DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Sunday, 20 May 2018

HUBUNGAN JEPANG-KOREA DARI MASA KE MASA: PENAKLUKAN KOREA OLEH JEPANG



Sejarah adalah kenangan yang menjadi refleksi masa lalu yang merupakan salah-satu guru terbaik yang mengajarkan bagaimana cara mengambil keputusan yang tepat bagi masa depan. Hal-hal yang baik di masa lalu selalu menjadi acuan bagi apa yang ingin dicapai dimasa depan. Demikian juga sebaliknya, hal-hal yang buruk dimasa lalu berkontribusi pada keputusan yang diambil dimasa-masa mendatang.

Intinya adalah belajar dari pengalaman masa lalu atau melupakannya.

Menoleh pada sejarah atau mengabaikannya.

Pilihan inilah yang dihadapkan pada Jepang. Jepang adalah bangsa yang paling berhasil mengubah nasib mereka berkat pengalaman-pengalaman mereka dimasa lalu. Pengalaman-pengalaman masa lalu Jepang yang selalu kalah dari Korea dan Tiongkok membuat mereka memperbaiki kondisi negeri mereka dan proses ini dijalani selama lebih dari seribu tahun. Selama kurun waktu itu, timbulah ambisi terbesar Jepang, menaklukan Asia.

Bagi Jepang, Asia adalah Tiongkok!

Ini membuat mereka harus menaklukan Tiongkok apapun yang terjadi. Satu-satunya penghalang impian mereka ini dari masa ke masa adalah Korea. Oleh karena itu, dalam setiap rencana invasi mereka ke Tiongkok, Jepang selalu mengawali semua itu dengan menyerang Korea.




PELAJARAN SEJARAH BAGI JEPANG

Ada dua contoh yang sangat baik untuk menilai keputusan mana yang tepat mengenai sikap seseorang atau kelompok dalam mengambil hikmah dan belajar dari sejarah. Apakah menoleh pada sejarah atau mengabaikannya? Contoh pertama adalah penyerbuan Hitler ke Rusia, dan contoh kedua adalah penyerbuan Jepang ke Korea.

Mari menengok pada Hitler, diktator dan tiran terbesar sepanjang sejarah modern.

Pada masa Perang Dunia II, Jerman menjalin persekutuan dengan Italia dan memusuhi negara-negara sekutu terutama Inggris. Jerman menggempur Inggris habis-habisan setelah mereka berhasil menaklukan sebagian besar Eropa, namun Inggris berhasil bertahan dari gempuran-gempuran itu. Selain Inggris, ada satu negara yang sangat ingin ditaklukan oleh Jerman. Negara itu adalah Rusia. 

Jerman sangat percaya diri saat memutuskan berperang dengan Rusia. Dengan penuh percaya diri, Hitler memerintahkan pasukan infanteri lengkap dengan artileri mereka bergerak menuju Rusia. Semua persiapan sudah lengkap, tapi, hanya satu saja yang diabaikan oleh Hitler:
Sejarah Penyerbuan Napoleon ke Rusia.

Seakan ingin menantang sejarah, Hitler mengerahkan pasukannya di musim yang sama dengan saat Napoleon membawa pasukan Prancis menyerbu Rusia. Akhir kisah yang dicatat dalam sejarah tentang kedua penyerbuan ini adalah kedua pasukan berbeda bangsa dan negara ini dibantai berkali-kali dalam berbagai penyerbuan ke Rusia. Pembunuh pertama adalah cuaca dingin yang ekstrim, dan yang kedua dan seterusnya tentunya adalah tentara-tentara Rusia. 

Hampir semua orang di seluruh dunia yang mengetahui peristiwa ini tahu bahwa pasukan Rusia adalah pasukan yang paling banyak membunuh tentara Jerman, tapi, tidak banyak yang tahu berapa banyak tentara Jerman yang dibunuh oleh pasukan Rusia.

60% prajurit Jerman yang tewas dalam perang dunia dibunuh prajurit-prajurit Rusia!

Intinya, perang melawan Rusia yang dikobarkan Hitler itu menjadi malapetaka bagi negerinya, yang ironisnya justru telah dialami oleh pendahulunya, Napoleon.

Ambisi yang sama juga dimiliki Jepang, yakni menaklukan Tiongkok. Untuk memenuhi ambisi ini, Jepang harus menaklukan daratan Korea karena wilayah ini adalah wilayah terdekat dari Jepang untuk menuju ke daratan Tiongkok baik jika akan melalui darat maupun laut dan udara. Penyerbuan pertama Jepang ke Korea (Perang Baekgang) memang masih jauh jika ingin dikatakan bahwa itu adalah perang untuk menyerbu Tiongkok. Tapi, perang ini menjadi pengalaman yang sangat penting bagi Jepang. Saat itu, Jepang adalah pihak yang kalah dan mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk itu, mereka berdiam diri selama ratusan tahun dan mempelajari kekurangan-kekurangan mereka, merestorasi dan mereformasi sistem pemerintahan mereka, dan mempersatukan klan-klan yang bertikai. Mereka baru menyerang Korea untuk kedua kalinya 600 tahun kemudian dalam “Perang Tujuh Tahun”. Perang ini hampir berhasil mewujudkan ambisi mereka, tetapi kekuatan angkatan perang Korea rupanya tidak sekecil negaranya. Perang ini berhasil dimenangkan pasukan Korea dengan pasukan dan armada yang jauh lebih kecil dari Jepang. Saat itu, hampir tidak ada armada yang tersisa dari armada Jepang.

Meskipun kalah telak, tetapi perang ini memiliki sisi positif bagi Jepang yang dampaknya tidak kecil di masa depan. Selama menginjakan kaki di Korea pada perang itu, Jepang sangat kagum ketika mereka mengetahui dan melihat bahwa hampir tidak ada orang yang buta huruf di Korea karena orang-orang Korea, termasuk generasi tua, bisa membaca (setidaknya huruf Han-geul). Jepang juga sangat heran saat mengetahui bahwa orang Korea bisa membuat senapan sendiri padahal mereka harus mengimpor senapan dari Tiongkok atau dari pedagang-pedagang Portugis dan Belanda. Lebih-lebih lagi saat mereka melihat teknologi militer Korea. Mereka terkaget-kaget saat melihat kapal perang besi yang dibuat sendiri oleh orang Korea sebab kapal perang itu tidak pernah dilihat atau diketahui kabarnya oleh orang-orang Jepang, baik melalui orang-orang Eropa (Belanda dan Portugis) yang pernah berkontak dengan Jepang atau dari Tiongkok. Oleh karena itu, walaupun mereka kalah dalam perang ini tapi mereka juga belajar bahwa teknologi mereka wajib ditingkatkan. Mereka lalu mengadopsi teknologi Korea dengan cara menculik seniman-seniman, pengrajin, guru-guru, dan teknisi dari Korea ketika mereka mundur dari dan pulang ke Jepang, untuk mengajar orang Jepang dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan Jepang. Melalui politik isolasi di era Tokugawa, Jepang berusaha menstabilkan negaranya dari berbagai konflik sipil dan militer sehingga ketika Kaisar Meiji naik tahta beliau mendapatkan situasi yang, walaupun belum sangat damai dan stabil tapi, jauh lebih baik daripada masa sebelumnya. Beliau lalu mencontoh apa yang dilakukan bangsa Korea pada masa lalu, yang justru ditinggalkan oleh mereka (orang Korea): Modernisasi.

Kecepatan modernisasi dan restorasi Kaisar Meiji hingga kini tetap yang paling mengagumkan yang pernah terjadi. Ironisnya, restorasi era modern yang kedua terbaik di dunia adalah yang dilakukan oleh Raja Gojong dari Korea. Tapi, ada perbedaan besar antara restorasi yang tepat waktu dan restorasi yang terlambat. Dalam hal ini, Jepang melakukan restorasi yang tepat waktu sedangkan Korea berada disisi yang sebaliknya.

Dibilang tepat waktu sebab Restorasi Meiji dilakukan ketika persaingan antar bangsa-bangsa Eropa, yang gencar melebarkan pengaruh mereka melalui kolonialisme, sedang pada puncaknya ketika itu namun belum berhasil mencengkram Jepang, sedangkan Korea baru merestorasi negerinya saat Raja Gojong memerintah, saat Jepang sudah menjadi sangat kuat. Saat itu, Jepang bersekutu dengan Kekaisaran Jerman, Inggris, dan Amerika, sedangkan sekutu terkuat Korea adalah Kekaisaran Qing dan Kekaisaran Rusia. Kita tentu tahu bahwa kedua sekutu Korea ini adalah negara yang sudah sangat lemah karena pertikaian dalam negeri dan pada akhirnya runtuh bahkan sebelum Perang Dunia I meletus. Ironisnya, saat Gojong merestorasi Korea, kekuatan militer Korea dan juga infrastruktur Korea menjadi sangat maju dan menyamai Jepang dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun masa restorasi, padahal Meiji merestorasi Jepang dalam waktu puluhan tahun. Jepang dan Korea adalah dua negara tetangga yang sama-sama melakukan politik isolasi dalam jangka waktu yang sangat lama, tetapi pada akhirnya Jepang menjadi negara pertama yang berani melangkah dan membuka diri. Inilah mengapa, secepat apapun Korea memodernisasi negaranya tetap ada banyak hal yang lebih lambat mereka lakukan dan justru merupakan hal yang fatal. 

Kecepatan dan ketepatan mencari sekutu adalah salah-satu keterlambatan Korea pada masa itu yang berakibat sangat fatal. Andaikan tetangga mereka adalah negara yang pasif dan bersahabat seperti Kekaisaran Ming tempo dulu maka hal itu bukan masalah besar, tetapi tetangga mereka adalah negara yang sedang agresif dan berambisi besar, dan justru menjadikan Korea sebagai batu loncatan pertama untuk mewujudkan ambisi dan mimpi mereka.

Restorasi dan Modernisasi Kaisar Meiji adalah keputusan yang dibuat beliau setelah mengacu pada masa lalu yang tertulis dalam catatan-catatan sejarah mereka. Keberhasilan ini membuat mereka kembali berusaha mewujudkan impian leluhur mereka, menaklukan Tiongkok. Dan sebagai awal dari semua itu, mereka kembali harus berusaha menaklukan Korea. Jika dalam perang yang pertama dan kedua mereka gagal, maka pada usaha yang ketiga kalinya, Jepang berhasil.





MODERNISASI JEPANG DAN KOREA

Lama setelah Perang Tujuh Tahun terjadi, Jepang berhasil mempersatukan seluruh wilayah yang bergejolak akibat perang sipil dan memodernisasi negara mereka berkat Restorasi Meiji. Kabar mengenai kemajuan Jepang yang pesat ini sampai kepada Raja Gojong (raja terakhir Joseon) dan ratunya, Ratu Min.

Raja Gojong dan Ratu Min menugaskan Kim Gwang-jip untuk belajar tentang westernisasi Jepang (1877) dan tentang apa tujuan Jepang. Saat itu Kim Gwang-jip dan tim-nya terkejut ketika melihat kemajuan Jepang. Dulu Busan dan Hanyang (Seoul) adalah kota-kota metropolitan di Asia Timur, yang hanya kalah dari Nanking dan Peking di Qing (Tiongkok modern) serta Batavia dan Surabaya di Hindia Timur (Indonesia modern). Tapi saat mereka datang ke Jepang, Tokyo dan Osaka sudah jauh berubah setelah menerapkan budaya barat. Teknologi militer Jepang juga berkembang sangat pesat. Saat itu, militer Korea adalah militer asli Asia yang menyandang predikat sebagai pemilik teknologi militer terbaik di Asia, tetapi kini predikat itu telah beralih ke Jepang. Suatu perubahan yang sangat mengejutkan para diplomat Korea.

Kim Gwang-jip lalu bertemu dengan duta besar Kekaisaran Qing, Ho Ju-chang dan penasehatnya (Huang Tsun-hsien), yang memberikan sebuah buku berjudul “Strategi Korea” pada Kim Gwang-jip. Mereka mengakui bahwa saat itu Kekaisaran Qing sudah tidak menjadi kekuatan politik utama di Asia Timur, dan juga memperingatkan pada pra diplomat Joseon itu bahwa Korea sudah bukan lagi pemilik teknologi militer terbaik di Asia. Fatalnya, kedua kenyataan ini luput dari pengamatan pemerintah Kerajaan Korea dan bahkan tidak diketahui oleh mereka. Pada akhirnya, para diplomat inipun menyadari bahwa situasi Korea dipercaturan politik Asia Timur sudah sangat tidak aman, dan sudah semakin terdesak. Ditambah lagi, Kekaisaran Rusia juga mulai memperluas daerah kekuasaannya hingga ke Manchuria, ke bekas-bekas wilayah Kerajaan Goguryeo dulu, sehingga Korea harus mencari sekutu baru.

Huang Tsun-hsien menasehatkan agar Korea bergabung dengan Kekaisaran Qing namun tidak hanya mengambil kebijakan pro-Qing tapi juga mempertahankan perjanjian dengan Jepang untuk sementara waktu guna melihat keadaan. Ia juga menyarankan agar bersekutu dengan Amerika Serikat untuk mencegah invasi Rusia. Inti dari pembicaraan mereka adalah Korea harus mencoba membuka hubungan dagang dengan bangsa barat dan menerapkan teknologi barat. Qing pernah mencoba melakukan hal yang sama seperti Jepang namun tidak begitu sukses karena wilayah mereka yang terlalu luas. Tapi, wilayah Korea lebih kecil daripada Qing dan Jepang sehingga seharusnya Korea akan lebih berhasil daripada Qing (id.wikipedia/gojong). Huang Tsun-hsien juga mengusulkan agar pemuda-pemuda Korea belajar di Jepang dan mengundang guru-guru ilmu teknik dan sains dari negara barat ke Korea (id.wikipedia/gojong).

Saat Kim Gwang-jip kembali ke Korea, beliau membicarakan ide-ide itu pada Raja Gojong dan Ratu Min. Banyak pejabat, terutama yang berasal dari partai Noron, yang menentang usul keterbukaan itu, tapi Ratu Min membungkam para oposannya dengan mengubah tatanan pemerintahan dan membentuk biro-biro baru yang menangani hubungan luar negeri dengan Qing, Jepang dan Barat, yang berupa biro dagang dan biro teknologi militer. Ratu Min juga menandatangani perjanjian pengiriman tentara lulusan terbaik untuk belajar di Qing.

Gebrakan Ratu Min ini awalnya direspon positif oleh Jepang, yang dengan senang hati menyuplai peralatan perang untuk Korea. Ratu Min memang menyambut baik perjanjian dengan Jepang tersebut, tetapi, beliau menegaskan pada pihak Jepang bahwa Qing tetap akan menjadi tempat utama untuk pelatihan militer tentara-tentara Korea.

Modernisasi militer Korea mendapat kecaman dari berbagai pihak, khususnya dari pihak partai Noron dan para cendekiawan Universitas Sungkyunkwan sebab para tentara mendapat perlakuan khusus, seperti kesempatan belajar di Qing, yang membuat iri pihak lain. Buntut dari perselisihan itu, Heungseon Daewongun (ayah kandung Raja Gojong) merancang plot untuk menjatuhkan Ratu Min (1881) dan berusaha mengkudeta Raja Gojong ditahun berikutnya.

Pemberontakan ini berhasil mengurangi peran ratu sehingga Ratu Min sangat marah, tapi ratu tidak bisa berbuat apa-apa karena Heungson Daewongun adalah ayah raja. Buntut dari pemberontakan Pangeran Besar Heungseon (1882) menjadi awal intervensi Jepang di Korea. Tanpa sepengetahuan Ratu Min, pihak Jepang meminta Gojong menandatangani perjanjian penyerahan uang ganti rugi, yang dialami oleh tentara Jepang pada saat pemberontakan Heungson Daewongun, sebesar 550.000 Yen. Jepang juga diijinkan menggunakan pasukannya menjaga kedutaan Jepang di Hanyang.

Perjanjian dengan Jepang ini akhirnya diketahui Ratu Min. Ratu segera bertindak dengan memperbaharui perjanjian dengan Qing dengan memberikan hak-hak istimewa pada Qing. Ratu juga menutup pelabuhan-pelabuhan agar tidak dapat diakses oleh orang Jepang, dan mengundang panglima-panglima Qing untuk melatih kesatuan-kesatuan militer Korea dan mempekerjakan penasehat kelautan yang berasal dari Jerman (Paul George Von Moellendorff). Ratu juga mengambil tindakan yang lebih jauh dengan melawan kelompok-kelompok anti-Qing walaupun mereka berasal dari faksinya sendiri karena mereka berpendapat bahwa Korea harus memutuskan ikatan dengan Qing jika ingin mempercepat westernisasi. Tapi, ratu yang bijak itu ingin Korea maju secara bertahap agar tidak kaget dengan budaya asing.

Usaha Ratu Min ini berhasil merealisasikan pembaharuan di Korea, dan Korea menikmati ketenangan berkat pasukan Jepang yang masih berada di luar Korea dan keberadaan pasukan Qing di Korea yang turut menjaga keamanan.

Qing tentu dengan senang hati membantu Korea. Menjaga keamanan Korea adalah misi penting bagi Qing agar negeri mereka terlindungi dari serbuan Jepang, sebab mengacu pada sejarah masa lalu, Kekaisaran Qing berhasil mengganti Kekaisaran Ming berkat melemahnya militer Kekaisaran Ming setelah dilibatkan dalam Perang Tujuh Tahun (perang Korea-Jepang).

Proses modernisasi Korea yang dilanjutkan oleh pembangunan sekolah-sekolah modern bagi kalangan elit Korea (1885) oleh Ratu Min. Ratu juga mengijinkan pembangunan sekolah-sekolah swasta oleh para misionaris dari Amerika yang dipimpin oleh Dr. Homer B. Hulbert, dan mengadopsi kurikulum sekolah mereka di sekolah-sekolah negeri Korea. Mereka belajar dengan menggunakan bahasa Inggris dan buku pelajaran yang ditulis dengan bahasa Inggris. Ratu Min juga membangun sekolah khusus untuk wanita (Ewha Akademi). Kini sekolah itu menjadi “Universitas Ewha” yang sangat prestigius dan elit di Asia. Sekolah-sekolah lain bermunculan seperti Baekje Akademi dan Kyeongshin Akademi. Ini membuat Korea menjadi negara dengan prestasi sekolah dasar-menengah dan sekolah tinggi terbanyak di Asia, sekaligus menjadi negara pelopor sekolah wanita pertama di Asia (dan secara resmi juga di dunia).

Berkat politik keterbukaan dan bebas aktif yang lakukan ratu banyak misionaris asing datang ke Korea sehingga agama Kristen berkembang sangat pesat. Situasi ini berbeda dengan saat Heungseon Daewongun masih menjabat sebagai wali Raja Gojong. Saat itu, Heungseon Daewongun menekan agama Kristen dan melakukan banyak pembantaian karena dia tidak memperbolehkan penyebaran agama baru. Bagi para bangsawan konservatif saat itu, doktrin agama Kristen tentang kesetaraan akan menyebabkan konflik sosial sebab doktrin kesetaraan itu tidak memperbolehkan perbudakan, dan juga menyebarkan faham tentang kemerdekaan dan hak asasi manusia. Tapi, Ratu Min tidak melihat ada ajaran-ajaran dalam doktrin Kristen yang mengganggu ajaran moral Konfusianisme.

Ratu juga memiliki tujuan khusus saat mengijinkan perkembangan agama Kristen, yaitu agar para misionaris Kristen yang cerdas bisa dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah tanpa mengeluarkan biaya yang mahal. Melalui para misionaris Kristen, Korea mengenal ilmu kedokteran modern sehingga ratu memberi ijin pada mereka untuk membuka klinik modern pertama di Korea yang bernama “Gwanghyewon”. Karena semakin banyak misionaris yang datang dan menyebarkan agama Kristen, semakin banyak pula orang Korea yang menganut ajaran tersebut, sehingga dibangunlah gereja-gereja di Hanyang (Seoul). Para misionaris juga memperkenalkan konsep belajar ala barat dan juga musik barat. Tak terasa, westernisasi dan perkembangan militer Korea berhasil dan dilaksanakan dalam waktu yang jauh lebih cepat dari Restorasi Meiji.




PEMBUNUHAN RATU MIN

Modernisasi dan kemajuan Korea yang berkembang pesat ini membuat Jepang menjadi takut. Terlebih lagi, Ratu Min terang-terangan menunjukan niatnya menghalangi apapun usaha Jepang yang mengarah pada kolonialisasi Jepang di Korea. Mereka lalu mulai merencanakan penggulingan Ratu Min.

Langkah pertama tentunya adalah dengan menghasut para bangsawan untuk memberontak, tapi pengaruh Ratu Min sudah sangat kuat terutama di kalangan militer, sehingga Jepang mengambil jalan pintas, membunuh Ratu Min.

Misi untuk menyingkirkan ratu direncanakan dengan matang dengan mulai mendatangkan para pasukan pembunuh Jepang secara diam-diam ke Hanyang secara bertahap sehingga terkumpul sejumlah besar pasukan. Waktu eksekusi pun ditentukan, dan waktu yang ditentukan adalah waktu ketika Ratu Min berada di istana.

Pasukan Jepang mempelajari jalur komunikasi antar pasukan pengawal istana, dan bagaimana mereka mendatangkan pasukan bantuan dari luar. Membunuh seorang ratu Korea bukanlah pekerjaan yang gampang, tapi pengkhianatan beberapa orang dalam istana mempermudah semua rintangan yang ada.

Sesuai dengan laporan dalam “Dokumen Eijoh”:

Pada 18 Oktober 1895 sekitar jam 5:30 sore, pasukan Jepang pimpinan Miura Goro yang diperlengkapi dengan peralatan perang mulai menyerbu pasukan pengawal istana diluar. Mereka berhasil membunuh Hong Gae-hoon (salah-satu komandan satuan unit pengawal istana) beserta anak buahnya yang melawan para pembunuh itu dan berusaha mencegah mereka masuk ke dalam istana. Tapi, pasukan pengawal setia ini berhasil dikalahkan. Pintu istana lalu dibuka oleh Letnan Kolonel Woo Beomseon, yang berkhianat, sehingga para pembunuh memasuki istana Gyeongbuk sehingga membuat pasukan penjaga istana di dalam sangat terkejut. Bukan hanya Letnan Kolonel Woo Beomseon yang berkhianat sebab ada perwira lain yang juga berkhianat, yaitu Letnan Kolonel Yi Du-hwang. Pasukan dua kolonel pengkhianat ini berjumlah 1.000 orang, yang hampir seluruhnya bergabung menyerbu istana. Merekalah yang menyerbu dan mengalahkan pasukan pengawal di luar gerbang istana, sebab pasukan Jepang tidak mampu mengalahkan pasukan Korea, apalagi pasukan istana.

Pertempuran sengit-pun terjadi. Tapi, jumlah yang tidak seimbang mematahkan perlawanan pasukan pengawal istana. Gabungan pengkhianat dan pembunuh itu membantai semua yang mereka temui termasuk para kasim dan dayang istana.

Pasukan pembunuh Jepang mulai berpencar mencari ratu, sebagian dari mereka berhasil mencapai dan menyerang paviliun raja. Raja Gojong yang murka langsung menolak permintaan mereka untuk menyerahkan ratu. Tidak hanya menolak, beliau juga melakukan perlawanan. Namun, pada perkelahian itu beliau dikalahkan oleh para pembunuh, yang dengan lancangnya menyakiti tubuh sang raja dan mengkoyak-koyakan pakaian raja.

Para pembunuh juga dengan lancang menarik rambut putra-mahkota (calon Raja Sunjong) ketika dia akan berlari ke pangkuan Raja Gojong yang terjatu, dan melemparkan putra-mahkota ke lantai lalu dipukuli hingga babak belur.

Sebagian pasukan pembunuh lainnya berhasil mencapai ke kediaman sang ratu, tetapi mereka justru berhadapan dengan Menteri Kerajaan, Yi Gyung-Shik. Sang menteri yang berusaha menghentikan aksi para pembunuh langsung ditebak ditempat. Saat tiba dikediaman ratu, mereka tidak langsung mendapati Ratu Min melainkan beberapa dayang ratu yang berpakaian seperti ratu untuk mengelabui para pembunuh. Tiga dayang yang menyamar sebagai ratu langsung dibunuh. Para pembunuh lalu menjumpai dayang-dayang ratu lainnya. Para dayang ratu ini menolak menundukan kepala mereka pada para pembunuh dan memilih berbaris rapi dengan anggun, mempertahankan kehormatan mereka sebagai dayang istana. Wanita-wanita pemberani itu dieksekusi satu persatu dengan pedang oleh para prajurit pembantai Jepang.

Sedari awal saat mendengar kekacauan, dan karena belajar dari pemberontakan Heungseon Daewongun, sang ratu mempersiapkan dengan segala kemungkinan yang terjadi. Beliau segera mengenakan pakaian kebesaran seorang Ratu Joseon.

Saat bertemu dengan para pembunuh Jepang itu, sang ratu menghardik dan menuntut hormat sebagai seorang ratu dari mereka. Para pengawal ratu dan para dayang istana yang tersisa mati-matian melawan untuk menyelamatkan ratu, dan dihadapan ratu mereka semua dibantai. Para pembunuh akhirnya berhasil mencapai dan Ratu Min. Sang ratu akhirnya dipukuli hingga tidak berdaya dan diseret ke halaman Istana Gyeongbok. Disitu, beliau ditelanjangi dan alat-alat vitalnya diperlakukan tidak senonoh, dan juga mengalami perkosaan (sesuai dengan isi Dokumen Eijoh). Akhirnya, setelah dianiaya oleh pasukan pembunuh itu, Ratu Min pun dibunuh dengan cara dibakar dalam keadaan masih hidup.

Kengerian itu dilihat langsung oleh Raja Gojong, namun semua itu belum berakhir. Mayat Menteri Yi Gyung-Shik, yang sebelumnya dibunuh di dekat kediaman Ratu Min, dibawa kehadapan Raja Gojong dan dimutilasi dihadapan raja.

Penyerbuan pasukan pembunuh Jepang ini menyebabkan raja dan putra-mahkota terpaksa mengungsi ke kedutaan besar Kekaisaran Rusia di Hanyang (Seoul). Setelah kematian istrinya, sang raja mengurung diri di kamarnya selama berminggu-minggu dan menolak melaksanakan tugas-tugasnya. Sikap raja ini menyebabkan Jepang bisa leluasa mengatur Korea. Buntut lain dari penyerbuan ini, Heungseon Daewongun mulai mendapatkan kembali kekuasaannya. Beliau membujuk Gojong untuk menandatangani perjanjian yang diminta pihak Jepang untuk menurunkan status Ratu Min menjadi warga biasa. Tapi, Gojong mengatakan,

Lebih baik aku mengiris lenganku dan membiarkan darahnya mengalir daripada mempermalukan seorang wanita yang telah menyelamatkan kerajaan ini,” dan mengusir mereka.

Pembunuhan Ratu Min (1895) ini adalah pembunuhan anggota keluarga kerajaan paling terkenal di era Joseon dan yang paling tragis setelah kematian Pangeran Sado. Semua yang tertulis dalam buku sejarah resmi adalah “ratu dibunuh dan jenasahnya dibakar setelah beliau meninggal,” tapi kejadian yang sesungguhnya lebih tragis itu. Kisah kematian tragis ratu yang ditulis diatas dimuat dalam sebuah dokumen yang bernama “Dokumen Eijoh”, yang ditemukan oleh seorang ahli sejarah Jepang, Amabe Gentaro. Dari dokumen inilah diketahui tentang kekejaman pembunuhan sang ratu. Dokumen yang dikenal dengan nama “Eijoh Report” (Laporan Eijoh) ini ditulis oleh salah-satu pimpinan regu pembunuh yang bernama Isujuka Eijoh.

Puluhan tahun setelah peristiwa ini, seorang Jepang yang adalah cucu dari salah satu pasukan pembunuh itu datang ke Korea Selatan dan mengunjungi makam Ratu Min. Beliau lalu meminta maaf secara terbuka atas nama kakeknya. Semasa hidup, kakeknya berkata bahwa dia adalah salah satu prajurit yang ditugaskan membunuh Ratu Min. Peristiwa pembunuhan sadis itu menghantui kakeknya hingga kematiannya, dan berulang-kali kakeknya mengutarakan penyesalannya sebab sang kakek menganggap dirinya telah melakukan hal yang tabu dalam budaya Jepang dan dalam tradisi samurai yaitu perbuatan amoral dengan ‘menikam sekutu dari belakang’. Bagi seorang samurai perbuatan yang sangat tidak ksatria dan memalukan. Pengakuan kakeknya ini membenarkan semua peristiwa dalam Dokumen Eijoh tentang peristiwa pembantaian di Istana Gyeongbok dan pembunuhan sadis Ratu Min.

Dimasa kini Ratu Min dihormati orang-orang Korea sebagai seorang patriot dan tokoh modernisasi Korea. Di-era pendudukan Jepang, Ratu Min dijadikan simbol kedaulatan Joseon selalu memicu keinginan masyarakat akan kebebasan dan kemerdekaan. Ratu Min juga dihormati para wanita modern Korea sebagai simbol awal feminisme Korea di-era modern.





PENDUDUKAN JEPANG DAN PERJUANGAN RAKYAT KOREA

Pendudukan Jepang adalah salah-satu dampak langsung dari peristiwa pembantaian Ratu Min. Saat itu, Raja Gojong meninggalkan kewajibannya selama berminggu-minggu karena kesedihannya. Tapi, hal itu justru membuat kekuasaan Jepang semakin besar dan mulai mencengkram pemerintahan diseluruh Korea.

Dua tahun setelah peristiwa pembunuhan Ratu Min, Raja Gojong memproklamirkan berdirinya Kekaisaran Han Raya (1897) di Istana Deoksu menggantikan Kerajaan Joseon sebagai tanda lepasnya Korea dari Kekaisaran Qing yang telah diruntuhkan oleh kaum revolusioner. Gojong lalu mengangkat dirinya sebagai Kaisar Korea dengan nama Kaisar Gwangmu. Peralihan bentuk negara dari “Kerajaan Joseon” menjadi “Kekaisaran Han Raya” membuat Gojong menjadi raja Joseon yang terakhir, meskipun Wangsa Yi tetap memerintah Korea. Oleh Gojong, impian bangsa Korea selama lebih dari 200 tahun, yang ingin merdeka dan menjadi negeri mandiri, akhirnya tercapai.

Kemandirian Korea ini tidak bertahan lama. Intervensi Jepang sudah sangat terasa dan semakin membuat orang Korea merasa tidak aman. Pemaksaan keinginan Jepang ini berujung pada perang Sino-Jepang (1904-1905) yang berakhir dengan kekalahan Korea. Hasil akhir dari perang ini adalah Perjanjian Protektorat antara Korea dan Jepang (1905) yang membuat Korea menjadi wilayah protektorat Jepang dan dilucuti haknya sebagai negara merdeka.

Perjanjian proktetorat ini membuat kepercayaan rakyat dan bangsawan pada raja semakin menurun. Sebagai raja mereka, Gojong mengupayakan berbagai cara agar kemerdekaan dan kedaulatan Korea bisa kembali. Raja Gojong mengirimkan perwakilannya ke Konvensi Perdamaian di Den Haag, Belanda pada 1907, untuk menegaskan kedaulatan Korea. Perwakilan Korea ini ditahan oleh delegasi Jepang, tapi mereka tidak menyerah dan berhasil diwawancara oleh wartawan-wartawan asing. Usaha mereka membuahkan hasil meskipun kecil. Perjuangan mereka terdengar oleh perwakilan pemerintah Amerika Serikat. Salah-satu delegasi AS mengkritik ambisi Jepang di Asia dengan berkata:

"Amerika Serikat tidak menyadari kebijakan Jepang di Timur Jauh dan apa yang akan ia lakukan terhadap orang Amerika. Jepang mengadopsi kebijakan yang pada akhirnya akan memberikannya penguasaan penuh atas perdagangan dan industri di Timur Jauh. Jepang menantang Amerika dan Inggris. Jika Amerika tidak memperhatikan Jepang dengan seksama, maka Jepang akan memaksa Amerika dan Inggris keluar dari Timur Jauh" (wikipedia/rajagojong)

Akibat keberaniannya ini, Gojong dipaksa turun tahta pada tahun itu juga (1907). Tahta lalu diberikan pada putranya, Sunjong, yang diangkat sebagai Kaisar Yanghui. Gojong-pun dijadikan tahanan rumah di Istana Deoksu oleh Jepang. Pemerintahan Sunjong tidak lama dan harus berakhir 3 tahun kemudian (1910) setelah nasibnya sama seperti ayahnya, abdikasi secara paksa.

Penurunan tahta Kaisar Yanghui ini menjadi awal pendudukan Jepang di Korea yang berlangsung selama 35 tahun.

Pejuang-pejuang kemerdekaan Korea pun bermunculan dimana-mana. Pusatnya di Tiongkok dan Rusia. Mereka terus-menerus berjuang, dan untuk menyatakan eksistensi bangsa Korea mereka membentuk Pemerintah Korea Sementara di Tiongkok.

Sembilan tahun setelah dihapusnya Kerajaan Korea, Kaisar Gojong wafat (21 Januari 1919). Ada banyak spekulasi bahwa beliau diracuni oleh pejabat militer Jepang. Kematiannya menimbulkan kemarahan besar rakyat Korea dan pergolakan besar di seluruh Semenanjung Korea. Dua bulan setelah kematiannya, Gerakan Kemerdekaan 1 Maret dilaksanakan di seluruh Korea (1919). Gerakan ini terkenal sebagai gerakan tanpa senjata terhadap tentara dan polisi Jepang yang bersenjata.

Para revolusioner Korea banyak bermunculan dan melakukan perlawanan. Pusat perlawanan mereka adalah Manchuria dan Shanghai. Perlawanan pejuang-pejuang revolusioner Korea berhasil membunuh Ito Hirobumi (perdana-menteri pertama Jepang) dalam sebuah serangan di Harbin, Manchuria. Selain perjuangan dari kalangan rakyat dan bangsawan, anggota keluarga kerajaan pun turut berjuang, diantaranya adalah Putri Deokhye dan Pangeran Gon.

Putri Deokhye adalah putri kesayangan Raja Gojong. Beliau dibawa paksa meninggalkan Korea menuju Jepang saat masih kecil. Di Jepang, Putri Deokhye melakukan perlawanan dengan mendukung para pelajar, para romusha, dan warga asal Korea di Jepang yang berjuang menghadapi diskriminasi dan penindasan pemerintah Jepang. Gebrakan Putri Deokhye ini menjengkelkan Jepang. Untuk membungkamnya, beliau dinikahkan dengan salah-seorang pangeran Jepang. Pernikahannya ini membuat marah seluruh rakyat Korea, sehingga wajah suaminya terpaksa dihapus dari berbagai berita surat-surat kabar Jepang untuk melindunginya dari ancaman pembunuhan orang Korea. Setelah pernikahan ini, pemerintah Jepang memerintahkan suaminya untuk membatasi gerakan Putri Deokhye sehingga lama-kelamaan Putri Deokhye dilupakan oleh generasi muda Korea yang lahir setelah tahun-tahun awal pendudukan.

Berbeda dengan Putri Deokhye yang secara terang-terangan menunjukan sikap yang sangat anti Jepang dan menolak melakukan apapun yang diperintahkan Jepang, keponakannya yang bernama Pangeran Gon lebih terbuka dan memanfaatkan berbagai fasilitas yang diberikan Jepang pada keluarga kerajaan Korea. Beliau menjadi tentara dan berhasil menjadi seorang perwira menengah di angkatan bersenjata Jepang. Tetapi, secara rahasia Pangeran Gon membantu para pelajar dan kaum revolusioner di Jepang yang melakukan berbagai aksi yang bertujuan untuk mendapatkan kembali kedaulatan Korea dan mendapatkan pengakuan di dunia internasional. Sumbangsih Pangeran Gon tidak berhenti sampai disitu. Saat berada di Manchuria beliau membantu perjuangan para gerilyawan melawan tentara-tentara Jepang.

Perjuangan orang Korea mendapat hasil positif melalui dukungan masyarakat dunia berkat kabar yang dibawa oleh pengungsi-pengungsi Korea dan para misionaris gereja ke berbagai komunitas dunia. Para pengungsi Korea yang tersebar di berbagai wilayah Rusia dan Pulau Shakalin, Tiongkok, bahkan di Kuba mengumpulkan uang untuk membantu perjuangan kemerdekaan Korea dari Jepang. Bahkan, perjuangan mereka juga didukung oleh orang-orang Jepang yang bersimpati pada nasib orang Korea.

Perjuangan bangsa Korea mendapat angin segar, yang justru disebabkan oleh ambisi Jepang. 

Usai berhasil menaklukan dan menduduki Tiongkok, Jepang masih belum puas dan memalingkan pandangan mereka ke Asia Tenggara. Perdana menteri Jepang saat itu, Hideki Tojo, menyarankan pada Kaisar Hirohito untuk mengusir orang Eropa dari Asia Tenggara. Kaisar Hirohito yang terdesak oleh kekuatan-kekuatan dan persaingan antar kubu dalam tubuh militer Jepang terpaksa mengikuti saran Perdana Menteri Tojo yang berasal dari kalangan militer. Akhirnya, balatentara Jepang pun diterjunkan dalam perang di Asia Tenggara. Kekurangan jumlah pasukan ditutupi dengan merekrut paksa para pemuda Korea dan Tiongkok untuk menjadi tentara Jepang. Penyerbuan mereka ke negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Myanmar, membuat mereka berhadapan langsung dengan blok Sekutu yang di motori oleh Inggris, sebagai satu-satunya negara Eropa penguasa Asia Tenggara yang tidak takluk pada Jerman. Parahnya, Jepang juga memutuskan untuk menyerang pangkalan utama Amerika Serikat di Pasifik: Pearl Harbour. 

Penyerbuan ke Pearl Harbour ini membangkitkan amarah Amerika Serikat dan memutuskan untuk terjun secara langsung ke perang global (Perang Dunia II). Keputusan gegabah Perdana Menteri ini menyeret Jepang dalam Perang Pasifik. Terseretnya Jepang dalam Perang Pasifik membuat keluarga kekaisaran Jepang murka, terutama Pangeran Misaka. Sedari awal Pangeran Misaka memang tidak menyukai ide kolonialisme Jepang, termasuk sejarah pendudukan Jepang di Korea. Namun, sikap penolakannya mulai terlihat saat beliau menggerutu dan memprotes pada kakaknya saat Jepang menduduki Manchuria. Beliau bahkan memukul dan menghukum didepan umum prajurit-prajurit Jepang yang berlaku sewenang-wenang pada rakyat lokal di Manchuria. Namun, statusnya sebagai pangeran bungsu membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau memang tidak menyukai ide-ide ekspansi Jepang ke luar Kepulauan Jepang itu sendiri dan lebih memilih memperkuat pertahanan dalam negeri dari serbuan negara-negara barat sebab saat itu Jepang sudah menjadi target kolonialisasi negara-negara barat. Kesabaran Pangeran Misaka ada batasnya, dan pada akhirnya amarahnya memuncak saat Perdana Menteri Tojo memutuskan untuk menyerang Asia Tenggara, sehingga membuat Jepang justru bermusuhan langsung dengan negara-negara barat, yang justru ingin dihindari oleh Pangeran Misaka. Beliau, beserta kakak-kakaknya yang lain, berusaha mati-matian menggulingkan Perdana Menteri Tojo dari jabatannya. Namun, Kaisar Hirohito tidak menggubris saran dari adik-adiknya ini dan tetap mendukung keterlibatan Jepang dalam Perang Pasifik. Tujuan Kaisar Hirohito adalah agar konflik militer bisa teralih ke medan perang sebab para perwira militer angkatan darat dan angkatan laut Jepang telah beberapa kali melakukan pemberontakan dan mengakibatkan konflik terbuka. Beberapa jenderal penting Jepang tewas dalam berbagai penyerbuan antar resimen dalam konflik-konflik ini.

Tetapi, keputusan Kaisar Hirohito yang menyetujui saran Tojo berakibat sangat fatal. Keterlibatan Jepang dalam Perang Pasifik menguras anggaran negara dan juga membuat politik dalam negeri tidak stabil. Pemberontakan para jenderal angkatan darat Jepang di Tokyo semakin menunjukan bahwa ada perbedaan pendapat yang besar diantara para jenderal Jepang. Sekutu-sekutu Jepang, terutama Jerman, juga sudah sangat terdesak dan semakin tidak berkutik melawan pasukan sekutu. Jepang juga mulai mengalami berbagai kekalahan di wilayah-wilayah kekuasaannya, dan bahkan wilayah teritorinya sendiri dengan kalahnya pasukan Jenderal Kurobayashi di Pulau Iwojima dari serbuan pasukan Amerika Serikat. Tapi, malapetaka bagi Jepang yang sesungguhnya adalah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama setelah Hiroshima dan Nagasaki di-bom, Jepang menyerah tanpa syarat. Kekalahan Jepang ini membuat Pangeran Misaka naik pitam, sehingga dalam rapat terbatas di istana, Pangeran Misaka menuntut agar Kaisar Hirohito turun tahta sebagai bentuk pertanggung-jawaban beliau, dan menyerahkan perwalian putra mahkota (calon Kaisar Akihito) pada salah-satu saudara kaisar. Wajah Kaisar Hirohito pucat-pasi saat mendengar tuntutan Pangeran Misaka. Namun, sang kaisar beruntung sebab komandan pasukan Amerika Serikat dalam Perang Pasifik, Jenderal Besar Douglas Mac Arthur, memiliki pendapat lain. Dengan mengenyampingkan tuntutan Pangeran Misaka dan Senat Amerika Serikat agar Kaisar Hirohito turun tahta dan menghapuskan kekaisaran Jepang, beliau justru memilih mempertahankan Kaisar Hirohito ditahtanya dan mempertahankan sistem monarki Jepang.

Saat Mac Arthur bersikeras mempertahankan Kaisar Hirohito dan monarki Jepang, banyak yang komplain padanya, tetapi Jenderal MAc Arthur memiliki alasan yang tidak terpikirkan oleh banyak kalangan barat saat itu: Agar dampak yang sama dari runtuhnya Kekaisaran Jerman tidak terulang-lagi.

Pada masa lalu, kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I membuat salah-satu kekaisaran terkuat itu terpaksa mengakhiri monarki mereka dan dipaksa untuk beralih menjadi republik. Akibatnya, banyak rakyat Jerman terutama dari kaum ultra-nasionalis yang merasa harga diri mereka sebagai orang Jerman diinjak-injak sehingga mereka memutuskan bahwa mereka harus melawan dan membalas dendam. Salah-satu rakyat Jerman yang berpikiran seperti ini adalah Adolf Hitler. Akibatnya, bangsa Eropa harus menghadapi perang yang lebih mengerikan dari yang sebelumnya pernah mereka alami.

Bom atom di Hiroshima dan Nagasaki adalah salah-satu penyebab menyerahnya Jepang pada sekutu tetapi itu bukanlah penyebab utama menyerahnya Jepang pada blok sekutu. Penyebab utamanya adalah keputusan Rusia. Tentara Jepang patriotis dan militan, dan persenjataan militer mereka sangat canggih. Balatentara Dai Nippon masih mustahil dikalahkan oleh pasukan Amerika jika mereka menyerang Jepang secara langsung. Tapi, saat Joseph Stalin mengumumkan bahwa Rusia juga akan berperang melawan Jepang, Kaisar Hirohito tidak bisa berkutik dan terpaksa menerima tawaran penyerahan tanpa syarat dari pasukan sekutu.

Penyerahan tanpa syarat Jepang itu membuat Jepang harus menarik semua pasukannya diseluruh wilayah jajahannya termasuk Korea. Sebagai tanda berdirinya kembali negara Korea yang berdaulat, maka Republik Korea diproklamasikan pada 15 Agustus 1945, dengan presiden pertamanya, Syngman Rhee. Pendudukan Jepang yang berlangsung selama 35 tahun ini pun resmi berakhir.

Ironisnya, Putri Deokhye tidak bisa langsung pulang ke Korea saat Korea merdeka dari Jepang karena dicekal oleh Presiden Syngman Rhee, yang takut kekuasaannya sebagai presiden terancam dan dikembalikan pada keluarga kerajaan, sebab masih banyak rakyat Korea yang rindu dipimpin oleh seorang raja. Sikap takut dan kekhawatiran Syngman Rhee ini membuatnya mengambil berbagai keputusan yang sangat tidak bijak dan justru memprovokasi kubu komunis pimpinan Kim Il-sung sehingga meletuslah Perang Korea (1950-1953) yang meluluh-lantakan Semenanjung Korea melebihi dari apa yang dialami bangsa Korea selama masa pendudukan Jepang.

Putri Deokhye akhirnya tetap tinggal di Jepang, dan karena stres pikiran beliau-pun terganggu sehingga oleh suaminya, yang memilih menikah lagi, beliau dimasukan ke rumah sakit jiwa. Putri Deokhye baru kembali setelah Presiden Park Chung-hye mengeluarkan keputusan untuk mengembalikan hak-hak anggota keluarga Kerajaan Korea dan memanggil pulang seluruh keturunan Raja Gojong dari pengasingan.

Sayangnya, kemerdekaan bangsanya tidak bisa dinikmati oleh Pangeran Gon. Beliau tewas saat sedang berada di kota Nagasaki tepat ketika bom atom dijatuhkan di kota itu. Kematian Pangeran Gon memupuskan harapan ayah dan keluarganya yang ingin menjadikannya sebagai raja Korea ketika Korea merdeka. Yang juga lebih menyesakan adalah kematian Pangeran Gon di Nagasaki justru terjadi di masa-masa akhir pendudukan Jepang di Korea.





PERKEMBANGAN HUBUNGAN ANTAR KEDUA NEGARA

Setelah Kekaisaran Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu, Semenanjung Korea pun merdeka sepenuhnya dari Jepang meskipun masih penuh gejolak antara kubu komunis dan kubu anti-komunis yang dikemudian hari justru memporak-porandakan Semenanjung Korea dalam perang Utara dan Selatan (1950-1953) sehingga membuat bangsa Korea menghadapi kehancuran fisik yang jauh lebih parah dibandingkan masa pendudukan Jepang.

Kini, hubungan kedua bangsa ini masih seperti air laut yang pasang surut akibat berbagai masalah termasuk sengketa wilayah, terutama sengketa Pulau Dokdo, dan juga tentang pelurusan sejarah semasa Pendudukan Jepang di Korea, termasuk perihal kompensasi dan permintaan maaf pada wanita-wanita Korea yang dipaksa menjadi Jugun Ianfu.

Namun, semakin bertambahnya waktu semakin banyak juga pencapaian-pencapaian positif antar kedua bangsa, seperti kerjasama kebudayaan dan ekonomi, kerjasama militer dan pertahanan serta intelijen, dan peran antar negara dalam percaturan politik dunia. Kedua negara dan bangsa yang bertetangga ini terus melakukan perbaikan hubungan dengan cara berinisiatif melakukan berbagai kerja-sama, juga pengakuan-pengakuan tentang apa yang dulu pernah terjadi dalam sejarah yang melibatkan kedua bangsa ini demi memperbaiki hubungan kedua bangsa dan juga mengurangi trauma akan masa-lalu.



DI DAHULUI OLEH:

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media

Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; the Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Koreana (Korean Culture & Art) Vol.25.No.1; 2011; National Museum Of Korea
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


Daftar Website:
www.asianresearch.org
en.wikipedia.org/wiki/Queen Maya of Silla
ko.wikipedia.org/King Jinheung


Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media

_________________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Thursday, 10 May 2018

PETRUS KAFIAR, GURU PERTAMA DARI PAPUA (bagian 2)




PELAYANAN PERTAMA SEBAGAI GURU


Keberhasilan Petrus meraih gelar sarjana di Pulau Jawa membuat keluarga angkatnya sangat bangga dan juga membuat seluruh Mansinam berbahagia. Petrus dan Timotius disambut dengan air mata kebahagian saat beliau tiba di Mansinam pada akhir tahun 1896. Ibadah syukur di gereja-pun dilakukan untuk menyambut kepulangan Petrus dan Timotius sebagai ungkapan syukur segenap jemaat pada Tuhan.

Kedatangan kembali Petrus dan Timotius di Mansinam berselang dua tahun dari kembalinya Van Hasselt Muda dari Negeri Belanda usai menamatkan pendidikannya di sekolah pendeta disana. Kembalinya tiga pemuda yang sudah bergelar sarjana dan mau melayani di Papua ini menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi Pendeta J.L Van Hasselt (Van Hasselt Tua). Walaupun tugas-tugas beliau selalu bertambah namun beban yang dia rasakan berkurang banyak. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ny.Van Hasselt Tua sebab baginya Petrus sudah seperti anaknya sendiri.

Tidak lama setelah kedatangan Petrus dan Timotius ke Mansinam maka tiba waktunya bagi Petrus untuk menerima perintah penugasan pertamanya. Sekitar bulan Desember 1896, musyawarah antar penatua gereja pun dilakukan untuk memutuskan tugas dan tempat tugas bagi Petrus dan Timotius. Sekitar masa-masa setelah Natal 1896, diputuskan bahwa Timotius ditugaskan menjadi guru bantu di Mansinam sedangkan Petrus ditugaskan melayani di wilayah Pegunungan Arfak.




Pelayanan Pertama & Penolakan Orang Arfak

Saat itu, kepercayaan Animisme dan Dinamisme masih kuat dipegang oleh suku Arfak dan kekristenan belum mampu menembus masuk kesana. Antara suku Arfak dan Zending di Mansinam ada pertentangan yang cukup serius sebab Zending di Mansinam secara terang-terangan mengecam praktik kepercayaan adat suku Arfak dan berusaha membawa orang-orang Arfak menjadi penganut Kristen. Apa yang dilakukan oleh pihak Zending ini tentu akan membuat peran dari para dukun-dukun berpengaruh ditengah-tengah orang Arfak menjadi kecil dan semakin kecil. Hal inilah yang membuat orang-orang Arfak, yang sudah dihasut oleh para tetua dan dukun, sangat memusuhi Zending di Mansinam.

Berita mengenai penugasan Petrus di Arfak akhirnya terdengar oleh orang-orang Arfak, dan berita ini membuat mereka sangat marah dan sudah bersiap-siap turun ke Amban, sebuah pulau kosong yang dekat dari Pegunungan Arfak, tempat berlabuh dan singgahnya perahu-perahu orang Arfak yang hendak mencari ikan. Orang-orang Arfak yang menjadi sahabat Pendeta Van Hasselt Tua dan juga David, ayah angkat Petrus, lalu mengirim pesan melalui sebilah bambu, yang disebut ‘Bambu Sumpah’, yang ditujukan kepada David, yang bunyinya,

Bahwa dengan bambu ini sudah disumpah, sebaiknya jangan menempatkan Petrus di Arfak karena pihak musuh disini akan membunuhnya.”

Bambu Sumpah terdiri dari sebilah bambu yang menjadi salah-satu alat komunikasi bagi orang Papua tempo dulu, yang sudah dilakukan sebelum mereka mengenal tulisan, dan maknanya adalah sebagai “tanda peringatan”. Sebelum tulisan dikenal oleh orang Papua, Bambu Sumpah akan dikirim melalui seorang (atau lebih) pengantar, yang saat menyampaikan Bambu Sumpah pada pihak yang dituju hanya akan menyebutkan siapa yang mengirim bambu tersebut. Jika si pengirim adalah kawan dari penerima maka maknanya adalah “peringatan akan terjadi bahaya”, sedangkan jika pengirim adalah musuh dari penerima maka maknanya adalah “ancaman”. Jika nama pengirim tidak dikenal oleh penerima maka penerima cukup menanyakan asal kampung atau nama suku pengirim. Melalui informasi asal-usul pengirim maka penerima bisa mengetahui apakah Bambu Sumpah itu adalah ancaman atau peringatan, sebab pada masa itu persahabatan dan perseteruan akan melibatkan seluruh kampung dan sub-suku sehingga jika satu orang dikampung itu adalah sahabat maka seluruh kampung adalah sahabat, sebaliknya jika satu orang dikampung itu adalah musuh maka seluruh kampung adalah musuh. Bagi orang-orang Papua yang sudah bisa baca-tulis maka mereka akan menyertakan pesan tertulis di Bambu Sumpah supaya pesan yang disampaikan lebih lengkap.

Pesan melalui Bambu Sumpah yang diterima oleh David langsung dilaporkan olehnya kepada Pendeta Van Hasselt Tua. Semua anggota jemaat di Mansinam mengetahui betapa seriusnya ancaman dari suku Arfak sebab jika sebilah Bambu Sumpah sampai dikirim maka peringatan dari sahabat-sahabat di Arfak itu berarti ancaman kematian dari musuh. Akhirnya, Pendeta Van Hasselt Tua mengambil kebijakan bahwa Petrus jangan dulu bertugas di Arfak dan dipindahkan di Amban. Walaupun Pulau Amban juga berbahaya sebab wilayah ini masih termasuk wilayahnya suku Arfak tetapi ada orang-orang Arfak yang membutuhkan pelayanan dari Zending, baik itu pelayanan agama (bagi yang baru menjadi Kristen) dan pelayanan pendidikan, dan bagi Van Hasselt Tua orang-orang ini tidak boleh ditinggalkan. Untuk itu, dituntut keberanian dari Petrus, apakah beliau berani mengambil tugas ini atau tidak, dan Petrus menyambut panggilan tugas ini dengan berani.

Rupanya, kabar mengenai penugasan Petrus di Pulau Amban juga terdengar oleh suku Arfak sehingga mereka kembali mengancam bahwa jika guru Zending tetap ditugaskan di Pulau Amban maka orang-orang Arfak akan turun gunung dan membuat kampung baru di pesisir dekat Pulau Amban, dan juga akan membuat kampung lain di Pulau Amban, agar pihak Zending tidak ‘berbuat macam-macam’ pada orang Arfak. 

Untuk memberi pengertian kepada orang Arfak, maka dikirimlah dari Mansinam beberapa orang asli Papua, yaitu Penatua Filipus dan Yonatan serta beberapa orang lainnya untuk berunding dengan orang-orang Arfak perihal penempatan seorang guru Zending di Pulau Amban. Namun, orang-orang Arfak tetap pada pendirian mereka, yaitu mereka akan membunuh guru Zending yang ditempatkan di wilayah seluruh wilayah suku Arfak.

Pendeta Van Hasselt tua tidak berkecil hati apalagi putus harapan saat penatua-penatua yang dikirimnya pada orang-orang Arfak kembali dengan tangan hampa. Beliau lalu kembali mengirim pesan pada orang-orang Arfak untuk mengundang mereka bertemu dengan pihak Zending di Pulau Amban. Penatua Filipus kembali menjadi utusan untuk menyampaikan pesan ini. Orang-orang Arfak pun setuju dan pergi ke Pulau Amban. Dari Mansinam, rombongan anggota Zending yang dipimpin oleh Pendeta Van Hasselt Tua yang didampingi oleh Penatua Filipus dan juga membawa Petrus dan ayah angkat Petrus dan diserat oleh sejumlah orang anggota jemaat, termasuk Kornelis Weyzer, berangkat dengan perahu besar. Saat itu cuaca sedang buruk sehingga perahu mereka seringkali dihantam oleh ombak besar. Dengan susah-payah, mereka tiba di pesisir Pulau Amban ketika perahu mereka berhasil ditarik ke darat pada 11 Februari 1897.

Setibanya semua pihak yang bersangkutan di Pulau Amban dan saling bertemu muka, maka perundingan pun dimulai. Pihak Zending diwakili oleh Pendeta Van Hasselt Tua sedangkan pihak suku Arfak diwakili oleh tetua-tetua adat suku Arfak yaitu empat orang kepala suku terbesar Arfak, yaitu Suku Hatam, Suku Moilei, Suku Meihag (disebut juga ‘Meyah’), dan Suku Sohug. Awal perundingan berlangsung cukup alot sebab mereka khawatir akan kepercayaan dan kebiasaan yang mereka baru kenal, tetapi akhirnya tetua-tetua suku Arfak sepakat bahwa mereka akan menjaga keselamatan guru Zending di Pulau Amban, asalkan hanya ditugaskan di pulau Amban sebab jika guru Zending sampai tinggal di Pegunungan Arfak maka mereka tidak mampu membendung orang-orang yang berniat mencelakakan guru Zending. Kesepakatan ini dicapai tampaknya untuk saling memenuhi kebutuhan kedua-belah pihak sebab tetua-tetua adat ini sadar bahwa mereka juga memerlukan bantuan Zending, baik itu dibidang perdagangan, kesehatan, dan juga transportasi ke Ternate, sebab orang-orang pendatang di Mansinam membeli hasil bumi orang Arfak dengan harga yang lebih tinggi ketimbang orang-orang Papua yang dulunya menjadi mitra dagang suku Arfak. Dan juga, orang-orang Arfak adalah orang-orang pegunungan, berbeda dengan orang-orang Biak yang adalah pelaut-pelaut ulung, sehingga mereka tidak mahir membuat perahu besar dan memerlukan bantuan untuk pergi ke Ternate jika ingin menjual dagangan yang mahal-mahal. Mereka bisa mendapatkan tumpangan gratis ke Ternate jika mereka menumpang di perahu yang dipakai oleh orang-orang Zending di Mansinam.

Tetua-tetua adat Arfak memberikan jaminan mereka atas keselamatan Petrus sebagai guru Zending selama beliau bertugas di Pulau Amban. Kepada Pendeta Van Hasselt Tua, tetua-tetua adat ini berjanji bahwa pihak merekalah yang akan membangun rumah-rumah dan membuat kampung di Pulau Amban yang nantinya akan menjadi tempat pelayanan Petrus agar tidak diganggu oleh orang-orang Arfak sebab pemukiman itu bukan dibangun oleh orang asing melainkan dibangun oleh orang-orang Arfak sendiri. Perjanjian ini membuat lega seluruh rombongan Zending terutama Pendeta Van Hasselt Tua, Petrus dan David. Mereka kembali ke Mansinam dengan membawa kabar bahagia ini dan segera mempersiapkan semua keperluan dan kebutuhan yang dibutuhkan oleh Petrus selama beliau nanti melayani di Pulau Amban.




Pelayanan Pertama di Pulau Amban

Setelah semua persiapan di Mansinam selesai dan datang kabar dari para tetua suku Arfak bahwa kampung baru di Pulau Amban sudah siap, maka Petrus pun berangkat ke Pulau Amban dan resmi bertugas untuk pertama kalinya.

Adanya kampung baru di Pulau Amban dan bertugasnya Petrus disitu membuat orang-orang Arfak yang sudah menjadi Kristen juga ikut pindah ke Pulau Amban dan menjadi penghuni pulau yang sebelumnya kosong tersebut. Meskipun sebelumnya mendapatkan ancaman dari orang-orang Arfak tapi Petrus melayani mereka dengan sungguh-sungguh. Bahkan, Petrus tetap menyambut baik dan melayani orang-orang Arfak yang turun dari Pegunungan Arfak untuk mencari ikan dan singgah di Pulau Amban, padahal orang-orang inilah yang dulunya selalu mengancam akan membunuh Petrus. Petrus tetap melayani tanpa membeda-bedakan siapa mereka, apakah mereka baik atau tidak atau apakah mereka Kristen atau bukan. Bisa dibilang Petrus adalah guru pertama yang melayani orang Arfak.

Tantangan demi tantangan yang dialami Petrus pada masa-masa awal pelayanannya di Pulau Amban berhasil dihadapinya dengan baik. Tapi, selain tantangan sosial ada masalah lainnya yang tidak kalah besar dan berbahaya: Penyakit.

Pada tahun 1898, Pulau Amban dilanda wabah flu. Pada masa sekarang, penyakit ini termasuk penyakit ringan dan mudah diobati tetapi pada masa itu penyakit ini tergolong mematikan sebab obat-obatan belum memadai dan letak Pulau Papua sangat jauh dari pusat Hindia Belanda di Pulau Jawa, bahkan kota Ternate yang adalah basis terdekat dari Papua saja harus ditempuh selama beberapa hari dengan menggunakan kapal. Petrus tidak mampu menangani begitu banyaknya pasien wabah flu di Amban sebab dia bukanlah seorang dokter. Tenaga medis di Mansinam juga tidak cukup banyak untuk membantu orang-orang di Amban. Itulah mengapa orang-orang Arfak di Pulau Amban, yang ketakutan sebab menganggap wabah itu adalah kutukan, melarikan diri dan kembali ke Pegunungan Arfak.

Larinya penduduk kampung Amban membuat kampung itu menjadi nyaris kosong dan hanya tersisa Petrus dan petugas Zending yang membantunya. Petrus tidak menyalahkan orang-orang Arfak sebab sejak awal beliau tahu tentang karakter suku Arfak yang adalah suku nomaden yang hidup dengan berburu, yang akan dengan segera memindahkan kampung mereka dan membuat kampung baru ditempat yang mereka inginkan yang dirasa aman dan merupakan tempat perburuan yang bagus.

Akibat wabah flu yang melanda sehingga kampung Amban menjadi kosong, Petrus juga terpaksa harus meninggalkan kampung tersebut dan kembali ke Mansinam untuk sementara waktu sebab tidak ada siapa-siapa yang harus dilayaninya, dan lagi beliau tidak bisa menyusul orang-orang Amban ke Pegunungan Arfak sebab perihal larangan para tetua suku akibat ancaman orang-orang Arfak.

Keengganan orang Arfak untuk meninggalkan kepercayaan lama mereka dengan sepenuh hati, dan juga masih mempraktikan ilmu tenung semakin membuat sedih hati Petrus.

Berita mengenai keengganan orang Arfak kembali ke Amban pun disampaikan kepada pihak Zending di Mansinam yang saat itu sudah ditangani oleh sahabat Petrus, Pendeta F.J.F Van Hasselt (Van Hasselt Muda). Pendeta Van Hasselt Muda akhirnya memutuskan untuk menarik Petrus dari Pulau Amban.




Pelayanan di Kwawi

Ketakutan orang-orang Arfak untuk kembali ke Amban membuat kampung mereka di Pulau Amban menjadi kosong sehingga Petrus terpaksa kembali ke Mansinam. Petrus akhirnya bisa kembali ke Pulau Amban, dan berharap agar orang-orang kampung Amban akan datang kembali agar bisa diajar lagi olehnya. Tetapi, Petrus menunggu dan menunggu namun tidak ada orang Arfak yang datang kembali ke kampung Amban. Namun, Petrus tetap menunggu. Pada akhirnya, ada orang Arfak yang datang kembali sehingga Petrus menjadi sangat senang, walau jumlah orang-orang yang kembali itu hanya sedikit. Tapi, orang-orang yang kembali ini menolak menetap di Kampung Amban tempat Petrus mengajar sebab mereka masih menganggap roh-roh alam, yang mereka tinggalkan karena menjadi Kristen, sedang marah dan akan terus mengirim tulah. Mereka-pun memilih keluar dari kampung Amban dan hanya datang sesekali untuk singgah sejenak saat sedang mencari ikan. Hal ini membuat Pendeta Van Hasselt Muda memilih untuk menarik Petrus dari Amban dan berencana menempatkan beliau di Kwawi.

Petrus sangat sedih atas kenyataan ini dan merasa kecewa sebab kerja-kerasnya di Amban terlihat seperti sia-sia belaka. Namun, tidak semua peristiwa itu membuahkan kesedihan yang berlarut-larut.

Tidak lama setelah pulang kampung ke Maudori, Petrus memulai pelayanan di Kwawi. Pelananannya pindah ke Kwawi karena kampung Amban sudah menjadi kampung kosong karena keengganan orang Arfak kembali ke kampung itu. Saat itu, Kwawi sudah memiliki pemukiman yang cukup mapan sebab sudah memiliki sekolah. Petrus melayani sebagai seorang guru di sekolah tersebut dan juga membantu pendeta yang ditugaskan disitu.

Kwawi adalah distrik yang kini berada di wilayah administratif Provinsi Papua Barat, tepatnya Kabupaten Manokwari. Berbeda dengan wilayah suku Arfak, Kwawi lebih muda dimasuki sehingga perkembangan disana menjadi sangat cepat.

Meskipun Petrus bertugas di Kwawi, namun beliau tidak pernah melupakan suku Arfak. Petrus tetap melayani suku Arfak dengan pergi mengajar di Pulau Amban tiap hari minggu. Rupanya, ada kesepakatan antara Petrus dan orang-orang Arfak yang dulu tinggal di Pulau Amban agar mereka singgah di Pulau Amban setiap hari Minggu, meskipun mereka hanya duduk belajar diatas pasir pantai Amban, sebab pemukiman lama di pulau tersebut sudah tidak terawat sehingga berbahaya untuk dihuni.

Selain meneruskan pelayanannya bagi orang-orang Arfak di Pulau Amban, Petrus juga melebarkan sayap pelayanannya bagi orang-orang Arfak yang tinggal di Andai. Ketekunan Petrus dalam mengajar orang-orang Arfak tidak langsung membuahkan hasil sebab orang-orang Arfak adalah salah-satu suku di Papua yang sangat terstruktur dan sangat mencurigai hal-hal baru. Mereka juga sangat teguh memegang kepercayaan lama mereka. Tetapi, pelayanannya ini akhirnya juga membuat konsentrasi pemukiman suku Arfak secara garis besar terbagi dua, dari yang awalnya hanya ada di pegunungan, sehingga kemudian mereka digolongkan menjadi Orang Arfak Gunung dan Orang Arfak Pantai. Terbaginya orang Arfak menjadi dua kelompok ini bermanfaat baik bagi orang Arfak maupun bagi Zending. Bagi orang Arfak, yang selalu mencurigai orang baru, keberadaan orang-orang suku merek di pantai membuat orang-orang yang pantai ini dapat menjadi penyalur ekonomis dan modernisasi yang lebih dipercaya sebab mereka adalah satu suku sedangkan bagi Zending, orang-orang Arfak Pantai adalah penghubung yang sangat dibutuhkan jika mereka ingin berhubungan dengan orang-orang Arfak Gunung. 

Meskipun tidak semua orang Arfak menerima pengajaran Petrus tapi mereka mulai mempercayai Petrus, terutama orang-orang Arfak Pantai. Inilah mengapa ketika terjadi pertikaian serius antara orang Arfak Gunung dan orang Arfak Pantai pada tahun 1905, keempat kepala suku besar Arfak meminta bantuan Petrus sebagai penengah. Petrus berhasil menengahi mereka dengan bijaksana, dan mereka mau mendengarnya sebab Petrus dikenal tidak memihak pada siapapun, baik pada keluarga kepala suku atau bukan, atau kepada orang Arfak Gunung atau orang Arfak Pantai, atau pada kelompok orang Arfak Kristen maupun pada kelompok orang Arfak non-Kristen.

Petrus bertugas di Kwawi tidak terlalu lama. Kepindahannya di Kwawi tidak menyurutkan hatinya untuk terus melayani orang-orang Arfak. Keteguhan Petrus untuk mengayomi orang-orang Arfak dapat dimengerti karena dalam kepercayaan Kristen, tugas pertama pelayanan dan penginjilan dianggap sebagai “Tugas Sulung” dan hasilnya dianggap sebagai “Hasil Sulung”, dan akan selalu menjadi beban hidup orang tersebut seumur hidupnya jika belum berhasil “dimenangkan” (=dituntaskan).




Fanindi dan Danau Anggi, Pelayanan Ditengah-tengah Suku Hatam

Pekerjaan Petrus di Kwawi tidak banyak membuahkan hasil sehingga beliau merasa sempat kecewa. Petrus juga tidak kembali ditugaskan ke Pulau Amban sebab orang-orang Arfak tidak ingin kembali disana. Namun, beliau tetap menjalankan pelayanan pada orang-orang Arfak dengan cara mengunjungi mereka secara rutin, padahal saat itu hampir tidak ada orang Arfak, yang diayomi beliau, yang bersedia dibaptis. Tapi, hal itu bukanlah alasan yang dianggap wajar oleh Petrus untuk mengurungkan keinginannya melayani orang-orang Arfak sebab baginya ada alasan yang sangat penting dalam melayani suku Arfak, yaitu imannya dan tanggung-jawab moral, yang membuatnya wajib melayani dan mengayomi orang-orang Arfak dengan tanpa pamrih.

Petrus awalnya berpikir bahwa mungkin seumur hidupnya beliau tidak akan melihat ada orang Arfak yang diajar dan diinjili akan dibaptis. Beliau tetap meyakini bahwa pekerjaannya tidak akan sia-sia tetapi beliau merasa bahwa hasilnya belum akan terlihat pada masa dia hidup, mungkin saat dia sudah meninggal barulah hasilnya ada. Beliau berpikir seperti itu setelah menyaksikan sendiri perjuangan Pendeta Van Hasselt Tua yang sudah bekerja di Papua bersama-sama dengan Geissler (penginjil pertama di Papua) namun belum ada 20 orang Papua yang dibaptisnya. Jemaat di Mansinam memang banyak tetapi sebagian besar adalah orang-orang non-Papua yang bekerja bagi Zending. Bahkan, sejak dari Otto dan Geissler datang di Papua dan bekerja selama puluhan tahun, bahkan sudah ada 7 anggota Zending yang meninggal dalam pekerjaan mereka di Papua (termasuk Otto dan Geissler), baru ada 6 orang Papua yang dibaptis, termasuk Petrus dan Timotius. Namun, perkiraan manusia tidak ada yang sepenuhnya tepat, dan ini dibuktikan oleh Petrus di kampung Amban Lama yang sudah ditinggalkan orang selama bertahun-tahun. Ketika itu Petrus, yang sedang menanti orang-orang Arfak yang harus diajarnya di Pulau Amban, sendirian berjalan-jalan di kampung Amban Lama yang tidak ada penghuninya. Beliau juga sudah lama tidak kesana sebab di Pulau Amban beliau hanya sampai di tepi pantai. Saat sedang berjalan-jalan dan menikmati kesendirian, tiba-tiba terlihatlah oleh beliau sebuah tulisan dengan huruf Latin namun berbahasa Papua (Arfak) yang bunyinya, “Mansren Yesus”, yang berarti “Tuhan Yesus”.

Tulisan yang dilihat Petrus ini membuatnya terharu sebab tulisan itu sangat menghiburnya. Kala itu, orang-orang Arfak hanya diajar perihal pendidikan, yaitu baca-tulis dan berhitung, dan hal-hal yang berguna lainnya bagi hidup mereka, terutama ilmu pertukangan yang sangat dikuasai oleh Petrus. Mereka menolak dibaptis sebab mereka tidak mau ‘berganti Tuhan’, sehingga pelajaran tentang agama Kristen yang diajarkan hanya tentang perilaku dan moral, sehingga Petrus tidak pernah menyangka jika ada satu orang yang bersedia menerima ajaran Kristen sebagai ajaran agama dan Yesus, Tuhannya orang Kristen, sebagai Tuhannya. Petrus belum tahu siapa yang menulis tulisan itu, tetapi beliau senang sebab usahanya untuk memberantas buta-huruf di suku Arfak mulai ada hasil dan penginjilannya juga sudah memperlihatkan hasil.

Pelayanan Petrus pada suku Arfak tetap beliau jalankan pada waktu suku Arfak dimukimkan (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 45, tahun 2008). Ketika itu, orang-orang Arfak yang dulu tinggal di kampung Amban Lama bersedia dipindahkan ke Fanindi, dan Petrus pun bertugas melayani mereka di Fanindi. Saat pindah kampung itulah Petrus mengetahui identitas si pembuat tulisan “Mansren Yesus” di kampung Amban Lama tersebut. Orang yang menulis tulisan itu adalah seorang pemuda yang bernama Kawundeki.

Kawundeki adalah salah-satu orang Arfak Amban yang ikut pindah ke Fanindi. Dia adalah murid Petrus yang paling setia dan merupakan murid Petrus yang pertama yang menawarkan diri untuk dibaptis. Dia adalah satu dari sangat sedikit orang Arfak yang paling awal dibaptis. Kawundeki lalu memilih nama baptis “Petrus” agar sama seperti gurunya, Petrus Kafiar, sebagai tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah mengirimkan Petrus Kafiar untuk mengajarnya. Petrus Kawundeki terus mengikuti Petrus Kafiar selama masa tugas sang guru di Arfak. Bersama dengan istrinya, Ida, dan muridnya, Kawundeki, Petrus tidak kenal lelah mengajar orang-orang Arfak. Padahal medan yang mereka lalui sangat berat sebab orang-orang Arfak gemar berada di gunung, dan walaupun sudah dimukimkan tetapi mereka masih gemar berburu dan tidak pulang selama berbulan-bulan, sehingga jika ingin terus menjangkaunya maka Petrus harus mengunjungi tempat perburuan mereka tepatnya tempat dimana mereka membuat gubuk sementara. Dalam hal ini, Petrus Kawundeki sangat membantu sebab dia sangat mengenal pegunungan Arfak dan fasih menerjemahkan tanda-tanda yang ditinggalkan oleh orang-orang Arfak yang berburu tersebut sehingga Petrus tidak tersasar.

Pelayanan terlama guru Petrus memang ditengah-tengah orang-orang Arfak. Bersama-sama Petrus Kawundeki, guru Petrus Kafiar berjalan membelah rimba pegunungan Arfak untuk mengajar penduduk disana sehingga nama Petrus Kafiar sangat terkenal ditengah-tengah orang Arfak. Sumber lisan dan cerita turun-temurun dari orang-orang Arfak inilah yang menjadi sumber utama kisah guru Petrus, selain sumber-sumber tertulis dari catatan-catatan Zending, yang lalu disebarkan oleh para misionaris Papua sebab nama Petrus Kafiar sempat memudar. Meskipun sempat sangsi bahwa beliau akan melihat hasil pelayanannya semasa hidup tetapi rupanya guru Petrus masih diberikan kesempatan untuk melihat hasil pelayanannya, termasuk melalui kesetiaan Petrus Kawundeki.


Didahului oleh:


_______________________________________________________________________________

Copyrights:
Artikel ini pertama kali disusun dan ditulis oleh Deleigeven Media dan diterbitkan pertama-kali oleh Deleigeven Media.


TIM PENYUSUN:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Pengembangan cerita : Deleigeven
Penerbit : Deleigeven Media


DAFTAR PUSTAKA:
Guru Petrus Kafiar; F.J.S. Rumainum; Panitia P.I 100 Tahun Emas di Supiori Cabang Manokwari, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat, Yayasan Triton Papua; Manokwari, 2008


SUMBER WEBSITE:
id.wikipedia.com/biak
id.wikipedia.com/mansinam
id.wikipedia.com/manokwari
id.wikipedia.com/supiori


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------