DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Tuesday 20 February 2018

PETRUS KAFIAR, GURU PERTAMA DARI PAPUA (bagian 1)



PERJUANGAN MENJADI GURU


Nama lahir Petrus Kafiar adalah Noseni. Bagi masyarakat Papua atau masyarakat non-Papua yang pernah tinggal di Papua seharusnya tidak asing dengan nama Petrus Kafiar. Beliau adalah guru pertama yang asli Papua. Beliau melayani orang-orang Papua di bidang agama, pendidikan, dan pembentukan moral dimasa-masa yang sangat sulit, yang menjadi salah-satu era tersulit di Papua pada masa lalu.

Ketika itu, belum ada orang-orang dari Jawa dan Sumatera yang mau ke Papua, atau setidaknya bisa ditemukan di Papua. Hanya orang-orang Sulawesi (suku Minahasa/Manado, Bugis, Makassar, dan Sangir) dan orang Ternate yang bisa ditemukan di Papua, itupun hanya ditemukan di pesisir-pesisir barat, di sekitar Sorong dan Fak-fak, sedangkan di pesisir utara baru bisa ditemukan di Mansinam. Sebagian besar orang Makassar, Bugis, dan Ternate datang ke Papua adalah sebagai pelaut yang kapalnya disewa oleh perusahaan Belanda atau oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga membuat mereka bukanlah pemukim tetap. Hanya sedikit yang menjadi pemukim-pemukim tetap di Papua. Para pendatang dan pemukim tetap dari Sulawesi dan Ternate biasanya adalah mantan budak yang ditebus oleh para misionaris Belanda dan Jerman dengan alasan kemanusiaan. Orang Minahasa/Manado (Sulawesi Utara) sangat mahir mengolah kayu-kayu dari pohon kelapa sehingga mereka dipekerjakan sebagai tukang kayu dan tukang bangunan, sedangkan orang Makassar dan Bugis sangat berpengalaman sebagai pelaut dan pembuat kapal sehingga mereka biasanya dipekerjakan untuk membuat perahu dan berlayar membantu para missionaris. Adapun orang Ternate dan Ambon adalah orang-orang yang paling berpengalaman dengan orang-orang Eropa secara turun-temurun sehingga mereka sering bekerja sebagai tangan kanan para missionaris. Orang-orang ini sudah menjadi orang merdeka, yang tetap mau bekerja dengan para missionaris sebagai bentuk balas budi dari mereka.

Para pemukim baru sering menemui kemalangan sebab pada masa itu alam dan masyarakat Papua masih sangat ganas. Tidak sedikit dari mereka tewas karena wabah penyakit, seperti wabah cacar dan flu, dan juga penyakit-penyakit khas Pulau Papua, khususnya Malaria. Selain menghadapi wabah penyakit, mereka juga menghadapi ganasnya alam Papua, seperti badai yang sering melanda pemukiman di daerah pesisir utara yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Cuaca juga sering membuat para pelaut terdampar di pulau-pulau tidak berpenghuni, atau yang lebih parah adalah terdampar di pulau berpenghuni lalu dirampok dan dibunuh.

Situasi seperti itulah yang dihadapi dan yang membesarkan Petrus Kafiar. Latar belakang seperti itu jugalah yang memotivasi Petrus Kafiar untuk melayani rakyatnya melalui agama (Kristen) dan pendidikan.




MASA KECIL DI KEPULAUAN BIAK

Kepulauan Biak

Noseni berasal dari sub-suku Armbor dari suku besar Biak dan dilahirkan di Pulau Supiori. Suku Biak adalah suku terbesar di Papua yang mendiami seluruh Kepulauan Biak dan juga kepulauan Raja Ampat. Mereka dikenal sebagai salah satu suku petarung dan pelaut ulung dari Papua. Fisik tubuh mereka lebih tinggi dari rata-rata tinggi orang Papua, dan juga rata-rata memiliki tubuh yang lebih tegap.

Pulau Supiori, yang menjadi tempat kelahiran Petrus Kafiar adalah bagian dari Kepulauan Biak. Kepulauan Biak sendiri terdiri dari tiga pulau utama yaitu Pulau Biak, Pulau Supiori, dan Pulau Numfor, dan kemudian Kepulauan Padaido. Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak adalah Schouten Eilanden (kepulauan Schouten), sesuai dengan nama orang Belanda yang pertama mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Kepulauan Biak terletak di Teluk Cenderawasih (0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT) dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di atas permukaan laut (id.wikipedia/biak) dan lokasinya dekat dengan garis katulistiwa. Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara rata‐rata 86,3% (id.wikipedia/biak) sehingga membuat kepulauan ini menjadi tempat terpanas di Papua. Sejak Papua bergabung dengan wilayah Republik Indonesia, wilayah administratif kepulauan Biak hanya memiliki satu kabupaten yang bernama Kabupaten Biak-Numfor (yang terdiri dari Pulau Biak, Pulau Supiori, dan Pulau Numfor, dan kemudian Kepulauan Padaido) namun sekarang Kepulauan Biak telah terpecah menjadi dua kabupaten (Kabupaten Biak-Numfor dan Kabupaten Supiori) setelah masyarakat wilayah Pulau Supiori memilih memisahkan diri dari pemerintah Kabupaten Biak-Numfor.



Suku Urmbor dan Kehidupan di Kampung Maudori

Pada masa itu, orang-orang Papua masih gemar berperang satu-sama lain, saling merampok pemukiman-pemukiman suku-suku lain dan juga sering menjadi bajak laut, terutama suku-suku di pantai utara. Diantara suku-suku di pantai utara Papua, suku yang paling terkenal sebagai pelaut tangguh dan bajak laut yang ditakuti adalah suku Biak, sukunya Petrus Kafiar. Petrus Kafiar sendiri berasal dari sub-suku Urmbor, yang dipandang oleh suku-suku Biak lainnya sebagai suku terkuat sebab tubuh orang Armbor lebih tinggi, besar dan tegap, dan letak geografis kampung mereka juga sangat sulit dicapai (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 5, tahun 2008).

Suku Armbor adalah sub-suku di Biak yang mendiami Pulau Supiori, tepatnya di Teluk Maudori yang letaknya di bagian barat Pulau Supiori. Pulau Supiori adalah salah-satu pulau yang mayoritas penghuninya adalah suku Biak, selain Pulau Numfor dan pulau-pulau di Raja Ampat. Letak pulau ini adalah disisi utara Pulau Biak dan berdempetan dengan Pulau Biak. Pulau ini juga menghadap langsung ke Samudra Pasifik. Karena Suku Urmbor mendiami Teluk Maudori maka nama kampung mereka disebut Kampung Maudori. Orang-orang Urmbor membuat pemukiman Kampung Maudori diareal tanah datar yang dipagari oleh bukit-bukit batu yang sangat terjal yang memisahkan Kampung Maudori dan pesisir pantai (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 5, tahun 2008). Bukit-bukit terjal itu juga memagari sisi lain dari Kampung Maudori. Pesisir pantai Maudori sendiri dilindungi oleh muara sungai yang luas dan dalam serta pulau-pulau yang garis terluarnya dilindungi dan dihubungkan oleh selat yang sempit dan berarus deras. Dengan letak geografis seperti ini, Suku Armbor sangat sulit diserang sehingga membuat tempat mereka menjadi sangat aman. Mereka juga tidak kekurangan makanan sebab wilayah mereka kaya akan hasil laut terutama ikan, penyu, dan kerang laut. Jika kampung mereka kekurangan makanan, maka mereka cukup menyeberang ke Pulau Myosbefondi disisi barat laut Pulau Supiori untuk mengambil, pisang, sagu, dan ubi-ubian (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008). Kondisi yang aman dan tergolong makmur inilah yang membuat orang-orang Urmbor hidup tenang dan memilih menjadi suku yang defensif ketimbang agresif pada suku lain.



Keluarga Noseni

Noseni adalah putra bungsu kepala suku sekaligus panglima perang suku Armbor saat itu. Sebagai kepala suku, ayahnya sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya Nama lahirnya adalah Noseni, sedangkan nama asli ayah dan ibunya tidak diketahui. Gelar ayahnya yang diberikan oleh Sultan Ternate adalah “Sengaji”, yang dalam lafal orang Biak disebut sebagai “Senadi” atau “Sanadi”. Nama “Sanadi” kemudian menjadi salah-satu nama marga di Biak. Nama asli ibunya tidak diketahui tetapi nama baptisnya adalah Lidia, yang diambil dari nama ibu angkat Petrus Kafiar di Mansinam (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 75, tahun 2008). Kakak tertuanya dinamai “Jurumudi” yang dalam lafal orang Biak disebut sebagai “Dermudi”. Nama “Jurumudi” berarti pengemudi perahu atau pengemudi kapal (Inggris: helmsman). Nama ini diberikan Sanadi pada putra sulungnya sepulangnya beliau dari Tidore sebagai kenang-kenangan akan kunjungannya ke Tidore (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008) sebab banyak orang Ternate yang menjadi pelaut, dan Sanadi menganggap profesi seorang jurumudi kapal sangat gagah. Nama baptis Dermudi sendiri adalah Konstantein. Nama kakak laki-laki kedua dan juga nama saudari Noseni tidak diketahui.

Sama seperti masyarakat Papua dan suku Biak pada umumnya ketika itu, keluarga Noseni menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dewa atau roh yang disembah ayahnya diukir dalam wujud sebuah patung, yang dinamakan “Patung Mon”.

Patung Mon adalah salah-satu patung nenek moyang dari Papua. Patung Mon biasanya dimiliki oleh kepala suku atau seorang ‘hobatan’ (petenung, dukun gaib). menurut kepercayaan pada jaman itu, Patung Mon dapat ditanyai untuk dimintai petunjuk, dan dia akan bergerak jika setuju. Roh dalam Patung Mon juga bisa merasuki si penanya, enggoncang-goncangkan tubuh si penanya, dan membuat si penanya meracau atau juga membuat si penanya mengucapkan kata-kata yang dipercaya sebagai kata-kata dari roh Patung Mon. Proses yang diyakini seperti inilah yang membuat orang-orang hobatan/dukun di Biak disebut juga “Snon Bena Mon”, yang artinya “orang ber-roh/petenung dari Mon” (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 6, tahun 2008).



Bencana di Kampung Maudori & Kematian Ayahanda Noseni

Suku Urmbor dan Kampung Maudori terkenal sangat sulit diserang. Wilayah mereka makmur sebab kaya akan hasil pertanian dan komoditas laut, dan aktif berdagang dengan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Karena berhadapan langsung dengan Samudra Pasifik, wilayah Maudori memiliki banyak komoditas laut yang langka di wilayah-wilayah lain. Kokohnya benteng pertahanan alam di Kampung Maudori membuat suku-suku lain kesulitan menyerang kampung ini, tetapi juga membuat mereka selalu penasaran, dan menunggu kesempatan terbaik untuk menyerang.

Pada tahun 1880, tujuh kapal suku Urmbor melaut menuju ke Pulau Myosbefondi dengan tujuan mengambil bahan makanan di kebun-kebun mereka di Pulau Myosbefondi. Tujuh kapal suku Urmbor ini membawa banyak pemuda-pemuda Urmbor, dan merupakan pemuda-pemuda terkuat yang bertugas sebagai prajurit. Pada masa itu, mereka dianggap sebagai Ksatria-ksatria Urmbor dari suku Biak yang paling kuat. Mereka berlayar menuju Pulau Myosbefondi tentunya untuk memenuhi kembali lumbung-lumbung mereka sebab walau Kampung Maudori memiliki lahan subur tetapi luasnya lahan pertanian masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk karena tanah pertanian di Pulau Supiori sangat minim. Sama seperti Pulau Biak, Pulau Supiori adalah pulau yang terbentuk dari batu karang sehingga lahan pertanian di pulau ini sangat terbatas. Walau demikian, pulau-pulau disekitar Pulau Supiori dan Pulau Biak memiliki tanah yang cukup untuk ditanami tanaman-tanaman pangan. Para pemuda Urmbor itu berlayar untuk memenuhi lumbung makanan kampung mereka.

Usai mengambil makanan dari Pulau Myosbefondi mereka lalu menyeberang kembali untuk pulang. Oleh karena itu, mereka harus melewati Teluk Maudori. Malang bagi para pemuda perkasa itu sebab cuaca berubah menjadi sangat buruk dan gelombang laut-pun sangat tinggi. Tujuh kapal yang ditumpangi mereka-pun terhempas gelombang dan tenggelam. Para pemuda Urmbor tersebut tidak pernah kembali lagi dan diyakini telah tewas ditelan gelombang laut. Jasad mereka juga tidak pernah ditemukan.

Kabar malapetaka itu mengguncang kampung Maudori dan menjadikan masa-masa itu menjadi hari-hari perkabungan yang panjang dan sangat menyedihkan sebagai banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat musibah itu, apakah kehilangan anak, ayah, cucu, adik, kakak, atau suami yang menjadi salah-satu dari para pemuda yang hilang ditelan gelombang.

Kabar malapetaka dari Maudori ini juga menyebar keseluruh Pulau Supiori dan Pulau Biak. Diluar kampung Maudori, musibah ini justru disambut dengan sukacita sebab bagi mereka kampung kuat itu sudah kehilangan ksatria-ksatria mereka dan menjadi sasaran berikutnya yang akan diserang.

Musibah ini membuat ayah Noseni sebagai kepala kampung menjadi sangat syok dan bahkan jatuh sakit. Beliau sangat khawatir pada pertahanan kampungnya sebab sebagian besar pemuda terkuat adalah orang-orang yang hilang saat pelayaran itu. Walau masih ada pemuda-pemuda lain yang juga adalah ksatria-ksatria kuat tapi jumlah mereka sudah tidak banyak dan dikhawatirkan akan kalah jika ada sejumlah besar perompak yang menyerang. Karena terlalu khawatir, ayah Noseni menjadi tertekan dan jatuh sakit.

Tidak diketahui apa penyakit ayah Noseni, tetapi sakitnya sangat serius dan semakin parah. Semua tabib dikampung dikumpulkan untuk mengobati penyakit ayahnya ini. Mereka berusaha mengobatinya dengan semua prosedur pengobatan tradisional yang mereka ketahui. Berbagai obat herbal Papua, yang terdiri dari berbagai daun, kulit dan akar pohon, dan umbi-umbian diberikan pada ayah Noseni, tetapi semakin banyak obat yang mereka berikan semakin parah penyakit ayahnya. Akhirnya para tabib kampung sampai pada satu kesimpulan bahwa penyakit ayahnya ini akan berujung pada maut. Untuk itu, mereka menganjurkan agar keluarga Noseni segera memanggil orang hobatan (petenung atau dukun gaib) untuk mengobati ayah Noseni dengan bantuan ‘roh halus’. Orang-orang hobatan lalu dikumpulkan bersama dengan patung-patung mon mereka. Mereka lalu menggunakan berbagai cara gaib dan menanyai patung-patung mon mereka untuk memperoleh jawaban tentang asal muasal penyakit ayah Noseni dan bagaimana cara mengobatinya tetapi hasilnya nihil dan kondisi ayah Noseni justru memburuk dan tidak sadarkan diri. Tapi, orang-orang hobatan ini, dan juga keluarga Noseni, tidak mengurungkan usaha mereka menyembuhkan ayah Noseni. 

Sayangnya, ayah Noseni akhirnya meninggal dunia.

Setelah ayah Noseni meninggal maka posesi adat-pun dilakukan. Rambut para wanita dalam keluarga, yaitu sang istri yang menjadi janda, saudara perempuannya, dan juga putrinya, dicukur habis sebagai tanda berkabung. Hari perkabungan-pun ditetapkan sesuai kebiasaan pada saat itu yaitu hari-hari sebelum pekuburan jenasah (4-5 hari), hari pemakaman jenasah yang ditandai oleh sebuah upacara kebesaran pengiringan jenasah ke tempat peristirahatan terakhir, dan kemudian masa-masa berkabung setelah jenasah dimakamkan, dan lalu diakhiri dengan pesta peringatan bagi almarhum.

Selama awal masa-masa berkabung, sang janda dan saudari ayah Noseni diberikan kain hitam dab kain putih pada leher dan tangan yang diambil dari baju-baju mendiang sebagai tanda cinta pada almarhum dan sebagai tanda keluarga yang berkabung. Pada masa ini, seluruh handai taulan ditempat yang jauh berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum dan untuk menghibur keluarga almarhum. Dan, ketika hari pemakaman tiba maka jenasah almarhum ditekuk kakinya dengan lutut mengarah keatas (karena kepercayaan saat itu bahwa jika kaki jenasah dibiarkan lurus maka kematiannya akan diikuti kematian anggota keluarga yang lain), dan juga mata almarhum ditutupi oleh kepingan-kepingan piring atau juga kulit kerang dengan tujuan agar tidak bisa melihat orang yang datang melayat yang dipercaya akan membahayakan hidup orang yang melihat matanya (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 11, tahun 2008).

Pada hari pemakaman, maka jenasah akan diiringi oleh rombongan keluarga, kerabat, dan orang sekampungnya hingga tiba dipemakaman dan dimakamkan. Setelah dimakamkan maka acara perkabungan masih terus berlangsung bagi keluarga almarhum dan dilanjutkan oleh pemindahan kerangka almarhum yang dilakukan setelah para tetua menghitung waktu sebagai perkiraan bahwa tubuh almarhum ayah Noseni telah hancur bersatu dengan tanah dan hanya tersisa kerangkanya saja. Kerangka almarhum ayah Noseni lalu dipindahkan ke Pulau Myosbefondi dengan diantar oleh sebagian orang besar dewasa dari Kampung Urmbor yang lalu meletakan kerangka almarhum bersama dengan kerangka leluhur-leluhur yang telah meninggal.

Orang-orang yang mengantar jenasah tidak langsung pulang melainkan tinggal di Pulau Myosbefondi untuk beberapa waktu karena harus melakukan doa-doa dan juga untuk menunggu angin yang baik agar bisa berlayar dengan selamat. Sedangkan, orang-orang dewasa lainnya yang tetap tinggal di Kampung Urmbor juga melakukan posesi lainnya sesuai dengan adat orang Urmbor saat itu, yaitu semua harta benda milik ayah Noseni, selaku kepala suku, dihancurkan termasuk rumah perkabungan, dan perabotan termasuk piring-piring besar yang berharga. Pohon-pohon pisang, pohon kelapa, dan tanaman-tanaman milik ayah Noseni juga ditebang dan dibuang. Hal ini dilakukan karena saat itu suku Urmbor menganggap semua harta benda itu sudah tidak berguna sebab pemiliknya sudah meninggal sehingga semua harus dimusnahkan, sama seperti tuannya yang sudah tiada. Hal yang sama juga berlaku pada semua benda yang dipakai sebagai tanda berkabung oleh keluarga almarhum (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 9, tahun 2008). Kemudian, sesuai adat saat itu ibu Noseni, sebagai janda ayah, lalu dinikahkan kepada saudara laki-laki ayahnya meskipun paman Noseni itu sudah memiliki istri sebab menurut adat saat itu adalah ibu Noseni sudah menjadi milik keluarga ayah Noseni sebab mas-kawinnya telah dibayar lunas.

Noseni melihat semua itu dengan hati yang diliputi kekecewaan yang luar biasa pada yang dianggap olehnya sebagai ‘yang mahakuasa’ sebab tidak mampu menyelamatkan nyawa ayahnya. Dia lalu mengambil sebilah parang dan mengambil patung nenek-moyang yang dikeramatkan, lalu membelah-belahnya dan dibuang olehnya ke laut, sambil berkata,

Aku sudah tidak mempercayaimu lagi mulai dari sekarang, sebab engkau tidak mampu menyelamatkan nyawa ayahku dari bahaya maut!” (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 9, tahun 2008).

Saat itu Noseni baru berusia tujuh tahun.

Apa yang dilakukan oleh Noseni ini dianggap sebagai pembawa malapetaka oleh orang-orang suku Urmbor, dan mereka meyakini Noseni akan mendapat kesialan seumur hidupnya. Bagi mereka, apa yang akan terjadi pada Noseni setelah hari itu hanyalah permulaan malapetaka dalam hidup Noseni.

Keluarga Noseni dan seluruh Kampung Urmbor masih berkabung atas kematian kepala keluarga dan kepala suku. Kabar dukacita ini tersiar luas ke seluruh penjuru Kepulauan Biak. Rupanya, ada orang-orang jahat yang ingin mengambil kesempatan dalam kesedihan yang dialami oleh orang-orang di Kampung Urmbor.

Ketika itu, masa-masa perkabungan masih berlangsung namun hanya menyisakan posesi terakhir, yaitu pesta peringatan bagi almarhum ayah Noseni. Sebagian besar orang dewasa masih ada di Pulau Myosbefondi menanti waktu dan cuaca yang tepat untuk pulang sehingga hanya sebagian kecil pria dewasa yang tinggal di Kampung Urmbor bersama para wanita dan anak-anak disana.

Tiba-tiba, munculah perahu besar yang membawa banyak orang, yang turun di Pantai Maudori dengan persenjataan lengkap, berupa panah, parang, dan tombak. Mereka adalah para perompak yang datang dari Kampung Korido untuk menjarah Kampung Urmbor.

Lamanya masa perkabungan ayah Noseni dan juga kebiasaan orang Urmbor dalam memakamkan jenasah sudah diketahui oleh banyak kampung di Kepulauan Biak sehingga ketika kematian seorang kepala Kampung Urmbor itu terdengar oleh kampung-kampung lain, termasuk oleh para perompak, maka hal itu justru memperpanjang masa-masa berkabung di Kampung Urmbor.

Orang-orang Korido tersebut menyerbu Kampung Urmbor dari seluruh sisi yang mengarah ke pantai yang dihadapan Kampung Urmbor. Jumlah para perompak terlalu banyak sehingga para laki-laki dewasa yang tersisa di Kampung Urmbor tidak mampu menahan serbuan mereka dan dikalahkan oleh para perompak. Para wanita dan anak-anak terpaksa lari dan menyembunyikan diri ke hutan sehingga para perompak-pun menjadi lebih leluasa menjarah seluruh kampung.

Dalam kekacauan itu, Noseni menjadi salah-satu orang yang terlambat lari ke hutan, dan Noseni-pun diculik oleh para perompak itu.



Masa Penawanan di Korido

Serbuan orang-orang Korido ke Maudori berlangsung dengan sangat cepat. Setelah puas menjarah, mereka lalu meninggalkan Kampung Urmbor sesegera mungkin untuk mendahului kepulangan orang-orang Urmbor lainnya dari Pulau Myosbefondi yang jumlahnya lebih banyak dan rata-rata adalah para petarung tangguh. Kepergian mereka disertai oleh nyanyian-nyanyian perang sebagai ungkapan kemenangan mereka.

Tidak banyak catatan mengenai serbuan ini, baik dari kesaksian Noseni maupun dari kesaksian saudara-saudaranya, namun cerita-cerita mereka mengindikasikan bahwa hanya Noseni seorang yang tertawan dalam penyerbuan itu.

Diatas perahu yang mengangkut Noseni dan para penculiknya, Noseni pun mulai ditanyai oleh mereka perihal nama dan nama keluarganya. Noseni-pun memberitahukan namanya dan asal keluarganya, sehingga membuat para penculiknya terkejut. Pada masa itu, menurut adat setempat bukanlah hal yang biasa-biasa saja jika anak seorang kepala suku diculik sebab suku korban penculikan itu pasti akan membalas dendam. Para penculik Noseni memiliki pikiran untuk mengembalikan Noseni kembali ke Kampung Urmbor dengan jalan mengajukan tebusan. Cara itu adalah yang paling aman bagi para penculik untuk mengembalikan Noseni, namun saat itu mereka sudah berlayar terlalu jauh dari Kampung Urmbor dan sangat berbahaya jika mereka kembali, sebab selain masalah cuaca, keselamatan mereka juga terancam oleh orang-orang Urmbor yang kemungkinan sudah kembali dari Pulau Myosbefondi.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tetap membawa Noseni ke Korido.

Tibalah Noseni di Kampung Korido. Kampung ini adalah kampung yang asing bagi Noseni sebab selain tidak pernah mengunjungi kampung ini, tempat itu juga sangat jauh dari Kamupung Urmbor. Saat itu, nasib Noseni belum jelas sebab mereka masih khawatir menahan dia namun mereka juga tidak tahu bagaimana caranya untuk mengembalikan Noseni, sebab jika mereka ingin berlayar ke arah Urmbor maka saat itu mereka harus melewati daerah Sowek wilayah sub-suku Arwakon, sukunya ibu Noseni. Ini berbahaya bagi mereka sebab sesuai dengan kebiasaan pada masa itu, orang Arwakon yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Noseni pasti juga akan menuntut balas, dan tentunya kabar mengenai hilangnya Noseni sudah terdengar oleh mereka saat itu.

Tidak beberapa lama setelah Noseni tiba di Kampung Korido, salah seorang warga Kampung Korido yang dulunya ikut serta menyerbu Kampung Urmbor tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang-orang Korido lalu menganggap bahwa kematian orang itu adalah karena karena di bunuh oleh ‘suanggi’ (jin) yang dikirim oleh orang-orang Urmbor untuk membalas penyerbuan orang Korido. Kematian orang tersebut membuat orang-orang Korido sepakat bahwa Noseni tidak perlu lagi dikembalikan ke Urmbor sebab ‘nyawa sudah dibayar dengan nyawa’. Nasib Noseni-pun kini menjadi jelas, yaitu sebagai budak orang Korido.

Sebagai seorang budak, Noseni harus melakukan banyak hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang bocah berusia tujuh tahun. Dia harus mengangkat air padahal tempat air bersih di pulau itu sangat jauh sebab seluruh pulau itu terbentuk dari karang. Dia harus mencari kayu bakar dihutan, juga ikut melaut sebagai penimba air atau pemegang kemudi (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 15, tahun 2008). Pekerjaan-pekerjaan itu sangat melelahkan namun Noseni harus melakukannya secara rutin sebab dia tidak bisa melawan. Dia melakukan pekerjaannya dengan baik dan membuat orang yang menjadi tuannya merasa sangat senang.

Pada suatu hari, saat Noseni mengikuti orang-orang dewasa melaut untuk mencari ikan, perahu yang membawa mereka terombang-ambing dihempas gelombang. Rupanya lautan tempat mereka berada sedang dilanda oleh badai. Entah mengapa, perihal adanya badai yang mungkin menghantam mereka hari itu luput diperkirakan oleh para pelaut tangguh itu. Badai itu nyaris membuat perahu yang mereka tumpangi tenggelam. Ditengah-tengah ketakutan karena begitu kuatnya badai tersebut dan tampaknya perahu yang mereka tumpangi akan tenggelam, maka berserulah para pelaut itu kepada nama-nama leluhur mereka masing-masing dan juga pada nama-nama roh-roh halus yang mereka sembah dan mereka percaya agar membantu mereka dan menghentikan badai besar itu. Ditengah-tengah berbagai seruan dan berbagai nama yang keluar dari mulut para pelaut itu, tiba-tiba salah-satu pelaut itu menyerukan sebuah seruan dan menyebut sebuah nama yang asing sekali bagi mereka,

Manseren Yesus e wa batulung nu...... Manseren Yesus e wa batulung nu......”, yang artinya,
Oh Tuhan (Manseren) Yesus tolonglah kami.....

Tidak ada satupun yang mengerti dan tahu siapa yang dipanggil oleh orang yang menyerukan seruan yang ‘aneh’ itu, demikian hal juga dengan Noseni sebab saat itu adalah untuk kelai pertama Noseni mendengar nama Yesus. Hal ini dikarenakan Kekristenan belum memasuki Kepulauan Biak saat itu. Rupanya, orang yang berseru-seru itu adalah orang Korido yang sering mengunjungi Mansinam, pusat Kekristenan di Papua saat itu. Di Mansinam, orang itu sering mengikuti ibadah di gereja dan mendengar khotbah para pendeta yang meminta para jemaat untuk mengganti kepercayaan animisme dan dinamisme mereka dengan agama Kristen dan lebih menyebut nama Yesus jika sedang dalam bahaya dibandingkan menyebut nama arwah leluhur atau roh-roh halus yang mereka percayai. Ini artinya saat sebelum tahun 1880 dan sekitar kurang dari 10 tahun setelah tahun itu (<1890), agama Kristen belum masuk ke Kepulauan Biak.

Tidak diketahui berapa lama Noseni diperbudak di Korido. Namun, dari kesaksian orang-orang dia berada disana hingga usia remaja. Mungkin diusia awal belasan tahun. 

Noseni disenangi oleh tuannya dan orang-orang yang sering bekerja bersama dengannya sebab dia sangat rajin. Namun, ada masalah baru muncul saat itu, yaitu perihal orang Korido yang meninggal tak lama saat Noseni diculik. Pada saat itu, menurut adat dan kebiasaan orang Korido (dan rata-rata suku Biak dan Papua) bahwa jika ada orang yang mati karena dibunuh (oleh manusia atau roh halus) maka nyawa orang itu harus dibayar dengan benda-benda adat yang berharga atau juga berupa sejumlah uang dari yang membunuh atau keluarga si pembunuh. Keluarga orang yang meninggal itu menuntut hal yang serupa pada Noseni. Mereka tidak peduli pada kenyataan bahwa bukan Noseni yang membunuh, dan juga meskipun tidak bisa dibuktikan apakah orang Urmbor-lah yang mengirim ‘jin’ untuk membunuh orang tersebut. Intinya, pihak Noseni harus membayar ganti rugi, dan karena mereka tidak mungkin menghubungi keluarga Noseni maka Noseni-lah yang harus menanggung semua ganti rugi itu.

Pada masa itu, perdagangan budak masih lumrah terjadi dan belum ada hukum yang melarang. Walaupun sudah ada kerajaan-kerajaan yang membuat hukum perihal pembatasan kepemilikan budak namun perdagangan budak adalah salah-satu perniagaan yang dilegalkan. Noseni-pun menjadi korban perniagaan hitam ini.

Pihak keluarga orang Korido yang meninggal tersebut lalu menuntut pada tuan yang mempekerjakan Noseni agar Noseni membayar ganti-rugi berupa barang-barang yang berharga atau sejumlah uang sesuai kesepakatan ada. Karena Noseni tidak memiliki apapun di Korido maka satu-satunya cara adalah bahwa Noseni harus dijual. Sampai disitu, mulailah terjadi pertentangan diantara orang-orang Korido, yaitu antara keluarga orang Korido yang meninggal dengan orang yang menjadi tuannya Noseni dan orang-orang Korido yang sering bekerja bersama dengan Noseni. Tuannya Noseni dan keluarganya ingin menjadikan Noseni sebagai anggota keluarga mereka dengan alasan bahwa Noseni adalah tawanan dari Urmbor dan kematian orang Korido itu adalah akibat mereka menawan Noseni sehingga baik nyawa Noseni dan nyawa orang Korido itu dianggap impas sehingga tidak perlu lagi pihak Noseni memberikan ganti-rugi. Mereka menyayangi Noseni sebab Noseni sangat rajin dan setia. Namun, keluarga orang Korido yang meninggal tersebut tetap memnuntut ganti-rugi dan tampaknya mereka memiliki banyak pendukung. Untuk menghindari kekacauan maka para tetua adat Korido-pun bermusyawara dan menyepakati keputusan bahwa Noseni harus dijual.

Orang-orang Korido yang akan membawa Noseni pun menyiapkan perahu besar, dan itu adalah perahu yang sama yang membawa mereka menyerbu Kampung Urmbor. Mereka lalu berlayar menyeberang ke Pulau Numfor dan melanjutkan perjalanan melewati Teluk Doreh (wilayah Manokwari sekarang) dan tiba di kota tujuan mereka, Mansinam (F.J.S. Rumainum, “Guru Petrus Kafiar” halaman 18, tahun 2008).

Itu adalah kali pertama Noseni meninggalkan Kepulauan Biak, dan awal-mula kisahnya hingga berhasil menjadi seorang guru.




KEHIDUPAN DI MANSINAM DAN MENJADI KRISTEN

Pulau Mansinam

Mansinam adalah salah-satu wilayah yang kini menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Pulau ini bukanlah daratan pertama yang diinjak oleh para penjelajah Eropa, tapi pulau ini adalah tempat pertama dua misionaris utama dan pertama di Papua, Ottow dan Geissler, menginjakan kaki mereka pada 5 Februari 1855. Pulau Mansinam lalu menjadi basis pekabaran Injil di Papua, dan menjadi perwakilan sementara pemerintah Hindia Belanda di Papua yang saat itu dimasukan kedalam wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda di Ternate.

Sebagai basis pekabaran Injil di Papua, otomatis Pulau Mansinam adalah pusat aktifitas Zending di Papua sehingga membuat tempat ini ramai oleh orang-orang Eropa (khususnya Belanda dan Jerman) dan orang-orang Indonesia bagian Timur yang bekerja bagi Zending. Zending adalah badan misionari Kristen Protestan yang berpusat di Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, Zending kemudian bertransformasi menjadi PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia), dan gereja-gereja yang dulunya bernaung dibawah Zending lalu menjadi gereja-gereja protestan daerah, seperti GPM (Gereja Protestan Maluku) di Maluku, GKJ (Gereja Kristen Jawa) di Pulau Jawa, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Sumatera Utara, GMIM (Gereja Masehi di Minahasa) di Sulawesi Utara dan Gorontalo, GPIB (Gereja Protestan Indonesia di bagian Barat) di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan, serta GKI (Gereja Kristen Indonesia). Gereja-gereja di Papua yang bernaung dibawah Zending sebelumnya berada dibawah naungan GPM di Maluku, lalu kemudian menjadi mandiri dan memakai nama GKI (Gereja Kristen Injil) yang berbeda dengan GKI (Gereja Kristen Indonesia) wilayah barat Indonesia.

Ramainya Pulau Mansinam oleh aktifitas Zending membuat tempat itu menjadi wilayah Papua yang menjadi tujuan perdagangan utama kerena mennjadi tempat berkumpulnya para misionaris dari Eropa yang memiliki hubungan langsung dengan Ternate (kesultanan terbesar di Indonesia Timur), Makassar (kota terbesar di Indonesia Timur), dan Batavia (Jakarta). Kota-kota lain di Papua belum terlalu ramai dengan orang-orang asing sehingga menjadikan Mansinam sebagai tujuan dagang utama para penduduk Kepulauan Biak jika mereka tidak mampu berlayar ke Ternate.

Di Mansinam, Noseni berhasil dijual dengan harga yang sangat memuaskan orang-orang Korido, yaitu seharga 50 kepeng.

Terjualnya Noseni di Mansinam mengakhiri masa perbudakannya yang tragis di Korido dan menjadi langkah awalnya menjadi seorang guru.



Keluarga Angkat Noseni

Orang yang membeli Noseni adalah seorang pria yang berasal dari Halmahera (Maluku) yang bernama David Keizier. Tidak diketahui latar-belakang lainnya atau apakah nama lahir beliau, namun nama David kemungkinan besar adalah nama baptisnya yang diambil dari nama raja terkenal dalam Alkitab, yaitu Raja David (Indonesia: Daud), sedangkan nama Keizier adalah nama atau marga Belanda yang diberikan oleh orang yang membaptisnya. Ayah angkatnya adalah seorang tukang kayu yang bekerja bagi Zending di Mansinam. Kemungkinan besar sebelumnya ayah angkat Noseni ini menjadi anak-angkat orang Belanda dan menggunakan marga keluarga angkat Belanda-nya itu. Tidak tertutup kemungkinan jika David Keissier juga adalah mantan budak yang lalu ditebus oleh misionaris yang bekerja bagi Zending.

David Keizier tidak memiliki putra sehingga saat dia melihat sosok Noseni, bocah laki-laki yang berbadan tegap dan terlihat sebagai anak yang baik, dia langsung jatuh hati dan menebus Noseni. Noseni-pun dibawa pulang oleh David dan diperkenalkan pada istrinya yang bernama Lidia, yang diambil dari nama salah-satu wanita yang sempat disebutkan di Alkitab. Tidak diketahui darimana asal Lidia, dan apakah beliau ataukah David yang lebih dulu menjadi Kristen, namun besar kemungkinan jika Lidia juga berasal dari Maluku.

Suami istri ini menyambut kehadiran Noseni dengan gembira sebab mereka tidak memiliki anak laki-laki. Noseni lalu diperkenalkan kepada putri mereka yang bernama Margareta. Tidak ada catatan mengenai usia Margareta, apakah dia lebih tua atau lebih muda daripada Noseni, juga tidak ada catatan-catatan lain mengenai asal-usul keluarga Keizier saat masih di Halmahera.



Kehidupan Awal di Mansinam

Noseni diperlakukan sebagai anak oleh keluarga Keizier dan tidak membeda-bedakan perlakuan mereka pada Margareta dan Noseni. Mereka memberikan Noseni pakaian yang layak dan makanan yang sama dengan yang mereka nikmati. Di rumah, Noseni mendapatkan kamarnya sendiri dan duduk makan di meja makan yang sama dengan mereka. Noseni lalu diajar berbicara bahasa Melayu dan diajari pelajaran-pelajaran dasar seperti mengenal huruf dan angka, juga diajak mengikuti ibadah di gereja. Pada saat ke gereja di Mansinam inilah untuk pertama-kalinya Noseni bertemu dengan mentornya, Pendeta J.L Van Hasselt.

Pendeta Van Hasselt adalah pembimbing rohani Noseni. Oleh beliau, Noseni-pun dibaptis, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1887 (sesuai dengan buku catatan gereja) dan diberikan nama baptis “Petrus”, yaitu bentuk Latin untuk nama Belanda, Pieter (Inggris: Peter, Italia: Pietro, Prancis: Pierre, Spanyol & Portugis: Pedro), yang diambil dari nama salah-satu dari 12 rasul Yesus, yaitu rasul Petrus. Setelah dibaptis, beliau tidak menggunakan nama “Noseni” lagi melainkan nama “Petrus”, dan menggunakan nama keluarga ayah angkatnya, Kazier (baca: Kai-shier), yang oleh lafal orang-orang Biak lebih mudah disebut “Kafiar”. Inilah awal mula nama Petrus Kafiar dikenal.

Tidak beberapa lama setelah diangkat sebagai anak dan sudah bisa beradaptasi, Petrus-pun didaftarkan untuk masuk sekolah. Rupanya, Petrus adalah anak yang cepat belajar dan cepat tanggap. Di kelasnya, Petrus adalah yang paling pandai membaca dan menghitung sehingga membuat gurunya saat itu, Pendeta Van Balen, meminta Petrus membantu mengajar teman-temannya membaca dan berhitung. Pendeta Van Balen yang baru datang dari Wondesi sangat kagum pada Petrus sebab saa itu adalah kali pertama baginya melihat seorang anak asli Papua yang sangat pandai membaca dan berhitung.

Sepertinya, Petrus dibaptis saat beliau sudah diatas usia 12 tahun sebab ketika itu beliau ditunjuk oleh Pendeta Van Hasselt untuk membantu mengajar baca-tulis dan berhitung pada orang-orang dewasa Papua di pulau itu yang masih buta huruf. Hal itu tidak mungkin dilakukannya jika saat itu dia masih kecil sehingga ini artinya Petrus cukup lama diperbudak di Korido dan baru berada di Mansinam saat dia sekurang-kurangnya seumuran dengan anak SMP pada masa sekarang. Kelebihan dan pelayanan Petrus ini membuat kedua orang-tua angkatnya menjadi sangat gembira dan bangga.

Sayangnya, ditengah-tengah kebahagian ini, saudari angkat Petrus yang bernama Magareta sakit keras. Kala itu, Margareta memang sudah lama menderita penyakit kronis dan keadaannya semakin memburuk akibat cuaca di Papua yang tidak menentu juga kurangnya obat-obatan. Ada kemungkinan juga jika Margareta terserang penyakit malaria, atau setidaknya penyakitnya diperparah juga oleh malaria. Malang bagi keluarga Petrus sebab Margareta akhirnya meninggal dunia. Keluarga Petrus sangat sedih, demikian halnya juga Petrus, namun mereka berusaha tabah dan berserah kepada Tuhan. Tapi, ada banyak hal mengenai kematian Margareta yang membuat Petrus sangat heran sebab barang-barang milik Margareta tidak ikut dimusnahkan seperti kebiasaan orang-orang Biak. Dia heran mengapa tanaman-tanaman di kebun yang ditanam oleh Margareta tidak ikut dibakar, juga mengapa baju-baju Margareta tidak dibakar, dan yang lebih penting lagi adalah mengapa Margareta dimakamkan tidak lama setelah kematiannya, dan hanya diiringi oleh ibadah singkat pelepasan jenasa dan ibadah malam penghiburan bagi keluarga almarhum. Petrus menanyakan perihal itu kepada kedua orang-tua angkatnya dan mereka menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah karena sesuai kebiasaan orang Kristen, yaitu bahwa orang yang meninggal tidak berkuasa lagi atas orang yang hidup dan keluarga yang ditinggalkanlah yang seharusnya dihibur dan diurus. Petrus akhirnya paham mengenai kebiasaan-kebiasaan baru yang dilihat dan dialaminya.

Kegiatan lain Petrus selepas dari sekolah dan pelayanannya bagi orang-orang buta huruf adalah membantu ayah angkatnya sebagai tukang kayu. Ayah angkatnya mencurahkan semua kemampuan dan memberikan semua ilmu tentang pertukangan pada Petrus dengan harapan agar kelak bisa meneruskan profesi ayahnya yang pada masa itu termasuk profesi yang mapan dan sangat terhormat bagi orang lokal. Petrus-pun mampu membangun bangunan-bangunan dari kayu, mengerjakan perabotan kayu, dan sebagainya yang sangat penting bagi kegiatan Zending di Mansinam. Keahliannya ini kelak akan sangat membantunya saat dia ditugaskan ditengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki infrastruktur yang memadai.

Berkat kecerdasannya, Petrus berhasil menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat, dan menjadi orang asli Papua pertama yang berhasil lulus dari sekolah rakyat.




JENJANG PENDIDIKAN & MENJADI GURU

Panggilan Menjadi Seorang Guru (sekolah di Ternate dan tugas di Ambarbaken)

Kepandaian Petrus di sekolah dan pelayanan-pelayanannya ditengah-tengah masyarakat sebagai pembantu pengajar bagi masyarakat buta huruf memunculkan cita-cita dalam hati Petrus. Namun, rupanya Petrus memiliki cita-cita yang tidak sejalan dengan keinginan ayahnya, sebab Petrus tidak ingin mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang tukang kayu melainkan memiliki cita-cita lain yaitu menjadi seorang guru.

Awalnya, David mendukung keinginan Petrus untuk melanjutkan pendidikan ke Ternate sehingga kemudian Petrus berlayar menuju ke Ternate untuk melanjutkan pendidikannya. Petrus sekolah di Ternate disebuah sekolah Melayu pemerintah, yaitu sekolah Gubernemen Kelas Dua, selama satu tahun. Setelah setahun belajar di Ternate, Petrus kembali ke Mansinam dan semakin terlihat kepandaiannya. Beliau adalah orang asli Papua pertama yang sekolah dan menamatkan pendidikannya diluar Papua.

Ayahnya semakin berharap banyak bahwa putra tunggalnya itu akan melanjutkan profesi ayahnya, dan benih-benih pertengkaran antara ayah dan anak inipun muncul.

Perbedaan pendapat antara Petrus dan David mengenai masa depan dan cita-cita Petrus ini menguat tatkala pemerintah Hindia Belanda ingin membuka perkebunan-perkebunan di Amberbaken, yang memiliki lahan yang lebih subur dan lebih luas dari pada Mansinam, untuk keperluan ekspor ke Eropa dan wilayah lain. Pemerintah Hindia Belanda lalu meminta bantuan dari pihak Zending agar bisa menyediakan tukang-tukang kayu yang bekerja bagi Zending untuk membantu membangun pemukiman baru disana sebab letak Pulau Mansinam lebih dekat ke Ambarbaken ketimbang letak basis Belanda di Kepulauan Maluku, apalagi di Sulawesi dan Jawa. Maka, ayah angkat Petrus-pun ditugaskan ke Ambarbaken oleh Zending. Ketika itu, David ingin membawa Petrus ke Ambarbaken untuk membantu beliau sekaligus untuk menambah pengalaman dengan harapan kelak Petrus bisa menjadi seorang kepala tukang (mandor), sebuah profesi bergengsi saat itu. Namun, Petrus menentang keinginan ayahnya dengan alasan bahwa dia tidak ingin ke Ambarbaken sebab dia ingin belajar agar bisa menjadi guru. Dibandingkan pergi ke Ambarbaken, Petrus lebih ingin pergi ke Ternate atau ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan karena Mansinam hanya memiliki sekolah rakyat sedangkan di Ternate atau di Jawa dia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Perbedaan pendapat ini membuahkan pertengkaran yang kemudian semakin meruncing sampai-sampai harus ditengahi oleh Pendeta Van Hasselt.

Akhirnya, atas bantuan Pendeta Van Hasselt dicapailah kesepakatan yang dianggap sebagai jalan tengah, yaitu Petrus tetap harus berangkat ke Ambarbaken untuk membantu ayahnya menjadi tukang kayu yang mengerjakan proyek pemukiman baru, namun diwaktu luang, khususnya pada hari Minggu, Petrus dapat melakukan pelayanan di gereja sebagai penginjil dan juga sebagai guru bantu yang mengajar masyarakat yang buta huruf. Pendeta Van Hasselt selalu mendukung cita-cita Petrus tetapi pada saat itu tidak mudah bagi orang non-Eropa untuk mengenyam pendidikan yang tinggi walaupun saat itu politik etis telah dijalankan. Jika ada orang pribumi yang ingin mengenyam pendidikan yang tinggi dan setara guru maka orang tersebut harus berasal dari kalangan bangsawan lokal atau anak orang kaya, yang mana kedua syarat itu tidak bisa dipenuhi oleh Petrus. Syarat lainnya adalah jika ada undangan khusus dari pemerintah Belanda atau dari lembaga pendidikan terkait. Syarat-syarat inilah yang sangat berat dipenuhi oleh Petrus sehingga membuat ayahnya beranggapan bahwa cita-citanya sangat mustahil dan memilih membawa Petrus ke Ambarbaken dan Pendeta Van Hasselt pun menganjurkan hal yang sama sehingga mereka bersepakat bahwa ke Ambarbaken adalah pilihan yang logis.

Seusai kesepakatan yang dicapai tersebut maka berangkatlah Petrus dan David ke Ambarbaken. Di Ambarbaken, Petrus bekerja sebagai tukang kayu sekaligus sebagai penginjil dan guru bantu. Meskipun sibuk, beliau tidak pernah melupakan cita-citanya menjadi guru, demikian juga halnya dengan Pendeta Van Hasselt yang tidak pernah melepaskan Petrus dari pantauannya.



Kesempatan Untuk Belajar di Sekolah Seminari Depok

Petrus melakukan semua tugas-tugasnya di Ambarbaken dengan sangat baik, dan diapun sudah memiliki banyak pengalaman, baik sebagai seorang tukang maupun sebagai penginjil dan guru bantu.

Saat itu, mungkin hanya Petrus dan keluarga Van Hasselt yang masih berharap bahwa seorang Petrus, anak asli Papua, putra angkat dari seorang tukang kayu bernama David Kaisier, akan mampu menjadi seorang guru, sebab masalah dana dan surat undangan bukan dua hal yang paling utama yang menjadi penghalang bagi Petrus melainkan statusnya sebagai orang asli Papua. Saat itu, sentimen negatif terhadap kepemimpinan orang pribumi masih sangat tinggi, dan ironisnya sentimen negatif tertinggi pada kepemimpinan orang pribumi, khusus di wilayah timur Hindia Belanda (sekarang Indonesia) justru berasal dari sesama orang pribumi.

Mengapa?

Mungkin kalimat dari dua orang Papua, anggota majelis jemaat, di Mansinam yang bernama Akwila dan Bernard kepada Petrus bisa menjelaskan hal itu,

Ah kamu-orang (=engkau) hitam (kulitnya) sama dengan (=seperti) kita-orang (kami)! Mana mungkin bisa mengajari kita-orang?! Lebe baik (=lebih baik) tutup saja mulut (-mu) itu!”

Begitulah tantangan terbesar yang dihadapi oleh Petrus untuk meraih cita-citanya, sebab bukan orang Belanda atau orang Ambon atau orang Sulawesi atau orang Jawa yang tidak mempercayai cita-cita dan kemampuannya untuk mengajar mereka melainkan orang-orang Papua sendiri, yaitu sukunya sendiri.

Diantara semua orang yang menentang cita-citanya, Pendeta Van Hasselt adalah satu-satunya yang mendukung Petrus. Itulah sebabnya, saat Petrus masih bekerja dan melayani di Amaberbaken, ketika tiba surat dari negeri Belanda yang dikirim oleh U.Z.V yang meminta agar pihak Zending di Mansinam mencari orang-orang asli Papua yang dianggap mampu untuk mengikuti pendidikan di sekolah seminari Depok, maka orang pertama yang muncul dibenak dan mulut Pendeta Van Hasselt adalah Petrus.

Tidak perlu waktu lama bagi Pendeta Van Hasselt untuk memutuskan menghubungi Petrus di Amaberbaken. Petrus sangat gembira mendengar berita yang dikirim oleh Pendeta Van Hasselt dan segera ke Mansinam.

Tapi, kabar gembira ini rupanya tidak disambut oleh banyak orang, termasuk anggota-anggota jemaat gereja di Mansinam dan keluarga angkat Petrus sendiri. Untuk menenangkan jemaat dan membuat orang-tua Petrus memahami cita-citanya dan memanfaatkan kesempatan yang ada didepan mata itu, Pendeta Van Hasselt lalu menceritakan kepada PKW (Persekutuan Kaum Wanita) jemaat Mansinam tentang kisah seorang bishop di Afrika yang merupakan orang-asli Afrika yang bernama Growther. Bishop Growther adalah salah-satu bishop asli Afrika yang pertama dalam sejarah. Beliau menginjili dan melayani orang-orang sebangsanya dengan menggunakan bahasa daerahnya sehingga masyarakat ditempat pelayanannya lebih mudah mengerti pengajaran-pengajarannya. Pendeta Van Hasselt lalu menunjukan gambar dari Bishop Growther tersebut kepada mereka agar kisahnya dipercayai, dan juga agar mereka tidak memandang rendah suku mereka sendiri, apalagi jika sampai menganggap bahwa suku mereka derajatnya lebih rendah dari orang-orang Eropa dan pendatang lain di Hindia Belanda. Namun, setelah mendengar kisah itu Pendeta Van Hasselt justru mendapatkan cemooh karena jemaatnya masih tidak percaya, dan bahkan ibu angkat Petrus, Lidia, berkata pada Pendeta Van Hasselt,

Pak pendeta, kalau Pendeta Growther itu datang kesini nanti orang akan katakan bahwa ‘kamu-orang (engkau) sama hitam(-nya) dengan kita-orang (kami), mana mungkin bisa (meng-)ajar kita-orang (kami)?’ dan dia nanti tutup mulut saja.”

Perdebatan-perdebatan mengenai cita-cita Petrus-pun terus berlanjut dan seakan semakin menjauhkan Petrus dari cita-citanya sebab waktu demi waktupun berlalu setelah surat dari negeri Belanda dan Petrus masih belum memperoleh restu dari keluarganya, ditambah lagi tentunya tawaran itu memiliki batas waktu.

Untunglah ada jalan keluar. Rupanya, impian dan cita-cita, selain membutuhkan motivasi juga memerlukan inisiatif, dan jika inisiatif itu tidak mampu dilakukan oleh orang yang memiliki impian dan cita-cita tersebut maka hal itu dapat dilakukan oleh orang yang mendukungnya. Kala itu, putra Pendeta Van Hasselt akan melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda dan Nyonya Van Hasselt yang akan mengantarnya. Untuk itu, mereka harus berlayar dari Mansinam menuju ke Batavia (Belanda) agar bisa menaiki kapal yang akan berlayar ke negeri Belanda. Saat Nyonya Van Hasselt berada di Batavia (kemungkinan besar sesudah mengantar putranya ke Belanda), beliau mendatangi sekolah seminari Depok untuk menanyakan perihal apakah pendaftaran bagi mahasiswa ditempat itu masih dibuka atau tidak. Pihak sekolah seminari memberikan informasi yang menggembirakan, yaitu pendaftaran bagi calon mahasiswa daerah masih ada, dan jurusan yang dibuka adalah jurusan guru sekolah dan guru agama, dan tidak ada batasan bagi pribumi dari berbagai suku atau etnis-etnis lain untuk bersekolah disitu. Berbekal informasi menggembirakan ini, Nyonya Van Hasselt kembali ke Mansinam dan menyampaikan hal itu kepada suaminya dan tentunya kepada Petrus.

Pendeta Van Hasselt langsung memanggil keluarga angkat Petrus dan menjelaskan perihal pendaftaran disekolah seminari tersebut. Awalnya, keluarga Petrus masih menentang cita-cita yang ‘aneh’ bagi mereka itu, namun Pendeta Van Hasselt berusaha mati-matian meyakinkan keluarga Petrus, dan menjamin bahwa biaya tidak menjadi masalah dan bahwa beliaulah yang akan membimbing Petrus kelak jika sudah tamat sekolah. Akhirnya, meskipun masih belum yakin, keluarga Petrus mengijinkan beliau berangkat ke Batavia. Keputusan keluarga ini membuat Pendeta Van Hasselt gembira dan segera mempersiapkan Petrus untuk bisa siap melanjutkan sekolah. Petrus pun dikirim ke Batavia sebagai pelajar asal Papua.

Petrus berangkat ke Batavia pada 3 April 1892. Beliau tidak sendirian sebab bersama dengannya ikut juga seorang pelajar lain yang bernama Timotius Awendu, sesama suku Biak, yang juga diutus untuk belajar oleh Zending yang berbasis di Mansinam. Mereka berdua adalah orang-orang Papua pertama yang mengenyam pendidikan di Pulau Jawa demi mengejar apa yang disebut ‘cita-cita’.

Cita-cita dalam kepercayaan Kristen dianggap sebagai “panggilan Tuhan”, sehingga apa yang Petrus cita-citakan ini oleh Pendeta Van Hasselt dianggap sebagai,
panggilan Tuhan kepada seorang asli Papua bagi orang-orang Papua ditengah-tengah orang Papua’.



Masa-masa Sekolah di Seminari Depok

Setibanya mereka di Batavia, Petrus dan Timotius lalu berangkat ke Depok. Disana mereka disambut oleh pemimpin-pemimpin sekolah Seminari Depok, yaitu Heneman (kepala sekolah) dan D.Iken. Di sekolah tersebut, Petrus dan Timotius bergabung bersama dengan putra-putra daerah lainnya yang berasal dari berbagai tempat dan berbagai suku, namun yang terbanyak berasal dari Kepulauan Maluku dan diikuti oleh suku Minahasa dan suku Sangir (Sulawesi Utara), dan diikuti oleh suku Batak, Nias, Sunda, dan Jawa. Diantara semua pelajar, hanya Petrus dan Timotius yang berasal dari Papua.

Selama bersekolah di Depok, tantangan terbesar bukanlah pelajaran-pelajaran akademis melainkan mengenai penerimaan sosial terhadap mereka jika mereka kelak menjadi guru, sebab mereka adalah orang pribumi, bukan orang Eropa. Jika di Papua mereka mendapat penolakan dan keraguan dari sesama suku mereka, maka di Depok dan Batavia mereka menerima cemooh dan penolakan-penolakan dari orang-orang dengan latar-belakang sosial yang lebih kompleks. Penolakan-penolakan dan penghinaan yang dialami Petrus dan Timotius bersifat rasial namun saat itu tidak melanggar undang-undang. Kulit Petrus yang lebih gelap menjadi sasaran cemooh orang banyak sebab mereka, dengan kulit gelap dan rambut keriting, memakai baju layaknya orang Belanda yang dianggap melanggar norma-norma sosial dan tidak pantas karena mereka adalah orang pribumi dari suku primitif, padahal Petrus terbiasa memakai pakaian ala Eropa karena anjuran Pendeta Van Hasselt yang menjunjung tinggi persamaan ras. Saat berkunjung ke Batavia, Petrus juga ditatap sinis oleh orang-orang Belanda dan juga orang Hindia (Indonesia) sendiri. Penolakan-penolakan dan penghinaan-penghinaan yang dialaminya sempat dikenangnya dikemudian hari saat dia bercerita tentang perjuangannya menjadi seorang guru kepada Pendeta F.J.F Van Hasselt (putra Pendeta J.L Van Hasselt),
Tuan, jikalau saya mengingat akan pergaulan hidup dan masa kami di Seminari Depok, maka hati saya sedih dan air mataku berlinang-linang.....

Pendeta F.J.F Van Hasselt adalah senior, sahabat, dan rekan sepelayanan Petrus kelak. Mereka berdua menjalin persahabatan yang sangat erat. Saat F.J.F Van Hasselt, atau Van Hasselt Muda, kembali dari Negeri Belanda pada 1894 usai menamatkan pendidikan di sekolah pendeta, beliau harus singgah di Batavia untuk berganti kapal untuk menuju ke Mansinam. Saat singgah di Batavia, Van Hasselt Muda menyempatkan diri untuk berkunjung ke Depok untuk menjenguk Petrus dan juga Timotius, yang saat itu masih mahasiswa di tingkat dua. Kedatangan Van Hasselt Muda membuat Petrus sangat bahagia. Van Hasselt Muda berkata bahwa dia akan melayani di Papua, dan menantikan kedatangan Petrus dan Timotius disana. Petrus-pun berjanji bahwa dia akan pulang kembali dan melayani masyarakatnya di Papua. Van Hasselt Muda pun kembali ke Mansinam dan membawa kabar tentang Petrus kepada keluarga Van Hasselt dan keluarga Keezier.

Meskipun menghadapi banyak tantangan tetapi banyak pelajaran berharga yang didapat oleh Petrus, baik pelajaran akademis maupun pelajaran hidup, selama bersekolah di Seminari Depok. Selama bersekolah disana, Petrus mendapat teman-teman baru dari berbagai suku. Melalui teman-temannya ini Petrus mendapat banyak sekali informasi mengenai daerah-daerah lain yang tidak pernah dia ketahui. Pertemanannya dengan teman-teman sekolahnya di Seminari Depok menimbulkan kesan yang kuat dalam diri Petrus dan sangat membantunya menguatkan hati untuk melayani masyarakatnya di Papua.

Petrus bersekolah di Seminari Depok selama empat tahun dan tamat pada tahun 1896. Beliau langsung kembali ke Papua begitu menamatkan sekolahnya, dan tiba di Mansinam pada tanggal 10 November 1896. Ijasah sebagai guru yang berhasil diraihnya di sekolah Smeinari Depok menjadikan Petrus sebagai orang asli Papua yang pertama menjadi sarjana dan menjadi guru.


_______________________________________________________________________________

Copyrights:
Artikel ini pertama kali disusun dan ditulis oleh Tim Deleigeven dan diterbitkan pertama-kali oleh Deleigeven Media.


TIM PENYUSUN:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Pengembangan cerita : Deleigeven
Penerbit : Deleigeven Media


DAFTAR PUSTAKA:
Guru Petrus Kafiar; F.J.S. Rumainum; Panitia P.I 100 Tahun Emas di Supiori Cabang Manokwari, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat, Yayasan Triton Papua; Manokwari, 2008


SUMBER WEBSITE:
id.wikipedia.com/biak
id.wikipedia.com/mansinam
id.wikipedia.com/manokwari
id.wikipedia.com/supiori


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saturday 10 February 2018

HUBUNGAN JEPANG-KOREA DARI MASA KE MASA: RIWAYAT PERANG ANTARA JEPANG DAN KOREA



Hubungan Jepang dan Korea memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarah panjang kedua bangsa ini didominasi oleh berbagai perselisihan yang kerap menghasilkan perang. Perang-perang antara Jepang dan Korea selalu perang berskala besar yang menimbulkan kehancuran yang luar biasa. Pada masa kini, sengketa Pulau Dokdo seakan menegaskan kembali hubungan buruk kedua bangsa ini sejak masa lalu.

Berdasarkan letak geografi, Korea adalah daratan penghubung dan jalur terdekat antara kepulauan Jepang dan wilayah Tiongkok. Selain itu, Korea memiliki infrastruktur yang baik untuk memobilisasi sejumlah besar orang untuk menuju ke Tiongkok dengan menggunakan jalur darat. Inilah yang diincar oleh Jepang. Letak geografis Korea lalu menjadi salah-satu motivasi Jepang menyerbu daratan semenanjung ini dalam hampir semua penyerbuan-penyerbuannya. Namun, bukan berarti hanya Jepang saja yang pernah mengawali serbuannya, sebab balatentara Korea-pun pernah menyerbu Jepang.

Inilah riwayat peran-perang besar Jepang dan Korea sejak masa Tiga Kerajaan Korea hingga era Restorasi Meiji.




PENYERBUAN-PENYERBUAN JEPANG KE SILLA

Diantara semua kerajaan dan dinasti yang pernah berkuasa di Korea, hubungan terburuk Jepang adalah dengan Kerajaan Silla. Silla adalah kerajaan yang paling sering diserbu Jepang tapi Silla juga adalah kerajaan Korea yang mengakhiri serbuan Jepang yang sudah terjadi selama 600 tahun, dan membuat Jepang tidak pernah mampu menyerbu Korea selama hampir 1000 tahun.

Kerajaan Silla sebenarnya tidak pernah menyerbu Jepang, tapi Jepang melakukan banyak sekali penyerbuan ke wilayah selatan Korea ini. Uniknya, diantara Tiga Kerajaan Korea (Goguryeo, Silla, Baekje), Silla adalah kerajaan yang memiliki pertalian paling erat dengan Jepang, sebab salah-satu raja Silla (Raja Talhae) berasal dari Jepang. Menteri kepercayaan Raja Hyeokgeose (raja pertama Silla), yaitu menteri Hogong, juga berasal dari Jepang. Meski demikian, Silla justru merupakan satu-satunya kerajaan Korea yang anggota keluarga kerajaan-nya pernah menjadi tawanan Kekaisaran Jepang sebelum keruntuhan Joseon.

Serbuan pertama Jepang tercatat sudah terjadi sejak periode awal Tiga Kerajaan, yaitu tahun 14 M. Ketika itu, Jepang yang dipimpin oleh Kaisar Suinin berusaha menguasai Semenanjung Korea dengan menyerbu daratan semenanjung yang letaknya terdekat dengan Jepang yaitu wilayah Silla. Mungkin sang kaisar memiliki keinginan untuk menyerbu Tiongkok atau setidaknya menguasai jalur perdagangan ke Tiongkok yang terhalangi oleh wilayah Kerajaan Silla dan juga wilayah Konfederasi Gaya. Silla berhasil menghalau serbuan ini, tapi ini membuat hubungan Jepang dan Silla menjadi sangat buruk.

Hubungan Silla dan Jepang bisa diperbaiki berkat sikap bersahabat yang ditunjukan oleh Kaisarina Himiko. Persahabatan Silla dan Jepang terjalin erat selama masa pemerintahan Raja Adalla dan Kaisarina Himiko.

Tapi, hampir seabad setelah kematian dua penguasa yang bersahabat ini, hubungan Silla dan Jepang kembali memburuk ketika Silla diserbu Jepang pada masa pemerintahan Raja Jobun (raja Silla ke-11) padahal Raja Jobun (dari klan Seok) adalah keturunan Raja Talhae yang berasal dari Jepang.

Jepang kembali menyerbu Silla pada masa pengganti Raja Jobun, Raja Cheomhae. Awalnya, Silla tidak membalas dan juga tampaknya kedua kerajaan berhasil menghasilkan kesepakatan gencatan senjata. Tapi, ketika salah-satu pangeran Silla, yang juga adalah sahabat terdekat Raja Cheomhae, tewas dibunuh oleh mata-mata dari Jepang, Raja Cheomhae-pun murka dan memulai perang dengan Jepang.

Saat Baekje menyerang perbatasan Silla di-era pemerintahan Raja Yurye (raja Silla ke-14), Jepang memanfaatkan hal itu untuk kembali menyerbu Silla, dan perang dengan Jepang ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Beolhyu (raja Silla ke-15, 298-310 M).

Raja Heulhae (raja Silla ke-16, 310-356), yang dikenal cinta damai, berusaha menunjukan ikhtiar baik demi memperbaiki hubungan kedua kerajaan melalui pernikahannya dengan salah satu putri bangsawan Jepang (313 M). Usaha Raja Heulhae membuahkan hasil dan berjalan dengan baik, tapi Jepang lalu membatalkan perjanjian damai dengan Silla (346 M) dan menyerbu Silla pada tahun berikutnya.

Sepeninggal Raja Heulhae (356 M), serbuan-serbuan Jepang ke Korea sempat surut. Silla diserbu Jepang pada tahun 364 M saat Raja Naemul (raja Silla ke-17, 356-402 M) berkuasa. Jepang saat itu dipimpin oleh Kaisar Nintoku. Tapi, hubungan buruk kedua negara juga berhasil diperbaiki pada masa pemerintahan Raja Naemul. Saat itu, Kaisar Jepang mengirim utusan ke Silla (391 M) sebagai tanda persahabatan. Sebagai gantinya, Raja Naemul mengirimkan putranya (Pangeran Misaheun) bersama dengan menteri istana Park Saram ke istana Jepang (391) sebagai utusan dan tanda persahabatan. Tapi, setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak menganggapnya sebagai seorang utusan melainkan sebagai tawanan yang menjadi jaminan bagi Jepang agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak diijinkan untuk kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun.

Setelah Raja Naemul meninggal, penggantinya, Raja Silseong (raja Silla ke-18, 402-417) kembali mempererat perdamaian dengan Jepang. Hubungan ini terus terjalin baik di era Raja Nulji (raja Silla ke-19, 417-458) meskipun Raja Nulji secara rahasia membawa kembali adiknya, Pangeran Misaheun, ke Silla, sehingga sempat membuat Kaisar Jepang sangat marah.

Perdamaian Silla-Jepang yang diinisiasi oleh Raja Naemul ini terus bertahan walaupun Jepang menjalin aliansi dengan musuh terbesar Silla saat itu, yaitu Kerajaan Baekje. Namun, permusuhan Silla-Baekje juga sempat berakhir dengan menjalin perjanjian damai yang panjang sebab sejak era Raja Jabi (raja Silla ke-20) Silla menjalin aliansi dengan Baekje, yang bertahan lebih dari 200 tahun. Hubungan baik Silla-Baekje selama 200 tahun ini juga memperbaiki hubungan antara Jepang dengan Silla sebab pihak Jepang ditekan oleh Baekje untuk tidak mengganggu Silla.

Berkat Jepang, Silla mendapatkan banyak pasokan produk dari Asia Tenggara. Juga, berkat aliansinya dengan kerajaan Baekje, Jepang juga bisa lebih mudah mengimpor produk-produk dari negeri Tiongkok, dan juga dari India dan Timur Tengah (walaupun sedikit). Sangat lama kemudian barulah Jepang kembali menyerbu Silla pada tahun 663 M melalui pertempuran maritim besar yang dikenal dengan nama Perang Baekgang.




PEMBUNUHAN PANGERAN SEOK URO OLEH MATA-MATA JEPANG

Pangeran Seok Uro (juga dikenal dengan nama Jenderal Seok Uro) adalah putra Raja Naehae dan keponakan Raja Cheomhae. Meskipun statusnya dengan Raja Cheomhae adalah paman dan keponakan, namun besar kemungkinan usia mereka tidak berbeda jauh.

Pangeran Uro kehilangan hak waris-nya sebagai pewaris tahta Silla setelah ayahnya, Raja Naehae, menunjuk pamannya, Raja Jobun, sebagai pewaris tahta. Ayahnya meninggal saat Pangeran Uro masih kecil, sehingga saat itu pihak kerajaan harus menuruti rekomendasi dewan istana yang merekomendasikan Jobun sebagai pewarisnya. Saat itu, peran dewan istana sangat kuat dalam menentukan pewaris tahta, sama seperti saat kakek buyutnya (Raja Beolhyu) meninggal dan kakeknya, Pangeran Imae juga telah meninggal, dan Putra Mahkota Goljeong juga meninggal maka ayahnya lalu ditunjuk sebagai raja. Saat ayahnya meninggal, tahta dikembalikan pada pamannya, Jobun (putra mendiang Putra Mahkota Goljeong, saudara ayahnya) yang sebelumnya tidak tunjuk sebagai raja karena masih kecil. Ketika Raja Jobun meninggal, tahta lalu diberikan pada Raja Cheomhae yang dianggap lebih matang, bukannya pada Pangeran Uro.

Meski demikian, Pangeran Uro menjadi pendukung setia tahta Silla dan tidak pernah mencoba menggulingkan raja yang sah. Dia mengabdi pada Silla sebagai seorang jenderal dan memenangkan banyak pertempuran termasuk pertempuran-pertempuran melawan Jepang.

Silla dan Jepang akhirnya berhasil melakukan gencatan senjata, tapi periode ini adalah masa-masa terjadinya perang mata-mata yang makin lama kian memanas dan akhirnya memuncak ketika Pangeran Uro tewas dibunuh (250 M) oleh mata-mata Jepang. 

Kematian Pangeran Uro ini membuat Raja Cheomhae murka dan kembali berperang dengan Jepang.




RAJA NULJI DAN PARK JESANG

Setelah kekuasaan klan Park, pemerintahan Kerajaan Silla dilanjutkan oleh klan Kim yang berasal dari keluarga Raja Michu.

Raja Naemul (raja Silla ke-17) adalah raja pertama di-era kekuasaan klan Kim ini dan raja pertama Silla yang menggunakan gelar “Maripgan”. Raja Naemul juga adalah raja Silla pertama yang namanya tercatat dalam catatan sejarah Tiongkok dan yang mempelopori era keemasan Silla yang berlangsung selama berabad-abad.

Raja Naemul ini adalah ayah dari Raja Nulji. Nulji sendiri adalah cucu maternal Raja Michu. Kakek paternalnya adalah Jenderal Kim Daeseoji (adik Raja Michu). Ibu Nulji adalah Putri Boban (putri Raja Michu). Saat Raja Heulhae (raja Silla ke-16, putra Pangeran Uro) wafat, Ayahnya, Naemul, adalah kandidat tertua sehingga dinobatkan sebagai raja. Saat itu, keputusan pengangkatan raja melibatkan raja dan dewan istana, yang lebih mendahulukan para kandidat yang paling dewasa diantara seluruh keturunan raja lainnya. Baru pada masa pemerintahan ayahnya, sistem pemerintahan monarki turun-temurun diterapkan dan Silla dipimpin klan Kim sampai kerajaan ini runtuh.

Ayah Nulji (Naemul) adalah raja yang cinta damai. Beliau menjalin persahabatan dengan Goguryeo dan Jepang. Namun, semuanya harus dibayar mahal karena dia harus mengirim putra dan adiknya sebagai tawanan.

Putra ketiga Naemul, Pangeran Misaheun dikirim ke istana Jepang sebagai tanda persahabatan Silla dan Jepang. Saat itu, Pangeran Misaheun masih berusia 10 tahun. Setibanya di Jepang, kaisar Jepang tidak memperlakukan Pangeran Misaheun sebagai utusan tapi sebagai tawanan agar Silla tidak menyerang Jepang. Pangeran Misaheun tidak pernah diijinkan kembali ke Silla dan tinggal di Jepang selama 31 tahun.

Selain Pangeran Misaheun, Raja Naemul juga mengirim adiknya, Pangeran Silseong ke Goguryeo sebagai jaminan. Sebenarnya, putranya yang lain, Nulji, seharusnya yang dikirim ke Goguryeo, bukan Silseong, tapi Naemul sangat menyayangi putra pertamanya itu sebab hanya dia yang tersisa, sehingga Silseong-lah yang dikirim ke Goguryeo. Naemul tidak pernah melihat mereka lagi hingga kematiannya. Setelah Naemul meningga, dia digantikan oleh Silseong yang dipanggil dari Goguryeo. Sebagai gantinya, putra Naemul, Nulji dikirim ke Goguryeo sebagai pengganti Silseong (dan juga sebagai balasan Silseong yang mendendam pada kakaknya karena dikirim ke Goguryeo sejak masih berusia 10 tahun). Konflik istana membuat Raja Silseong tewas akibat ulahnya sendiri yang ingin membunuh Nulji. Nulji lalu diangkat menjadi raja (417-456).

Pada tahun ke-3 pemerintahan Raja Nulji, Goguryeo kembali meminta Silla mengirim anggota keluarga kerajaan sebagai jaminan. Untuk itu, Nulji mengirimkan adiknya, Pangeran Bokho, ke Goguryeo. Sama seperti pihak Jepang, Goguryeo juga memperlakukan Pangeran Bokho sebagai tawanan.

Peristiwa ini membuat Nulji sangat sedih dan teringat pada ayahnya. Saat itu, Nulji merasa bahwa penderitaan ayahnya jauh lebih besar karena tidak pernah melihat putra-putranya hingga hari kematiannya, dan ini membuat hati Nulji menderita bertahun-tahun. Nulji akhirnya bertekad membawa pulang adik-adiknya kembali ke Silla. Akhirnya, pada tahun ke-10 pemerintahannya, Nulji mengundang para pejabat dan para jenderalnya dalam jamuan makan. Pada saat itu, Nulji mengutarakan keinginannya untuk membawa adik-adiknya pulang ke Silla dan meminta saran mereka. Raja juga bertanya andaikan ada salah-satu dari mereka yang mau membawa adik-adiknya pulang. Tapi, para pejabat dan jenderalnya menjawab bahwa keinginan raja itu adalah hal yang mustahil.

Nulji semakin sedih mendengar jawaban para pejabat dan jenderalnya. Tapi, ada satu pejabat senior yang mengajukan diri. Pejabat itu bernama Park Jesang.

Park Jesang adalah seorang menteri istana Silla. Beliau dikenal sebagai seorang loyalis raja. Park Je-sang (lahir tahun 363) adalah keturunan pendiri Silla Park Hyeokgeose dan juga keturunan dari Raja Pasa (raja Silla ke-5). Sejak masih kecil, Park Je-sang sangat pintar. Saat dia telah memenuhi tugasnya sebagai pejabat di salah-satu daerah kekuasaan Silla, beliau ditarik oleh Raja Nulji untuk mengabdi di istana.

Park Jesang meminta Nulji memberikannya perintah kerajaan untuk membawa pulang adik-adik raja itu. Nulji sangat terharu mendengar keberanian Park Jesang dan menganugerahkannya banyak gelar dan hadiah sebelum dia berangkat. Raja mengijinkan Park Jesang minum di cawan yang sama dengan raja dan melepas kepergiannya dengan suasana yang penuh cinta. Nulji menggenggam tangan Park Jesang saat mengantar Park Jesang meninggalkan istana. Itu adalah tanda persahabatan dan penghormatan yang sangat tinggi dari seorang raja. Saat melaksanakan tugas itu, Park Jesang telah berusia 64 tahun.

Tugas pertama Park Jesang adalah menuju Goguryeo dengan menyamar. Berkat kecerdikannya, Park Jesang berhasil masuk ke wilayah istana tempat Pangeran Bokho tinggal. Park Jesang lalu menjelaskan rencananya pada Pangeran Bokho dan mengatur tempat pertemuan mereka untuk melarikan diri. Untuk itu, Pangeran Bokho beralasan sakit sehingga tidak bisa memberikan “penghormatan pagi” di istana pada raja Goguryeo selama beberapa hari. Pangeran Bokho lalu memanfaatkan waktu yang terbatas itu untuk melarikan diri dari Pyeongyang menuju Kaeseong. Dari sana, Park Jesang dan Pangeran Bokho berusaha menuju Silla sesegera mungkin. Tapi, raja Goguryeo yang marah lalu memerintahkan pasukan untuk memburu mereka di Kaeseong. Pelarian Pangeran Bokho ini akhirnya berhasil berkat bantuan dari orang-orang Goguryeo, sebab selama berada di Goguryeo, Pangeran Bokho sangat ramah dan membantu banyak orang Goguryeo sehingga dia dicintai banyak orang Goguryeo dan juga penghuni istana. Bahkan, pasukan yang mengejarnya diperintahkan oleh komandan mereka untuk memanahnya dengan menggunakan panah yang ditumpulkan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972). Mereka akhirnya tiba dengan selamat di istana Silla dan disambut dengan sukacita oleh Raja Nulji dan seluruh Silla.

Tapi, Raja Nulji masih tetap bersedih memikirkan adiknya, Pangeran Misaheun, yang tidak pernah kembali dari Jepang selama 30 tahun. Park Jesang lalu meminta raja memberikan perintah kerajaan padanya agar dia bisa berangkat ke Jepang. Nulji akhirnya kembali memberikan perintah kerajaan pada Park Jesang. Menteri setia ini langsung berangkat ke Jepang setelah mendapat perintah raja, padahal saat itu dia belum sempat mengunjungi rumahnya. Istrinya mengejar Park Jesang ke pelabuhan sambil membawa kuda putih bagi suaminya, tapi kapal Park Jesang telah berangkat. Istrinya menangis dan meminta Park Jesang kembali agar dia dapat mengucapkan salam perpisahan, tapi Park Jesang hanya bisa melambaikan tangannya dari atas kapal.

Park Jesang akhirnya tiba di Jepang (kemungkinan besar di Pulau Kyushu) dan langsung menghadap pada kaisar. Di hadapan kaisar, Park Jesang mengaku sebagai mengaku sebagai seorang bangsawan Silla yang melarikan diri dari kejaran raja Silla.

Raja Gyerim (nama Silla pada masa itu) telah membunuh ayah dan kakak-kakakku tanpa alasan yang jelas, sehingga saya melarikan diri dan tiba di wilayah kerajaanmu untuk mencari suaka.” Kata Park Jesang.
Raja Shiragi (sebutan Silla bagi orang Jepang) bukan raja yang baik,” kata penguasa Jepang itu. “Aku akan memberikan padamu tempat yang nyaman untuk tinggal
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 63, tahun 1972).

Setelah mendapat kepercayaan kaisar, Park Jesang secepat mungkin menghubungi Pangeran Misaheun dan menjalin komunikasi dengannya, juga mulai merencanakan pelarian mereka. Mereka berdua sering memancing bersama pada pagi hari dan memberikan hasil tangkapan mereka pada kaisar sehingga kaisar sangat senang dan menyayangi mereka tanpa mencurigai apapun.

Akhirnya, kesempatan yang mereka tunggu-tunggu tiba. Saat itu, kembali memancing di laut seperti biasa, tapi kabut tebal menyelimuti pulau tempat mereka berada. Melihat situasi seperti itu, Park Jesang langsung menyarankan pada Pangeran Misaheun agar segera melarikan diri. Tapi, Pangeran Misaheun harus melarikan diri sendirian sebab Park Jesang harus tetap tinggal untuk menghalangi pasukan musuh. Tapi, Pangeran Misaheun menolak usul Park Jesang.

Dengan perasaan yang sedih, Pangeran Misaheun berkata,
Saya sudah menganggapmu seperti ayahku dan kakakku. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dan pergi seorang diri?”
Jika saya bisa menyelamatkanmu dan menyenangkan hati raja-ku saya akan sangat bahagia. Saya tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri,” jawab Park Jesang lalu menuangkan anggur ke cawan pangeran sebagai tanda perpisahan (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Beliau lalu memerintahkan Kang Guryeo, seorang awak kapal dari Silla untuk membawa pangeran pergi.

Park Jesang lalu kembali ke rumah pangeran dan menjalani hari seperti biasanya. Pada penjaga-penjaga, dia memberitahukan bahwa Pangeran Misaheun baru pulang berburu dan sangat lelah sehingga harus istirahat. Para penjaga ini mulai curiga dan memeriksa kamar sang pangeran. Park Jesang lalu memberi-tahukan pada mereka bahwa Pangeran Misaheun telah pulang ke Silla.

Pelarian Pangeran Misaheun membuat kaisar murka dan menangkap Park Jesang. Saat kaisar menanyakan alasan Park Jesang melakukan hal itu, Park Jesang pun menjawab,
Aku adalah rakyat Gyerim (Silla) dan bukan bawahanmu. Aku harus melakukan apa yang diperintahkan rajaku. Saya tidak memiliki hal lain yang bisa dikatakan.”

Jawaban Park Jesang ini membuat kaisar murka, dan memerintahkan agar Park Jesang dihukum dengan menggunaan metode penyiksaan terberat. Tapi, kaisar kagum pada keteguhan hati Park Jesang menawarkan pembebasan dan hak kebangsawanan bagi Park Jesang jika mau mengabdi padanya. Tapi Park Jesang menjawab:
Lebih baik menjadi seekor babi atau anjing di Gyerim ketimbang menjadi seorang bangsawan disini.
Lebih baik dicambuk dengan cemeti panjang di Gyerim ketimbang menerima gelar bangsawan Jepang.
(Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972).

Kaisar pun memerintahkan penyiksaan yang mengerikan untuk menghukum Park Jesang.

Setelah kulit paha Park Jesang dikuliti, kaisar bertanya pada Park Jesang,
Jadi, pada siapa kau mengabdi?” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)

Park Jesang pun menjawab bahwa dia adalah abdi Silla. Kaisar pun memerintahkan agar Park Jesang berdiri di besi panas dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dan Park Jesang tetap menjawab,
Saya adalah abdi Gyerim” (Ha Taehung, Samguk Yusa halaman 64, tahun 1972)
Akhirnya kaisar menyerah, dan memerintahkan dia digantung. Jenasahnya lalu dikremasi oleh orang Jepang. 

Lepas dari semua itu, Pangeran Misaheun berhasil tiba di pantai wilayah Silla. Beliau mengirim Kang Guryeo ke istana di Seorabeol untuk mengumumkan kedatangannya. Raja Nulji sangat terkejut saat mendengar adiknya sudah tiba di Silla. Bersama dengan Pangeran Bokho, beliau langsung berangkat menemui Pangeran Misaheun. Saat mereka melihat Pangeran Misaheun, raja dan Pangeran Bokho yang mengikutinya langsung menangis dan berlari memeluknya. Raja mengadakan jamuan besar untuk menyambut adik bungsunya itu.

Ditengah-tengah kegembiraan itu, ada kesedihan ditengah-tengah mereka. Park Jesang tidak kembali.

Raja sudah menduga apa yang terjadi pada Park Jesang, dan sebagai penghormatannya, raja mengadakan jamuan kerajaan untuk menghormati Park Jesang. Raja menganugerahi istrinya gelar kebangsawanan yang sangat tinggi yang hanya satu tingkat lebih rendah dari ratu (di-era modern setara dengan “Grand Duchess”). Raja juga menikahkan Pangeran Misaheun dengan salah-satu putri Park Jesang. Tapi, isteri tidak mau menikmati semua hadia raja karena kesedihannya. Beliau dan 3 putrinya yang lain pergi ke bukit Chisulryeong dan memandang ke arah Jepang. Istrinya meninggal tidak lama kemudian di bukit itu.

Kesetiaan Park Jesang ini terus diabadikan secara turun-temurun melalui literatur-literatur dan penceritaan lisan orang-orang Silla dan Korea hingga era Joseon, dan terus didengungkan pada era perjuangan kemerdekaan Korea dari Jepang dikalangan pejuang Korea agar mengingatkan bahwa mereka bukanlah abdi Jepang melainkan abdi Korea, seperti kata-kata terakhir Park Jesang.




PERANG BAEKGANG

Silla adalah kerajaan terkecil diantara Tiga Kerajaan, oleh karena itu kerajaan ini adalah kerajaan yang paling sering diserbu oleh dua kerajaan Korea lainnya, dan juga dengan Jepang. Bosan dengan gangguan-gangguan itu, Silla bertekad menaklukan dua kerajaan lainnya dengan membentuk aliansi dengan Kekaisaran Tang. Perang penyatuan Tiga Kerajaan pun dilakukan dengan target pertama mereka adalah kerajaan Goguryeo. Tapi, Goguryeo masih terlalu kuat bagi Silla-Tang sehingga mereka mengubah target pertama mereka ke kerajaan lainnya, Baekje.

Secara dramatis, Kerajaan Baekje berhasil ditaklukan. Baekje yang telah berdiri selama 678 tahun akhirnya runtuh pada 18 Juli 660. Runtuhnya Kerajaan Baekje ini sangat mengejutkan seluruh penjuru Goguryeo, dan terlebih lagi sekutu utama mereka, Jepang.

Tapi, rupanya Baekje belum sepenuhnya runtuh. Saat Raja Uija menyerah, para bangsawan Baekje yang dipimpin oleh Gwisil Boksin melarikan diri ke Jepang meminta bantuan sekutu setia mereka itu. Sisa-sisa pasukan Baekje juga bergerilya melawan pasukan pemerintahan proktetorat Tang yang berpusat di Sabi. Jepang yang sejak dulu dibantu oleh Baekje merespons positif permintaan Baekje. Pada Agustus 661 bala bantuan pertama Jepang yang dikirim oleh Kaisarina Semei tiba di wilayah Baekje. Kaisarina Semei sendiri yang melepas kapal-kapal Jepang itu. Tak lama setelah kapal-kapal pertama itu berangkat, Kaisarina Semei meninggal dunia. Bala bantuan pertama ini terdiri dari 170 kapal dan 5.000 prajurit dibawah pimpinan Jenderal Abe no Hirafu.

Usai menaklukan Baekje (660 M), Silla mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo ditahun berikutnya. Tapi, penyerbuan ke Goguryeo ini gagal total (662 M) dan membuat pasukan Tang kehilangan sejumlah besar pasukan. Ditahun yang sama, Kekaisaran Jepang mengirimkan pasukan gelombang kedua dalam jumlah yang lebih besar (662 M), yang terdiri dari dua pasukan: 27.000 prajurit pimpinan Jenderal Kamitsukeno no Kimi Wakako dan 10.000 prajurit yang dipimpin Jenderal Iohara no Kimi. Pangeran Buyeo Pung (Putra bungsu Raja Uija) yang sudah tingga selama 30 tahun di Jepang ikut dalam rombongan ini sebagai calon raja Baekje.

Situasi pasukan Silla-Tang pada masa ini sangat sulit. Usai ditarik mundur dari Pyeongyang, pasukan Tang langsung menghadapi serbuan dari pasukan Kekaisaran Tibet. Serbuan ini membuat mereka tidak bisa kembali ke wilayah Korea dalam waktu lama. Sedangkan, Silla justru harus menghadapi rangkaian serbuan koalisi Goguryeo-Magal yang terjadi selama lebih dari 5 tahun.

Kekalahan di Goguryeo, penyerbuan tentara Tibet ke wilayah Tang, dan serbuan masif pasukan Goguryeo-Magal dimanfaatkan oleh pasukan restorasi Baekje dan Jepang untuk merebut kembali wilayah-wilayah lama Baekje, dan mulai melancarkan perang dengan Silla.

Sebagai respon, pada Agustus 663 pasukan Silla dan para Hwarang (dipimpin oleh Kim Ohgi) mengepung ibukota restorasi Baekje di Benteng Juryu. Pasukan restorasi Baekje sendiri dipimpin oleh Gwisil Boksin (sepupu Raja Uija). Di Benteng Juryu itu Gwisil Boksin, Pangeran Buyeo Pung (putra bunsu Raja Uija) dan Biksu Dochim, dan sebagian pasukan Jepang berjuang mempertahankan benteng terakhir Baekje itu. Pada 27 Agustus 663 armada utama Jepang di Korea yang berada di wilayah pantai terluar Korea dikirim menyusuri Sungai Geum untuk menghalau pengepungan pasukan Silla di Benteng Juryu. Tapi Tang memblokade pasukan bantuan Jepang itu sehingga meletuslah pertempuran sengit di sungai Geum yang dikenal sebagai Perang Baekgang atau Perang Hakusukinoe oleh orang Jepang.

Armada Jepang diblokade oleh pasukan Tang dengan menggunakan 170 kapal dan 7.000 prajurit. Kapal-kapal Tang merapatkan barisan kapal mereka dan berusaha menghalau serangan Jepang. Keesokan harinya, armada bantuan Jepang juga tiba dengan jumlahnya lebih besar dari armada Tang. Namun, sungai Geum yang sempit membantu armada Tang karena armada Jepang hanya bisa menyerbu pertahanan terdepan Tang sehingga Tang dapat melindungi kapal-kapal di sisi kanan dan kiri dan bagian belakang selama pertempuran. Jepang sangat yakin pada keunggulan jumlah mereka dan menyerang armada Tang setidaknya tiga kali sepanjang hari, tapi Tang masih mampu bertahan walau kewalahan.

Terlepas dari situasi di Perang Baekgang, koalisi pasukan restorasi Baekje dan pasukan Jepang di Benteng Juryu juga menghadapi situasi yang tidak kalah genting. Pasukan infanteri dan kaveleri Silla bersama dengan pasukan Hwarang mengepung Benteng Juryu selama berminggu-minggu sehingga membuat pasukan restorasi Baekje sangat frustasi. 

Situasi di Sungai Geum juga tidak berbeda jauh bagi kubu pasukan restorasi Baekje. Masih pada hari yang sama, 28 Agustus 663 menjelang malam prajurit Jepang frustasi dan kelelahan karena mereka tidak henti-hentinya menyerbu armada Tang tanpa hasil. Armada mereka juga kehilangan kohesi setelah berulang kali mencoba untuk menerobos garis pertahanan Tang. Pasukan Tang melihat peluang ini dan melakukan serangan balasan. Armada Tang bukan menerobos pertahanan terdepan melainkan sisi kiri dan kanan armada Jepang, hingga akhirnya kapal-kapal Tang berhasil menembus hingga bagian belakang armada Jepang dan mengepung armada mereka sehingga mereka tidak bisa bergerak atau mundur. Sejumlah besar pasukan Jepang jatuh ke air dan tenggelam, dan banyak kapal mereka dibakar dan ditenggelamkan oleh pasukan Tang. Perang ini diakhiri oleh kematian admiral utama armada Jepang, Jenderal Echi no Takutsu yang tewas setelah dia membunuh lusinan pasukan Tang yang menerobos ke kapalnya.

Di waktu yang hampir bersamaan, keadaan di Benteng Juryu senada dengan di Sungai Geum, tapi mungkin lebih buruk karena mereka saling menyerang satu sama lain. Di tengah-tengah pertempuran yang kian sengit, entah karena perbedaan pendapat atau karena ketidak-setiaan salah-satu dari mereka, Gwisil Boksin berusaha untuk membunuh Pangeran Pung setelah sebelumnya Biksu Dochil tewas ditangannya. Namun, pada perkelahian itu Pangeran Pung berhasil membunuh Gwisil Boksin. Kematian Gwisil Boksin menjadi pertanda buruk bagi pasukan restorasi Baekje. 

Kekalahan armada Jepang mengakibatkan pasukan Baekje terisolasi di Benteng Juryu. Pertempuran di Benteng Juryu berakhir pada 7 September 663 dengan kemenangan di pihak Silla. Pangeran Buyeo Pung terpaksa melarikan diri dengan menggunakan perahu ke Goguryeo. Dia hidup dalam pengasingan hingga akhir hidupnya karena setelah Goguryeo runtuh, Pangeran Pung ditangkap dan diasingkan ke wilayah Utara.

Perang Baekgang adalah kekalahan terbesar Jepang dalam sejarah kuno dan kekalahan maritim terbesar mereka sebelum Perang Imjin. Berdasarkan semua sumber sejarah dari Jepang, Korea, dan China, kerugian Jepang sangat besar dan jumlah korban Jepang sangat banyak. Menurut catatan Nihon Shoki sekitar 400 kapal Jepang hilang dalam pertempuran, sedangkan catatan sejarah China mengklaim sekitar 10.000 prajurit Jepang tewas dalam perang itu. Sisa-sisa kapal Jepang yang berhasil selamat kembali ke Jepang dipenuhi oleh para pengungsi dari Baekje.

Dampak terbesar dari keruntuhan Baekje bagi Jepang adalah mereka kehilangan sekutu utama di Asia Timur sebab Kerajaan Baekje merupakan sumber perkembangan teknologi, agama Buddha, dan peningkatan budaya bagi Jepang.

Kekalahan ini mengubah Jepang menjadi kerajaan yang lebih defensif padahal dulu mereka sangat agresif menyerbu Silla, bahkan membunuh seorang pangeran Silla (Seok Uro). Jepang lalu melakukan reformasi yang sangat terkenal, Reformasi Taika, yang dicetuskan oleh Pangeran Naka-no-Oe (Kaisar Tenji).

Ini adalah reformasi sistem birokrasi dan sistem militer Jepang yang lama menjadi sistem ala Dinasti Tang. Imbas dari reformasi ini, pada tahun 702, Kaisar Monmoku menerapkan sistem “Bangsawan Militer” yang terinspirasi dari kelompok Hwarang, yaitu dengan mewajibkan 3-4 laki-laki tiap keluarga bangsawan untuk mengabdi kepada kekaisaran sebagai perwira militer. Secara diam-diam, Jepang lalu mempelajari sistem kemiliteran Silla, juga ilmu beladiri dan ilmu berpedang para Hwarang yang berbeda dari ilmu beladiri dan ilmu berpedang Tiongkok. Inilah cikal-bakal Samurai Jepang, dan ilmu pedang kuno di Jepang.




PENYERBUAN KOALISI GORYEO-MONGOL KE JEPANG

Pada abad ke-13, Bangsa Mongol menjadi kekuatan baru di Asia dan Eropa Timur. Setelah sebelumnya mereka menaklukkan Dinasti Song di Tiongkok, mereka mulai menyerang Korea dan juga bertujuan menaklukan Jepang.

Perang dengan Goryeo ini adalah perang terlama yang dihadapi oleh Kaisar Kubilai Khan dan juga Kekaisaran Mongol sejak era Gengis Khan. Akhirnya, di tahun terakhir pemerintahan Raja Gojong (Raja Goryeo ke-23), setelah beperang selama 30 tahun, Goryeo akhirnya menyerah (1259) dan menjadi kerajaan jajahan Kekaisaran Yuan (Mongol). Goryeo cukup beruntung sebab dari semua kerajaan yang takluk setelah berperang dengan Mongol, Goryeo adalah satu-satunya kerajaan solid yang tidak dihancurkan oleh Mongol.

Raja Gojong lalu digantikan oleh putranya yang lemah, Raja Wonjang. Masa pemerintahannya adalah awal masa ketika Goryeo mendapat pengawasan dan intervensi yang sangat ketat dari pemerintah Yuan (Mongol).

Wonjong hanya memerintah selama 3 tahun dan digantikan oleh putranya, Raja Chungyeol (raja Goryeo ke-25). Chungyeol adalah Raja Goryeo pertama yang dikenang hanya memakai gelar “Wang” (Raja), sebab para raja sebelumnya mendapat nama kuil dengan akhiran -jo atau -jong (artinya "leluhur terhormat"). Kaisar Kubilai Khan merasa gelar itu merupakan ancaman baginya dan memerintahkan agar raja-raja Goryeo tidak boleh memakai nama itu lagi. Pada masa pemerintahan Chungyeol inilah untuk pertama kali dalam sejarah Korea menyerbu Jepang sehingga membuatnya menjadi raja Korea pertama dan satu-satunya yang menyerbu Jepang.

Kaisar Kubilai Khan adalah pemimpin yang sangat ambisius. Beliau ingin menguasai seluruh Asia Eropa dan membuat kerajaan-kerajaan di wilayah itu takluk padanya. Penaklukan Kekaisaran Song dan Goryeo hanya permulaan. Kaisar mengirim pasukan Mongol menyerbu wilayah Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Indonesia. Pasukan Mongol gagal menaklukan Indonesia dengan cara yang sangat memalukan. Setelah utusan pertama mereka dipermalukan oleh Raja Kertanegara (raja terakhir Kerajaan Singasari), pasukan Mongol yang dikirim untuk menghukum Indonesia dikelabui dan dikalahkan oleh Raden Wijaya (raja pertama Kerajaan Majapahit). Indonesia memang adalah wilayah yang sulit ditaklukan karena merupakan wilayah kepulauan, dan juga pusat-pusat pemerintahan kerajaan-kerajaannya terpisah dari daratan utama Asia.

Kejadian memalukan yang dialami oleh pasukannya di Indonesia tidak mengurungkan niat Kubilai Khan untuk menyerbu kerajaan kepulauan lainnya, Jepang.

Serbuan Mongol ke Jepang diwujudkan oleh Kaisar Kubilai Khan pada tahun 1274 setelah ultimatumnya pada Jepang tidak diindahkan oleh pihak istana Jepang. Untuk mengamankan tahtanya, Chungnyeol dengan sukarela menawarkan bantuan dan mengirim angkatan laut Goryeo sebagai bantuan pada armada Mongol untuk menyerang Jepang.

Serbuan aliansi Mongol-Goryeo ke Jepang ini membuat seluruh Jepang, yang saat itu terpecah-pecah oleh sistem feodal, bersatu. Para daimyo mengirimkan tentara mereka agar bisa bergabung dengan tentara kekaisaran. Aliansi Mongol dan Goryeo ini tentu sangat menakutkan bagi Jepang sebab kedua kerajaan ini sudah terbiasa dengan perang melawan bangsa asing, sedangkan Jepang, sejak kekalahan di Perang Baekgang 600 tahun lalu, tidak pernah lagi menyerang negara lain. Hal lain yang ditakutkan Jepang adalah kekuatan armada Goryeo. Armada Goryeo secara tidak langsung membantu Jepang mengatasi bajak laut yang berkeliaran di antara perairan Korea dan Jepang, dan dibanding Jepang, Goryeo jauh lebih berhasil. Kehebatan armada Goryeo juga membuat wilayah Korea aman dari serbuan asing. Mereka hanya kalah dari Mongol melalui perang darat, yang juga sangat melelahkan pasukan Mongol.

Tapi, upaya armada laut aliansi Yuan dan Goryeo untuk menguasai Jepang berakhir dengan bencana. Armada laut mereka hancur oleh badai besar yang dikenal dengan nama "Kamikaze".

Kegagalan armada pertama membuat Kubilai Khan murka. Tapi itu tidak membuat bangsa Mongol mundur dari Jepang. Bersama Goryeo, Mongol kembali menyerang Jepang tahun 1281. Armada pada invasi kedua ini terdiri dari 4.400 kapal perang. Namun, kali ini Bangsa Jepang telah siap dan pasukan aliansi ini tetap kalah.

Kekalahan ini membuat Korea banyak belajar. Mereka menyadari bahwa kapal perang mereka bukan kapal perang yang cocok untuk menyerang wilayah perairan Jepang yang pantai-pantainya lebih curam. Pengetahuan mengenai kapal-kapal perang Jepang melalui invasi ini sangat penting bagi Korea dan membantu mereka melawan armada Jepang 300 tahun kemudian saat Jepang menyerbu Korea dalam Perang Tujuh Tahun.




BAJAK LAUT WOKOU

Setelah kekalahan Mongol-Korea saat menginvasi Jepang pada abad ke-13 itu, pelaut-pelaut Jepang semakin percaya diri mengarungi lautan dan bahkan berani berlayar diluar perairan Jepang. Lama-kelamaan jumlah mereka semakin banyak.

Pada abad pertengahan ini, laut menjadi tempat pelarian bagi warga Jepang terutama yang memiliki masalah hukum. Bajak laut dari Jepang ini kemungkinan besar terdiri lebih dari satu kelompok. Kelompok-kelompok ini memiliki peraturan dan sistem organisasi yang semuanya serba misterius. Tidak jelas nama apa yang mereka gunakan sebagai sebutan bagi kelompok mereka. Tapi, orang Korea menyebut mereka, Waeku (왜구), atau Wokou.

Akasara kanji Wokou adalah “倭寇”, yang dalam pengucapan Jepang menjadi "wakō". Secara harafiah, Wokou diterjemahkan sebagai "bajak laut Jepang", tapi arti sebenarnya adalah "penjahat kerdil". Bangsa Jepang memang disebut “Bangsa Wa” dalam catatan-catatan Tiongkok. Negara mereka juga disebut “Negeri Wa”. Dalam bahasa China kuno, “Wa” berarti “kurcaci” atau “kerdil”, sehingga sebutan ini diberikan pada orang-orang Jepang yang pada masa itu memiliki tubuh yang jauh lebih pendek daripada bangsa Korea, Han (Tiongkok), Uygur, Turk, Tibet, dan bangsa-bangsa lain yang pernah berinteraksi dengan Tiongkok. Korea juga mengadopsi kata itu untuk menyebut Jepang sebab tubuh orang Korea memang jauh lebih tinggi dari bangsa Jepang pada masa kuno. Istilah “Wokou” adalah kombinasi dari kata “Wa”, yang artinya "kurcaci", dan “Kou”, yang berarti "penjahat".

Sebagai bajak laut Jepang, kehadiran Wokou tentu memperpanjang catatan buruk hubungan Korea-Jepang dimasa lalu. Tapi, kontradiktif dengan status mereka sebagai bajak laut Jepang yang kerap menyerbu Korea, saat itu kehadiran mereka justru memperbaiki hubungan Korea-Jepang yang kaku paska invasi Mongol, yang juga menggandeng pasukan Korea, ke Jepang.

Bajak laut Wokou sudah menjadi organisasi militer yang terorganisasi dengan baik dan fokus merampok pesisir Korea-Jepang, termasuk kapal-kapal Tiongkok yang melintas di sekitar wilayah itu. Ada dua era dalam sejarah pembajakan Wokou. Pertama adalah pada abad ke-13 hingga abad ke-14, dan periode kedua yang lebih pendek adalah pada abad ke-16.

Pada periode pertama eksistensi Wokou, kamp-kamp utama Wokou adalah Pulau Tsushima, Pulau Iki, dan Kepulauan Gotō, tapi mereka memusatkan perhatian di Semenanjung Korea sehingga mereka menjadi teror bagi penduduk kota-kota pesisir timur Goryeo. Pada era pemerintahan Raja Gongmin (raja Goryeo ke-31), raja mengirim Jenderal Choe Yeong dan Jenderal Yi Seong-gye (bakal raja pertama Joseon) untuk memerangi bajak laut ini. Goryeo memang adalah kerajaan yang paling mampu mengalahkan bajak laut Wokou, tapi lama-kelamaan Goryeo kewalahan menghadapi mereka. Raja Woo (pengganti Raja Gongmin) lalu mengirim Na Hong-yu sebagai utusan ke Jepang (1375) untuk meminta pemerintah Jepang membantu melawan bajak laut Wokou. Pemerintah Jepang menyanggupi tapi mereka hanya akan memerangi Wokou disekitar perairan mereka saja. Karena wilayah tradisional mereka diusik, akhirnya Wokou semakin fokus menyerang Korea untuk mendapatkan wilayah baru. Tahun 1376, bajak laut Wokou memasuki wilayah Goryeo dan menaklukan kota Gongju setelah mengalahkan walikota Kim Sa-hyuk. Untuk melawan mereka, Raja Woo memerintahkan membentuk pasukan besar yang dipimpin Jenderal Choi Young. Pasukan Jenderal Choi Young berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hongsan.

Kekalahan di Hongsan tidak berarti bajak laut Wokou tidak berhasil merampok kota-kota pesisir Korea. Salah-satu hasil rampokannya adalah ratusan warga Korea yang diculik oleh mereka. Orang Korea adalah yang terbanyak yang diculik oleh bajak laut Wokou. Untuk memulangkan kembali orang-orang Korea yang diculik, Raja Woo mengirim Jeong Mong-ju ke Jepang. Selama kunjungannya ke Kyushu, Gubernur Imagawa Sadayo berhasil menekan Wokou, dan mengambil kembali hasil rampasan mereka termasuk orang Korea. Berkat Jeong Mong-ju, orang-orang Korea yang diculik itu berhasil dibawa kembali ke Korea (1377). Ini menjadi kerjasama yang sukses antara Korea dan Jepang usai pengalaman buruk dalam invasi Mongol sebelumnya. 

Usai kekalahan di Hongsan, Wokou mundur sementara dari Korea dan menyebar melintasi Laut Kuning ke Tiongkok. Tapi mereka kembali menghantui Korea pada tahun 1380. Kali ini, Jenderal Yi Seong-gye yang dikirim menghadapi Wokou. Beliau berhasil mengalahkan bajak laut Wokou di Hwangsan berkat bantuan Na Sae dan ilmuwan Choi Mu-seon (penemu bubuk mesiu Korea) yang berhasil membakar lebih dari 500 kapal bajak laut dengan menggunakan mesiu dan meriam. Tiga tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Wokou kembali menyerbu Korea (1383). Kali ini, Jendral Jeong Ji yang dikirim untuk memerangi mereka dan sang jenderal berhasil menghancurkan ratusan kapal bajak laut Wokou.

Sembilan tahun setelah kekalahan Wokou di Hwangsan, Kerajaan Goryeo runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Joseon yang didirikan oleh seorang jenderal yang dulunya menjadi salah-satu musuh utama Wokou, Yi Seong-gye.

Belajar dari pengalaman, Yi Seong-gye dan putranya menaruh perhatian khusus dalam memerangi bajak laut ini. Seakan tidak mau kalah dengan gebrakan Korea, Shogun Ashikaga Yoshimitsu mengirim 20 bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap ke Tiongkok, di mana mereka direbus dalam kuali di Ningbo (1405). meski mendapat perlawanan, Wokou masih mengganggu Korea pada masa pemerintahan Yi Bang-won sehingga membuat Yi Bang-won mengInvasi Pulau Tsushima (1419). Upaya Yi Bang-won menumpas bajak laut Wokou dilanjutkan oleh putranya, Raja Sejong Yang Agung, dalam Ekspedisi Timur Gimhae ke Pulau Tsushima.

Pada Ekspedisi Timur Gimhae ini, armada Korea dipimpin oleh Jenderal Yi Jong-mu. Armada ini terdiri dari 227 kapal dan 17.285 prajurit, dan berangkat dari Pulau Geoje Pulau Geoje (Mei 1419) dan tiba di Pulau Tsushima (19 Juni 1419). Armada Korea ini dipandu oleh bajak laut Wokou yang berhasil ditangkap. Setelah mendarat, Jenderal Yi Jongmu mengirim bajak laut yang mereka tangkap itu sebagai utusan yang menyampaikan ultimatum Korea pada pemimpin Wokou. Pemimpin Wokou tidak mengirim jawaban sehingga pasukan Jenderal Yi Jongmu mulai menyerang markas Wokou itu dan menghancurkan pemukiman mereka. Pasukan Korea menghancurkan 129 kapal Wokou dan 1.939 rumah mereka. Sebanyak 700 perompak berhasil dibunuh, dan 110 lainnya ditangkap hidup-hidup dan dijadikan budak. Pada ekspedisi itu, 180 tentara Joseon tewas. Pasukan Korea membebaskan para tawanan termasuk 135 warga Korea dan 140 orang China yang diculik oleh bajak laut.

Ekspedisi Timur Gimhae yang digalakkan oleh Raja Sejong berhasil menumpas Wokou sehingga membuat mereka hilang dari perairan Korea selama lebih dari 100 tahun. Dampak lain dari keberhasilan Ekspedisi Timur Gimhae ini adalah Perjanjian Gyehae yang dicapai 24 tahun kemudian (1443) yang memuat pengakuan Daimyo Pulau Tsushima atas kedaulatan Raja Joseon di wilayahnya.

Keberhasilan Ekspedisi Gimhae malah membuat Kekaisaran Ming mengembargo Jepang dengan melarang perdagangan sipil dengan Jepang, meskipun masih mengijinkan perdagangan antar-pemerintah. Embargo ini tidak sepenuhnya berhasil karena para pedagang Tiongkok tetap melindungi kepentingan mereka. Pedagang-pedagang ini terus berdagang dengan Jepang secara ilegal. Kenyataan bahwa perdagangan antar-pemerintah itu tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri Tiongkok dan membuat banyak perajin bangkrut justru memicu era kedua perompakan Wokou yang justru menjadi masa keemasan para perompak itu.

Pada periode kedua ini, sepertinya Wokou sudah cukup trauma mengganggu Korea sehingga mereka hampir tidak terlalu mengganggu wilayah perairan Korea, dan menjadikan Tiongkok sebagai basis mereka setelah Jepang. Pada masa keemasannya sekitar 1550-an, Wokou beroperasi di lautan Asia Timur mampu berlayar di sungai-sungai besar termasuk Sungai Yangtze.

Walaupun tidak lagi secara khusus menargetkan Korea sebagai sasaran perompakan mereka tapi Bajak laut Wokou sempat masuk dan menjarah wilayah pesisir selatan Korea pada masa pemerintahan Raja Jungjong (raja Joseon ke-11). Wokou juga masih menyerbu Korea pada masa pemerintahan Raja Myeongjong (raja Joseon ke-13). Raja Myeongjong lalu menghukum seorang bajak laut asal Tiongkok yang berpura-pura menjadi orang Jepang. Kisah pamungkas serbuan Wokou ke Korea adalah para bajak laut yang berkebangsaan Jepang dilibatkan oleh seorang jenderal Jepang saat Jepang menginvasi Korea dalam Peang Tujuh Tahun.




PERANG TUJUH TAHUN

Perang Tujuh Tahun (Imjin) adalah perang maritim terbesar dalam sejarah Korea dan Asia Timur, dan juga menjadi salah-satu perang maritim terbesar dunia. Ini adalah perang yang sangat heroik di abad pertengahan. Terlepas dari dampak buruknya, perang ini menjadi salah-satu kebanggaan orang Korea dan juga kebanggaan sejarah Asia sebab perang ini menunjukan keanggungan orang Korea dan Asia. 

Selama ini, perang maritim yang paling terkenal rata-rata berasal dari pertempuran-pertempuran di kawasan Eropa, yang melibatkan bangsa-bangsa kuno di kawasan Eropa dan Asia Barat. Diwaktu yang sama dengan waktu terjadinya perang ini, tidak ada yang menyangka jika ada perang maritim besar yang berkecamuk antara sebuah kerajaan pertapa kecil dengan sebuah kekaisaran yang besar. Perang ini melibatkan banyak sekali jenderal dan admiral, dan juga membuahkan berbagai penemuan penting bagi dunia maritim.

Saat itu, Korea dipimpin oleh Raja Seonjo (raja Joseon ke-14). situasi Korea saat itu kurang baik. Berbagai konflik internal istana, persaingan antar menteri, hingga kudeta berdarah mewarnai pemerintahan saat itu yang dipimpin oleh Wangsa Yi (wangsa Kerajaan Joseon). Selain itu, pergerakan bangsa Manchu di utara membuat Seonjo mengirimkan banyak komandan militer yang berpengalaman ke perbatasan Utara, bersamaan dengan itu Seonjo juga harus menghadapi para pemimpin Jepang yaitu Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu di bagian selatan.

Awal mula perang ini adalah saat mantan abdi shogun pemersatu Jepang, Oda Nobunaga, yang bernama Toyotomi Hideyoshi berhasil muncul menjadi penguasa baru di Jepang. Berbeda dengan Oda Nobunaga yang ingin bekerja sama dengan negeri asing dan mengutamakan diplomasi, Hideyoshi memilih untuk menjadi seorang agresor.

Shogun baru ini memiliki ambisi yang dulu diutarakan pada Oda Nobunaga, menaklukan dunia. Bagi seorang Hideyoshi, dunia itu diawali oleh Tiongkok. Untuk itu, beliau mengirim delegasinya ke Raja Seonjo untuk meminta izin melewati Semenanjung Korea menuju Tiongkok. Permintaan juga bermakna mereka akan berperang melawan Joseon yang menjalin aliansi dengan Kekaisaran Ming. Seonjo, yang terperanjat, menolak permintaan itu dan secepat mungkin mengirim surat ke istana Ming untuk memperingatkan bahwa Jepang sedang mempersiapkan perang berskala penuh melawan aliansi Korea-Ming.

Orang-orang Korea mulai khawatir jika Jepang menyerang negeri mereka. Para pejabat mendesak raja untuk mengirim para delegasi ke Hideyoshi untuk mencari tahu apakah Hideyoshi sedang mempersiapkan untuk invasi atau tidak. Namun dua faksi pemerintahan yang kerap berseteru tidak mencapai kata sepakat mengenai kepentingan nasional ini sehingga sebuah persetujuan dibuat dan satu delegasi dari setiap faksi dikirim ke Hideyoshi. Ketika para utusan itu kembali ke Korea, laporan mereka justru menambahkan kebingungan. Hwang Yun-gil, dari Faksi Barat, melaporkan bahwa Hideyoshi sedang meningkatkan jumlah pasukan dalam jumlah yang sangat besar, tapi Kim Seong-il dari Faksi Timur melaporkan kalau pasukan besar digunakan untuk mempercepat reformasi, mencegah pelanggaran hukum, melawan para bandit. Karena Faksi Timur memiliki lebih banyak suara, laporan dari Hwang Yun-gil diabaikan dan Seonjo memutuskan untuk tidak bersiap-siap perang, padahal saat itu Daimyo dari Tsukushima (pulau yang menjalin hubungan dagang dengan Joseon) sudah memperingatkan akan ambisi Hideyoshi dan hasratnya untuk menaklukkan Asia termasuk Joseon.

Secara tiba-tiba, pada 13 April 1592, armada pertama Jepang (sekitar 700 kapal) di bawah pimpinan Konishi Yukinaga menyerang Korea. Konishi dengan mudah membakar Benteng Busan dan Benteng Donglae, membunuh komandan Jeong Bal dan Song Sang-hyeon, dan menuju ke arah utara. Raja Seonjo panik dan mengirim Jenderal Sin-rip (Wakil Menteri Perang) dan Jenderal Yi Il ke Chungju bersama 8.000 tentara kavaleri, tapi semuanya sudah terlambat..

Pada hari berikutnya datang pasukan lebih banyak di bawah pimpinan Kato Kiyomasa dan Kuroda Nagamasa, dan menuju ke arah Hanyang. Shin-rip bergabung dengan Kim Su (Gubernur Gyeongsang), yang telah mengumpulkan pasukan besar di Daegu, lalu menuju Benteng Choryeong untuk memblokir jalan pintas yang akan digunakan pasukan Jepang ke ibukota. Armada Jepang yang besar dibawah pimpinan Todo Takatora dan Kuki Yoshitaka membantu mereka dari laut. Jenderal Yi Il menghadapi Kato Kiyomasa di dalam Perang Sangju, yang dimenangkan oleh Jepang. Namun, pasukan Jendral Yi Il dikalahkan oleh pasukan Jenderal Konishi Yukinaga. Kemudian Yi Il bertemu Sin-rip, namun gabungan pasukan mereka juga dikalahkan di dalam Perang Ch'ungju oleh Kato Kiyomasa. Shin-rip mengabaikan saran Pangeran Gwanghae (raja Joseon ke-15) yang menganjurkan menggunakan pasukan infanteri karena medan yang penuh lumpur dan mengerahkan pasukan kavaleri melawan pasukan infanteri Jepang yang dilengkapi berbagai jenis senapan. Pasukan Korea panik dan melarikan diri, tapi mereka tewas dibunuh prajurit Jepang dan tenggelam di sungai. Jendral Shin-rip dan beberapa komandan yang setia yang tidak mau melarikan diri memilih bunuh diri (1592). Ini adalah kekalahan pertama Korea dalam Perang Imjin

Seonjo lalu menunjuk Jenderal Kim Myeong-won sebagai Panglima Tertinggi dan memerintahkannya mempertahankan ibukota bersama dengan Putra Mahkota Gwanghae (penguasa de facto/in action Joseon saat itu). Raja terpaksa melarikan diri ke Pyongyang karena Jepang merebut ibukota. Raja akhirnya pindah lebih jauh lagi ke utara di kota Uiju karena Pyongyang juga direbut. Banyak orang yang telah kehilangan kepercayaan pada raja lalu merampok istana dan mengakibatkan lebih banyak kerusakan dari yang ditimbulkan pasukan Jepang.

Meskipun kalah dalam banyak pertempuran, angkatan laut Korea berhasil memotong bantuan logistik Jepang. Laksamana Yi Sun-sin beberapa kali mengalahkan armada Jepang dan kapal-kapal penyalur logistik, sehingga pasukan bantuan dari Ming pimpinan Jenderal Li Rusong bisa tiba di pantai-pantai Korea dan mulai memukul mundur Jepang ke arah selatan dan akhirnya merebut kembali Pyongyang. Pasukan Jenderal Gwon Yul juga yang jauh lebih kecil juga berhasil mengalahkan pasukan Jepang dalam Perang Hangju. Akhirnya, pada invasi pertama ini Jepang terpaksa menegosiasikan gencatan senjata dengan pihak Ming. Selama negosiasi ini, pasukan Korea berhasil merebut Hanyang. Invasi Jepang pertama ini merenggut nyawa salah-satu putra Seonjo, Pangeran Silseong, yang meninggal di pengungsian.

Masa gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Jenderal Yi Sun-shin untuk pergi ke wilayah Jeolla dan mengumpulkan kapal, awak-awak kapal dan prajurit, dan senjata. Beliau akhirnya berhasil merampungkan kapal perang yang dikenal dengan nama “Kapal Kura-kura”, yang merupakan kapal besi pertama di dunia.

Negosiasi damai antara Jepang dan Ming berakhir (1598) tanpa hasil positif. Jepang langsung berusaha merebut Hanyang baik dari rute darat dan laut. Mulanya rencana itu kelihatannya berjalan lancar ketika Jepang menang di Pertempuran Chilchonryang, namun saat armada Jepang berusaha melewati Sungai Myeongnang, mereka mendapat perlawanan sengit dari armada Korea pimpinan Laksamana Yi Sun-shin.

Raja Seonjo yang mengetahui bahwa Yi Sun-shin hanya mendapatkan 13 buah kapal menyarankan agar Yi Sun-shin bergabung dengan angkatan darat. Namun, Yi Sun-shin meyakinkan bahwa perairan di Jeolla dan Chungcheong harus dilindungi untuk mencegah pasukan Jepang menuju ibukota dari jalur laut.

Armada Yi Sun-shin bergerak ke Selat Myeongnyang. Myeongnyang adalah selat yang harus dilewati musuh untuk mencapai ibukota. Selat ini memiliki arus paling deras di Korea yang selalu berganti arah setiap 4 jam sekali. Di selat ini, Yi Sun-shin memasang kawat besi dibawah air yang dapat diputar menggunakan agar menggoyahkan kapal musuh dan membuat mereka saling bertabrakkan pada saat arus deras terjadi. Kapal Joseon mempunyai dasar berbentuk datar dan dangkal, sementara kapal Jepang yang memiliki dasar yang lancip dan dalam akan mudah tersangkut jebakan itu.

Pada 16 September 1597, armada Jepang tiba dengan 330 kapal, tapi berkat sempitnya selat Myeongnyang, hanya 130 kapal Jepang yang dapat masuk. Dalam waktu singkat, mereka sudah mengelilingi armada Yi Sun-shin. Kapal-kapal Korea menyerang dengan menembakkan panah dan meriam. Entah bagaimana, di dekat kapal Yi Sun-shin mengapung sesosok mayat musuh, yang ternyata adalah Jenderal Matashi Kurushima. Mayat itu ditarik dan diperlihatkan ke arah musuh dari haluan kapal sehingga menimbulkan kehebohan ditengah pasukan Jepang. Pada saat arus mulai deras, kekuatan arus mulai menggoyahkan kapal-kapal Jepang dan merusak posisi mereka. Pasukan Yi Sun-shin mulai mengencangkan kawat besi di bawah air. Kapal mereka mulai tersangkut dan mulai bertabrakkan satu sama lain. Laksamana Yi Sun-sin berhasil mengalahkan armada Jepang pimpinan Todo Takatora dalam Pertempuran Myeongnyang. Dari 130 kapal Jepang yang masuk ke Selat Myeongnyang, 31 kapal tenggelam dan 90 kapal rusak parah, tapi tak satupun kapal Yi Sun-shin yang kalah. 

Setahun setelah Pertempuran Myeongnyang, pada Agustus 1598, Hideyoshi akhirnya menarik semua pasukan Jepang dari Korea karena merasa kematiannya sudah dekat. Tapi, kapal-kapal Jepang yang hendak pulang ini dihadang oleh armada Yi Sun-shi dengan bantuan armada Kekaisaran Ming pimpinan Laksamana Chen Lien (en.wikipedia/yisunshin).

Dalam pertempuran tahap awal, armada Jepang dipukul mundur dengan 50 buah kapal dihancurkan sehingga mereka melarikan diri, namun mereka telah terjebak. Karena tak ada pilihan lain, mereka berbalik dan melawan. Kapal-kapal Jepang lalu mengincar kapal yang membawa Yi Sun-shin. Yi Sun-shin berkali-kali dalam bahaya karena hampir terkurung tapi beliau berhasil menghindar. Saat sedang meneriakkan perintah maju, Yi Sun-shin tertembus peluru yang ditembakan dari kapal musuh sehingga beliau terluka parah. Ia lalu meminta anak-buahnya menutupi tubuhnya dengan perisai dan merahasiakan kondisinya dari prajurit lain. Beliau menghembuskan napas terakhir didepan putra sulungnya dan keponakannya, yang berdua meneruskan pertempuran. Pertempuran ini dimenangkan armada Korea. Kekalahan Jepang di Pertempuran Noryang mengakibatkan hancurnya 450 buah kapal Jepang. Hasil dari pertempuran itu mengakhiri perang selama 7 tahun. Perang ini merupakan perang terbesar sepanjang sejarah Joseon dan menjadi salah-satu perang maritim terbesar dalam sejarah dunia.

Perang-perang laut ini adalah kebanggaan bagi Korea sebab mereka mampu menumbangkan pasukan musuh hanya dengan kekuatan yang sangat kecil. Tapi, perang ini membawa dampak negatif bagi semua yang terlibat, yakni Korea (Joseon), Ming, dan Jepang.

Kemenangan Korea dalam perang ini dibayar mahal. Infrastruktur hancur, termasuk istana-istana dan dan gedung-gedung pemerintahan. Para budak memberontak akibat musnahnya sebagian besar catatan budak. Keputusan raja yang melarikan diri dari ibukota membuat raja kehilangan kewibawaannya dimata rakyat dan para bangsawan, termasuk para cendekiawan Sungkyunkwan, dan mereka lebih menghormati Pangeran Gwanghae yang berjuang di medang perang demi merebut dan mempertahankan ibukota. Ketidakstabilan politik Joseon ini melemahkan pertahanan Joseon sehingga 30 tahun kemudian pasukan Manchu berhasil menaklukan Korea dengan pasukan yang lebih kecil daripada yang sebelumnya dikerahkan oleh Jepang.

Kemenangan pasukan mereka juga dibayar mahal oleh Kekaisaran Ming. Sikap kaisar Ming yang tidak bijaksana diperparah oleh kerugian besar akibat Perang Tujuh Tahun ini yang sangat mengganggu kas negara. Walaupun menang melawan Jepang tapi kekuatan pasukan Ming melemah drastis sehingga mengakibatkan mereka kewalahan menghadang kemajuan bangsa Manchu dibagian timur laut. Kurang dari 30 tahun setelah Perang 7 Tahun, Kekaisaran Ming diruntuhkan oleh bangsa Machu yang lalu mendirikan kekaisaran baru, Kekaisaran Qing.

Kekalahan dalam Perang 7 Tahun ini memberikan pelajaran yang sangat besar bagi Jepang. Perang ini menimbulkan kerugian yang besar bagi Jepang, baik itu kerugian finansial dan juga korban jiwa. Kepercayaan para daimyo pada klan Toyotomi juga menurun drastis, terlebih lagi pengganti Hideyoshi tidak secakap ayahnya. Tapi, ambisi Jepang untuk menaklukan Tiongkok tidak pernah surut. Jalur utama mencapai Tiongkok adalah daratan Semenanjung Korea sehingga Korea tetap menjadi bagian dari rencana jangka panjang mereka untuk menaklukan seluruh Asia. Setelah Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan Toyotomi Hideyori (penerus Hideyoshi), klan Toyotomi pun berakhir dan digantikan oleh klan Tokugawa yang menandai dimulainya era Edo. Keshogunan Tokugawa meniru politik isolasi Joseon yang bertahan selama 200 tahun. Selama era ini, Tokugawa berusaha mempersatukan seluruh Jepang dan menstabilkan politik, hingga akhirnya Kaisar Meiji naik tahta dan menghapus keshogunan dan melakukan restorasi. 

Restorasi Meiji yang berhasil memodernisasi seluruh Jepang dalam waktu yang sangat singkat menjadi indikator utama keruntuhan Kerajaan Korea (Kekaisaran Han Raya, penerus Kerajaan Joseon).



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; the Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Koreana (Korean Culture & Art) Vol.25.No.1; 2011; National Museum Of Korea
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


______________________________________________________________________________

ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.

JIKA ANDA MENYADUR SEBAGIAN BESAR ARTIKEL INI MAKA ANDA HARUS MENCANTUMKAN KALIMAT:
"ARTIKEL INI DISADUR DARI....(LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA",
ATAU:"SUMBER UTAMA DARI SEBAGIAN BESAR INFORMASI ARTIKEL INI DIAMBIL DARI (LINK ARTIKEL INI) YANG DITERBITKAN OLEH DELEIGEVEN MEDIA"  
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------