DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

Translate

Sunday 5 March 2017

HWARANG-HWARANG PENAKLUK BAEKJE








KIM HEUMDOL DAN KIM OHGI

Pada periode penaklukan Baekje ini ada dua Pungwolju yang memimpin Resimen Hwarang. Mereka adalah Kim Heumdol dan Kim Ohgi. Kim Heumdol memimpin Resimen Hwarang melawan pasukan Baekje dibawah pimpinan Jenderal Gyebaek dalam perang Hwangsanbeol, sedangkan Kim Ohgi memimpin Resimen Hwarang melawan koalisi pasukan Baekje dan Jepang yang berupaya merestorasi Baekje dalam perang Baekgang.

Kim Heumdol adalah Pungwolju ke 27 sedangkan Kim Ohgi adalah Pungwolju ke-28. Sebelum menggantikan Heumdol sebagai pungwolju, Kim Ohgi bertugas sebagai wakil pungwolju. Mereka adalah berduet memimpin Resimen Hwarang di pertengahan masa pemerintahan Raja Muyeol. Mereka adalah dua pungwolju yang memimpin Resimen Hwarang menaklukan Baekje dan menghancurkan sisa-sisa kekuatan Baekje.

Kim Heumdol lahir pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong di tahun 627. Nama Heumdol sebagai Pungwolju ditemukan dalam kitab-kitab sejarah Silla seperti Samguk Sagi dan Samguk Yusa. Marga Heumdol adalah “Kim” dari klan Kim Gyeongsang. Meskipun demikian, dia adalah salah-satu Pungwolju yang berdarah Gaya.

Kim Ohgi lahir pada masa pemerintahan Raja Jinpyeong di tahun 633, sehingga membuatnya menjadi pungwolju pertama yang lahir di-era ratu terbesar Korea ini. Dia lebih muda 6 tahun dari Kim Heumdol. Nama Kim Heumdol dan Kim Ohgi sebagai Pungwolju ditemukan dalam kitab-kitab sejarah Silla seperti Samguk Sagi dan Samguk Yusa. Walau sama-sama berasal dari klan Kim Gyeongsang, tapi berbeda dengan Heumdol yang setengah “Kim Gimhae” atau “Kim Gaya”, Ohgi murni “Kim Gyeongsang”.

Kim Heumdol adalah keponakan Kim Yushin dan Kim Heumsun, dan sepupu dari Raja Munmu. Dia adalah anak tunggal dari adik bungsu Yushin yang bernama Lady Jong-hee. Heumdol lalu menikahi sepupunya, Lady Jin-gwang (salah-satu putri Yushin) sehingga membuatnya menjadi salah-satu menantu Yushin. Salah-satu putri dari Heumdol dinikahi oleh Raja Sinmun (putra Raja Munmu) dan menjadi ratu pertama Raja Sinmun sehingga membuat Heumdol kelak mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan karena statusnya sebagai mertua raja.

Status sebagai bagian dari keluarga kerajaan telah dinikmati lebih dulu oleh Kim Ohgi sebab kakek maternal Kim Ohgi adalah Raja Jinpyeong (ayah ibunya, Putri Wooya), yang membuatnya menjadi salah-satu cucu raja yang berhak menyandang gelar pangeran sehingga beliau juga dikenal dengan nama “Pangeran Ohgi”. Kim Ohgi adalah adik-sepupu maternal Pangeran Chunchu (Raja Muyeol). Ayah Ohgi adalah Yewon (pungwolju ke-20) yang artinya Ohgi adalah salah-satu keturunan Wihwa (pungwolju pertama). Kim Ohgi adalah putra pertama Yewon. Kakek dan nenek paternal Ohgi adalah Bori (pungwolju ke-12) dan Lady Manryeong (anak Pangeran Jongsuk dan Putri Manho) yang artinya Ohgi adalah salah-satu cicit paternal Raja Jinheung. Kim Ohgi memiliki tiga orang adik perempuan yang bernama Putri Onhee, Putri Seonhee, dan Putri Woohee. Salah-satu putra Kim Ohgi bernama Kim Daemun. Kim Daemun ini adalah pengarang buku “Hwarang Sagi” yang menjadi sumber informasi tentang 15 pungwolju pertama.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Kim Heumdol dan Kim Ohgi menjadi seorang Hwarang namun jika usia penerimaan Hwarang adalah 14 tahun maka artinya Kim Heumdol bergabung dengan Resimen Hwarang pada tahun 641 dimasa pemerintahan Ratu Seondeok dan ketika Resimen Hwarang dipimpin oleh Kim Gun-gwang dan menjadi Pungwolju pada masa pemerintahan Raja Muyeol, sedangkan Kim Ohgi kemungkinan bergabung dengan Resimen Hwarang pada tahun 647, tepat setelah Pemberontakan Bidam meletus. Kim Heumdol lalu ditunjuk sebagai wakil Pungwolju ketika Jin-gong diangkat sebagai Pungwolju. Setelah Jin-gong pensiun pada tahun 656, Kim Heumdol lalu diangkat sebagai Pungwolju dan Kim Ohgi dipilih sebagai wakilnya.

Kim Heumdol berusia 29 tahun saat diangkat sebagai Pungwolju dan menjabat selama 6 tahun, sedangkan Kim Ohgi berusia 23 tahun saat mendampingi Kim Heumdol.

Kim Heumdol adalah salah-satu komandan Hwarang yang berperang membela kubu Ratu Seondeok ketika terjadi Pemberontakan Bidam. Kim Heumdol berusia 20 tahun ketika Pemberontakan Bidam meletus. Setelah pemberontakan Bidam meletus, bersama dengan senior-seniornya saat itu Kim Heumdol dan para Hwarang lainnya melakukan pembersihan atas seluruh kubu dan kerabat para pendukung Bidam. Berbeda dengan Kim Heumdol, Kim Ohgi justru salah-satu komandan Hwarang generasi pertama setelah pemberontakan yang dipimpin Bidam meletus. Menjadi Hwarang baru diperiode ini membuat Kim Ohgi dan rekan seangkatannya dididik lebih keras dengan tujuan mencegah pemberontakan yang sama terulang kembali dan untuk menjamin loyalitas mereka pada raja seumur hidup mereka. Ironisnya, angkatan Kim Ohgi ini justru menjadi saksi pembubaran Resimen Hwarang karena pemufakatan melawan raja yang justru dipimpin oleh Kim Heumdol.

Pemberontakan Bidam membuat pihak istana Silla harus bergerak cepat membereskan rentetan masalah internal Silla dan juga harus bergerak memperkokoh pertahanan Silla. Kim Heumdol seringkali bertugas mendampingi Jin-gong mengawal perbatasan dan keamanan dalam negeri. Dia juga mengawasi pemberlakuan sistem pajak “Umju” yang baru diterapkan oleh Ratu Jindeok agar tidak disalah-gunakan oleh para pejabat.

Begitu menjabat sebagai Pungwolju dan wakil Pungwolju pada 656, Kim Heumdol dan Kim Ohgi langsung bertanggung-jawab mempersiapkan Resimen Hwarang menghadapi periode klasik yang paling terkenal dalam sejarah Korea, “Perang Penyatuan Tiga Kerajaan”.

Kim Heumdol dan Kim Ohgi melanjutkan kerja-keras para seniornya seperti Chunjang dan Jin-gong dalam melatih dan memperkuat para Hwarang menghadapi perang besar. Perang ini membutuhkan kepastian dukungan dari pihak Kekaisaran Tang sebab Baekje sudah pasti didukung oleh Jepang, dan menjalin aliansi dengan Goguryeo bukan pilihan yang bijak bagi Silla sebab Goguryeo justru akan menjadi ancaman terbesar bagi Silla jika kelak mereka memanfaatkan aliansi itu untuk mencaplok Baekje. Melalui mata-mata mereka, kerajaan ini juga sudah mengetahui rencana Silla menaklukan Semenanjung Korea sehingga begitu Ratu Jindeok meninggal pada tahun 654 dan digantikan oleh Muyeol, Baekje bergabung dengan Goguryeo dan menyerbu Silla pada tahun 655. Silla kewalahan menahan serbuan ini sehingga terpaksa harus meminta bantuan Tang.






LATAR BELAKANG PENYERBUAN KE BAEKJE

Kerajaan Baekje adalah kerajaan yang lebih besar dari Silla. Sejak Silla berdiri, Baekje terus mengganggu Silla untuk dapat memperluas teritorinya ke bagian timur untuk memotong jalur ke Jepang yang terhalangi oleh wilayah Silla dan Konfederasi Gaya. Serbuan pertama Baekje ke Silla terjadi pada tahun 64 M ketika Silla dipimpin oleh raja ke-4, Raja Talhae. Saat itu, Raja Daru dari Baekje menyerang Benteng Jusan, padahal satu tahun sebelumnya dia mengirim duta besar untuk pertama kali ke Silla yang menandakan jalinan diplomatik pertama Silla dengan Baekje dalam sejarah. Serbuan Baekje berikutnya terjadi pada masa pemerintahan penerus Namhae, Raja Pasa pada tahun 85 masehi. Beruntung bagi Silla karena penerus Pasa, Raja Jima berhasil menjalan persahabatan dengan Raja Giru dari Baekje. Raja Jima juga berhasil menjalin persahabatan dengan Raja Kim Suro dari Gaya dan juga dengan Jepang. Perjanjian-perjanjian ini sangat menguntungkan bagi Silla sebab tiga kerajaan ini adalah ancaman terbesar Silla dan lebih berbahaya dibandingkan dengan Tiongkok. Berkat perjanjian-perjanjian damai ini Silla mampu membangun angkatan perangnya dan mampu menahan serbuan bangsa Magal. Bahkan, Raja Giru mengirim pasukan untuk membantu Silla dari serbuan bangsa Magal pada tahun 125 M itu. 31 tahun sepeninggal Raja Jima, hubungan Silla dengan Baekje kembali runyam akibat seorang pemberontak di Silla yang melarikan diri dan dilindungi oleh Raja Gaeru di Baekje. Raja Adalla, keponakan Jima yang menggantikan Raja Ilseong (penerus Jima) sebagai raja, menyerbu Baekje pada tahun 165 M yang menjadi serbuan pertama Silla ke Baekje yang dicatat dalam sejarah. Serbuan ini menjadi awal rentetan perang antara Silla dengan Baekje yang terus berlangsung hingga Raja Adalla meninggal dan digantikan oleh para raja dari klan Seok. Bahkan, setelah klan Seok digantikan oleh klan Kim Silla masih juga berperang dengan Baekje. Barulah di masa pemerintahan raja kedua dari klan Kim, Raja Naemul (memerintah tahun 356-402) terciptalah kesepakatan damai dengan Baekje. Kesepakatan damai ini berlangsung selama lebih dari seratus tahun, tapi penyerbuan Raja Jinheung ke lembah sungai Han (wilayah kekuasaan Baekje) pada akhir tahun 553 M menjadi penanda berakhirnya aliansi antara Silla dan Baekje yang telah terjalin hampir 200 tahun. 

Raja Jinheung menganggap perjanjian dengan Baekje pasti suatu saat akan rusak dan jika Baekje berkoalisi dengan Goguryeo atau Jepang dan menyerang Silla maka Silla pasti hancur. Oleh karena itu, Jinheung menjalin perjanjian militer rahasia dengan Goguryeo lalu menyerbu wilayah Baekje.

Raja Seong yang murka atas pengkhianatan Silla langsung melakukan serangan balasan ke Silla dengan mengerahkan 30.000 pasukan pada tahun 554. Malang bagi Baekje, pada pertempuran itu Raja Seong terbunuh dan empat orang menterinya. Kepala Raja Seong yang dipenggal dikuburkan di jalanan sebuah pasar yang ramai di Silla sebagai bentuk penghinaan bagi Baekje. 

Alasan Raja Jinheung menyerbu Baekje tidak lain karena rencana jangka panjangnya menaklukan Semenanjung Korea sebab bagi Jinheung, Silla akan aman jika dua kerajaan lainnya runtuh.

Era Jinheung kembali memulai rangkaian perang antara Silla dengan Baekje yang diakhiri oleh keruntuhan Baekje di-era pemerintahan cicitnya, Raja Muyeol.

Raja Muyeol mendapat dukungan penuh dari para bangsawan yang berkuasa sehingga beliau bisa dengan leluasa menerapkan kebijakan luar-negeri dan melakukan invasi ke Baekje. Diplomasi yang dilakukan oleh Muyeol memuluskan kerjasama sama militer antara Silla dengan Tang yang sangat penting dalam usaha Silla mempersatukan Semenanjung Korea. Kelihaian Muyeol dalam berdiplomasi juga membuat kelompok Mumyeong yang dulunya mendukung pemberontakan Bidam berhasil dirangkul dan bersama-sama berperang menaklukan Semenanjung Korea.

Terlepas dari semua alasan patriotik yang ada, alasan utama Muyeol ingin menaklukan dan menghancurkan Baekje adalah karena dendamnya pada Baekje yang membunuh putri pertama sekaligus putri kesayangannya, Putri Gotaso. Putri Gotaso terbunuh dalam serbuan Baekje ke salah-satu benteng Silla di era pemerintahan Ratu Seondeok. Jenasah sang putri bukannya dikembalikan kepada pihak Silla melainkan dibawa ke hadapan Raja Uija dan dipenggal lalu dipertontonkan pada seluruh rakyat Baekje. Sejak saat itu Muyeol bersumpah akan menghancurkan Baekje.







PERSIAPAN PENYERBUAN KE BAEKJE

Baik Silla maupun Baekje dan Goguryeo saling mengirimkan mata-mata ke wilayah masing-masing. Para Hwarang juga bertugas sebagai mata-mata, salah-satunya adalah senior Kim Heumdol, Kim Chunjang (Pungwolju ke-25) yang diperintahkan melakukan infiltrasi ke Hanseong (Seoul) yang saat itu merupakan wilayah Baekje. Selain Kim Chunjang, masa-masa ini juga melahirkan mata-mata legendaris dalam sejarah Silla, Kim Gwan-chang.

Kim Gwan-chang adalah junior Kim Heumdol dan Kim Ohgi. Beda usia mereka sekitar 12 tahun dan 18 tahun karena Kim Gwan-chang lahir pada tahun 645. Kim Gwan-chang seusia dengan putra Kim Heumdol, Kim Heum-on (Pungwolju ke-31) karena mereka lahir ditahun yang sama. Kim Gwan-chang adalah Hwarang muda yang sangat ahli menyamar. Saat dia baru masuk sebagai Hwarang, Kim Gwan-chang langsung mendapat pelatihan berat. Kuat dugaan Chunjang adalah mentornya dalam pelatihan sebagai mata-mata. Usianya baru menginjak 14-15 tahun saat dia berhasil menyusup ke perkemahan Baekje dan kembali dengan selamat ke Silla.

Sebelum Kim Gwan-chang menyusup ke Baekje, Raja Muyeol sudah bernegosiasi dengan pihak Tang untuk membantu Silla menyerbu Baekje. Sejak era Ratu Jindeok, Pangeran Inmun (putra kedua Muyeol) harus bolak-balik mengunjungi Tang untuk meminta bantuan Kaisar Gaozong. Tang dibawah pemerintahan Kaisar Gaozong memang banyak membantu Silla terutama dalam kebijakan mereka menekan Goguryeo melalui serangkaian invasi, dan juga menekan Baekje melalui diplomasi. Jika saat itu Tang lepas tangan maka Silla yang belum benar-benar pulih dari pasca pemberontakan Bidam akan menjadi sasaran empuk dari dua kerajaan lainnya. Tapi, dukungan Tang untuk menyerbu Baekje rupanya tidak semudah yang dibayangkan walaupun Raja Muyeol dan Kaisar Gaozong adalah sahabat dan telah bersahabat sebelum Gaozong menjadi kaisar.






NEGOSIASI DENGAN TANG

Gaozong adalah kaisar yang mengambil kebijakan ‘bebas-aktif’ dalam hubungan multilateral-nya dengan kerajaan-kerajaan di Korea dan juga di Jepang. Dia tidak mau mengambil risiko berperang secara terbuka dengan kerajaan sebesar Goguryeo apalagi menantang armada maritim Baekje. Mengapa? Sebab dibandingkan dengan Silla, kekuatan militer dua kerajaan itu jauh lebih kuat. Pasukan infantri Silla lebih sedikit dibandingkan dengan Baekje, apalagi dibandingkan dengan Goguryeo. Jumlah dan kekuatan pasukan kaveleri Silla juga tidak bisa menandingi resimen kaveleri Goguryeo yang saat itu adalah yang terkuat di Asia. Kekuatan pasukan infanteri Goguryeo juga salah-satu yang terkuat di Asia dan sulit ditandingi oleh balatentara Tang. Perlu diketahui, kekalahan perang dengan Goguryeo merupakan indikator utama keruntuhan Dinasti Sui (dinasti pendahulu Tang). Kekalahan Sui dalam invasi-invasi ke Goguryeo membuat ketersediaan pangan di Tiongkok berkurang akibat harus memenuhi logistik perang. Ini menyebabkan kepercayaan pada kaisar runtuh dan mengakibatkan berbagai pemberontakan yang di dahului oleh pemberontakan petani meletus. Latar belakang pendirian Dinasti Tang ini tentu membuat pihak Tang sangat berhati-hati menyerbu Semenanjung Korea.

Sebelumnya, Kaisar Taizong (ayah Gaozong) pernah menyerbu Goguryeo pada 644 hingga 645. Meskipun awalnya pihak Tang meraih kemenangan tapi perang ini diakhiri oleh penarikan mundur balatentara Tang dari Goguryeo karena kehilangan banyak prajurit dan logistik saat mereka gagal menembus Benteng Anshi. 

Saat Gaozong naik tahta, dia menganggap bantuannya pada Silla saat itu sudah cukup. Dan lagi, Silla bukanlah sekutu yang kuat dari segi militer. Itulah mengapa Tang tetap menjalin hubungan diplomatik yang erat dengan Baekje untuk mencegah Baekje menyerang Tang dengan armada perangnya yang besar. Armada perang Silla yang hebat memang mampu mengalahkan armada Jepang tapi armada perang mereka tidak sebanding dengan armada Baekje yang merupakan armada perang terkuat di Asia Timur. Armada Baekje bahkan tidak mampu ditandingi oleh armada perang Tang. Baekje terus menggempur Silla hingga Silla kewalahan. Berbagai perjanjian gencatan senjata pun dilakukan. 

Selain alasan kedigdayaan militer Baekje, kondisi dalam negeri Tang juga menjadi pertimbangan utama Kaisar Gaozong. Gaozong adalah kaisar yang naik tahta karena campur tangan para pejabat istana. Pertikaian istana sangat merepotkan Gaozong sehingga dia belum memikirkan cara membantu Silla padahal dia sudah naik tahta sejak tahun 649. Selain itu, pada masa-masa awal pemerintahan Muyeol sebagai raja Silla, Tang sedang mendapat serbuan dari suku Khaganate Turkik Barat yang sebelumnya adalah wilayah vasal Tang. Saat itu Tang hanya mampu mengerahkan 20.000 pasukan di bawah pimpinan Jenderal Su Dinfang yang melawan tentara bangsa Turk yang berjumlah 100.000 orang. Perang yang di mulai pada musim semi tahun 657 ini dimenangkan oleh Tang dengan susah-payah. 






SERBUAN PERTAMA KE SEKUTU BAEKJE

Pasca kemenangan atas bangsa Turk, Kaisar Gaozong mulai berani menginvasi Semenanjung Korea. Saat itu, Baekje dan Goguryeo membentuk koalisi dan menyerbu Silla pada 655 setahun setelah Raja Muyeol naik tahta. Sebagai sahabat, Gaozong berusaha membantu. Gaozong mengirimkan pasukan besar untuk menaklukan Goguryeo. Mula-mula, pasukan Tang yang dikirim pada tahun 658 tidak dikirim untuk menyerbu Baekje melainkan Goguryeo. Maksud dari serbuan ini adalah agar Goguryeo di kepung dari dua arah, arah barat oleh Tang dan dari selatan oleh Silla. Tapi Goguryeo masih terlalu kuat bagi Tang dan Silla sebab Silla kesulitan mencapai wilayah Goguryeo karena wilayah Silla dan Goguryeo dipisahkan oleh wilayah Baekje sehingga prajurit Silla harus mengalahkan pasukan Baekje diperbatasan lebih dulu baru mereka bisa menyerbu wilayah Goguryeo. Serbuan ini berhasil di halau oleh Goguryeo. Raja Muyeol lalu menyarankan pada Kaisar Gaozong agar koalisi mereka lebih dulu menyerbu Baekje lebih dulu.

Sayangnya, pada tahun 659 bangsa Turk kembali memberontak pada Tang. Kali ini adalah pemberontakan suku Izgil yang masih berada di wilayah Khaganate Turkik Barat. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dalam waktu singkat oleh jenderal yang sama, Su Dinfang. Pada tahun yang sama, Jenderal Su Dinfang juga dihadapkan pada pertempuran melawan tentara Kekaisaran Tibet yang berjumlah 80.000 prajurit, padahal tentara Su Dinfang saat itu hanya berjumlah 1.000 orang. Perang ini berhasil dimenangkan dengan ajaib oleh Su Dinfang.

Rupanya, Goguryeo memanfaatkan situasi yang dihadapi oleh Tang ini. Mereka kembali berkoalisi dengan Baekje dan menyerbu perbatasan utara Silla pada tahun 659. Silla sangat kewalahan menghadapi koalisi Goguryeo dan Baekje ini sehingga Raja Muyeol mengirim Pangeran Inmun ke ibukota Tang meminta bantuan. Meskipun aliansi Baekje dengan Goguryeo sangat merepotkan Silla tetapi sebenarnya ini justru berakibat buruk bagi Baekje dimasa depan sebab serbuan mereka ke wilayah Silla (sekutu Tang) dan menjalin persekutuan militer dengan Goguryeo (musuh Tang) menjadi alasan-alasan yang cukup bagi Tang untuk menarik duta-besarnya dari Sabi dan menyerang Baekje.






HWARANG LEGENDARIS KIM GWAN-CHANG

Pada masa-masa ini, Hwarang Kim Gwan-chang kembali ditugaskan menyusup ke Baekje. Kali ini untuk membunuh jenderal Baekje. Dia menyamar sebagai seorang penari di sekitar perkemahan tentara Baekje. Lama-kelamaan tariannya terkenal ke seluruh perkemahan dan diundang menari kesana. Saking indah tariannya, Kim Gwan-chang diundang untuk menari di Istana Sabi (istana utama kerajaan Baekje). Kim Gwan-chang berhasil masuk ke Istana Sabi sebagai salah-satu penari istana. Dalam suatu acara, Kim Gwan-chang ditugaskan untuk menunjukan tariannya didepan raja. Disaat inilah Kim Gwan-chang berhasil berhadap-hadapan dengan Raja Uija dan membunuh jenderal penting Baekje. Baekje sangat syok atas kejadian ini. Hebatnya, mereka tidak menyadari kalau Kim Gwan-chang adalah penyusupnya dan mereka melakukan pencarian dan pengejaran yang sia-sia. Kim Gwan-chang berhasil kembali ke Silla dan membawa kepala jenderal yang dibunuhnya ke hadapan Raja Muyeol. Raja Muyeol sangat senang dan bangga sebab keberhasilan Kim Gwan-chang ini adalah modal besar bagi Muyeol untuk memotivasi seluruh pasukan dan rakyat Silla.

Para Hwarang dan mata-mata Silla yang dikirim untuk memata-matai Baekje termasuk Kim Gwan-chang melaporkan informasi yang sangat penting mengenai kondisi dalam negeri Baekje. Rupanya Baekje sudah tidak sekuat dulu.

Penyebab tergerusnya kekuatan militer Baekje bermula dari puluhan tahun sebelum Kim Gwan-chang menyusup ke Baekje. Dimasa yang sama dengan Raja Jinpyeong dan Ratu Seondeok, Baekje diperintah oleh ayah Raja Uija, Raja Mu. Beliau adalah salah-satu raja terkuat Baekje. Menurut Samguk Yusa, Raja Mu adalah salah-satu menantu Raja Jinpyeong sebab beliau menikahi salah-satu putri Jinpyeong yang bernama Putri Sohwa (adik kandung Ratu Seondeok menurut Samguk Yusa). Kisah cinta Raja Mu dan Putri Sohwa adalah salah-satu kisah cinta yang terkenal di era klasik. Ironisnya, Raja Mu adalah salah-satu raja Baekje yang paling rajin menyerbu Silla di era ayah mertuanya (Raja Jinpyeong) dan saudari iparnya (Ratu Seondeok). Silla selalu kewalahan menghadapi serbuan Baekje di era pemerintahan Raja Mu. Selain itu, beliau juga adalah raja uang berusaha menyejahterakan rakyat Baekje melalui pertanian dengan mensubsidi peralatan pertanian para petani melalui anggaran negara.

Walaupun niat dan kerja-keras Raja Mu untuk menyejahterakan petani sama seperti Ratu Seondeok tapi rupanya sebagai seorang administrator, Raja Mu tidak secakap Ratu Seondeok. Raja Mu yang menaruh perhatian tinggi pada pertanian dengan menggunakan anggaran kerajaan rupanya mengabaikan infrastruktur pendukung pertahanan negara dan juga peningkatan kekuatan militer. Memang pada jamannya militer Baekje sangat kuat tapi beliau tidak mengembangkan kekuatan militer Baekje sehingga dampak dari kebijakan-kebijakannya ini baru terasa di era pemerintahan putranya, Raja Uija. Pada saat putranya memerintah, Silla sudah lebih kuat dari sebelumnya sebab restorasi Raja Jinpyeong yang dilakukan selama 50 tahun berhasil. Silla sudah memiliki armada perang yang mampu menahan gempuran armada perang Jepang (sekutu Baekje), Silla juga memiliki pasukan infanteri dan kaveleri yang besar, dan para Hwarang juga sudah bukan sekedar resimen pemuda biasa melainkan sudah menjelma menjadi resimen militer tangguh berkat kurikulum Hwarang yang dikembangkan di era Jinpyeong.

Pada pertengahan masa pemerintahan Raja Uija, kekuatan Baekje semakin tergerus dan semakin sulit dibangkitkan dalam waktu singkat karena kekurangan anggaran yang terlalu banyak dialokasikan di bidang pertanian terlebih lagi, Raja Uija tidak mendapat dukungan penuh dari para menterinya dalam pemerintahan. Selain itu, Raja Uija gemar memprovokasi Silla dan memulai perang yang justru membuat kas negara tergerus. Uija juga tidak pernah memperkuat militer Baekje sebagai persiapan kemungkinan jika Silla atau Tang menyerbu wilayah mereka.

Sehingga, saat Kim Gwan-chang dan mata-mata Silla lainnya menyusup ke Baekje mereka mendapatkan informasi yang ditunggu-tunggu oleh Raja Muyeol dan seluruh Silla, “Baekje sudah tidak sekuat dulu.”






PERANG HWANGSANBEOL

Informasi mengenai situasi dalam negeri Baekje yang diperoleh dari para mata-mata Silla ini sudah tentu sampai di istana Tang sebagai salah-satu alat negosiasi Silla yang dibawa oleh Pangeran Kim Inmun. Pihak Tang yang juga memiliki perwakilan diplomatik di Baekje pun sudah mengetahui hal ini melalui mata-mata mereka sendiri.

Silla dan pihak Tang segera mempersiapkan pasukan untuk menyerbu Baekje. Gaozong pun mengirim 130.000 prajurit dibawah pimpinan jenderal yang paling berpengalaman menghadapi perang-perang sulit termasuk perang-perang yang mustahil dimenangkan. Jenderal itu adalah Su Dinfang.

Raja Muyeol tentu juga telah mempersiapkan pasukan Silla, mulai dari pasukan infanteri hingga pasukan kaveleri. Sudah tentu pasukan Hwarang menjadi pasukan yang paling siap dalam perang ini. Sebagai pemimpin Hwarang saat itu, Kim Heumdol tentu telah mempersiapkan resimen ini sebaik mungkin. Bersama dengan Jenderal Kim Yushin, Heumdol memimpin Resimen Hwarang memulai serangkaian invasi di kawasan semenanjung dengan menjadikan Kerajaan Baekje sebagai target pertama mereka.

Pasukan Tang dibawah pimpinan Su Dinfang menuju Baekje dengan menggunakan jalur laut sebab jika menggunakan jalur darat maka mereka harus melewati wilayah Goguryeo. Pasukan Tang berlayar dari Chengsan menyebrangi Laut Kuning dan harus menyusuri Sungai Geum saat mereka tiba di Korea untuk mencapai wilayah Baekje. Armada perang Baekje memang tidak sekuat dulu tapi tetap saja tidak lemah. Mereka memberikan perlawanan sengit saat armada Tang berusaha merapat di wilayah Baekje tetapi jumlah pasukan Tang terlalu banyak dibandingkan pasukan Baekje sehingga pertahanan di pantai barat Baekje bisa ditembus. Setelah itu, Pasukan Tang langsung dibagi dua, pasukan utama Tang dibawah pimpinan Jenderal Su Dinfang yang menuju ke ibukota Baekje dengan tujuan utama menaklukan Istana Sabi dan pasukan kedua dipimpin Jenderal So Jung-bang yang berangkat menuju Hwangsangbeol untuk bergabung dengan pasukan Silla dibawah pimpinan Jenderal Kim Yushin.

Kondisi internal Baekje kian genting setelah mendengar kekalahan mereka dari armada Tang. 10.000 prajurit Baekje terbunuh pada pertempuran itu. Raja Uija yang tidak secakap ayahnya telah kehilangan kepercayaan menteri-menterinya dan para bangsawan yang menolak mengerahkan pasukan mereka untuk membantu raja. Para bangsawan Baekje malah melarikan diri menuju Jepang (sekutu Baekje). Pasukan yang tersisa di Baekje sangat sedikit. Raja Uija semakin panik saat mendengar 50.000 pasukan Silla dibawah pimpinan Jenderal Kim Yushin sedang menuju wilayah Baekje. Raja terakhir Baekje ini lalu menunjuk Jenderal Gyebaek untuk memimpin pasukan Baekje menghadapi pasukan Silla. 

Jenderal Gyebaek mengumpulkan pasukannya. Malang bagi Baekje, pasukan yang bisa dibawa Jenderal Baekje 10 kali lebih sedikit dari pasukan Silla, hanya 5.000 prajurit, sebab sebagian besar prajurit tewas saat menahan armada Tang di pantai barat Baekje sedangkan pasukan lainnya harus menjaga ibukota. Jenderal Gyebaek sadar bahwa perang ini adalah perang yang mustahil dimenangkan oleh mereka. Sang jenderal pun bertindak nekat dengan membunuh istri dan anak-anaknya agar mereka tidak dijadikan budak jika Baekje kalah perang, dan juga agar mereka tidak menggoyahkan keputusan yang sudah diambilnya. Jenderal Gyebaek lalu memimpin pasukannya menghadapi Kim Yushin ke wilayah yang saat itu bernama Hwangsan (sekarang adalah wilayah Nosan). 

Jenderal Kim Yushin tiba di Hwangsan lebih dulu setelah melalui perjalanan dari Silla melewati perbatasan paling timur Baekje dan mendaki Gunung Sobaek. Jenderal-jenderal Silla yang bergabung dalam pasukan Yushin saat itu adalah Jenderal Kim Phumin (ayah Kim Gwan-chang), Jenderal Kim Heumsun (adik Kim Yushin), Pangeran Kim Munwang (putra ketiga Muyeol), dan Putra Mahkota Kim Beopmin (calon Raja Munmu). Resimen Hwarang sendiri dipimpin langsung oleh Pungwolju Kim Heumdol. 

Setelah kedua pasukan ini berhadap-hadapan, jumlah pasukan Silla yang 10 kali lebih banyak dari jumlah prajurit Baekje tentu menciutkan nyali tentara Baekje. Jenderal Gyebaek lalu memotivasi pasukannya dengan menceritakan kisah Raja Goujian dari Kerajaan Yue di era Dinasti Zhou yang menang saat melawan 700.000 prajurit Kerajaan Wu hanya dengan 5.000 orang. Mendengar cerita ini, moral pasukannya menggebu-gebu. Perang Hwangsanbeol yang terkenal itupun dimulai.

Pasukan Baekje bertempur dengan gagah berani. Korban dalam jumlah besar-pun berjatuhan di pihak Silla. Mengetahui mental pasukan Silla menurun, nyali pasukan Baekje semakin tinggi dan mereka membabat habis lini terdepan Silla. 

Pada berbagai sesi perang ini, bukan hanya prajurit biasa yang gugur melainkan juga beberapa jenderal Silla dan para Hwarang termasuk dua Hwarang muda, Jangchung-nang dan Parang. Kisah kedua Hwarang ini melegenda sebab cerita mereka tercatat dalam Samguk Yusa yang meriwatkan bahwa roh Jangchung-nang dan Parang mendatangi Raja Muyeol untuk meminta satu divisi kecil pasukan Silla bagi mereka agar mereka berdua dapat memimpin divisi itu dalam berbagai perang penyatuan Tiga Kerajaan sebab mereka tidak mau lagi membayangi pasukan Tang. Permintaan mereka dikabulkan oleh Raja Muyeol yang terkesan dengan tekad mereka.

Saat melihat moral pasukannya jatuh melawan kebuasan pasukan Baekje, Jenderal Kim Phumil memerintahkan putranya, Hwarang Kim Gwan-chang untuk menyusup masuk ke tengah-tengah prajurit Baekje dan membunuh Jenderal Gyebaek. Kim Yushin juga mengirim keponakannya, Kim Ban-geul (putra Pungwolju ke-19, Kim Heumsun) untuk membantu Kim Gwan-chang memburu Jenderal Gyebaek. Kim Gwan-chang yang ahli penyusupan berusaha menuntaskan misinya. Kim Gwan-chang dan Kim Ban-geul berusaha mengejar Jenderal Gyebaek dan berhasil mengepung jenderal itu tapi Gyebaek berhasil memukul mundur prajurit Silla yang mengepungnya dan membunuh banyak prajurit dan nangdo. Kim Ban-geul gugur dalam pertarungan dengan Jenderal Gyebaek.

Kabar kematian Kim Ban-geul tentu didengar oleh hampir seluruh pasukan sebab dia adalah putra Jenderal Kim Heumsun, keponakan Kim Yushin. Para jenderal Tang yang frustasi dengan pertempuran inipun berdiskusi dengan Kim Yushin, tapi adanya perbedaan pendapat antara Kim Yushin dan jenderal Tang, So Jung-bang, membuat suasana ditengah pasukan koalisi ini kian panas. Perdebatan ini menyulut amarah Kim Yushin sehingga dia mengambil pedang dari pinggangnya dan mengancam para jenderal Tang. Jenderal-jenderal Tang ini sangat kaget dan ketakutan sebab mereka bukan melihat Kim Yushin menghunus pedang dari sarung pedangnya melainkan melihat pedang itu yang melompat ke tangan Kim Yushin dengan sendirinya. Jenderal So Jung-bang yang takjub karena ‘kesaktian’ Kim Yushin itu akhirnya menurut pada keputusan Kim Yushin.

Sepeninggal Kim Ban-geul, Kim Gwan-chang akhirnya berhasil menyusup ke tengah-tengah tentara Baekje, sayangnya dia tertangkap tentara Baekje dan langsung dihadapkan pada Jenderal Gyebaek. Saat menyadari bahwa pemuda dihadapannya adalah seorang Hwarang, Jenderal Gyebaek yang kagum pada semangat dan keberaniannya lalu membebaskan Kim Gwan-chang. Sekembalinya ke basis pasukan Silla, Kim Gwan-chang malah kembali lagi menyusup ke tengah-tengah tentara Baekje dan berhasil berhadap-hadapan lagi dengan Jenderal Gyebaek. Kim Gwan-chang kembali ditangkap namun lagi-lagi Gyebaek melepaskannya. Rupanya, Gyebaek teringat pada mendiang putranya yang seumuran dengan Kim Gwan-chang. Kim Gwan-chang yang dilepaskan akhirnya kembali pada pasukan Silla. Namun, dia tidak melupakan misinya membunuh Jenderal Gyebaek. Pada pertempuran di Hwangsangbeol dihari berikutnya, Kim Gwan-chang kembali memburu Jenderal Gyebaek. Kelihaian Kim Gwan-chang dalam penyusupan berhasil membuat dirinya kembali mendekati posisi Gyebaek. Jenderal legendaris Baekje ini terus menghindari Kim Gwan-chang tapi Kim Gwan-chang terus mengejarnya dengan kuda. Akhirnya saat posisi Kim Gwan-chang sangat dekat dengan Gyebaek, sang jenderal pun menjatuhkan Kim Gwan-chang dari kuda. Kim Gwan-chang akhirnya kembali berhadap-hadapan dengan targetnya dalam duel satu lawan satu. Tapi, Jenderal Gyebaek terlalu kuat bagi Kim Gwan-chang. Berkali-kali Gyebaek mengalahkan Kim Gwan-chang dan berkali-kali juga Kim Gwan-chang bangkit. Sebagai bentuk hormatnya pada keberanian Kim Gwan-chang, Gyebaek akhirnya membunuh Kim Gwan-chang sebagai seorang ksatria. Jasad Kim Gwan-chang lalu dikirim kembali dengan utuh ke basis pasukan Silla agar dimakamkan dengan layak sebagai tanda hormat Gyebaek pada keberanian Hwarang muda itu. 

Kim Gwan-chang baru berusia 15 tahun ketika dia meninggal sedangkan Kim Ban-geul dan juga Hwarang Jhangchung-nag dan Hwarang Parang juga diduga seumuran atau lebih tua 1 sampai 3 tahun dari Kim Gwan-chang. 

Kepahlawanan Kim Gwan-chang dan Kim Ban-geul ini menaikan moral pasukan Silla. Kim Yushin pun mengerahkan kekuatan penuh untuk menghancurkan pasukan Jenderal Gyebaek. Pertempuran sengit kembali berkecamuk. Kali ini, pasukan Baekje semakin terdesak sebab jumlah mereka kian berkurang. Jenderal Gyebaek-pun harus mengakui keunggulan pasukan Silla dan Tang. Sang jenderal dan 5.000 prajuritnya gugur dalam perang legendaris ini.

Usai memenangkan perang Hwangsanbeol ini, Kim Yushin melihat jasad Jenderal Gyebaek. Saat melihat jasad musuhnya itu, Kim Yushin justru sedih. Yushin sangat kagum dan tersentuh melihat perjuangan dan pengorbanan Jenderal Gyebaek bagi negaranya. Jenderal besar Silla ini lalu mengumumkan pada pasukannya bahwa Jenderal Gyebaek dan 5.000 prajuritnya adalah patriot. Jenazah mereka diperlakukan dengan layak oleh Kim Yushin dan pasukan Silla.






KERUNTUHAN BAEKJE

Usai kemenangan di Hwangsanbeol, gabungan prajurit Silla dan Tang berbaris menuju ibukota Baekje. Mereka mengepung Silla di dua arah. Sebelum pasukan Silla tiba di Sabi, Raja Uija dan Pangeran Muyeo Yung (putra-mahkota Baekje) telah melarikan diri ke wilayah Ungjin (sekarang bernama Gongju) yang merupakan bekas ibukota Baekje sebelum dipindahkan oleh Raja Seong ke Sabi. Pasukan Silla terbagi menjadi dua, pasukan pertama dibawah pimpinan Pangeran Kim Beopmin (putra-mahkota Silla, calon Raja Munmu) yang mengepung Istana Sabi, dan pasukan kedua di bawah pimpinan Kim Yushin yang memburu Raja Uija ke Ungjin. Kim Yushin pun menuju ke wilayah Ungjin.

Raja Uija yang sudah kehilangan harapan akhirnya menyerah setelah pasukan Kim Yushin mengepung Ungjin. Situasi di istana Sabi, juga tidak kalah genting. Pangeran Buyeo Tae (adik Buyeo Yung) yang bertahan di Sabi sangat kecewa melihat ayah dan kakaknya melarikan diri. Dia lalu memproklamirkan diri sebagai Raja Baekje yang baru dan berperang dengan gagah-berani melawan balatentara Silla yang dipimpin Pangeran Kim Beopmin. Tapi, pertempuran ini tidak seimbang dan terlalu berat bagi Baekje. Walaupun Pangeran Tae memimpin langsung pasukannya tapi mental prajurit Baekje sudah terlanjur jatuh. Pangeran Tae sangat kecewa saat melihat pendukung-pendukungnya menarik pasukan mereka. Sang pangeran semakin kecewa saat melihat sebagian besar prajurit Baekje yang dipimpinnya melarikan diri. Kekecewaan Pangeran Tae ini ditutup oleh keputusannya membuka gerbang ibukota bagi prajurit Silla sebagai tanda penyerahan diri.

Pangeran Kim Beopmin yang memimpin pasukan Silla memasuki Sabi menemui Pangeran Tae yang saat itu berlutut dihadapannya, dan berkata: “Dulu ayahmu membunuh adik perempuan (Putri Gotaso)-ku dengan tidak adil dan tidak menguburkannya dengan layak, sehingga aku menderita karena penyesalan dan amarah selama 20 tahun karenanya. Sekarang nyawamu adalah milik-ku”. Walau Kim Beop-min penuh kemarahan saat berkata seperti itu pada Pangeran Tae tapi putra-mahkota Silla itu tidak membunuhnya.

Pangeran Tae ditangkap dan dibawa oleh Jenderal Su Dinfang sebagai tawanan perang ke Changan (ibukota Tang). Selain Pangeran Tae, Raja Uija dan Putra Mahkota Yung, dan adik Pangeran Tae, Pangeran Yeon, 93 pejabat kerajaan dan menteri, dan lebih dari 12.000 rakyat Baekje dibawa ke Tang sebagai tawanan perang dan dipersembahkan bagi Kaisar Gaozong.

Baekje yang telah berdiri selama 678 tahun akhirnya runtuh pada 18 Juli 660. Runtuhnya Kerajaan Baekje ini sangat mengejutkan seluruh penjuru Goguryeo dan juga pihak istana Jepang. 

Silla pun mempersiapkan penyerbuan ke Goguryeo. Sayangnya, Raja Muyeol meninggal pada Juni 661 sebelum penyerbuan ke Goguryeo dimulai. Penyerbuan ke Goguryeo ini dilanjutkan oleh putranya, Raja Munmu dan Jenderal Kim Yushin. 

Tapi, rupanya Baekje belum sepenuhnya menyerah. Pasukan Baekje bergerilya melawan pasukan Tang yang membuat pemerintahan proktetorat di Sabi. Mereka berhasil menguasai sejumlah kecil wilayah yang tidak terjangkau oleh pasukan Tang. Begitu Raja Uija menyerah, para bangsawan Baekje yang dipimpin oleh Gwisil Boksin melarikan diri ke Jepang meminta bantuan sekutu abadi mereka itu. Jepang yang sejak dulu dibantu oleh Baekje merespons positif permintaan Baekje. Satu bulan setelah kematian Raja Muyeol, tepatnya pada Agustus 661 bala bantuan pertama dari Jepang yang dikirim oleh Kaisarina Semei untuk Baekje tiba di wilayah Baekje. Balabantuan pertama ini terdiri dari 170 kapal dan 5.000 prajurit dibawah pimpinan Jenderal Abe no Hirafu. Pasukan gelombang kedua yang lebih besar tiba di wilayah Baekje itu pada tahun berikutnya, tepatnya tahun 662 yang terdiri dari dua pasukan yaitu 27.000 prajurit pimpinan Jenderal Kamitsukeno no Kimi Wakako dan 10.000 prajurit yang dipimpin oleh Jenderal Iohara no Kimi. Putra Raja Uija, Pangeran Buyeo Pung yang sudah tingga selama 30 tahun di Jepang ikut dalam rombongan ini sebagai calon raja Baekje.






PERANG BAEKGANG

Kekalahan Tang di Goguryeo dan penyerbuan tentara Tibet ke wilayah Tang dimanfaatkan oleh gabungan pasukan restorasi Baekje dan Jepang untuk merebut kembali wilayah-wilayah lama Baekje yang dikuasai oleh pasukan pemerintahan proktetorat Tang.

Pada Agustus 663, ibukota restorasi Baekje di Benteng Juryu yang terletak di bagian selatan wilayah Baekje dikepung oleh pasukan Silla dan pasukan Hwarang yang dipimpin oleh Kim Ohgi. Pasukan restorasi Baekje sendiri dipimpin oleh Gwisil Boksin (sepupu Raja Uija). Di Benteng Juryu itu Gwisil Boksin, Pangeran Buyeo Pung (putra bunsu Raja Uija) dan Biksu Dochim, dan juga sebagian pasukan Jepang berjuang mempertahankan benteng terakhir Baekje itu. Pada 27 Agustus 663 armada utama Jepang di Korea yang berada di wilayah pantai terluar dikirim menyusuri sungai Geum untuk membantu menghalau pengepungan pasukan Silla di Benteng Juryu. Tapi Tang memblokade pasukan bantuan Jepang itu sehingga meletuslah pertempuran sengit di Sungai Geum yang dikenal sebagai Perang Baekgang atau Perang Hakusukinoe oleh orang Jepang.

Armada Jepang dikirim untuk menembus blokade yang dibuat pasukan Tang Tapi Tang memblokade pasukan bantuan Jepang dengan menggunakan 170 kapal dan 7.000 prajurit. Kapal-kapal Tang merapatkan barisan kapal mereka dan berusaha menghalau serangan Jepang. Keesokan harinya, armada bantuan Jepang tiba dengan jumlahnya lebih besar dari armada Tang. Namun, sungai Geum yang sempit membantu armada Tang karena armada Jepang hanya bisa menyerbu pertahanan terdepan Tang sehingga Tang dapat melindungi kapal-kapal di sisi kanan dan kiri dan bagian belakang selama pertempuran. Jepang sangat yakin pada keunggulan jumlah mereka dan menyerang armada Tang setidaknya tiga kali sepanjang hari, tapi Tang masih mampu bertahan walau kewalahan.

Terlepas dari situasi di Perang Baekgang, koalisi pasukan restorasi Baekje dan pasukan Jepang di Benteng Juryu juga menghadapi situasi yang tidak kalah genting. Pasukan infanteri dan kaveleri Silla bersama dengan pasukan Hwarang mengepung Benteng Juryu selama berminggu-minggu sehingga membuat pasukan restorasi Baekje sangat frustasi. 

Situasi di Sungai Geum juga tidak berbeda jauh bagi kubu pasukan restorasi Baekje. Masih pada hari yang sama, 28 Agustus 663 menjelang malam prajurit Jepang frustasi dan kelelahan karena mereka tidak henti-hentinya menyerbu armada Tang tanpa hasil. Armada mereka juga kehilangan kohesi setelah berulang kali mencoba untuk menerobos garis pertahanan Tang. Pasukan Tang melihat peluang ini dan melakukan serangan balasan. Armada Tang bukan menerobos pertahanan terdepan melainkan sisi kiri dan kanan armada Jepang, hingga akhirnya kapal-kapal Tang berhasil menembus hingga bagian belakang armada Jepang dan mengepung armada mereka sehingga mereka tidak bisa bergerak atau mundur. Sejumlah besar pasukan Jepang jatuh ke air dan tenggelam, dan banyak kapal mereka dibakar dan ditenggelamkan oleh pasukan Tang. Perang ini diakhiri oleh kematian admiral utama armada Jepang, Jenderal Echi no Takutsu yang tewas setelah dia membunuh lusinan pasukan Tang yang menerobos ke kapalnya.

Di waktu yang hampir bersamaan, keadaan di Benteng Juryu senada dengan di Sungai Geum, tapi mungkin lebih buruk karena mereka saling menyerang satu sama lain. Di tengah-tengah pertempuran yang kian sengit, entah karena perbedaan pendapat atau karena ketidak-setiaan salah-satu dari mereka, Gwisil Boksin berusaha untuk membunuh Pangeran Pung setelah sebelumnya Biksu Dochil tewas ditangannya. Namun, pada perkelahian itu Pangeran Pung berhasil membunuh Gwisil Boksin. Kematian Gwisil Boksin menjadi pertanda buruk bagi pasukan restorasi Baekje. 

Kekalahan armada Jepang mengakibatkan pasukan Baekje terisolasi di Benteng Juryu. Pertempuran di Benteng Juryu berakhir pada 7 September 663 dengan kemenangan di pihak Silla. Pangeran Pung terpaksa melarikan diri dengan menggunakan perahu ke Goguryeo. Dia hidup dalam pengasingan hingga akhir hidupnya karena setelah Goguryeo runtuh, Pangeran Pung ditangkap dan diasingkan ke wilayah Utara.

Kekalahan koalisi pasukan restorasi Baekje dan pasukan Jepang menamatkan impian orang Baekje untuk membangkitkan kembali kerajaan mereka. Orang Baekje baru bisa membangkitkan kembali kerajaan Baekje 200 tahun kemudian saat Gyeonhwon mendirikan kerajaan Hu-Baekje (Baekje Baru). Tapi, kerajaan ini hanya bertahan selama 36 tahun karena ditaklukan oleh Wang Geon dari Goryeo.

Jika orang Baekje kehilangan kerajaannya, maka Jepang seakan kehilangan martabatnya sebagai Kerajaan Kepulauan. Perang Baekgang adalah kekalahan terbesar Jepang dalam sejarah kuno dan kekalahan maritim terbesar mereka sebelum perang Imjin. Berdasarkan semua sumber sejarah dari Jepang, Korea, dan China, kerugian Jepang sangat besar dan jumlah korban Jepang sangat banyak. Menurut catatan Nihon Shoki sekitar 400 kapal Jepang hilang dalam pertempuran, sedangkan catatan sejarah China mengklaim sekitar 10.000 prajurit Jepang tewas dalam perang itu. Mereka juga kehilangan sekutu utama di Asia Timur akibat runtuhnya Kerajaan Baekje yang saat itu merupakan sumber perkembangan teknologi, agama Buddha, dan peningkatan budaya bagi Jepang sebab Jepang mengadopsi banyak teknologi dan budaya dari Baekje. Sisa-sisa kapal Jepang yang berhasil selamat kembali ke Jepang dipenuhi oleh para pengungsi dari Baekje.

Kemenangan ini mengangkat moral pasukan Tang diseluruh Tiongkok yang masih harus menghadapi berbagai perang dengan bangsa lain. Tentunya perang ini melambungkan kedigdayaan pasukan Silla dan Resimen Hwarang.

Pertempuran-pertempuran dalam perang penyatuan Tiga Kerajaan melibatkan tentara Tang dan pasukan Jepang sehingga mereka melihat langsung bagaimana cara para Hwarang berperang. Dimata pasukan musuh, para Hwarang terlihat sangat menakutkan saat berperang sebab mereka memiliki kemampuan dan keberanian yang tinggi dan tidak pernah mundur.

Kisah-kisah para Hwarang yang disisipi mitologi juga sampai ke negeri Tiongkok dan seluruh penjuru Jepang yang saat itu meyakini bahwa mereka berperang dengan “Tentara Langit”, sebab meskipun pasukan Tang adalah pasukan yang sangat kuat namun yang menggentarkan hati musuh justru pasukan Hwarang karena hanya para Hwarang yang mendandani wajah mereka layaknya wanita saat mereka berperang. Dandanan itu justru terlihat sangat menakutkan sebab dalam perang yang begitu keras dimana kekalutan dan kecemasan menghantui sebagian besar prajurit, wajah cantik para Hwarang dan gaya bertarung mereka yang unik membuat musuh mengira bahwa mereka adalah pasukan dewa.






AKHIR KISAH KIM HEUMDOL DAN KIM OHGI

Satu tahun setelah pertempuran di Benteng Juryu dan Perang Baekgang, Kim Ohgi pensiun sebagai Pungwolju diusia 31 tahun setelah hanya memimpin Resimen Hwarang selama 2 tahun. Dimasa-masa perang ini tentunya Kim Ohgi langsung bergabung bersama ayahnya, Yewon dan juga dengan Kim Heumdol dalam pasukan utama Silla.

Bersama dengan para senior mereka di Resimen Hwarang dulu, Kim Heumdol dan Kim Ohgi melanjutkan perjuangan senior merebut Goguryeo. Goguryeo pun berhasil diruntuhkan pada tahun 668, dan penyatuan Semenanjung Korea berhasil dilakukan. Heumdol berusia 41 tahun ketika Silla berhasil mempersatukan Semenanjung Korea. Sedangkan Kim Ohgi gugur dalam pertempuran-pertempuran terakhir dengan Goguryeo.

Usai perang, Kim Heumdol lebih terlibat dalam birokrasi. Sayangnya, pada akhir pemerintahan Raja Munmu terjadi konflik pelik di istana antar para pejabat istana dengan Raja Munmu. Tepat setelah Raja Munmu meninggal dan Raja Sinmun naik tahta, Kim Heumdol memimpin para pejabat dan bangsawan melakukan pemberontakan. Para sejarawan menilai Kim Heumdol memicu pemberontakan selain karena tingkah Sinmun yang tidak menghormati para bangsawan dan veteran perang, juga karena masalah pribadi yaitu pengangkatan ratu baru. Sinmun adalah menantu Kim Heumdol tetapi putri Kim Heumdol ini tidak memberikan putra pewaris pada Sinmun sehingga Sinmun mengangkat ratu baru. Beberapa sejarawan menilai Kim Heumdol merasa kekuasaannya terancam atas keputusan Sinmun ini. Namun, sebagian sejarawan meragukan hal ini sebagai alasan utama Heumdol melakukan pemberontakan sebab pemberontakan ini melibatkan banyak sekali mantan Hwarang dan mantan Pungwolju. Terlebih lagi, beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok penentang raja ini telah berusia lanjut pada masa itu seperti Jin-gong (pungwolju ke-26) yang telah berusia 59 tahun dan juga Gun-gwan (pungwolju ke-23) yang telah berusia 69 tahun, yang dianggap tidak punya waktu lagi untuk menjadi penguasa.

Teori lain yang muncul adalah pemberontakan Kim Heumdol ini meletus akibat sikap Raja Sinmun yang sedari masih menjadi putra-mahkota telah menunjukkan sikap anti bangsawan dan terlalu menginginkan pemusatan kekuasaan demi memperkuat otoritas keluarga kerajaan yang mana hal ini tidak sesuai dengan tradisi Silla.

Raja Sinmun selalu memimpikan sentralisasi kekuasaan ditangan raja. Impiannya ini terbaca oleh para bangsawan dimasa pemerintahan ayahnya ketika Sinmun masih menjadi putra-mahkota. Sinmun juga tidak menghormati Resimen Hwarang sehingga membuat para mantan Hwarang dan mantan Pungwolju marah, termasuk Kim Heumdol.

Kim Heumdol yang saat itu menjabat sebagai salah-satu menteri istana lalu memimpin para bangsawan untuk memprotes sikap Raja Sinmun. Namun, raja menganggap protes ini sebagai pemberontakan. Gelombang protes ini melibatkan separuh menteri Silla termasuk menteri senior, Jin-gong (Pungwolju ke-26). Bahkan, Kim Gun-gwan (pungwolju ke-23) yang saat itu menjabat sebagai perdana-menteri juga ikut mendukung mereka. Pemberontakan ini mendapat perlawanan dari kubu pendukung raja serta pasukan Hwarang walaupun Pungwolju Sin-gong adalah putra Jin-gong.

Pemberontakan ini tidak sebesar pemberontakan Bidam dan dapat dipadamkan sebelum membesar. Semua orang yang dianggap memberontak termasuk Kim Heumdol dan Jin-gong di-eksekusi mati pada tahun 681, demikian juga dengan Kim Gun-wan. Sayangnya, karena mereka adalah mantan Hwarang dan mantan Pungwolju, Resimen Hwarang terkena imbasnya. Resimen legendaris ini dianggap bubar oleh para sejarawan pada tahun 681 tepat setelah kematian Heumdol padahal resimen ini tetap setia membela raja hingga akhir. Kim Heumdol akhirnya tewas di-usia 54 tahun atas titah Raja Sinmun. 

Raja Sinmun memanfaatkan momentum ini untuk mencabut fungsi resimen hwarang sebagai resimen militer. Hwarang diijinkan tetap ada tapi tidak lagi sebagai resimen militer karena keberadaan mereka hanya sebagai kelompok pemuda bangsawan yang belajar berbagai ilmu dan kemudian membantu pemerintahan, dan dilarang membentuk pasukan militer dan mengumpulkan nangdo. Hwarang juga tidak bisa memiliki seorang Pungwolju sebab fungsi Pungwolju adalah sebagai komandan pasukan. Hwarang lalu kembali fungsinya sebagai resimen pemuda cendekia seperti saat mereka masih menjadi kelompok pemuda bangsawan yang dikumpulkan oleh Raja Beopheung.

Tepat satu abad setelah pembubaran Resimen Hwarang, tidak ada lagi keturunan Raja Muyeol yang menduduki tahta Silla setelah Raja Hyegong terbunuh dalam sebuah pemberontakan yang membuatnya menjadi keturunan terakhir Raja Muyeol diatas tahta Silla. Raja-raja terakhir Silla kewalahan menghadapi serbuan dari negara-negara musuh termasuk bekas wilayah Baekje dan Goguryeo, padahal wilayah-wilayah itu dulunya ditaklukkan oleh Resimen Hwarang dibawah pimpinan Kim Heumdol dan Kim Ohgi. 

Raja-raja Silla diperiode itu sempat ingin kembali membangkitkan kelompok hwarang sebagai resimen militer tapi hal itu sudah sangat terlambat. Pada periode akhir Silla, banyak bangsawan khususnya kalangan kongfusian yang menyayangkan keputusan Raja Sinmun yang membubarkan Resimen Hwarang di masa-lalu. 

Saat itu, banyak orang terpelajar Silla yang justru membenarkan pemberontakan Kim Heumdol.



Kim Heumdol dan Ki Ohgi bukan hwarang-hwarang yang populer di era modern sehingga tokoh mereka jarang dimunculkan dalam drama maupun film. Tapi perang Hwangsanbeol sering diceritakan dalam drama dan film seperti drama “Gyebaek”, drama “the King’s Dream” dan film komedi “Hwangsanbeol”. drama “the King’s Dream” dan film komedi “Hwangsanbeol” juga memunculkan tokoh Hwarang Kim Gwan-chang. Tokoh Hwarang Kim Ban-geul sejauh ini baru muncul dalam drama “the King’s Dream”.



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTIKEL INI DISUSUN DAN DITERBITKAN PERTAMA KALI
OLEH DELEIGEVEN MEDIA

SETIAP ARTIKEL YANG MEMILIKI ISI, SUSUNAN, DAN GAYA PENULISAN
YANG MIRIP DENGAN ARTIKEL INI MAKA ARTIKEL-ARTIKEL TERSEBUT
MENYADUR ARTIKEL INI.

DILARANG KERAS MEMPLAGIAT ARTIKEL INI!

CANTUMKAN LINK LENGKAP ARTIKEL INI DISETIAP KALIMAT YANG ANDA DISADUR DARI ARTIKEL INI. SESUAI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, JIKA MENYADUR/MENG-COPY MINIMAL SEPULUH KATA TANPA MENCANTUMKAN SUMBER DARI KALIMAT ITU (BERBEDA DARI PENCANTUMAN SUMBER DI CATATAN KAKI (FOOTNOTE) MAKA ITU ADALAH TINDAKAN PLAGIARISME.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Notes (Catatan):

*We strongly recommend all readers to read all the comments below for the other details which not mentioned by this article
(Sangat disarankan bagi para pembaca untnk melihat komentar-komentar artikel ini sebab beberapa komentar membahas rincian informasi yang tidak ditulis dalam artikel ini)

*Please open: Kingdom of Silla for short story about "Kingdom Of Silla" in ENGLISH
(Silahkan membuka link: Kingdom of Silla untuk membaca sejarah singkat Kerajaan Silla dalam bahasa Inggris).

*Get various information about history in ENGLISH by open or follow our Instagram account: @deleigevenhistory
(Dapatkan berbagai informasi sejarah dalam bahasa Inggris di akun instagram kami @deleigevenhistory)




Didahului oleh:




------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Copyrights Story: Deleigeven Media
Copyrights Picture : KBS (drama "The King's Dream",2011)

Penyusun:
Penulis : Deleigeven
Editor : Juliet
Desain : Deleigeven
Penerbit: Deleigeven Media


Daftar Pustaka:
-Byeon-won Lee; History
-Maurizio Riotto; The Place Of Hwarang Among The Special Military Corps Of Antiquity; The Journal of Northeast Asian History; Northeast Asian History Foundation; 2012
-Richard McBride; Silla Budhist & The Manuscript of Hwarang Segi
-Tae-hoong Ha; Samguk Yusa, Legends and History of the Three Kingdoms of Ancient Karea; Yonsei University Press; 1972; Seoul
-Wontak Hong; Baekche An Offshoot of the Buyeo-Koguryeo in Mahan Land; East Asian History, A Korean Perspective; 2005; Seoul
-Young-kwan Kim, Sook-ja Ahn; Homosexuality In Ancient Korea; Pyongtaek University, Hanyoung Theological University; 2006; Seoul
-Korean History For International Citizen; Northeast Asian History Foundation
-Korea's Flowering Manhood
-The History of Hwarang-do
-The Three Kingdoms of Ancient Korea in the History of Taekwon-Do


Daftar Website: