DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Tuesday 17 February 2015

PARA JENDERAL TERMASYUR PADA MASA KOREA KUNO

Korea adalah negara semenanjung yang diapit oleh beberapa kerajaan besar seperti Dinasti-dinasti Tiongkok dan Kekaisaran Jepang. Lokasinya yang strategis sangat menarik perhatian negara-negara tetangganya itu, sehingga mereka sering terlibat dalam banyak pertempuran berdarah. Pasukan Korea tidak selamanya menang dalam pertempuran-pertempuran itu, namun tidak sedikit pertempuran yang dimenangkan oleh mereka. Beberapa dari pertempuran itu termasuk dalam pertempuran-pertempuran terbesar dalam sejarah dunia, yang uniknya pasukan Korea selalu memenangkan pertempuran-pertempuran berskala besar dengan pasukan yang jauh lebih sedikit. Pertempuran-pertempuran ini kemudian menghasilkan jendral-jendral berbakat. Beberapa dari Jendral itu ada yang berkhianat, namun sebagian besar dari mereka merupakan para patriot bagi bangsa dan negaranya. Inilah kisah dari para jendral yang paling termasyur dalam sejarah kuno Korea.



1. JENDERAL BESAR KIM YUSHIN (KERAJAAN SILLA)

Patung Jendral Kim Yushin

Jendral Kim Yushin berada dalam urutan teratas dalam daftar Jendral-Jendral termasyur dari Korea. Hal ini bukan karena jendral yang lain tidak hebat, namun karena Jendral Kim Yushin, yang bersama dengan Raja Muyeol dari Silla, adalah tokoh kunci yang mempersatukan Semenanjung Korea. Sumber utama tentang kehidupan Kim adalah buku Samguk Sagi, Yeoljeon 1-3, dan beberapa catatan singkat di dalam riwayat Samguk Yusa, vol. 1. Sepanjang hidupnya, Kim Yushin merasa bahwa Baekje, Goguryeo, dan Silla tidak seharusnya negara-negara yang terpisah akan tetapi bersatu. Ia dianggap sebagai kekuatan pendorong di dalam unifikasi Semenanjung Korea, dan yang paling terkenal di antara para jenderal di dalam perang penyatuan Tiga Kerajaan. Dia dikenang oleh rakyat sebagai jenderal yang paling hebat di dalam sejarah Korea. Warisannya adalah mempersatukan bangsa Korea. Jendral Yushin dikenal hidup pada masa Raja Jinpyeong, Ratu Sondeok, Ratu Jindeok, Raja Taejong Muyeol, dan Raja Munmu. Ia adalah sahabat karib dari Raja Taejong Muyeol. Raja Taejong Muyeol bahkan menikahi adik Kim Yushin.

Yushin merupakan Pungwolju ketiga-belas. Yushin dilahirkan di Gyeyang, Jincheon pada tahun 595 sehingga membuatnya menjadi pungwolju pertama yang lahir pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong. Beliau adalah putra sulung dari Jenderal Kim Sohyeon (cucu Raja Guhae, raja terakhir Kerajaan Daegaya). Ibunya adalah Putri Manmyeong, putri dari Raja Jinheung. Artinya, Yushin adalah seorang cucu raja dan sepupu dari raja Jinpyeong. Sebagai cucu raja, nama Yushin ditulis “Yushin-gong”. “-gong” adalah akhiran dibelakang nama bagi seorang pangeran pada masa Silla. Marga Yushin adalah “Kim”, namun berbeda dengan kebanyakan pangeran dan pungwolju lainnya, marga “Kim”-nya berasal dari klan Kim Gimhae sebab ayahnya adalah seorang keturunan Kerajaan Daegaya. Nama Yushin menjadi judul bab ke-16 dalam kitab Hwarang Sagi. Dia juga adalah pungwolju terakhir yang namanya dicatat dalam manuskrip Hwarang Sagi yang ada. Walaupun Munno adalah hwarang keturunan Daegaya pertama yang menjabat sebagai seorang pungwolju, namun Yushin adalah orang Gaya asli pertama yang menjadi seorang pungwolju, sebab Munno memperoleh darah Gaya dari ibunya sedangkan Yushin memperoleh dari ayahnya.

Ayah Yushin, Kim Sohyeon adalah seorang jenderal Silla meskipun beliau adalah seorang keturunan Gaya. Kebijakan Raja Jinheung yang mengasimilasi keturunan Gaya menjadi warga Silla setelah kejatuhan Geumgwan Gaya merupakan kebijakan tepat dan berbuah manis sebab para bangsawan Gaya sangat unggul dibidang militer dan merupakan orang-orang yang setia. Kesetiaan orang Gaya terbukti pada saat kejatuhan Silla kelak, sebab mereka tidak melepaskan diri dengan Silla hingga akhir walaupun banyak daerah lain yang melepaskan diri dari Silla. Menjadi jenderal Silla ibarat sudah menjadi tradisi turun-temurun keluarganya sejak Kerajaan Daegaya ditaklukkan oleh Silla. Ayah dan kakek Kim Sohyeon semua adalah jenderal Silla sehingga Kim Sohyeon juga menuntut putra-putranya untuk menjadi jenderal Silla, termasuk Kim Yushin.

Dalam semua catatan sejarah Silla, Yushin disebut sebagai hwarang terhebat yang pernah ada. Melebihi Sadaham dan Kim Chunchu, Yushin adalah hwarang hebat yang paling terkenal di sepanjang-masa, sebab Kim Chunchu terkenal sebagai raja bukan sebagai seorang hwarang sedangkan nama Sadaham masih belum sepopuler Kim Yushin walaupun dia adalah Hwarang yang paling fenomenal. Yushin tercatat menjadi seorang Hwarang pada tahun 610, ketika pungwolju dijabat oleh pendahulunya, Horim. Yushin langsung ditunjuk sebagai pungwolju di tahun yang sama ketika dia diterima sebagai seorang Hwarang. Saat itu, dia mengalahkan Bojong yang merupakan wakil pungwolju dan kandidat pungwolju terkuat. Catatan sejarah menegaskan bahwa Yushin memiliki kemampuan beladiri yang hebat dan juga seorang pemimpin sejati. Beliau adalah ahli strategi ulung dan juga pendekar pedang terbaik di Silla pada masa itu. Raja Jinpyeong memilihnya sebagai pungwolju setelah melihatnya mampu mengalahkan Bojong yang juga ahli beladiri. Kemampuan Yushin ini sangat dibutuhkan sebab pada masa itu, Silla sedang berperang secara intens dengan negeri-negeri tetangganya. 

Selama tujuh tahun kepemimpinannya sebagai seorang pungwolju, Yushin dan resimen hwarang melalui banyak hal. Pada tahun 611, terjadi perang 100 hari antara Silla dengan Baekje yang diawali oleh penyerbuan tentara Baekje ke wilayah Silla tepatnya di “Benteng Gajam”. Seluruh hwarang dan setiap pasukan mereka terlibat dalam perang ini. Perang ini dimenangkan oleh pasukan Silla tapi banyak korban yang jatuh dari kalangan nangdo. Selain perang 100 hari ini, Yushin juga memimpin pasukan hwarang melewati berbagai serbuan dari dari Goguryeo. Baekje juga kembali menyerang Silla pada tahun 616 dan merebut Benteng Mosan. Yushin dan pasukan Hwarang ditugaskan untuk merebut kembali Benteng ini dan berhasil. Ini adalah perang terakhir Yushin sebagai pungwolju. Yushin pensiun pada tahun 616 diusia 21 tahun dan digantikan oleh wakilnya, Bojong. Yushin langsung bergabung di militer dan langsung menjadi orang kepercayaan raja. Pada tahun 629, Yushin diangkat sebagai “Komandan Utama Pasukan Pengawal Kerajaan” yang merupakan jabatan yang sangat bergengsi pada masa itu, dan bersama dengan Pangeran Yongchun (pungwolju ke-13) dan ayahnya, Jenderal Kim Sohyeon, Yushin ditunjuk sebagai salah-satu komandan pasukan untuk melakukan serangan balasan ke Goguryeo dan berhasil menduduki benteng milik Goguryeo yang bernama Benteng Nangbi. Era Raja Jinpyeong ditutup oleh percobaan pemberontakan dan kudeta yang dilakukan oleh Ichan Chilsuk dan Achan Seokpum sebagai reaksi mereka atas ditunjuknya Putri Deokman sebagai pewaris tahta. Bersama dengan Alcheon, Pangeran Yongchun, dan para bangsawan dan komandan pendukung raja lainnya Yushin berperang melawan pasukan pemberontak. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan.

Raja Jinpyeong digantikan oleh Putri Deokman yang bergelar Ratu Seondeok. Pada era Ratu Seondeok, Yushin kembali memperoleh kepercayaan besar. Beliau diangkat menjadi “Panglima Utama Pasukan Kerajaan Silla”, dan jabatannya sebelumnya sebagai “Komandan Utama Pasukan Pengawal Kerajaan” digantikan oleh Pangeran Alcheon. Tugas pertama Yushin sebagai Panglima Besar adalah menghadapi serbuan pasukan Baekje. Era pemerintahan Ratu Seondeok diwarnai serbuan intens dari Baekje namun perang dengan Baekje ini selalu dimenangkan oleh Silla. Selain Baekje, Goguryeo yang mengkhianati perjanjian damai dengan Silla juga menyerang Silla namun Silla berhasil bertahan. Tentunya, pada periode ini Yushin memainkan peran penting sebagai panglima kerajaan. Era Ratu Seondeok ini ditutup oleh pemberontakan yang dipimpin oleh sangdaedung Bidam, padahal sebelumnya Bidam adalah salah-satu pendukung Ratu Seondeok. Bidam melakukan pemberontakan pada tahun 647 masehi dengan menggemakan semboyan “seorang wanita tidak mampu memimpin negara” sebagai kritik dan responnya terhadap pemerintahan Ratu Seondeok. Catatan Samguk Sagi dan Samguk Yusa mengindikasikan bahwa Bidam semasa menjabat sebagai menteri hingga perdana menteri sering berbeda-pendapat dengan Jenderal Kim Yushin dan bahwa Ratu Seondeok lebih memilih untuk mendengar dan menerima pendapat dari Kim Yushin. Jika melihat dari kenyataan bahwa pemberontakan Bidam meletus setelah 15 tahun Ratu Seondeok memerintah, dan disaat posisinya telah menjabat sebagai perdana-menteri maka ada kemungkinan pemberontakan ini meletus akibat terjadinya konflik di pemerintahan dan/atau di istana. Konflik inilah yang kemudian menimbulkan keragu-raguan pada Bidam mengenai kapabilitas Ratu Seondeok sebagai pemimpin Silla. Keragu-raguan Bidam semakin besar karena Ratu Seondeok lebih sering mengikuti saran dan pendapat Jenderal Kim Yushin. Posisi Jenderal Kim Yushin dan Bidam memang seperti tangan-kanan dan tangan-kiri ratu, oleh karena itu disaat ratu lebih cenderung mengutamakan pendapat Kim Yushin maka Bidam yang merupakan pemimpin para menteri merasa tersaingi dan juga marah. Ada juga kemungkinan bahwa pemberontakan Bidam meletus sebagai akibat dari persaingan mengenai pewaris tahta karena Ratu Seondeok tidak memiliki keturunan dan juga para bangsawan yang berhak atas tahta berdasarkan undang-undang yaitu dari kelas Seongeol setelah Ratu Seondeok hanyalah sepupunya, Putri Seungman (bakal Ratu Jindeok) yang juga merupakan seorang wanita, sehingga semboyan pemberontakan ini, “wanita tidak dapat memimpin negara”, merupakan cermin bahwa pemberontakan itu adalah untuk memperebutkan tahta antar para bangsawan dari kelas Jingeol yang terdiri dari kubu Bidam dengan kubu Kim Yushin (yang mengusung calon pengganti yang ditunjuk oleh Ratu Seondeok). Pemberontakan Bidam ini menjadi pemberontakan terbesar dalam sejarah Silla, bukan karena lama pemberontakannya melainkan karena banyaknya para pejabat, bangsawan, dan perwira-perwira militer yang terlibat. Kubu Bidam terdiri lebih dari 30 pendukung yang masing-masing dari mereka memiliki pasukan pribadi maupun merupakan pemimpin dari pasukan kerajaan, atau merupakan pejabat yang memiliki koneksi dengan para pemimpin pasukan kerajaan sehingga 30-an orang pendukung Bidam ini mampu mengumpulkan pasukan dalam jumlah yang besar.

Pada awalnya, pasukan Bidam memenangkan berbagai pertempuran melawan pasukan pendukung Ratu Seondeok yang dipimpin oleh Jenderal Kim Yushin. Kubu Bidam bahkan mampu mendekati istana. Demi menyemangati pasukannya, Ratu Seondeok turun dan berkumpul bersama pasukannya di perkemahan pasukan utama. Selain ratu, anggota keluarga kerajaan lainnya seperti Pangeran Chunchu, Pangeran Yongchun, dan Pangeran Alcheon juga terjun ke medan perang memimpin pasukan mereka masing-masing. Ketika pertempuran semakin berat bagi pasukan Kim Yushin, tiba-tiba terlihat oleh pasukan kedua-belah pihak ada bintang jatuh (meteor) yang arah jatuhnya mengarah ke istana utama Silla di Seorabeol. Bidam lalu menggunakan hal itu untuk membenarkan pemberontakannya dan menyemangati para pendukungnya dengan berkata bahwa meteor itu merupakan tanda langit yang berpihak pada mereka dan sebagai tanda bahwa Ratu Seondeok akan jatuh melalui melalui pemberontakan mereka, dan seketika itu juga kekuatan pasukan Bidam seakan-akan bertambah berkali-kali lipat karena semangat membara pasukannya. Seakan korelatif dengan euforia pasukan Bidam, ditempat yang berbeda semangat tempur pasukan pendukung Ratu Seondeok anjlok karena alasan yang sama, bintang yang jatuh ke arah istana. Tidak hanya patah semangat, para tentara bahkan menolak untuk bertempur karena menganggap perjuangan mereka sia-sia. 

Sebagai seorang jenderal yang berpengalaman , Kim Yushin berusaha mencari akal agar semangat tempur pasukannya naik kembali. Kim Yushin lalu mendapat ide. Beliau lalu mengutarakan idenya itu kepada ratu, dan seperti biasanya, sang ratu menyetujui saran Jendral Kim Yushin meskipun idenya ini tidak lazim, yaitu menerbangkan layang-layang di malam hari. Yushin segera melaksanakan idenya itu dengan memerintahkan para hwarang setianya untuk menerbangkan layang-layang berapi dari arah istana ke langit. Diwaktu yang tepat, Jenderal Kik Yushin memerintahkan pasukannya untuk menengok kearah istana dan terlihatlah layang-layang berapi itu. Namun, saat layang-layang itu terlihat Jenderal Kim Yushin justru meneriakkan hal yang berbeda, “Bintang yang tadi jatuh ke istana telah naik kembali ke langit”, sambil berteriak bahwa langit memihak pada Ratu Seondeok. Pasukannya yang melihat hal tersebut sangat percaya pada kata-kata jenderalnya dan kembali bersemangat sambil menggaungkan teriakan perang yang terdengar hingga ke perkemahan pasukan Bidam. Pasukan Bidam yang mendengar hal itu lalu mencari tahu, dan mereka pun akhirnya tahu penyebab naiknya semangat tempur pasukan ratu dikarenakan ‘bintang’ yang tadi jatuh telah naik kembali ke langit. Strategi sederhana ini mampu membalikkan keadaan dimedan tempur. Perang pun dimenangkan oleh pasukan pendukung Ratu Seondeok. Ribuan tentara pemberontak ditahan, termasuk Bidam dan para pendukungnya berhasil ditangkap hidup-hidup. Pemberontakan besar yang hanya memakan waktu 10 hari inipun berhasil dipadamkan.

Sayangnya, pemberontakan Bidam sebagai salah-seorang yang pernah mendukungnya ini membuat sang ratu begitu syok. Perang ini menyita pikiran ratu dan menghabiskan energinya. Kesehatan ratu merosot drastis selama 10 hari pemberontakan ini. Ratu Seondeok wafat pada 17 Februari 647, ditahun yang sama ketika pemberontakan itu terjadi.

Tahta pun diwariskan pada Putri Seungman yang kemudia bergelar Ratu Jindeok karena hanya dialah keturunan raja dari kelas Seon-geol yang masih tersisa. Selama masa pemerintahannya, Ratu Jindeok mempercayakan berbagai keputusan penting negara berdasarkan pertimbangan dari Yushin dan Pangeran Chunchu. Pada era Ratu Jindeok ini Yushin dikukuhkan kembali sebagai Panglima Utama Kerajaan sedangkan sahabatnya, Pangeran Alcheon diangkat sebagai sangdaedung (perdana-menteri). Pada era Ratu Jindeok ini, tugas Yushin sedikit lebih ringan sebab terciptanya gencatan senjata dengan Kerajaan Baekje, namun pada era ini resimen hwarang dan Silla kehilangan salah-satu komandan terbaik dengan meninggalnya Pangeran Yongchun yang memang sudah berusia lanjut. Ratu Jindeok hanya memerintah selama 7 tahun. Selama masa pemerintahannya, masalah pewaris pun kembali menjadi masalah sebab sang ratu tidak memiliki keturunan. Mayoritas bangsawan Silla lebih mendukung Pangeran Alcheon sebagai calon raja karena status kebangsawanan beliau yang merupakan keturunan raja dari kelas campuran (jing-eol dan seong-geol), pengalaman beliau dalam pemerintahan, dan statusnya sebagai perdana-menteri, namun Yushin lebih mendukung Pangeran Chunchu. Alasan Kim Yushin adalah karena sebelumnya Ratu Seondeok telah menunjuk Pangeran Chunchu sebagai pewaris, namun terbentur oleh peraturan kasta kebangsawanan yang membuat Pangeran Chunchu dan Pangeran Alcheon masih berada dibawah Ratu Jindeok dalam daftar suksesi. Rupanya, pandangan Yushin ini justru ikut didukung oleh Ratu Jindeok dan Pangeran Alcheon. Pangeran Alcheon, yang memang salah seorang abdi Ratu Seondeok yang paling setia dan sahabat Kim Yushin lalu menyatakan dukungannya pada Pangeran Chunchu dan secara sukarela melepaskan haknya atas tahta Silla dengan mengganti marganya dari “Kim” menjadi “So” agar luput dari kisruh suksesi dimasa mendatang, baik yang berpotensi menimpa dirinya maupun keluarga dan keturunannya. Dengan demikian, resmilah Pangeran Chunchu diangkat sebagai pewaris tahta Silla, dan kemudian menjadi raja Silla dengan nama Raja Muyeol. 

Raja Muyeol mendapat dukungan penuh dari para bangsawan yang berkuasa sehingga beliau bisa dengan leluasa menerapkan kebijakan luar-negeri dan melakukan invasi ke Baekje. Diantara para bangsawan pendukungnya, Yushin dan Perdana Menteri Alcheon merupakan pendukung utama Raja Muyeol dan orang-orang kepercayaannya. Diantara mereka semua, Raja Muyeol paling dekat dengan Kim Yushin. Selain karena merupakan teman seperjuangan, Kim Yushin juga merupakan mentornya dan senior Raja Muyeol di resimen hwarang. Raja Muyeol bahkan mempererat tali kekeluargaan dengan Kim Yushin dengan menikahi adik kandung Kim Yushin.

Bersama dengan Kim Yushin dan resimen Hwarang, Raja Muyeol memulai serangkaian invasi dikawasan semenanjung dengan menjadi Kerajaan Baekje sebagai target pertama mereka. Perang dengan Baekje ini berakhir dengan keruntuhan kerajaan Baekje pada tahun 660. Silla pun mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo. Sayangnya, Raja Muyeol meninggal pada tahun 661 sebelum penyerbuan ke Goguryeo dimulai. Penyerbuan ke Goguryeo ini dilanjutkan oleh putranya, Raja Munmu dibawah pimpinan Yushin. Goguryeo pun berhasil diruntuhkan dan penyatuan Semenanjung Korea berhasil dilakukan. Raja Munmu lalu menjadi raja Silla pertama yang memerintah diera Silla bersatu dan Yushin kembali dikukuhkan sebagai Panglima Utama Kerajaan Silla.

Perang penyatuan Semenanjung Korea ini melambungkan nama Yushin sebagai sebagai salah-satu komandan militer terbaik di Asia Timur. Perang ini juga melambungkan resimen Hwarang sebab perang ini melibatkan tentara Tiongkok dan pasukan Jepang yang membantu Baekje. Dimata pasukan musuh, para hwarang terlihat sangat menakutkan saat berperang, sebab mereka memiliki kemampuan dan keberanian yang tinggi. Kisah-kisah para hwarang yang disisipi mitologi lalu sampai ke negeri Tiongkok dan juga ke seluruh penjuru Jepang yang saat itu meyakini bahwa mereka berperang dengan “Tentara Langit”, sebab meskipun pasukan Tang adalah pasukan yang sangat kuat namun yang menggentarkan hati musuh adalah pasukan Hwarang karena hanya para hwarang yang mendandani wajah mereka layaknya wanita saat mereka berperang yang justru terlihat sangat menakutkan sebab dalam perang yang begitu keras dimana kekalutan dan kecemasan menghantui sebagian besar prajurit, wajah cantik para hwarang dan gaya bertarung mereka yang unik membuat musuh mengira bahwa mereka itu adalah pasukan dewa.

Setelah perang penyatuan Korea usai dan Silla keluar sebagai pemenang, muncul masalah baru, yaitu dominasi pasukan Tang. Kemenangan Silla atas Baekje dan Goguryeo atas bantuan tentara Tang rupanya dimanfaatkan oleh pihak Tang untuk mencampuri urusan dalam negeri Silla. Tang rupanya memanfaat bantuan mereka untuk menguasai Silla. Kematian Raja Muyeol semakin meyakinkan pihak Tang bahwa mereka mampu menguasai Silla sebab pengganti Raja Muyeol masih sangat muda. Namun, pihak Tang rupanya kurang memperhitungkan keberadaan Yushin, sebab mereka mengira Yushin hanyalah seorang jenderal utama yang hebat namun tidak memperkirakan bahwa Yushin adalah salah-satu pengambil keputusan utama di Silla selain raja.

Mulanya, pihak Tang dibawah pimpinan Jenderal Xeng Rui membuat sebuah pemerintahan protektorat yang berpusat di bekas istana Goguryeo di kota Pyeongyang pada tahun 668, tepat setelah keruntuhan Goguryeo. Pihak Tang memilih kota Pyeongyang sebab letaknya yang sangat jauh dari Gyeongju (ibukota Silla). Melalui pemerintahan proktetorat ini, Tang mengambil alih kontrol atas bekas wilayah Goguryeo dan juga Baekje yang telah menjadi milik Silla dengan membentuk perwakilan protektorat di istana Sabi (bekas istana Baekje). Silla yang tidak nyaman atas hal ini mengirimkan utusan kepada Kaisar Tang untuk menyampaikan protes namun Kaisar Tang justru memerintahkan pemerintahan proktetorat itu untuk juga mengatur wilayah utama Silla. Hal ini membuat seluruh pejabat Silla murka, termasuk raja dan Kim Yushin sehingga perang antara Silla dan Tang pun meletus. Silla lalu melakukan serangan ke basis utama pemerintahan proktetorat di wilayah Baekje sambil memberikan bantuan bagi para pemberontak dibagian Utara yang dipimpin Geom Mojam. Awalnya Silla pasukan Silla kewalahan dan hampir kalah. Bahkan pasukan yang dipimpin oleh putra keduanya, Kim Wonsul hampir musnah seluruhnya, dan putranya melarikan diri dari medan perang. Dia bahkan hampir membunuh salah-seorang putranya yang bernama Kim Wonsul karena melarikan diri dari medan perang ketika pasukan Silla berperang melawan balatentara Tang di dekat benteng Baeksu di bulan Agustus 672. Awalnya, pasukan Silla terlihat akan memenangkan perang. Namun, mereka mengejar pasukan Tang yang mundur dan mereka masuk dalam perangkap yang tentara Tang, akibatnya tujuh orang jenderal Silla terbunuh dan pasukan Silla yang tewas tak terhitung jumlahnya. Wonsul yang menyadari bahwa kekalahan tersebut tak dapat terelakkan dan siap mati dengan memacu kudanya ke garis musuh. Namun ajudannnya menghalanginya sambil berkata, “Tidak sulit bagi seseorang yang berani untuk mati, yang lebih sulit adalah memilih kapan untuk mati. Mati sia-sia lebih buruk daripada membalas-dendam kemudian." Tapi Wonsul menjawab, “Seorang laki-laki tidak akan pernah mau hidup memalukan" dan kemudian memacu kudanya. Tapi pengawalnya itu tetap menghalangi dengan memegang erat tali kuda Wonsul dan tidak melepaskannya. Hasilnya Wonsul tidak mati di medan perang dan kembali ke Gyeongju. Tapi di Gyeongju, musuh-musuh Wonsul menebar fitnah bahwa Wonsul sengaja melarikan diri sehingga membuat ayahnya murka. Dengan marah, Yushin meminta Raja Munmu untuk mengeksekusi putranya itu. Yushin sangat serius tentang eksekusi tersebut karena Silla kehilangan tujuh jenderal di medan perang. Namun, Raja Munmu yang menyayangi Wonsul menolak untuk menghukum Wonsul. Karena malu pada dirinya sendiri dan takut menghadapi ayahnya, Wonsul menyembunyikan dirinya di sebuah tempat terpencil.

Setelah kejadian ini, Silla berhasil kembali menguasai istana Sabi dan mengusir bala-tentara Tang dari seluruh wilayah Silla dan bekas wilayah Baekje. Kaisar Tang sangat marah akan hal ini dan mengangkat putra mendiang Raja Muyeol yang lain sebagai Raja Silla, tapi tindakan ini semakin membuat marah pihak Silla. Pasukan Silla pun kembali menyerbu Pyeongyang seperti saat mereka menyerbu kota itu ketika akan menaklukkan Goguryeo. Serbuan Silla ini membuat Tang kewalahan karena mereka kalah diberbagai pertempuran di dekat Pyeongyang dan juga pasukan Silla sudah mengepung Pyeongyang. Pihak Tang berusaha mempertahankan pemerintahan proktetorat-nya dengan berbagai cara, termasuk negosiasi. Beberapa jenderal penting Tang menemui Kim Yushin dan memintanya menarik pasukan Silla dari Pyeongyang sambil menjabarkan konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi Silla jika permintaan Tang tidak dipenuhi. Namun, hal ini justru membuat Yushin berang dan hampir membunuh para jenderal itu seandaikan dia tidak mengindahkan etika sebagai seorang jenderal. Para jenderal Tang itu ketakutan melihat amarah Yushin dan menghadap kaisar Tang untuk menyampaikan laporan. Kaisar Tang sangat marah mendengar laporan para jenderalnya dan meminta mereka mempersiapkan pasukan yang lebih besar untuk menghalau pasukan Silla dari Pyeongyang sekaligus menggempur ibukota Silla, Seorabeol. Tapi, para jenderal Tang itu menolak permintaan kaisar mereka sebab mereka menilai bahwa perang itu tidak akan pernah mereka menang-kan. Bagi mereka, menghadapi Kim Yushin dan resimen hwarang-nya itu jauh lebih menakutkan dibandingkan menghadapi amarah kaisar Tang, sebab bagi para jenderal itu walaupun mereka harus kehilangan nyawa mereka ditangan kaisar karena tidak menaati perintah kaisar namun setidaknya seluruh pasukan mereka selamat, sedangkan jika mereka menaati perintah kaisar dan berperang melawan Silla maka selain kehilangan para jenderal, sebagian besar pasukan Tang juga akan musnah. Para jenderal itu menolak dan meyakinkan kaisar bahwa Silla bukanlah lawan yang lemah dan Yushin bukan jenderal biasa sebab saat para jenderal itu menghadap Yushin, mereka melihat Yushin tidak sekedar menghunus pedangnya melainkan pedangnya sendiri yang melompat dari sarungnya ke tangan Yushin. Legenda mengenai pedang Yushin ini begitu terkenal dan membuat takut para lawan-lawan Silla. Silla masih berperang dengan Tang dimasa-masa akhir kehidupan Yushin, namun para jenderal tadi menolak mengirimkan pasukannya sehingga Tang kekurangan tentara.

Silla menikmati kedamaian yang panjang selama masa pemerintahan Raja Munmu dan saat Yushin hidup. Kedamaian itu terus berlanjut hingga hampir dua ratus tahun lamanya. Selama hidupnya, Yushin menerapkan kedisiplinan sebagai seorang mantan hwarang termasuk mendisiplinkan keluarganya. Yushin menjauhkan diri dari kekuasaan yang tidak perlu dipegangnya, kursi kekuasaan yang tidak cocok dengannya padahal Yushin memiliki akses tanpa batas ke kekuasaan karena dia adalah panglima utama kerajaan dan juga besan ipar Raja Muyeol. Itulah sebabnya keluarga Yushin tidak tercatat pernah melakukan korupsi, dan disiplin yang tinggi inilah juga mengapa Yushin tidak pernah mau menerima permintaan maaf putranya, Wonsul yang dianggapnya melarikan diri dari medan perang. 

Banyak sekali legenda yang menuliskan tentang kedigdayaan seorang Ki Yushin. Salah-satunya adalah mengenai kematiannya. Diceritakan dalam Samguk Yusa bahwa pada bulan Juni tahun 673, beberapa rakyat Silla menyaksikan beberapa lusin pasukan berbaju besi dan lengkap dengan senjata masing-masing dan berjalan keluar dari rumah Yushin yang kemudian menghilang tanpa bekas. Mendengar kejadian aneh tersebut, Yushin pun berkata, “Mereka adalah prajurit penjaga langit yang melindungiku. Sekarang keberuntunganku sudah punah. Aku akan segera meninggal." Hanya satu bulan setelah kejadian itu, pada tanggal 1 Juli 673, Kim Yushin wafat pada usia 79 tahun disaat Silla masih berperang dengan Tang. Putranya, Wonsul kembali datang menghadiri upacara pemakaman ayahnya. Namun ibunya, Lady Jiso (istri Yushin), menolaknya meskipun banyak yang tahu bahwa Wonsul telah difitnah. Lady Jiso berkata, “Bagaimana aku bisa menjadi ibu dari seorang putra yang bukan putra ayahnya." Mendengar kata-kata ibunya ini, Wonsul menangis dan kembali ke tempat persembunyiannya.

Sepeninggal ayahnya, putra-putra Yushin termasuk Kim Heumsun dan Kim Wonsul melanjutkan peperangan terhadap Tang. Pada bulan September tahun 675, pasukan Tang menyerang Silla. Kim Wonsul pun keluar dari tempat persembunyiannya dan menghadap raja. Dia meminta kepercayaan raja untuk diberikan kepercayaan memimpin pasukan, dan Raja Munmu mengabulkan permohonannya. Ia berperang dengan gagah berani dan siap mati di medan perang. Tak terduga, Kim Wonsul mampu bertahan hidup dan memperoleh kemenangan besar atas pasukan Tang. Ketika perang usai, Raja Munmu mengumumkan bahwa Wonsul akan menerima penghargaan tinggi di istana utama kerajaan di Seorabeol. Namun, Wonsul tidak pernah kembali ke Seorabeol melainkan pergi mengasingkan diri ke pegunungan sebagai bentuk penyesalan pada orang-tuanya. Kim Wonsul menghabiskan sisa hidupnya di pegunungan, dan dengan sengaja membiarkan dirinya kelaparan. Kim Wonsul meninggal pada usia muda tidak lama setelah kemenangannya itu.

Kim Yushin adalah satu-dari sangat sedikit hwarang dan pungwolju yang menghabiskan hidup sambil menerima semua kejayaan sebagai hasil dari perjuangannya. Beliau meninggal diusia yang lanjut. Sebelum kematiannya, dia dianugerahi banyak penghargaan dan penghormatan dari sahabat-sahabatnya yang menjadi raja dan ratu. Bahkan, ribuan tahun kemudian setelah dinasti-dinasti di Semenanjung Korea berganti, Yushin kembali memperoleh penghormatan tertinggi oleh orang Korea modern sebagai jenderal Korea terbesar dalam sejarah Korea yang prestasinya hanya bisa disandingkan dengan Laksamana Yi Sun-shin dari Joseon. Kim Yushin juga dihormati sebagai salah-satu tokoh pemersatu Korea selain Raja Muyeol dari Silla dan Raja Wang Geon dari Goryeo. 

Kim Yushin adalah tokoh hwarang dan pungwolju yang paling sering muncul dalam drama.


Beberapa aktor yang memerankan Jendral Kim Yushin

Drama yang paling terkenal dalam memunculkan tokoh Kim Yushin adalah drama The Great Queen Seondeok. Jendral Kim Yushin juga menjadi salah satu tokoh utama dalam drama The King’s Dream. Dia juga muncul dalam drama Gyebaek.





2. LAKSAMAN YI SUN-SHIN (KERAJAAN JOSEON)

Laksamana Yi Sun-shin dalam lukisan resmi kerajaan

Ada banyak jendral besar dalam sejarah Korea, dan nama serta posisi Jendral Kim Yushin adalah yang paling dominan dalam sejarah Korea. Namun, sejarah mencatat bahwa ada seorang jendral hebat yang namanya tidak kalah harum seperti nama Jendral Kim Yushin dan memiliki prestasi besar yang mampu mencatatkan namanya dalam daftar para Jendral Terhebat dalam sejarah Korea. Dia adalah Admiral Yi Sun-shin. Admiral Yi Sun-shin adalah tokoh yang berjasa besar dalam Perang Tujuh Tahun, ketika Joseon di-invasi oleh Jepang. Salah satu kontribusinya yang terbesar dalam bidang militer Korea adalah penggunaan kapal perang berlapis besi pertama di dunia yang berbentuk kura-kura, dan dinamakan Gobukseon. Sampai sekarang Yi dianggap sebagai seorang pahlawan bangsa Korea yang terbesar dikarenakan kesetiaan, taktik dan kegigihannya dalam berperang. Admiral Yi Sun-shin adalah Jendral Laut paling terkenal di Korea yang hidup pada masa pemerintahan Raja Seonjo dari Joseon.

Yi Sun-sin lahir pada tanggal 28 April 1545 di Geoncheondong, Hanseong. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Sejak kakeknya terlibat dalam pembersihan politik pada masa pemerintahan Raja Jungjong, ayahnya mulai berhenti mencari pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintah. Mereka sekeluarga akhirnya pindah ke Asan, tempat asal keluarga ibu Yi. Saat itu kondisi perekonomian mereka sangat buruk. Layaknya anak bangsawan pada masa itu, Yi Sun-sin dididik dalam ajaran-ajaran Kongfusius sejak kecil. Ia menikah pada usia 21 tahun dan dikaruniai 3 orang putra dan 1 orang putri. Ia memutuskan untuk bergabung di militer saat berusia 22 tahun, walaupun sebenarnya pilihannya tersebut asing bagi keluarganya yang lebih memandang kesusastraan sebagai tradisi.

Pada tahun 1572 ketika ia ber usia 28 tahun, Yi Sun-sin menjalani ujian militer. Dalam ujian itu, Yi jatuh dari kuda dan kaki kirinya patah, hal itu membuatnya tidak lulus ujian. Namun dia tidak menyerah, 4 tahun kemudian setelah peristiwa itu, Yi Sun-sin kembali mengikuti ujian tersebut, dan berhasil lulus. Saat itu ia telah berusia 32 tahun. Awalnya ia bertugas sebagai perwira, yang dikenal bersifat teguh dan tak kenal kompromi dalam menjalani prinsip-prinsipnya. Banyak atasan yang tidak suka dengan sikapnya yang tegas dan disiplin. Ia pernah dicopot dari jabatannya karena menolak ikut berpartisipasi dalam kegiatan atasannya yang ia anggap tidak benar. Ia juga pernah diturunkan menjadi prajurit kelas bawah karena difitnah oleh perwira lain yang tidak senang dengannya. Namun begitu, menjelang terjadinya Perang Tujuh Tahun, ia mendapat kenaikan pangkat sebagai Komandan Angkatan Laut Kiri Jeolla berkat rekomendasi dari Perdana Menteri, Ryu Seong-ryeong, yang telah berteman dengan Yi Sun-sin sejak kecil dan mengenal bakat kepemimpinan yang dimiliki Yi Sun-sin.

Patung Laksamana Yi Sun-shin

Setelah menjabat menjadi komandan angkatan laut, Yi Sun-sin bertugas membenahi Angkatan Laut Joseon dengan memperbaiki sistem administrasi, meningkatkan mutu persenjataan serta mendidik para pelaut. 

Yi Sun-sin berperan penting dalam kemenangan Korea dalam Perang Tujuh Tahun. Perang Tujuh Tahun atau Perang Imjin merupakan serangkaian pertempuran panjang selama 7 tahun pada akhir abad ke-16 di semenanjung Korea yang disebabkan oleh invasi Jepang yang berniat menyerbu Cina melalui Korea. Ia juga menyelesaikan pengkonstruksian Kapal Kura-kura hanya satu hari sebelum Jepang mendarat.

Saat itu, Toyotomi Hideyoshi telah mempersatukan Jepang dan merencanakan untuk melakukan invasi negara-negara tetangganya. Pertama-tama, ia meminta izin kepada Joseon untuk memberi jalur bagi pergerakan tentaranya ke Dinasti Ming. Istana Joseon menolak niat Jepang dan mengabaikan kemungkinan perang. Saat niatnya ditolak Joseon, Toyotomi Hideyoshi yang marah lalu menginvasi dengan kekuatan 160.000 tentara pada bulan April 1592. Joseon tidak mampu menangkis serangan awal dan mengalami kekalahan besar. Daerah pertahanan di bagian selatan direbut dalam waktu beberapa hari saja dan pasukan Jepang bergerak ke utara tanpa mengalami kesulitan sama sekali.

Yi Sun-sin lalu memimpin angkatan laut untuk mengamankan wilayah perairan dan untuk memutus jalur persediaan dan komunikasi tentara Jepang. Kapal-kapal Jepang menggunakan jalur laut di perairan barat dan timur Semenanjung Korea untuk menyalurkan persediaan perang kepada para pasukan yang berada di daratan. Dengan keunggulan pasukan Yi Sun-sin, semua kapal Jepang di perairan Korea berhasil dikalahkan. Beberapa pertempuran di laut benar-benar menentukan keberhasilan pasukan Korea atas Jepang, antara lain Pertempuran Hansan, Pertempuran Myeongnyang dan Pertempuran Noryang.

Pertempuran Hansan yang terjadi pada tanggal 14 Agustus, 1592 adalah pertempuran laut terbesar yang dimenangkan oleh Laksamana Yi Sun-sin, dan juga dianggap sebagai salah satu perang laut terbesar di dunia. Pasukan Jepang terdiri dari 3 armada dengan 10 ribu tentara, berkali-kali lipat dari jumlah pasukan Yi Sun-sin. Laksamana Yi menyusun taktik untuk mengumpan Jepang agar berperang di perairan Pulau Hansan yang berada jauh dari daratan utama sehingga pasukan Yi dapat dengan leluasa melakukan penyerangan dan memperkecil kemungkinan musuh untuk melarikan diri. Pasukan Laksamana Yi dibantu oleh Laksamana Yi Ok-ki dan Won Gyun. Laksamana Yi Sun-sin memerintahkan sebagian besar kapal perang untuk tetap berada di Hansan dan mengirimkan 6 buah panokseon (kapal perang beratap) menuju selat Kyonnaeryang. Kemudian panokseon bergerak menuju tempat sebelumnya di Hansan seolah-olah akan menyerah untuk menarik perhatian pasukan Jepang agar mengejar. Saat semua kapal Jepang telah berada di laut lepas, Laksamana Yi memerintahkan pasukannya membentuk hagikjin atau formasi sayap bangau untuk menyerang kapal utama musuh. Secara tiba-tiba, kapal mereka berbalik arah dan berhadapan dengan kapal Jepang. Mereka mengelilingi kapal utama dalam posisi setengah lingkaran. Gerakan ini menjebak Jepang dengan sedikit ruang untuk bergerak dan segera menghantam dengan meriam dan panah api. Sisa-sisa kapal Jepang yang selamat melarikan diri. Sebanyak 47 buah kapal musuh ditenggelamkan dan 12 kapal lain ditawan, dan hanya menyisakan 14 dari total 73 buah kapal, dan 1000 dari 10.000 orang.

Kemenangan pasukan Yi Sun-sin di laut membuat pasukan Jepang di daratan terisolasi. Tak lama kemudian, Pyeongyang berhasil direbut kembali. Dua bulan setelah itu, ibukota juga berhasil direbut. Dalam bentuk penghargaan akan jasa besarnya, Yi dianugerahi kedudukan sebagai Tongjesa, pangkat tertinggi dalam angkatan laut Joseon. Kini ia memimpin angkatan laut 3 provinsi.

Pada bulan Desember 1596, saat negosiasi antara Ming dan Jepang gagal, Toyotomi Hideyoshi mulai merencanakan penyerbuan kedua ke Korea. Sementara itu, Laksamana Yi sedang mendapat masalah karena tuduhan Jendral Won Gyun yang selalu iri karena Yi Sun-sin mendapat kedudukan lebih tinggi daripada dirinya, tidak hanya sering dengan sengaja mengabaikan perintah Yi, namun juga mulai memberikan laporan palsu kepada raja tentang keadaan angkatan laut dan hasil peperangan untuk menjelek-jelekkan Yi Sun-sin. Hal itu menimbulkan spekulasi di istana. Dilain pihak, Jepang menyadari keberadaan Yi Sun-sin akan menggagalkan tujuan mereka sehingga ia harus disingkirkan terlebih dahulu dengan cara membuat raja tidak menyukainya. Mereka mengirimkan seorang mata-mata bernama Yoshira ke dalam sebuah pangkalan militer yang dipimpin jendral Kim Eung-su dan menawarkan jasa sebagai seorang mata-mata untuk membocorkan informasi penting bagi Joseon. Ia melaporkan bahwa kedatangan Jendral Kato Kiyomasa yang sudah tak lama lagi. Namun, Yoshira meminta agar Tongjesa (Yi Sun-sin) yang menghadapi armada Jepang itu. Jendral Kim percaya pada apa yang disampaikan Yoshira dan memohon kepada Raja Seonjo untuk mengirimkan Laksamana Yi Sun-sin menghadapi kedatangan musuh. Raja memerintahkan Yi Sun-sin dan pasukannya untuk bergerak. Namun, Yi Sun-sin menolak permintaan raja karena mengetahui bahwa lokasi itu sangat berbahaya karena dipenuhi karang dan kemungkinan besar akan mengalami kekalahan. Saat perintahnya ditolak, Raja Seonjo marah besar dan menganggap Laksamana Yi Sun-sin congkak. Yi Sun-sin kemudian dipenjara di ibukota dan mendapat siksaan. Raja menginginkannya dihukum mati, namun para pendukung Yi Sun-sin di istana memohon untuk membebaskannya dengan alasan jasanya sangat besar bagi negara. Yi Sun-sin lalu dicopot dari jabatan Tongjesa dan menjadi prajurit bawahan. Won Gyun lalu naik pangkat menjadi Tongjesa menggantikan Yi Sun-sin. Namun Won Gyun tidak pandai mengelola angkatan laut. Sementara itu, Yoshira terus memengaruhi Jendral Kim Eung-su untuk mengirimkan pasukan menghadapi armada Jepang, yang ia kabarkan sudah tiba di Korea. Setelah perintah diberikan, Won Gyun mulai mengerahkan kapal perang. Hasilnya sangat buruk karena ia tidak bisa mengendalikan armadanya sehingga armada Jepang menang. Karena panik, Won Gyun melarikan diri ke darat, namun sampai disana ia dibunuh oleh pasukan Jepang yang telah menunggunya. Kekalahan ini adalah kehancuran armada laut satu-satunya dalam pertempuran laut Perang Tujuh Tahun. Dari 134 kapal perang Korea yang dikerahkan, hanya 12 yang selamat di bawah kendali Komandan Bae Sul.

Mendengar kekalahan Won Gyun, raja menyesali keputusannya dan kembali mengangkat Yi Sun-sin menjadi Tongjesa. Walau telah mengalami perlakuan buruk dan bahkan bersedih karena baru-baru itu ibunya meninggal dunia, Yi Sun-sin menerima penugasan itu dengan siap. Yi Sun-sin melakukan perjalanan di propinsi Jeolla untuk mengumpulkan kapal, pengungsi dan senjata yang tersisa sebelum menghadapi musuh. Raja Seonjo mengetahui kesulitan yang dialami Yi Sun-sin (yang hanya mendapatkan 13 buah kapal) dan menyarankan Yi Sun-sin untuk berhenti berperang di laut dan bergabung dengan angkatan darat. Namun, Yi meyakinkan bahwa ia memiliki alasan kuat untuk melindungi perairan di kawasan Jeolla dan Chungcheong agara mencegah penerobosan Jepang dari jalur laut ke ibukota. Dengan kondisi terjepit karena pasukan musuh berjumlah besar, pasukan Yi Sun-sin memutuskan untuk bergerak ke Selat Myeongnyang. Myeongnyang adalah selat yang harus dilewati musuh untuk mencapai ibukota. Daerah ini memiliki arus paling deras di Semenanjung Korea yang mencapai 18 km/jam dikarenakan aliran dari laut lepas terdorong ke dalam selat yang sempit. Di selat ini, Yi Sun-sin memasang jebakan bawah air berupa kawat besi yang dapat diputar menggunakan kapstan, sejenis as roda yang digunakan di kapal agar dapat menggoyahkan kapal musuh dan membuat mereka saling bertabrakkan pada saat arus deras terjadi. Kapal Joseon mempunyai dasar berbentuk datar dan dangkal, sementara kapal Jepang berdasar tajam dan dalam yang akan tersangkut jebakan yang dipasang di bawah air. Pada tanggal 16 September 1597, armada Jepang tiba dengan 330 kapal. Ketiga-belas kapal Laksamana Yi menghadapi musuh dengan menggunakan formasi Il-jajin (formasi satu garis). Il-jajin adalah salah satu bentuk formasi yang paling sederhana, terdiri atas sekelompok kapal yang berbaris satu-satu dengan haluan menghadap ke arah musuh. Berkat sempitnya selat Myeongnyang, hanya 130 kapal Jepang yang dapat masuk. Dalam waktu singkat, mereka sudah mengelilingi pasukan Yi Sun-sin. Para kapten kapal Korea dan Laksamana Yi Sun-sin maju menyerang dengan menembakkan panah dan meriam. Tiba-tiba, di dekat kapal Laksamana Yi Sun-sin terlihat mengapung sesosok mayat dengan memakai seragam musuh, dan ternyata adalah Matashi Kurushima, jendral pasukan Jepang. Mayat itu ditarik dan diperlihatkan ke arah musuh dari haluan kapal. Hal ini menimbulkan kehebohan di pasukan Jepang. Pada saat arus mulai deras (selalu berganti arah setiap 4 jam sekali), kekuatan arus mulai menggoyahkan kapal-kapal Jepang dan merusak posisi mereka. Pasukan Yi Sun-sin mengencangkan kawat besi di bawah air dengan memutar kapstan. Lambung kapal mereka mulai tersangkut dan mulai bertabrakkan satu sama lain. Dari 130 kapal Jepang yang masuk ke Selat Myeongnyang, 31 tenggelam dan 90 rusak parah dan tak satupun kapal pihak Laksamana Yi kalah. 

Invasi kedua Jepang yang terjadi pada tahun 1597 sekali lagi dapat dipatahkan oleh kekuatan pasukan Laksamana Yi Sun-sin di laut. Pada bulan Agustus 1598, Hideyoshi memerintahkan untuk menarik semua pasukan Jepang dari Korea. Pada pertempuran ini Laksamana Yi Sun-sin menghadang kepulangan Jepang dengan bantuan angkatan laut Ming yang dipimpin Chen Lien. Dalam pertempuran tahap awal, armada Jepang dipukul mundur dengan 50 buah kapal dihancurkan sehingga mereka melarikan diri ke Kwaneumpo namun telah dijebak pada tiap sisi. Karena tak ada pilihan lain, mereka berbalik dan melawan. Mereka mengincar kapal utama yang dikemudikan Laksamana Yi Sun-sin. Baik Yi Sun-sin dan Chen Lien berkali-kali dalam bahaya karena hampir terkurung namun keduanya berhasil menghindar. Saat sedang meneriakkan perintah maju, Laksamana Yi Sun-sin tertembus peluru dari kapal musuh dan terluka parah. Ia meminta anak buahnya menutupi tubuhnya dengan perisai dan merahasiakan kematiannya dari pasukan lain agar mereka tidak terkejut. Ia menghembuskan napas terakhir didepan putra sulungnya, Yi Hoe, dan keponakannya, Yi Wan. Sambil menahan kesedihan mereka meneruskan pertempuran. Kemenangan armada laut di Pertempuran Noryang ditandai dengan hancurnya 450 buah kapal Jepang. Perang ini menandakan akhir dari Perang Tujuh Tahun.

Yi Sun-sin meninggal pada tanggal 16 Desember 1598 diusia 53 tahun, tepat setelah kemenangannya dalam akhir Perang Tujuh Tahun. Dalam 7 tahun masa perang itu, Yi Sun-sin memenangkan sebanyak 23 kali pertempuran di laut tanpa kalah. Ia diberi gelar Chung Mu Gong atau Pahlawan Kesetiaan dan Pengabdian. 

Pada zaman moderen, banyak tokoh-tokoh militer di berbagai negara di luar Korea mengetahui Yi Sun-sin dan mengagumi kepiawaiannya dalam menggunakan taktik untuk berperang.

George Alexander Ballard (1862–1948), seorang wakil laksamana dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris memuji Yi Sun-sin atas prestasinya dalam Pertempuran Hansan pada bukunya, The Influence of the Sea on the Political History of Japan.

“Pertempuran Hansan ini adalah puncak kehebatan seorang laksamana dari Korea. Dalam jangka waktu pendek selama 6 minggu, ia telah meraih rangkaian kemenangan tak terkalahkan dalam seluruh babad perang bahari, dengan menghancurkan armada perang musuh, memutuskan jalur komunikasinya, menyapu bersih iring-iringannya,…dan menjadikan niat ambisiusnya benar-benar runtuh. Bahkan Nelson, Blake, atau Jean Bart tidak pula dapat melakukan yang lebih daripada seseorang wakil yang kurang dikenal dari negeri kecil dan tertindas ini; dan sangat disayangkan bahwa ingatan akan dirinya tidak terdengar melainkan hanya di negerinya sendiri dan sesungguhnya hukuman yang tidak adil tidak akan dapat mengingkari haknya untuk dapat dihitung sebagai salah seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin.” (hal. 57)

Beberapa aktor yang memerankan Laksamana Yi Sun-shin

Admiral Yi Sun-sin muncul dalam banyak drama dan film. Film tentangnya yang paling terkenal adalah film Admiral:The Roaring Currents, yang menjadi Box Office di tahun 2014. Ia juga menjadi tokoh utama dalam drama The Immortal Yi Sun-shin, dan juga diceritakan dalam drama Jinbirok.






3. JENDERAL BESAR CHOI YEONG (GORYEO)

Choe Yeong (최영) adalah seorang jenderal Korea pada zaman Dinasti Goryeo yang berjasa mempertahankan negaranya dari serbuan bajak laut Jepang dan mengusir pasukan Mongol. Dia adalah salah satu jendral terbesar dari Dinasti Goryeo yang hidup pada masa pemerintahan Raja Chungyeol, Raja Chungmok, Raja Chungsuk, Raja Gongmin, Raja Woo, dan awal pemerintahan Raja Chang.

Choe Yeong dilahirkan pada tahun 1316, di Choerwon, Provinsi Gangwon, dari keluarga yang awalnya sangat miskin sehingga membentuk karakternya yang militan. Dia tidak terlalu memperhatikan mengenai pakaian dan makanannya, dia menghindari kesenangan-kesenangan duniawi bahkan setelah menjadi pejabat. Ia tidak senang pada orang-orang yang menyukai barang mewah dan memandang kesederhanaan sebagai suatu kebajikan. Moto hidupnya yang diwarisi dari ayahnya adalah, “janganlah engkau tamak akan emas” Dengan karakter demikian, Choe Yeong sangat cocok masuk militer, ia dengan cepat mendapat kepercayaan dari bawahan dan rajanya.

Pada usia 36 tahun, Choe Yeong menjadi pahlawan nasional berkat jasanya memadamkan pemberontakan Cho Il-shin, yang sempat mengepung dan menerobos istana kerajaan, membunuh beberapa pejabat dan mengangkat diri sebagai raja Cho. 

Choe Yeong juga sangat dihormati oleh pemerintah Dinasti Yuan. Pada tahun 1335, Pemberontakan Sorban Merah melawan Dinasti Yuan, Mongol yang saat itu menguasai Tiongkok. Goryeo berkewajiban mengirim bala bantuan untuk membantu Mongol memadamkan pemberontakan tersebut. Kesuksesan Choe Yeong di lebih dari 30 pertempuran membuat popularitasnya menanjak. 

Sekembalinya ke Korea, Choe Yeong melaporkan pada Raja Gongmin mengenai situasi dalam negeri Tiongkok dimana Dinasti Yuan mulai goyah, sehingga Raja Gongmin berpikir itulah saat yang tepat untuk merebut kembali beberapa wilayah di utara yang dulu diduduki Mongol. Choe pun diperintahkan memimpin pasukannya dan berhasil merebut banyak kota di bagian barat Sungai Yalu. Choe lalu diangkat sebagai walikota Pyongyang untuk waktu singkat. Selama masa itu ia meningkatkan produksi panen dan meringankan penderitaan korban kelaparan sehingga makin disanjung sebagai pahlawan nasional.

Tahun 1363, ia sekali lagi unjuk gigi ketika seorang menteri yang berkuasa bernama Kim Yon-an bermaksud menggulingkan pemerintah. Choe menghimpun pasukannya dan mengalahkan 10.000 pasukan Mongol yang masuk ke wilayah Goryeo dan mendukung pemberontakan itu.

Raja Gongmin yang frustasi atas kematian Ratu Noguk lalu memberikan jabatan tinggi pada seorang biksu bernama Shin Ton (karena raja bermimpi akan ada sorang biksu yang akan menolongnya). Pada mulanya, Shin memang bekerja keras meningkatkan taraf hidup petani dan mendapat tentangan dari banyak pejabat. Namun dia menjadi semakin sewenang-wenang dan korup. Choe Yeong yang anti korupsi akhirnya bermusuhan dengan Shin Ton. Shin Ton lalu memfitnah Choe Yeong sehingga Choe Yeong diasingkan selama enam tahun bahkan hampir dihukum mati. 

Setelah kematian Shin Ton, Choe Yeong dipulihkan ke jabatannya semula dan mendapat perintah untuk mempersiapkan pasukan guna melawan bajak laut Jepang dan sisa-sisa pasukan Mongol di Pulau Jeju. Mula-mula ia berhadapan Mongol, setelah bertempur dengan sengit akhirnya ia berhasil membebaskan pulau itu. Tahun 1376, bajak laut Jepang memasuki wilayah Goryeo dan mencaplok kota Gongju. Choe Yeong dan bawahannya, Yi Seonggye berhasil mengalahkan para bajak laut dan merebut kembali Gongju.

Pada pertengahan abad-14, Dinasti Ming yang telah menjadi penguasa Tiongkok menduduki Manchuria dan bagian timur laut Goryeo. Hal ini membuat Jenderal Yi Songgye diperintahkan untuk mengusir pasukan Ming dari semenanjung Korea dan menginvasi Liaodong. Namun, Yi yang telah mendapat dukungan dari pejabat-pejabat tinggi dan rakyat malah mundur ke ibukota, Kaesong, dan mengadakan kudeta. Insiden ini dikenal dengan nama Pengunduran Wihwado dan menjadi tanda-tanda awal pergantian dinasti. Choe Yeong kembali ke ibukota dan melawan dengan gagah berani, namun kekuatannya kalah jumlah oleh Yi. Setelah kekalahannya, Choe Yeong diasingkan ke Goyang dimana tak lama kemudian dihukum mati oleh Yi di awal masa pemerintahan Raja Chang pada tahun 1388. Sebelum dipancung, ia mengatakan bahwa di makamnya tidak akan pernah tumbuh rumput karena kematiannya yang tidak adil. Uniknya, memang rumput benar-benar tidak pernah tumbuh di makamnya. Makam itu dikenal dengan nama joekbun (적분), yang berarti kuburan merah, karena tanahnya yang berwarna merah. Baru pada tahun 1979, pucuk rumput pertama tumbuh di makam itu.

Choe Yeong dianggap jenderal besar yang telah mendedikasikan segenap hidupnya untuk mempertahankan negara. Ia adalah Jendral yang membaktikan hidupnya bagi Goryeo dengan kesetiaan penuh yang bahkan harus dibayar dengan nyawanya.

Aktor yang memerankan Jenderal Choe Yeong


Jendral Choe Yeong menjadi tokoh utama dalam drama terkenal, Faith. Ia juga muncul dalam drama-drama yang menceritakan tentang Raja Gongmin dan masa-masa akhir Dinasti Goryeo, seperti drama The Great Seer dan Jeong Do-jeon.






4. JENDERAL BESAR EULJI MUNDEOK (KERAJAAN GOGURYEO)

Lukisan Jendral Eulji Mundeok

Eulji Mundeok merupakan seorang pemimpin militer terkenal pada awal abad ke-7 dari Kerajaan Goguryeo. Ia adalah salah satu dari pahlawan terhebat di dalam sejarah militer Korea dan salah satu figur yang terhebat di dalam sejarah nasional Korea. Namanya tercatat dalam Haedong Myeongjangjeon (Biografi Jenderal Korea Terkenal), yang dituliskan di-masa Joseon pada abad ke-18. Ia adalah Jendral yang hidup pada masa pemerintahan Raja Yeongyang dari Goguryeo.

Eulji Mundeok dilahirkan di pertengahan abad ke-6 dan berasal dari Gunung Seokda di Pyongyang. Ia merupakan pria yang terpelajar dan cakap. Menurut beberapa Sarjana Korea, Eulji (乙支) di dalam namanya merupakan sebuah bentuk dari ranking atau gelar di Goguryeo, sedangkan "mun" (문, 文) adalah gelar bagi pejabat politik, dan "mu" (무, 武) ilmu militer. Ia mungkin mendapat nama Mun karena ia akhirnya naik pangkat menjadi Perdana Menteri Goguryeo. 

Pada saat masa itu, kerajaan Goguryeo telah menjadi kerajaan yang berkuasa dan merupakan "negara perang", yang secara konstan berperang dengan berbagai negara seperti Tiongkok di utara dan barat, dan juga Silla dan Baekje. Pada tahun 589, Dinasti Sui berhasil mempersatukan China untuk pertama kalinya sejak runtuhnya Dinasti Han. Setelah pendirian Dinasti Sui, perdamaian yang telah disepakati selama beberapa tahun antara dinasti-dinasti di China dan Goguryeo terancam.

Pada tahun 597, Raja Yeongyang menyerbu daerah seberang Sungai Liao, yang merupakan perbatasan tradisional dengan China. Sebagai balasannya, Sui menyerang Goguryeo, namun invasi itu gagal karena pasukan tersebut terpencar oleh badai topan. Pada awal abad ke-7, kaisar Sui yang baru Yangdi mempelajari rahasia korespondensi Goguryeo dengan Kerajaan Turkik Timur. Yangdi marah akan hubungan Goguryeo dengan Turki dan meminta Raja Yeongyang untuk datang dan menyerah secara pribadi kepada Sui atau Goguryeo akan diserang. Raja Yeongyang menolak menyerah sehingga Yangdi mempersiapkan perang. Ia mengumpulkan pasukan besar lebih dari 1,133,800 orang dan lebih dari 2 juta alat pembantu dan secara pribadi memimpin mereka melawan Goguryeo pada tahun 612. Pertahanan di perbatasan Goguryeo hancur. Pasukan Sui lalu berkemah di tepi Sungai Liao dan bersiap-siap untuk menyeberanginya. Eulji Mundeok, yang saat itu adalah Panglima Tertinggi, menyiapkan pasukannya untuk bertempur dengan pasukan Sui dengan strategi mundur palsu, menipu dan menyerang. Setelah pasukan Sui menyeberangi Sungai Liao, sebuah pasukan kecil dikirimkan untuk menyerang kota Goguryeo di Liaodong, namun Panglima Tertinggi Eulji mengirim Laksamana Gang I-sik dan pasukannya untuk menghadang dan mengusir mereka. Karena hujan lebat, pasukan Sui hanya melancarkan serangan kecil.

Ketika hujan berhenti, Yangdi memindahkan pasukannya ke tepi Sungai Yalu di bagian barat laut Korea dan mempersiapkan perang utama. Namun, ia justru menarik pasukan Sui jauh dari pusat logistik mereka. Pasukan Sui yang terdiri lebih dari 305,000 orang dikirimkan ke kota Pyongyang, yang justru disergap oleh pasukan Eulji. Pasukan Goguryeo menyerang dari segala arah yang membuat pasukan Sui panik dan melarikan diri. Eulji lalu membangun sebuah dam yang besar di atas sungai Salsu yang membuat dangkal air, ketika pasukan Sui yang menyeberangi sungai, dam lalu dijebol oleh pasukan Eulji Mundeok dan air bah menyapu habis hampir seluruh tentara Sui. Tentara Sui yang selamat harus menghadapi musim salju dan terpaksa kembali pulang ke China. Internal pemerintahan Dinasti Sui juga mulai hancur dan Yangdi harus menyelamatkan kekuasan, dan akhirnya pemberontakan internal di China memaksa Sui untuk mundur dari Goguryeo. Dari total 1,13 juta tentara hanya 2,700 orang tentara Sui yang selamat kembali ke China. Perang Salsu ini dianggap sebagai salah satu kemenangan militer yang terbaik dalam sejarah nasional Korea. 

Eulji Mundeok dapat mempertahankan Benteng Sin dari invasi Sui namun ia wafat tak lama setelah itu. Dia diperkirakan wafat setelah tahun 618, meskipun tanggal tepatnya tidak diketahui.

Kekalahan Balatentara Kekaisaran Sui dalam Perang Salsu ini menjadi indikator utama keruntuhan Kekaisaran Sui.

Eulji Mundeok mendapatkan penghormatan yang tinggi dalam sejarah Goguryeo, bahkan oleh dinasti-dinasti setelahnya. Selama masa pemerintahan Hyeonjong dari Goryeo, sebuah tempat pemujaan Eulji Mundeok didirikan di dekat Pyongyang. Di dalam periode Joseon, Raja Sukjong dari Joseon memerintahkan untuk mengkonstruksi sebuah tempat pemujaan lainnya untuk menghormati Eulji Mundeok pada tahun 1680. 

Ada jalan utama di pusat kota Seoul, yang bernama Eulji-ro, yang diambil dari nama Eulji Mundeok. Penghargaan tertinggi kedua dalam Militer di Korea Selatan yang bernama Jasa Militer Perdana Menteri Lord Eulji, juga dinamakan sama untuk menghormatinya. Karya gubahan Eulji Mundeok, Eulji Mundeok Hansi, merupakan salah satu puisi yang tertua yang masih ada dalam kesusastraan Korea.









5. JENDERAL GYEBAEK (BAEKJE)

Gyebaek adalah seorang jenderal pada awal hingga pertengahan abad ke-7 dari kerajaan Korea kuno, Baekje. Sedikit sekali yang diketahui tentang kehidupannya, termasuk kapan dia lahir dan lokasi kelahirannya. Meskipun Kerajaan Baekje memiliki banyak jendral sepanjang periode kekuasaannya, namun Jendral Gyebaek adalah jendral Baekje yang paling termasyur dalam sejarah Korea. Dia diperkirakan mulai terjun didunia militer pada masa pemerintahan Raja Mu. Namun keterlibatannya dalam pertempuran sebagai jendral Baekje yang paling dikenang adalah ketika Baekje diperintah oleh Raja Uija.

Pada 660, Baekje diserbu oleh 50.000 tentara Silla, yang didukung oleh 144.000 tentara Tang. Gyebaek yang hanya memiliki 5.000 tentara di bawah komandonya, menghadang mereka sehingga pecahlah perang yang dikenal dengan nama Perang Hwangsanbeol. Sebelum memasuki medan perang, legenda mengatakan bahwa Gyebaek membunuh istri dan anak-anaknya agar mereka tidak mempengaruhinya atau menyebabkan dia goyah dalam pertempuran.

Pasukannya memenangkan empat pertempuran awal yang menyebabkan korban parah di-pihak Silla. Namun, pada akhirnya pasukan Geybaek kelelahan, dan mereka juga kewalahan karena kalah jumlah. Pasukan Baekje akhirnya dikalahkan dalam pertempuran, dan Gyebaek tewas dipertempuran itu. Pertempuran Hwangsanbeol adalah salah satu pertempuran yang paling terkenal dan dikenang dalam sejarah Korea.

Gyebaek wafat dengan gagah berani pada tanggal 9 Juli 660. Tak lama setelah kekalahan dan kematian Gyebaek di Hwangsanbeol, kerajaan Baekje hancur setelah berdiri dan berkuasa selama 678 tahun.

Meskipun dia adalah jendral pasukan musuh, namun para Jendral Silla sangat menghormatinya. Namanya tetap harum setelah keruntuhan Baekje, bahkan pada masa kekuasaan Silla bersatu yang merupakan musuh Baekje. Dunia modern Korea juga menghormati Gyebaek dan menjadikannya sebagai lambang patriotisme. Taekwondo Pola Gyebaek juga dinamai menurut namanya. Pada masa Dinasti Joseon nanti, Gyebaek dipuji oleh para cendekiawan sebagai contoh dari cita-cita para patrioti dalam pengabdian kepada Raja.


Beberapa aktor yang memerankan Jendral Gyebaek

Jendral Gyebaek merupakan tokoh utama dalam drama Gyebaek. Dia juga sempat muncul dalam drama The King’s dream. 







6. JENDERAL KANG GAMCHAN (KERAJAAN GORYEO)

Lukisan Jendral Kang Gam-chan

Jendral Gang Gam-chan dilahirkan pada tahun 948 di Gungjin, Gumju (Nakseongdaedong). Meskipun karier terakhirnya adalah sebagai pejabat pemerintahan, namun ia lebih terkenal sebagai salah seorang jendral terbesar Goryeo. Jendral Gang Gam-chan mendapat penghormatan yang sama dengan Jendral Choe Yeong dalam sejarah Korea sebagai Jendral Besar dari Goryeo. Karir militer Gang Gam-chan menanjak ketika ia memenangkan banyak perang melawan bangsa Khitan. Jendral Gang Gam-chan hidup di-masa pemerintahan Raja Mokjong dan Raja Hyeonjong dari Goryeo.

Pada tahun 993, Dinasti Liao (Bangsa Khitan) memerintahkan Jenderal Xiao Sunning untuk menyerang Goryeo. Gang memilih untuk bernegosiasi dengan Liao, yang juga didukung oleh Raja sebagai keputusan resmi. Negosiasi gencatan senjata berhasil menuntun pasukan Bangsa Khitan keluar dari Korea dan membangun hubungan persahabatan antara Liao dan Goryeo. Namun pada tahun 1004, Bangsa Khitan mengalahkan Dinasti Song, Cina dan memaksa kaisar-nya untuk membayar upeti kepada Bangsa Khitan. Setelah kekalahan Song, satu-satunya ancaman Bangsa Khitan adalah Goryeo. 

Saat itu Goryeo sedang mengalami kekacauan politik akibat kudeta Jendral Gang Jo pada tahun 1009, yang menggulingkan dan membunuh Kaisar Mokjong dan memulai peraturan militer. Gang Jo juga menghancurkan hubungan damai dengan Bangsa Khitan. Bangsa Khitan lalu menyerang Goryeo pada tahun 1010. Kaisar Shengzong memimpin sendiri pasukannya sebanyak 400,000 orang. Ia dengan mudah mengalahkan pasukan Goryeo. Jenderal Gang Jo tewas dibunuh dalam perang itu.

Gang Gam-chan mendesak Raja Hyeonjong untuk melarikan diri dari istana, dan tidak menyerahkan diri kepada pasukan musuh. Raja menuruti saran Gang Gam-chan, dan berhasil melarikan diri dari ibukota. Kekacauan di Goryeo mulai mengusik pasukan Bangsa Khitan, sehingga memaksa Shengzong untuk menarik pasukannya. Bangsa Khitan memenangkan perang itu, tapi tidak memperoleh keuntungan apapun. Perang berdarah di antara dua negara berlanjut pada Perang Goryeo–Khitan Kedua yang dimenangkan oleh pasukan Goryeo dibawah pimpinan Gang Gam-chan. Gang Gam-chan lalu diangkat menjadi Perdana Menteri.

Pada tahun 1018, Jenderal Xiao Baiya dari Liao memimpin 208,000 orang pasukan ke Goryeo. Kali ini banyak pejabat yang mendesak raja untuk memulai negosiasi damai, karena kerusakan Perang Goryeo–Khitan yang kedua sangat besar bagi Goryeo. Namun Gang Gam-chan menganjurkan agar Goryeo berperang melawan Liao, karena pasukan musuh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan sebelumnya. Gang Gam-chan dengan sukarela mengajukan dirinya untuk berperang sebagai wakil menteri perang selama perang berlangsung, padahal usianya sudah menginjak 71 tahun. Raja Hyeonjong yang sangat percaya pada Jendral Gang Gam-chan, menyetujui usulan sang jendral. Gang Gam-chan lalu diberikan kekuasaan untuk memimpin sekitar 100,000 orang pasukan menuju perbatasan Goryeo-Liao.

Perang pertama adalah Perang Heunghwajin, yang dimenangkan oleh Goryeo. Namun Jenderal Xiao tidak menyerah dengan harapan dapat merebut ibukota Kaesong, dan melanjutkan perjalanan ke selatan. Xiao lalu menyadari bahwa misi tersebut tidak mungkin dicapai, dan memutuskan untuk mundur. Jenderal Gang Gam-chan yang mengetahui bahwa Bangsa Khitan mundur dari perang lalu menunggu mereka di benteng Gwiju, dimana ia bertemu dengan pasukan Bangsa Khitan yang mundur pada tahun 1019. Bangsa Khitan yang telah putus asa dan kelaparan, akhirnya dikalahkan oleh pasukan Goryeo. Perang ini dikenal sebagai Perang Gwiju. Jenderal Gang Gam-chan kembali ke ibukota dan disambut sebagai seorang penyelamat militer yang menyelamatkan kerajaan. Kemenangan jendral Gang Gam-chan ini termasuk dalam salah satu dari tiga kemenangan terbesar dalam sejarah Korea. Dua kemenangan lainnya adalah kemenangan Jendral Eulji Mundeok dalam Perang Salsu dan kemenangan Laksamana Yi Sun-shin dalam perang dalam Perang Tujuh Tahun.

Setelah perang usai, Gang Gam-chan mengundurkan diri dari militer dan pemerintahan karena ia telah berusia lanjut. Gang Gam-chan sempat ditunjuk sebagai Perdana Menteri pada tahun 1030, setahun sebelum ia wafat pada tahun 1031. Tidak lama setelah Gang Gam-chan, Raja Hyeonjong pun menyusulnya kematiannya.

Altar Gang, yang dijuluki "Angkasa,", kini berdiri di Sadang-dong, Gwanak-gu, Seoul. Gang Jee-seok yang terkenal itu merupakan keturunan dari Gang Gam Chan yang Agung.

Aktor yang memerankan Jenderal Gang Gam-chan

Tokoh Jendral Gang Gam-chan sempat muncul dalam drama Empress Cheonchu.







7.  JENDERAL GWON YUL (JOSEON)

Lukisan Jendral Gwon Yul


Jendral Gwon Yul (권율) dilahirkan pada tahun 1537. Ayahnya, Gwon Cheol, adalah mantan perdana mentri Joseon dan berasal dari keluarga Gwon dari Andong. Ia adalah salah seorang jenderal Dinasti Joseon dalam perang Tujuh Tahun dengan Jepang dimasa pemerintahan Raja Seonjo. Ia terkenal karena prestasinya dalam Pertempuran Haengju.

Meskipun merupakan keturunan pejabat tinggi, namun Gwon Yul tidak pernah terlibat dalam politik maupun militer hingga berusia 46 tahun. Saat invasi Jepang, para bangsawan direkrut untuk terlibat dalam perang. Ia menjadi pejabat militer dan menempati beberapa jabatan, kebanyakan sebagai komandan lokal dan mayor. 

Pada permulaan perang melawan Jepang tahun 1592, bersama komandannya, Yi Gwang, ia menghimpun 1000 milisi di dekat kota Namwon dan menuju ke Seoul untuk bergabung dengan pasukan inti. Yi Gwang akhirnya dikalahkan oleh Jepang, namun Gwon memimpin pasukannya ke Ichi dan berhadapan dengan pasukan Jepang yang dipimpin Kobayakawa Takakage. Pasukannya bertempur dengan sengit dan menang sehingga berhasil merebut kembali Provinsi Jeolla.

Pemerintah Joseon mendengar kepahlawanan Gwon Yul dan mengangkatnya sebagai gubernur provinsi itu. Kemudian Gwon Yul memimpin 2000 pasukannya ke Gyeonggi untuk merebut Seoul. Kekuatan pasukannya bertambah hingga mencapai lebih dari 10.000 orang dengan ikut bergabungnya milisi lokal dan para biarawan. Pasukannya kekurangan persediaan pangan sehingga Gwon berencana untuk mundur sementara ke markasnya, namun pihak istana tetap memerintahkannya untuk terus ke utara dan memerangi Jepang di Seoul. Gwon Yul belajar dari kekalahan Yi Gwang dengan menggerakkan pasukannya perlahan-lahan ke selatan dan berkemah di benteng Doksung (dekat Suwon). Jenderal Jepang, Ukita Hideie mendengar kabar itu langsung memimpin pasukannya menyerang benteng Doksung. Berkat kegigihan pasukan Gwon Yul dalam mempertahan diri, Hideie gagal merebut benteng itu dan akhirnya memutuskan mundur kembali ke Seoul. Gwon Yul lalu mengejar pasukan Jepang yang melarikan diri dan menyebabkan kekalahan besar di pihak lawan. Dalam pertempuran itu, pasukannya juga bertemu dengan pasukan Ming, Tiongkok, mereka pun bergabung dan menuju Seoul. Gwon Yul dan pasukannya kemudian berkemah di reruntuhan benteng Haengju. Walaupun milisi lokal, biarawan dan pasukan Tiongkok bergabung bersamanya, jumlah pasukannya sudah menyusut hingga kurang dari 10.000 orang. Kato Kiyomasa dan Ukita Hideie menyerang benteng itu dengan 40.000 pasukannya dengan tujuan memusnahkan pasukan Gwon Yul. Ukita yang tidak pernah secara langsung memimpin di garis depan, mengendalikan pasukannya dari benteng.

Patung Jendral Gwon Yul

Pertempuran Haengju dimulai pada pagi hari 12 Februari 1593. Pasukan Jepang yang kini sudah berjumlah sekitar 70.000 orang dipimpin Kato dan Ukita yang diperlengkapi dengan senapan mengepung benteng itu dan melancarkan serbuan besar-besaran. Pasukan Gwon Yul dan penduduk sipil di balik benteng berjuang dengan gigih sehingga pasukan Jepang menderita kerugian besar dan mundur. Lebih dari 10.000 pasukan Jepang terbunuh, Ukita dan Kato kabur bersama sisa pasukannya. Kemenangan ini menjadi salah satu kemenangan militer Korea yang terbesar dalam Perang Tujuh Tahun.

Gwon Yul tetap memegang jabatannya hingga negosiasi damai antara Ming Tiongkok dan Hideyoshi. Gwon Yul lalu dipindahkan ke Provinsi Jeolla, dan diangkat menjadi marsekal lapangan dan komandan kepala militer Korea. Dia sempat diberhentikan sebentar karena perlakuan buruknya terhadap tawanan perang, namun dipulihkan lagi tahun berikutnya. Dia memerintahkan komandan kepala angkatan laut Korea, Won Kyun untuk memerangi Jepang dalam Pertempuran Chilchonryang yang dimenangkan oleh Jepang. Namun Laksamana Yi Sunsin berhasil memenangkan kembali perang itu dalam Pertempuran Myongryang.

Tahun 1597, Gwon Yul dan komandan Tiongkok, Ma Gui berencana untuk berperang dengan Jepang di Ulsan, namun kepala komandan kepala Tiongkok itu memerintahkan Gwon Yul untuk mundur. Gwon kemudian mencoba untuk menyerang Jepang di Suncheon, namun sekali lagi ide ini ditolak oleh Tiongkok. Setelah perang usai, Gwon Yul mengundurkan diri dari semua jabatannya dan menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal Juli 1599. 

Gwon Yul dikenang sebagai seorang patriot dan salah satu komandan militer terbaik. Ia diakui dunia sebagai salah satu komandan militer terbaik di Asia Timur sepanjang masa.







8. JENDERAL GYEONG DAESUNG (KERAJAAN GORYEO)

Gyeong Dae-Seung (경대승) dilahirkan pada tahun 1154. Ayahnya bernama Gyeong Jin dari klan Gyeong Cheongju. Jendral Gyeong Dae-Seung adalah salah satu dari Tiga Jendral Besar yang berkuasa selama periode pertengahan Goryeo. Pada masa kecilnya, prajurit kerajaan bermoral rendah dan hidup dalam kemewahan, dan juga para perjabat sipil dan pemuka agama hidup secara berlebihan. Dia hidup pada masa pemerintahan Raja Uijong dan Raja Myeongjong dari Goryeo. 

Jenderal Gyeong Dae-Seung adalah jendral yang terkenal bijak dan adil. Ia bertekad untuk memperbaiki Kerajaan Goryeo dan membantu kemakmuran. Ia mulai masuk dalam pelatihan militer pada usia 15, dan melayani negara yang saat itu diperintah oleh diktator Yi Ui-bang dan Jeong Jung-bu. Ketika ayahnya meninggal, dia menjadi kepala keluarga dan mulai membantu orang miskin. Ia lalu menggunakan tentara pribadi ayahnya dan mulai membangun pasukannya sendiri. Pada usia 26, Jendral Gyeong Dae-Seung memimpin pemberontakan diktator Jeong Jung-bu. Jendral Gyeong Dae-Seung juga membunuh anak-anak sang diktator untuk menghapuskan jejak rezim. Kudeta itu dibantu oleh sahabat Jendral Gyeong Dae-Seung, yaitu Jendral Kim Ja-Gyuk. Kim Ja-guk ingin menaikkan Jendral Gyeong Dae-Seung di tahta Goryeo namun Jendral Gyeong Dae-Seung menolaknya karena baginya hal-hal seperti bukanlah tujuan awal-nya. Pemerintahan militer militer yang dipimpinnya merupakan era damai di Goryeo yang sering dilanda perang. 

Gyeong Dae-Seung menjadi sangat populer di kalangan masyarakat dan menerima nama, "Jendral muda yang benar." Popularitasnya di masyarakat membuat Raja Myeongjong Goryeo sangat iri dan mencap Jendral Gyeong Dae-Seung sebagai prajurit muda yang haus darah dan serakah. 

Dalam upayanya untuk memulihkan perdamaian, Jendral Gyeong Dae-Seung dihadapkan pada upaya pembunuhan dirinya, yang justru dilakukan oleh sahabatnya, Kim Ja-Gyuk, yang berusaha meracuninya. Namun upaya ini gagal. Jendral Gyeong Dae-Seung menjadi diktator militer Goryeo selama lima tahun sampai dia jatuh sakit (mungkin TBC). Ia meninggal pada 4 Agustus 1183. Kematian Jendral Gyeong Dae-Seung membuat Yi Ui-bang (mantan letnan Yi Ui-min) mengambil kekuasaan atas Goryeo dan membawa penderitaan panjang bagi Goryeo.

Aktor yang memerankan Jenderal Gyeong Dae-seung

Jenderal Gyeong Dae-seung diceritakan di drama dan film yang mengambil latar Raja Uijong atau Raja Myeongjong. Dia muncul dalam drama Age Of Warrior dan diperankan oleh aktor watak ternama, Park Yong-woo. 







9. PERDANA MENTERI MYEONGNIM DAP-BU (KERAJAAN GOGURYEO)

Myeongnim Dap-bu (명림답부) dilahirkan pada tahun 67. Ia tercatat sebagai Guksang pertama (국좌상, Perdana Menteri) Goguryeo. Ia juga merupakan seorang Jendral ternama pada masa itu. Dia hidup pada masa pemerintahan Raja Taejo, Raja Chadae, dan Raja Sindae.

Myeongnim Dap-bu merupakan Joui Seonin (조의 선인) di propinsi Yeonna, Goguryeo. Ia naik pangkat pada zaman pemerintahan Raja Taejo, dan menjadi pejabat istana ketika Taejo wafat. Taejo digantikan oleh Raja Chadae. Ketika Chadae naik tahta pada tahun 146, Myeongnim Dap-bu menghadapi banyak tantangan dan Goguryeo menderita di bawah pemerintahan seorang tiran. Akhirnya pada tahun 165, yaitu pada tahun ke-20 masa pemerintahan Raja Chadae, Myeongnim Dap-bu memimpin pasukan dan membunuh raja dengan dukungan beberapa Bangsawan dan pejabat istana. Pada usia 99 tahun, Myeongnim Dap-bu memiliki kontrol atas pemerintahan Goguryeo.

Myeongnim Dap-bu mengundang Pangeran Go Baek-go, adik lelaki Raja Taejo, untuk menjadi raja berikutnya. Go Baek-go menjadi raja ke-8 Goguryeo pada tahun itu dengan nama Raja Sindae, dan Myeongnim Dap-bu diberikan posisi Perdana Menteri, dan yang pertama yang menerima gelar itu di Kerajaan Goguryeo. Agenda utamanya adalah memperkuat otoritas raja, memperkuat militer, dan menghapus korupsi.

Myeongnim Dap-bu melayani dengan setia di bawah pemerintahan raja yang baru. Ia juga memimpin pasukannya mengalahkan pasukan Dinasti Han dalam Perang Jwa-won.

Myeongnim Dap-bu meninggal pada tahun 179 pada usia 113 tahun (112 tahun conversi Barat), setelah memimpin pasukan Goguryeo memenangkan perang dengan pasukan Han. Myeongnim Dap-bu melayani Goguryeo selama 60 tahun dimana ia aktif di dalam urusan-urusan kerajaan. Walaupun melakukan kudeta dan menduduki posisi tinggi namun tidak ada catatan sejarah yang menyatakan bahwa Myeongnim Dap-bu menyalahgunakan kekuasaannya, juga dia tidak pernah tercatat sebagai pemimpin yang kejam. Banyak sejarawan dan sarjana yang menyimpulkan bahwa Myeongnim Dap-bu merupakan seorang patriot dan seorang pahlawan besar bagi negaranya.








10. JENDERAL SHIN SUNG-GYEOM (KERAJAAN GORYEO)

Shin Sung-gyeom dilahirkan di Gwanghaeju (yang sekarang Chuncheon). Ia adalah seorang jenderal yang hidup di periode akhir Tiga Kerajaan Akhir Korea pada awal abad ke-10, namun ia justru lebih dikenal sebagai salah satu Jendral yang paling dihormati dari Goryeo. Shin Sung-gyeom dikenang sebagai salah seorang pengikut Taejo Wang Geon (Pendiri dan raja pertama Goryeo) yang paling setia dan dikenang sebagai seorang patriot yang mengorbankan jiwanya untuk Wang Geon.

Ketika Wang Geon yang bergabung dengan pasukan Gung Ye (pemberontak dari Silla) mendirikan kerajaan Taebong, Shin Sung-gyeom juga menjadi salah satu jenderal di Taebong. Ia juga adalah salah satu dari empat jendral Taebong yang menggulingkan Gung Ye (yang telah menjadi seorang tiran) pada tahun 916 M dan mengangkat Wang Geon menjadi penguasa yang baru. Ia bersama dengan Wang Geon mendirikan Kerajaan Goryeo ditahun 917, dan mendampingi Wang Geon dalam berbagai peperangan.

Pada tahun 927, pasukan Hu-Baekje dibawah pimpinan Gyeon Hwon menyerbu ibukota Silla, Gyeongju, dan menghukum mati Raja Gyeongae. Ia mengangkat Kim Bu sebagai Raja Gyeongsun yang pada kenyataannya hanyalah raja boneka lalu, mengalihkan sasaran selanjutnya pada Goryeo. Mendengar berita ini, Taejo menyerang pasukan Hu-Baekje yang sedang dalam perjalanan pulang di Gongsan, dekat Daegu. Namun pasukan Wang Geon mengalami kekalahan besar, dan terpaksa harus melarikan diri. Demi menyelamatkan Wang Geon, Shin Sung-gyeom menukar baju perangnya dengan Wang Geon agar Wang Geon dapat melarikan diri dari medan perang. Ketika Wangeon melarikan diri, Shin Sung-gyeom beserta pasukan pengikutnya berperang dengan berani melawan pasukan Hubaekje. Hubaekje lalu menggiring pasukan Shin Sung-gyeom ke dalam hutan sehingga pasukan Shin Sung-gyeom terjebak. Pasukan Hu-baekje yang mengira Shin Sung-gyeom adalah Wang Geon berusaha untuk membunuhnya. Shin Sung-gyeom akhirnya terkena panah dan terbunuh oleh pasukan musuh. Ia dipenggal dan kepalanya dikirim ke Gyeon Hwon, raja Hubaekje. 

Kematian Shin Su-gyeom mengakibatkan duka yang mendalam bagi Wang Geon. Walaupun dia tidak lama menikmati masa-masa awal pemerintahan Goryeo, namun ia dikenang oleh para keturunan Wang Geon sebagai jendral Wang Geon yang paling setia. Shin Sunggyeom secara besar dianggap sebagai pendiri Pyeongsan, klan Shin.

Tokoh Shin Sung-gyeom sering muncul dalam drama yang menceritakan tentang Raja Taejo Wang Geon dari Goryeo.







11. JENDERAL KIM SIMIN (KERAJAAN JOSEON)


Lukisan Jendral Kim Simin

Kim Simin (김시민) dilahirkan pada tahun 1554 di Provinsi Chungcheong. Ayahnya adalah Kim Chunggap (김충갑), keturunan generasi ke-12 dari jenderal terkenal semasa Dinasti Goryeo, Kim Banggyeong (김방경). Kim Simin adalah seorang jenderal dan patriot Joseon pada masa pemerintahan Raja Seonjo. Ia terkenal akan kepahlawanannya dalam perjuangannya yang heroik mempertahankan Kastil Jinju dari serbuan Jepang dalam Perang Tujuh Tahun atau Perang Imjin.

Karir militer Kim Simin diawali pada tahun 1578 ketika ia lulus ujian pemerintah untuk masuk militer dan diberi jabatan sebagai pelatih pasukan. Kondisi persenjataan maupun mental prajurit Joseon pada waktu itu sangat tidak layak dan ia merasa tidak puas dengan metode pelatihan yang ada. Karenanya, ia menghadap menteri perang untuk menyampaikan masalah ini dan mengingatkan bahwa negara akan terjerumus dalam bahaya besar bila dengan tentara yang tidak layak seperti sekarang ini. Namun sarannya tidak diindahkan oleh menteri perang dengan alasan saat itu adalah masa damai dan tidak akan ada krisis seperti itu. Walau ditolak, Kim masih berkali-kali mengajukan proposal untuk membentuk tentara yang tangguh, namun berkali-kali pula mendapat penolakan. Karena merasa pendapatnya tidak pernah didengar, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari militer. Di depan sang menteri perang, ia melepaskan seragam militernya, setelah mengembalikannya pada sang menteri, ia meninggalkan ruang pertemuan. 

Tahun 1583, Nitangae, salah satu kepala suku Jurchen (Manchu) memberontak terhadap pemerintah Joseon di Hoeryeong, Kim Simin kembali ke militer dibawah komando jenderal Jeong Eonsin. Sebagai wakil komandan, ia memberi kontribusi besar dalam menumpas pemberontakan suku Jurchen.

Tahun 1591, ia diangkat sebagai pejabat militer di Kastil Jinju. Setelah meninggalnya Yi Gyeong, jenderal penjaga kastil itu. Ketika Perang Imjin meletus kembali pada tahun berikutnya, Kim menjadi komandan penjaga kastil itu. Ia memerintahkan pembuatan 170 meriam ukuran besar dan kecil untuk memperkuat pertahanan kastil itu. Dalam perang, ia mengalahkan pasukan Jepang di Sacheon dan Goseong, serta menangkap seorang komandan mereka di Jinhae. Atas jasa-jasanya itu, ia diangkat sebagai komandan tertinggi pasukan Gyeongsang Timur. Setelah menerima jabatan itu, sekali lagi ia berjasa mengalahkan Jepang di Geumsan.

Jendral-jendral Jepang, Ukita Hideie dan Hosokawa Tadaoki, sepakat untuk mencaplok Kastil Jinju agar membuka jalan ke Provinsi Jeolla sehingga mereka dapat menyerbu pasukan gerilyawan pimpinan Gwak Jae-u yang bersembunyi di sekitar wilayah itu. Ukita juga bermaksud merebut kembali Changwon, sebuah benteng kecil yang menuju ke Kastil Jinju. Untuk itu, Jepang mempersiapkan 200.000 pasukannya untuk merebut Changwon dan Kastil Jinju. Setelah berhasil menduduki Changwon, pasukan Jepang mengarah ke Kastil Jinju. Mereka berharap kembali memperoleh kemenangan dengan mudah disana. Namun jenderal Kim Simin melawan mereka dan dengan gigih bersama 3800 orang yang terdiri atas prajurit dan rakyat. Sebelumnya Kim Simin baru saja memperlengkapi pasukannya dengan sekitar 170 pucuk senapan arquebus, setara dengan jumlah yang dimiliki Jepang. Ia juga telah melatih mereka menggunakan senjata itu dan yakin akan kesanggupannya mempertahankan kastil itu. Namun situasi sangat genting karena jumlah mereka kalah jauh dengan pasukan Jepang. 

Pasukan Jepang menyerbu kastil itu memakai tangga untuk memanjat tembok dan mengerahkan menara-menara penyerang untuk menduduki tempat yang tinggi. Pihak Kim Simin membalas serangan itu dengan tembakan meriam, panah dan senapan. Hosokawa mencoba strategi lain dengan menggunakan pasukan senapannya untuk melindungi pasukan yang memanjat tembok. Strategi ini tidak berhasil karena pasukan Kim Simin mengabaikan hujan peluru, mereka lebih fokus menghancurkan tangga-tangga Jepang dengan batu maupun kapak. Pasukan Jepang menderita kerusakan besar ketika pasukan Kim Simin menembakkan peluru ke arah pasukan mereka yang memanjat tembok.

Patung Jendral Kim Simin

Namun Kim Simin gugur pada hari ketiga pertempuran di Jinju setelah sebuah peluru mengenai dahinya. Pasukan Jepang terus menyerang pasukan Kim Simin yang baru kehilangan komandannya itu, mereka mempergencar serangan untuk menjatuhkan moral pasukan Korea. Situasi di kastil semakin kritis karena amunisi makin lama makin menipis. Namun sisa pasukan Kim Simin terus bertahan dan upaya Jepang untuk menaiki tembok masih belum membuahkan hasil meskipun dibantu pasukan senapan. Pasukan Kim Simin dibantu oleh pasukan milisi Korea yang tiba pada suatu malam dengan 3000-an gerilyawan. Namun jumlah mereka belum cukup untuk menandingi pasukan lawan. Maka Gwak Jae-u memerintahkan anak buahnya untuk mengalihkan perhatian musuh dengan membunyikan terompet dan membuat suara-suara gaduh. Pasukan Jepang mengira musuhnya mendapat bala bantuan besar sehingga tidak berani untuk mengambil risiko, mereka memutuskan untuk mundur dan membubarkan kepungan terhadap Kastil Jinju. Mundurnya pasukan Jepang membangkitkan semangat pasukan Korea, moral mereka untuk mengusir pasukan asing semakin membara. 

Tahun 1604, setelah berakhirnya perang dengan Jepang, Kim Simin yang wafat pada tahun 1592, secara anumerta mendapat gelar Sangnakgun (상락군) dan nama kehormatan Chungmu (충무) bersama dengan laksamana Yi Sunsin, pahlawan besar Korea lainnya.







12. JENDERAL KIM ISABU (KERAJAAN SILLA)


Lukisan Jendral Kim Isabu

Kim Isabu merupakan salah seorang jenderal dan politisi Silla pada abad ke-6, pada masa pemerintahan Raja Jijieung. Ia juga dikenal sebagai Taejong. 

Nama keluarganya ditulis sebagai Kim di dalam riwayat Samguk Sagi, meskipun banyak catatan sejarah hanya menyebutnya dengan nama Isabu. Ia merupakan generasi ke-4 keturunan Raja Naemul dari wangsa Kim, yang menjelaskan bahwa Kim Isabu berasal dari keluarga Kim. Namun di dalam Riwayat Samguk Yusa, namanya adalah Park I-Jong.

Pada tahun 505, Isabu ditunjuk sebagai gubernur (gunju) propinsi Siljik (Samcheok). Ia lalu ditunjuk menjadi gubernur di daerah yang lebih luas, Aseulla (Gangwon). Kim Isabu lalu melancarkan ekspedisi melawan Usan-guk tujuh tahun kemudian.

Kim Isabu berhasil mencapai posisi tinggi di militer Silla. Kim Isabu menjabat posisi ini dari tahun 541 sampai dengan tahun 562. Selama masa tersebut, ia memperluas wilayah Silla ke bekas wilayah kekuasaan Baekje dan Goguryeo, sampai ke Hamgyong. Kim Isabu jugalah yang memerintahkan penaklukan Daegaya sehingga seluruh Konfederasi Gaya bisa berhasil ditaklukan Silla. Dia menginginkan adanya persatuan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Korea. Kim Isabu juga berperan besarnya dalam sejarah Korea adalah menundukkan negara pulau Usan-guk yang kini dikenal sebagai Batu Liancourt (pulau Dokdo).

Bersama dengan Raja Jinheung, Kim Isabu dikenang sebagai salah satu peletak dasar unifikasi Silla.








13. JENDERAL IM GYEONG-EOP (JOSEON)

Lukisan Jendral Im Gyong-eop

Jendral Im Gyeong-eop dilahirkan pada tahun 1594 di Chungju pada masa perang Imjin, dan berasal dari keturunan seorang menteri tinggi. Im Gyeong-eop merupakan salah satu Jendral yang berkontribusi bagi Joseon selama perang Joseon-Manchu, ketika Joseon berada dibawah pemerintahan Raja Injo.

Karirnya didunia militer dimulai pada tahun 1618, ketika ia dan saudaranya lulus ujian militer. Im Gyeong-eop bergabung sebagai salah satu prajurit Joseon hingga meletusnya pemberontakan Yi Gwal pada tahun 1624. Saat itu Im Gyeong-eop ditempatkan di bawah komando Jendral Jeong Chung-shin. Im Gyeong-eop berjasa besar dalam memadamkan pemberontak Yi Gwal, sehingga dia dipromosi menjadi komandan resimen (첨 절제사).

Ketika Pasukan Manchu menyerang Joseon pada 1627, Im Gyeong-eop dikirim ke Pulau Ganghwa untuk membantu pertahanan, tapi pada saat ia tiba, perjanjian Joseon-Manchu sudah ditandatangani. Pada tahun 1630, seorang jenderal Ming, Liu Xingzhi, memasuki Korea dan mendirikan kemah di daerah antara dua istana. Im Gyeong-eop dikirim untuk mengawasi dan menekan mereka jika perlu. Tak lama kemudian Im Gyeong-eop diangkat sebagai Jendral Pertahanan Bagian Utara dan Hakim di Yongbyon yang bertanggung jawab atas pertahanan Benteng Gunung Beakma dan Puri Uiju. Ada beberapa pemberontak dari Ming yang menyeberangi perbatasan, dan dikalahkan oleh Im Gyeong-eop, sehingga ia dianugrahi gelar kehormatan dari Istana Ming.

Im Gyeong-eop sempat dicopot dari jabatannya pada 1634 karena melepaskan beberapa tahanan, tapi jabatannya dikembalikan dua tahun kemudian. Tak lama setelah Im Gyeong-eop kembali ke posisinya, pasukan Manchu menyerang Joseon. Im Gyeong-eop ditawan pasukan Manchu, namun ia sempat meloloskan diri dari Benteng Beakma dan meminta bala bantuan dari ibukota. Kim Ja-Jeom, seorang menteri yang ingin merebut takhta, memalsukan pesan dengan berkata bahwa pasukan Manchu sedang menuju selatan. Hal ini membuat pasukan Manchu dengan mudah menaklukkan benteng Namhansanseong (di mana raja telah melarikan diri ke) sehingga Raja Injo menyerah. Pada saat itu Im Gyeong-eop memindahkan pasukannya ke ibukota dan bahkan berhasil memenggal kepala salah satu Jendral Manchu, yang adalah keponakan dari Huang Taiji (Raja Manchu). Namun kemenangan itu sudah terlambat karena Raja telah menyerah. Im Gyeong-eop lalu dipanggil menghadap Kaisar Manchu karena memenggal kepala keponakannya, namun Im Gyeong-eop dibebaskan karena ia tidak menyadari bahwa Raja Injo telah menyerah. Raja Manchu juga sangat mengagumi pengabdian Im Gyeong-eop pada raja dan negaranya. 

Im Gyeong-eop selalu menyesali keadaannya. Ia berpikir jika ia memiliki setidaknya 20.000 tentara bukan pasukan kecil yang berjumlah 3.000 orang, maka dia akan menuju ke utara untuk menyerang Mukden dan memasuki ibukota Qing, yang mungkin telah mengubah hasil perang. 

Pada 1637, Kaisar Manchu meminta bala bantuan dari Joseon untuk mengalahkan pasukan Ming, dan Im Gyeong-eop yang dikirim. Namun, Im Gyeong-eop ingin membayar kekalahan Joseon selama Invasi. Diam-diam ia mengirim pesan kepada pasukan Ming untuk mengungkapkan rencana Manchu sehingga jatuh korban dalam jumlah besar dipihak Manchu.

Pada 1640, Im Gyeong-eop kembali dikirim sebagai bala bantuan ke Qing tapi sekali lagi ia menggunakan seorang biksu Buddha sebagai utusan ke Ming untuk membocorkan rencana Manchu. Tahun berikutnya ia kembali ke Seoul, namun pihak Qing yang mencurigainya mendesak raja untuk memecat Im Gyeong-eop. Namun, Im Gyeong-eop segera kembali posisi pemerintah yang lain.

Malapetaka mulai menghantui Im Gyeong-eop ketika pada 1642, seorang jenderal Ming yang pernah bersekutu dengan Im Gyeong-eop, menyerah kepada Manchu dan mengungkapkan hubungan Im Gyeong-eop dengan pasukan Ming. Manchu segera mengirim pasukan ke Korea untuk menangkap Im Gyeong Eop dan membawanya ke Beijing. Namun di provinsi Hwanghae, Im Gyeong-eop berhasil melarikan diri dan memasuki Kuil Buddha, ia menyamar sebagai seorang bhiksu, dan melarikan diri ke Ming setahun kemudian. Im Gyeong-eop bergabung bersama pasukan dari Ming. Namun, Jendral Ma Tenggao akhirnya menyerah kepada Manchu. Im Gyeong-eop mulai merencanakan untuk melarikan diri, tetapi diserahkan kepada pasukan Manchu oleh bawahannya, Han Sa-rip sehingga dia dibawa ke Beijing. 

Disaat yang sama di Joseon, seorang menteri bernama Shim Gi-won (심기원) mencoba melakukan kudeta, sehingga Raja Injo meminta Im Gyeong Eop kembali ke Joseon. Namun dalam perjalanan kembali, Im Gyeong Eop dibunuh oleh tentara bayaran Kim Ja-Jum, yang merasa terancam jika Im Gyeong-eop kembali di ibukota. Im Gyeong-eop wafat 1646. Hingga akhir hayatnya, dia memberikan pengabdian yang besar bagi raja dan negaranya.

Pada pemerintahan Raja Sukjong ditahun 1697, Im Gyeong Eop mendapat gelar anumerta dan ada kuil yang dikhususkan untuk dia dikampung halamannya di Chungju.







14. LAKSAMANA KANG YI-SIK (KERAJAAN GOGURYEO)

Lukisan Laksamana Gang I-sik

Gang I-sik adalah salah satu Laksamana besar dari Goguryeo yang berjasa besar dalam perang antara Gogureyo-Sui. Ia adalah salah satu jendral kepercayaan Eulji Mundeok, Jendral tertinggi Goguryeo saat itu. 

Pada tahun 598, Raja Yeongyang dari Goguryeo melancarkan invasi gabungan dengan Malgal melawan Dinasti Sui, China di pos terdepan serta perbatasan yang sekarang berlokasi di propinsi Hebei. Kaisar Wendi dari Sui memerintahkan putra bungsunya, Yang Liang (dibantu oleh wakil perdana menteri Gao Jiong), dan Laksamana Zhou Luohou, untuk menguasai Goguryeo dengan pasukan dan angkatan laut sejumlah 300,000 orang. Setelah pasukan Sui menyeberangi Sungai Liao, sebuah pasukan kecil dikirimkan untuk menyerang kota Goguryeo di Liaodong, namun Panglima Tertinggi Eulji mengirim Laksamana Gang I-sik dan pasukannya untuk menghadang dan mengusir mereka. Karena hujan lebat, pasukan Sui hanya melancarkan serangan kecil. Hujan lebat itu menghambat laju pasukan maju dan menghambat transportasi. Serangan konstan oleh pasukan Goguryeo dan wabah menyebabkan kerugian yang sangat besar. Yang Yang akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan pasukan angkatan laut Zhou. Angkatan laut Zhou juga mengalami tantangan mereka sendiri, bersaing dengan laut yang kasar, kehilangan banyak kapal meskipun tinggal dekat dengan garis pantai. Setiap kali mereka berlabuh, pasukan Goguryeo dibawah pimpinan Gang I-sik akan muncul untuk menyerang para kelasi Sui. Pasukan tersebut disibukkan di dalam perang melawan pasukan Goguryeo dengan jumlah 50,000 orang yang dipimpin oleh Laksamana Gang I-sik, diperkirakan lokasi yang sekarang adalah Laut Bohai. Pasukan Sui mengalami kekalahan yang besar.

Pasukan Sui akhirnya dapat dikalahkan, baik di laut maupun di darat. Dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa sekitar 90% dari pasukan Sui binasa. Kerugian Goguryeo dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dialami oleh Sui. Jendral Yang Yang tidak memiliki pilihan lain selain mundur.

Pada tahun 612, Kaisar Sui Yangdi memerintahkan persiapan untuk perang melawan Goguryeo. Pasukan yang dikumpulkan pada akhir tahun itu merupakan yang terbesar dalam sejarah (seperti dicatat di dalam Buku Sui), yaitu sekitar 1.133.800 pasukan tempur. Raja Yeongyang dari Goguryeo menunjuk Gang I-sik sebagai Komandan Tertinggi darat dan laut (수륙양군병마도원수).

Pasukan Sui dan angkatan lautnya melancarkan serangan yang kuat. Eulji Mundeok, panglima tertinggi lainnya, berhasil memukul mundur pasukan Sui. Jenderal Eulji memancing pasukan Sui menyeberangi sungai yang dangkal, padahal sebenarnya air sungai itu sudah dibendung. Ketika hampir seluruh pasukan Sui berada disungai, bendungan itu lalu dijebol oleh pasukan Goguryeo sehingga memusnahkan hampir seluruh pasukan Sui. Kemenangan atas Dinasti Sui di Salsu menjadi Goguryeo pemenang di dalam perang itu, sedangkan Dinasti Sui mulai hancur dari dalam dan akhirnya runtuh karena perselisihan internal.

Jenderal Gang I-sik wafat pada masa pemerintahan Raja Yeongnyu diusia yang sangat lanjut. Ia merupakan leluhur dari klan Gang di wilayah Jinju.




*Beberapa paragraf dan kalimat dalam artikel ini disadur dari wikipedia.org


Artikel yang berhubungan dengan Para Jenderal Korea:
PARA PUNGWOLJU HWARANG
Kerajaan Silla
Para Raja Silla Pada Periode Awal
Kerajaan Goryeo Pada Periode Kekacauan Politik
Dinasti Goryeo Periode Akhir
Dinasti Joseon Pada Periode Kekacauan Politik

PANDUAN SEJARAH:
PANDUAN SEJARAH: DRAMA "HWARANG: POET OF YOUTH" ATAU "HWARANG, THE BEGINING" (KBS 2017)
PANDUAN SEJARAH DRAMA: "SCARLET HEART RYEO" (SBS 2016)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture: wikipedia.org (lukisan resmi kerajaan), www.koreandrama.org, oyongwihardjo.wordpress.com, http://english.gwanak.go.kr/www.topicsinkoreanhistory.comfolkency.nfm.go.kr, SBS, MBC, KBS

Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media


Daftar Pustaka:
- Korea Travel Guide; Korea Be Inspired
- Shaping Korea For 21st Century; Tariq Hussein
- Korea Food & Stories; Korea Tourist & Culture Department
- East Asia And 15th-19th Century Joseon; Kang Sung-ho; Sunchon National University
- Joseon's Royal Heritage (500 Year of Splendor); Korea Essential No.7; Korea Foundation
Byeong-hee; Journal Of Korean Astronomical Society; 2012
- Portrait Of The Joseon Dynasti; Journal Of Korean Art Vol.5; 2011
- King Sejong The Great; Yonghwa; Yonghwa Publication; Pohang, Korea; 2007
- The History Of The Hwarang-do
- Homosexuality In Ancient And Modern Korea; Kim Young-gwan, Ahn Sook-ja; 2006
- The Place of Hwarang Among Special Militery Corps of Antiquity; Maurizio Riotto; The Journal Of The Northeast Asia History; Napoli, Italia; 2012
- The Three Kingdom Of The Ancient Of KoreaIn The History Of Taekwondo

Sumber Website:
www.wikipedia.com
www.newworldenyclopedia.org
www.inisajamostory.blogspot.com
www.kbs.co.kr
http://english.gwanak.go.kr/


Beberapa paragraf disadur dari:
www.wikipedia.com
(dengan beberapa perubahan)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------