigih dan dianggap pengkhianat oleh kalangan militer Belanda, namun tidak pernah ditangkap.

Johanna Mossel wafat pada tahun 1978.



*Beberapa paragraf dalam artikel ini disadur dari wikipedia.com


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture: wikipedia

Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media

Daftar Pustaka:
Historia No.13 Tahun II, 2013


Sumber Website:
wikipedia.com
merdeka.com
kompas.com

Sumber gambar:
wikipedia.com
merdeka.com
www.aguspakpahan.com