Batu Bara adalah sebuah kabupaten di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Wilayah Batu Bara didominasi oleh wilayah pesisir pantai yang terletak ditepi Selat Malaka. Wilayah Batu Bara baru menjadi kabupaten pada tahun 2006 setelah sebelumnya digabungkan dengan Kabupaten Asahan. Pada jaman dahulu, meskipun berada di wilayah utara Pulau Sumatera, sejarah Batu Bara berkaitan erat dengan Kerajaan Pagaruyung di wilayah barat Sumatera. Wilayah Batu Bara sangat strategis. Selain berada ditepian Selat Malaka, wilayah Batubara juga berbatasan dengan wilayah-wilayah makmur sejak jaman dahulu kala, seperti Asahan, Simalungun, Deli, dan Pematang Bedagai.
ASAL MULA NEGERI BATUBARA
Negeri Batu Bara terbentuk disaat yang bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Batu Bara disekitar tahun 1676-1680. Sebelum Kerajaan Batu Bara didirikan diwilayah ini, bisa dibilang wilayah ini tidak memiliki penghuni tetap sehingga belum ada peradaban sebelum era Kerajaan Batu Bara.
Jika mengacu pada tulisan sejarawan ternama, Hamka, yang menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke Pulau Sumatera diawali pada abad ke-7, sedangkan penyebarannya mulai merata pada abad ke-12 atau ke-13, maka dipastikan bahwa Kerajaan Batu Bara berdiri setelah jaman Hindu-Buddha telah lama berakhir dan pada masa Islam sudah menjadi agama utama di Sumatera, sehingga sampai sekarang ini tidak ada penemuan situs-situs bersejarah pada masa Hindu-Buddha yang ditemukan diseluruh wilayah Batu Bara.
Sejarah Kerajaan Batu Bara jauh lebih tua daripada sejarah Kesultanan Siak Sri Inderapura karena pendiri Kerajaan Batubara, Datuk Belambangan, mendirikan Kerajaan Batubara lebih dari 40 tahun sebelum Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah (juga dikenal dengan nama Raja Kecil) mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura (pada 1723). Hebatnya, Datuk Belambangan selain masih berkerabat dengan Raja Kecil, beliau juga terhitung sebagai paman dari pendiri Kerajaan Siak Sri Indrapura ini. Ini disebabkan ibunda Raja Kecil yang sudah berstatus janda setelah suaminya, Sultan Mahmudsyah II dari Kesultanan Johor (ayah Raja Kecil) dibunuh, dinikahi oleh Raja Bagewang II (bergelar Sultan Abdul Jalil Johan Berdaulat) dari Kerajaan Alam Melayu Minangkabau, atau yang dikenal juga dengan nama Kerajaan Pagaruyung, kerajaan asal Datuk Belambangan sebelum beliau mendirikan Kerajaan Batu Bara.
Wilayah Batu Bara mulanya adalah salah-satu wilayah kekuasaan Kerajaan Simalungun. Raja Simalungun lalu memberikan wilayah tak berpenghuni itu kepada menantunya, Datuk Belambangan, karena putri raja (istri Raja Simalungun) sangat menyukai wilayah itu.
Raja Belambangan atau Datuk Belambangan adalah salah-satu putra dari Raja Bujang, putra dari Raja Gamuyang, (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 29, 2010) dari Kerajaan Alam Minangkabau di Pagaruyung, Sumatera Barat.
Bagaimana seorang pangeran dari Pagaruyung bisa berada dan mendirikan sebuah kerajaan di wilayah Simalungun?
Rupanya kisah paling awal bagaimana Kerajaan Batu Bara bisa berdiri dimulai dari sebuah perburuan yang berakhir sia-sia.
Sebelum pangeran Kerajaan Paguruyung ini menjadi penguasa negeri Batu Bara, beliau tinggal dan dididik didalam istana Pagaruyung. Usai mempelajari dan menguasai semua ilmu yang wajib diketahuinya, beliaupun menghadap ayahnya, raja Pagaruyung. Datuk Belambangan memohon agar diijinkan meninggalkan istana untuk pergi berburu rusa untuk melengkapi kebanggaannya sebagai seorang pangeran. Raja mengabulkan permohonan putranya, dan berangkatlah Datuk Belambangan bersama dengan serombongan pengawal, juga beberapa sahabatnya.
Rombongan sang pangeran meninggalkan negerinya dengan menyusuri pesisir pantai, lalu melintasi hutan belantara dan wilayah pegunungan. Namun, belum ada rusa yang terlihat. Walau mereka sudah kelelahan tapi pantang bagi Datuk Belambangan dan rombongannya untuk pulang sebelum mendapatkan hasil buruan.
Akhirnya, terlihatlah oleh Datuk Belambangan, seekor rusa. Datuk Belambangan dan rombongannya memburu rusa itu dan berusaha menangkapnya. Namun, rusa itu mampu melarikan diri. Perburuan itu membuat Datuk Belambangan dan rombongannya tidak mengetahui waktu dan tempat mereka.
Akhirnya, terlihatlah oleh mereka sebuah perkampungan. Oleh orang yang mereka temui dijalan, mereka mendapat informasi bahwa mereka berada di Negeri Simalungun. Setelah mengetahui bahwa yang dihadapan mereka adalah seorang pangeran, maka dihantarkanlah Datuk Belambangan dan rombongannya ke istana Raja Simalungun.
Raja Kerajaan Simalungun menyambut Datuk Belambangan dan rombongannya dengan gembira dan mendengar dengan penuh minat mengenai perkembangan Kerajaan Pagaruyung termasuk kabar dari Raja Pagaruyung dan seisi istana, dan juga tentang cerita perburuan Datuk Belambangan. Setelah mendengar cerita tentang perburuan yang gagal, raja Simalungun meminta agar Datuk Belambangan dan rombongannya tinggal sementara waktu di Negeri Simalungun. Tawaran itu disetujui oleh Datuk Belambangan dan dinilai bijak oleh rombongannya.
Datuk Belambangan tinggal cukup lama di Simalungun, dan kemudian jatuh hati pada putri raja Simalungun (kemungkinan juga adik raja Simalungun). Datuk Belambangan lalu mengajukan lamaran pada raja Simalungun yang lalu disetujui oleh raja. Pangeran dari Pagaruyung dan putri dari Simalungun yang bermarga “Damanik” itu akhirnya menikah.
Kisah perburuan dan pernikahan Datuk Belambangan, serta keberadaannya di Simalungun terjadi sebelum tahun 1680.
Tidak lama setelah pernikahan itu, istri Datuk Belambangan hamil. Saat itu, istrinya sangat ingin melihat pantai. Raja Simalungun lalu mengijinkan Datuk Belambangan dan istrinya berangkat ke pantai yang masih berada dalam wilayah Simalungun dan yang dianggap paling indah. Rombongan Datuk Belambangan dan istrinya yang terdiri dari orang-orang asal Minangkabau dan Simalungun kemudian berangkat menuju ke pesisir pantai yang menjadi bagian dari wilayah yang kini dikenal sebagai Negeri Batu Bara.
Setibanya mereka di wilayah Batu Bara, mereka langsung mendirikan pemukiman di tepi sungai didekat muara. Pemukiman yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka ini dinamakan “Kuala Gunung”.
Tidak lama setelah menikahi istrinya dari klan Damanik, istri Datuk Belambangan-pun hamil. Saat itu, istrinya sangat ingin melihat pantai. Datuk Belambangan lalu menghadap kepada ayah mertuanya dan mengutarakan permintaan istrinya yang ingin sekali melihat laut dan pantai. Sang raja yang paham betul bahwa putrinya sedang mengidam, memberi ijin pada mereka untuk pergi ke daerah pesisir pantai, dan bahkan memberikan segala kebutuhan putri dan menantunya beserta rombongan mereka seperti perbekalan dan juga pengawal. Datuk Belambangan dan istrinya pun berangkat ke pantai yang masih berada dalam wilayah Simalungun, dan yang dianggap paling indah. Rombongan Datuk Belambangan dan istrinya yang terdiri dari orang-orang asal Minangkabau dan Simalungun kemudian berangkat menuju ke pesisir pantai yang menjadi bagian dari wilayah yang kini dikenal sebagai Negeri Batu Bara.
Setibanya mereka di wilayah Batubara, mereka langsung mendirikan pemukiman di tepi sungai didekat muara. Pemukiman yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka ini dinamakan “Kuala Gunung” (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 29, 2010). Datuk Belambangan bermaksud untuk membuat pemukiman ditempat itu sebagai tempat tinggal tetapnya dan juga ingin membangun daerah itu menjadi sebuah negeri baru. Sang istri juga rupanya mendukung keinginan suaminya. Seluruh rombongan-pun mendukung keinginan dari Datuk Belambangan. Datuk Belambangan lalu mengutus utusan kepada Raja Simalungun untuk menyampaikan keinginan Datuk Belambangan dan istrinya agar bisa menetap didaerah baru itu. Usai mendengar pesan dari putri dan menantunya, rajapun memanggil para penasehatnya dan meminta pendapat para kaum cendekia dinegerinya. Para penasehatnya memandang bahwa keinginan dari putri dan menantu raja adalah baik dan tidak akan menyusahkan Kerajaan Simalungun. Setelah mendengar masukan dari para penasehatnya, maka raja Simalungun lalu mengirim pesan kepada putri dan menantunya bahwa sang raja menyetujui permohonan putri dan menantunya. Raja Simalungun lalu mengirimkan perlengkapan dan semua yang dibutuhkan oleh putri dan menantunya beserta rombongan mereka melalui utusan yang dikirimnya, dan juga mengirim serta rakyatnya yang tertarik untuk menetap dinegeri baru itu dan bersedia menjadi rakyat dari Datuk Belambangan.
ASAL NAMA KERAJAAN BATU BARA
Menurut legenda, tidak lama setelah titah pembangunan negeri baru itu diucapkan oleh Datuk Belambangan, dan juga ketika pembangunan itu masih terus dilaksanakan, berkumpulah rakyat negeri yang baru itu dan menghadap Datuk Belambangan. Rakyatnya itu meminta Datuk Belambangan itu menjadi raja dinegeri yang baru itu.
Berdirinya kedatuan baru itu sudah direstui atau malah diprakarsai oleh pihak Simalungun, dengan restu dari Kesultanan Asahan sebagai kesultanan yang membawahi wilayah Simalungun. Cerita-cerita rakyat yang beredar menceritakan bahwa raja Simalungun mendukung penuh pendirian kedatuan baru itu dan merestui Datuk Belambangan sebagai penguasa Batu Bara.
Wilayah baru ini dinamakan “Batu Bara” sebab menurut cerita rakyat, pada awal pembangunan pemukiman dan awal pemerintahan di wilayah itu, rakyat menemukan banyak sekali batu-bara. Dalam legenda diceritakan bahwa seorang hulubalangnya yang ditugasi untuk mengawasi penggalian sumur, datang dan berteriak sambil menggenggam batu yang hitam warnanya, sambil berkata:
“Ini batu yang bisa menyala dan membara, batu bara....”
Bukan hanya sebongkahan batu saja, tapi ditemukan banyak sekali batu hitam yang serupa dihampir disetiap sumur yang digali. Legenda-pun memuat titah Datuk Belambangan:
“Mari kita namakan saja negeri ini sebagai Negeri Batu Bara, karena ada banyak batu yang bisa membara yang ditemukan disini,”
dan mengumumkan pada rakyatnya bahwa nama negeri itu adalah Negeri Batu Bara, dengan pusat pemerintahan pertama di Kuala Gunung.
EMPAT KERAJAAN DI BATU BARA
Rombongan Datuk Belambangan yang mendatangi wilayah Simalungun pada sekitar tahun 1676-1680 diakui sebagai rombongan pertama. Datuk Belambangan tinggal lama di wilayah Simalungun dan Batubara, dan semasa itu beliau belum pernah kembali lagi ke kampung halamannya di Pagaruyung. Tidak begitu lama setelah Kedatuan Batubara didirikan secara de facto, istri Datuk Belambangan memasuki waktu bersalin. Sang permaisuri berhasil melahirkan seorang bayi perempuan. Dikatakan bahwa putri Datuk Belambangan ini tumbuh menjadi gadis yang cantik, hingga kemudian utusan-utusan ayahnya dari Pagaruyung tiba.
Tidak diketahui kapan pastinya rombongan kedua ini tiba. Jika mengacu pada usia akil balig putri Datuk Belambangan, sesuai dengan tradisi pada masa itu, yang menginjak usia 16-18 tahun saat rombongan kedua itu tiba di Simalungun dan kemudian di Batubara, maka itu artinya Datuk Belambangan menerima rombongan kedua yang adalah utusan-utusan ayahnya sekitar tahun 1692-1698.
Dalam rombongan kedua dari Pagaruyung itu, selain ada beberapa tetua dan juga hulubalang, turut serta juga empat pemuda bangsawan dari Pagaruyung. Keempat pemuda ini termasuk dalam kelompok yang tidak ikut kembali ke Pagaruyung mengikuti kepulangan utusan-utusan dari rombongan kedua dan beberapa anggota rombongan pertama yang dulu berburu bersama-sama dengan Datuk Belambangan sebab beberapa orang dari rombongannya dulu rupanya begitu rindu pada kampung halamannya sehingga mereka memutuskan untuk pulang ke Pagaruyung. Ada beberapa orang dari rombongan kedua, termasuk keempat pemuda itu, yang diperintahkan tinggal oleh pemimpin rombongan kedua dengan maksud membantu Datuk Belambangan dan membangun Kedatuan Batu Bara. Keempat pemuda itu adalah Datuk Jenan, Datuk Paduka Raja, Datuk Panglima Muda, dan Datuk Ayung.
Keempat pemuda dari Pagaruyung yang tinggal di negeri Batu Bara mulai melakukan tugas-tugas mereka untuk menjadi abdi raja. Karena mereka adalah orang-orang kepercayaan raja dan juga kerabat dekat Baginda Raja Batu Bara, maka Datuk Belambangan menerima lamaran mereka saat mereka meminang putri-putri raja. Karena Datuk Belambangan hanya memiliki seorang putri maka dia mengangkat tiga orang putri sebagai anaknya dan menikahkan mereka dengan para pemuda itu. Agar tidak terjadi perebutan kekuasaan di wilayahnya, seperti yang sebelumnya terjadi di Pagaruyung, Datuk Belambangan membagi wilayah kekusaannya menjadi empat wilayah, sesuai dengan jumlah anak-anaknya, dan menyerahkan pemerintahan empat wilayah itu kepada menantu-menantunya. Sepeninggal Datuk Belambangan, pusat pemerintahan-pun sudah tidak berada di Kuala Gunung lagi melainkan terbagi di empat wilayah yang sudah dibagi tadi. Empat wilayah itupun kemudian menjadi empat kerajaan yang paling awal di Batubara.
Adapun empat kerajaan itu adalah:
Kedatuan Tanah Datar adalah kedatuan yang dipimpin oleh suami dari putri kandung Datuk Belambangan. Putri kandung Datuk Belambangan bernama Putri Gadis, Putri-putri raja yang lain adalah putri angkat. Putri Gadis menikah dengan Datuk Jenan dari klan Tanah Datar di Pagaruyung. Inilah mengapa kedatuan ini dinamakan Kedatuan Tanah Datar. Datuk Jenan lalu diberikan wilayah di pesisir Selat Malaka dengan pusat pemerintahan di Padang Genting.
Raja-raja Kedatuan Tanah Datar adalah:
1.DATUK JENAN
Datuk Jenan adalah raja pertama Kedatuan Tanah Datar. Selain menggunakan nama “Datuk Jenan”, beliau juga dikenal dengan nama “Datuk Jennaton” yang diberikan oleh keluarga istri ketiganya. Putri sulung Datuk Belambangan adalah istri keduanya. Sebelumnya, dia sudah pernah menikah dengan seorang wanita di Pagaruyung sebelum kedatangannya ke Batubara. Setelah memutuskan turun tahta, Datuk Jenan pindah ke Pulau Penang. Kedatangan Datuk Jenan ke Pulau Penang lebih awal dari kedatangan Francis Light di pulau itu (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 47, 2010). Datuk Jenan meninggal dan dimakamkan di Penang, Malaysia. Keturunan Datuk Jennaton kelak banyak sekali yang menjadi orang-orang terpandang di Malaysia. Pernikahan Datuk Jenan dengan istri ketiganya, seorang wanita asal Penang, kelak menurunkan Yusuf Ishak (presiden pertama Singapura), Aziz Ishak (Menteri Pertanian pertama Malaysia), Datuk Mahmud Pawanteh (mantan Menteri Penerangan Malaysia), Tan Sri Rozali Ismail (Duta Besar Kerajaan Malaysia untuk PBB), dan masih banyak lagi (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 48, 2010).
2.RAJA PAMBOSAR
Raja Pambosar adalah putra sulung Putri Gadis dan Datuk Jenan sekaligus penerus Datuk Jenan sebagai raja di Kedatuan Tanah Datar, yang mulai berkuasa sekitar tahun 1738-1740. Raja Pambosar lahir dengan nama Pangeran Beramban, yang bergelar “Tok Ongah Beramban” saat masih menjadi pangeran. Setelah beliau diangkat menjadi raja Kedatuan Tanah Datar beliau diberi gelar “Raja Pambosar”. Raja Pambosar naik tahta bukan setelah kematian ayahnya, sebab ayahnya mengundurkan diri dan menyerahkan kerajaan pada Raja Pambosar. Ayahnya, Datuk Jenan, memilih menghabiskan hari-tuanya sebagai saudagar dan hidup dengan berlayar mengarungi Selat Malaka. Selain menurunkan raja-raja Kerajaan Tanah Datar, beliau juga adalah leluhur dari raja-raja Kedatuan Bogak, sebab putra beliau, Pangeran Husin, diangkat sebagai Bendahara Kerajaan Siak diseluruh wilayah Batubara yang jabatannya diwariskan turun-temurun sehingga wilayah yang menjadi pusat pemerintahannya sebagai seorang syahbandar juga dianggap sebagai suatu kedatuan. Kedatuan inilah yang kemudian menjadi Kedatuan Bogak, sehingga Pangeran Husin dinobatkan sebagai raja pertama Kedatuan Bogak.
3.RAJA AKAS
Raja Akas adalah cucu dari Datuk Jenan, dan keponakan dari Raja Pambosar. Beliau adalah putra tunggal dari Putri Intan (putri sulung Datuk Jenan). Dalam sejarah Batu Bara beliau lebih dikenal dengan nama “Datuk Panglima Akas” sebab sebelum menjadi raja dia menjabat sebagai panglima Kedatuan Tanah Datar. Ayah Pangeran Akas adalah seorang bangsawan Simalungun dari klan Damanik. Dia berhasil menduduki tahta Kedatuan Tanah Datar sebab putra-putra Raja Pambosar meninggal sebelum mewarisi tahta. Tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa dia mengambil aslih tahta dengan paksa. Keturunannya turun-temurun memerintah Kedatuan Tanah Datar.
4.RAJA ABDUL WAHAB
Raja Abdul Wahab adalah putra Raja Akas dengan istri pertamanya. Beliau menikah dengan adik dari raja Kedatuan Tanah Datar. Tidak banyak catatan sejarah tentang beliau.
5.RAJA SRI INDERA
Raja Sri Indera adalah raja kelima sekaligus yang terakhir dari Kedatuan Tanah Datar. Nama lahir Raja Sri Indera adalah Pangeran Syahkroni, yang pada masa mudanya dikenal sebagai pangeran bengal yang suka melanggar aturan dan tradisi. Beliau pernah kabur dari istana dan kampung halamannya lalu menetap sementara waktu di Pulau Penang. Setelah menikah dengan istrinya yang berasal dari Penang, beliau kembali ke Tanah Datar dan diterima dengan sukacita oleh ayah dan rakyatnya. Sepeninggal ayahnya, beliau diangkat menjadi raja hingga Kedatuan Tanah Datar memilih bergabung dengan Republik Indonesia.
Kedatuan Limah Puluh adalah kedatuan yang dipimpin oleh suami dari salah-satu putri angkat Datuk Belambangan. Putri angkatnya ini menikah dengan Datuk Paduka Raja, sehingga beliau disebut juga Encik Paduka Raja Br.Sinaga (marga Simalungun ayahnya). Suaminya berasal dari daerah Limah Puluh Koto di Pagaruyung kedatuan ini dinamakan Kedatuan Limah Puluh. Datuk Paduka Raja lalu diberikan wilayah dengan pusat pemerintahan pertama di Kampung Pinai, lalu pindah ke Parupuk dan kemudian di Sontang.
Raja-raja Kedatuan Limah Puluh adalah:
1.DATUK PADUKA RAJA
Datuk Paduka Raja adalah raja pertama Kedatuan Limah Puluh (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 48, 2010). Pada masa pemerintahannya, beliau membangun pemukiman di Kampung Pinai dan menjadikan tempat itu sebagai pusat pemerintahannya. Fokus pertama pemerintahannya adalah membangun dan memperkuat tata pemerintahan serta tatanan hidup masyarakat dan menjadikan perkebunan sebagai komoditi ekspor utama daerahnya. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya.
2.DATUK RAJA MUDA
Datuk Raja Muda adalah raja kedua Kedatuan Limah Puluh. Nama “Raja Muda” bukanlah nama aslinya melainkan nama gelarnya sebagai putra mahkota. Pada masa pemerintahannya, beliau membangun dan mengembangkan pemukiman di Parupuk dan memindahkan pusat pemerintahan dari Kampung Pinai ke Parupuk. Perdagangan antara Kedatuan Limah Puluh dengan dunia luar menjadi sangat maju pada masa pemerintahannya. Pada masanya juga, wilayah Kedatuan Limah Puluh mulai dihuni pendatang-pendatang dari etnis Tionghoa dan mulai membuka berbagai usaha-usaha di Limah Puluh, khususnya di Parupuk. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Datuk Raja Muda menyerahkan kekuasaannya pada putranya (atau juga mungkin meninggal) pada tahun 1820.
3.RAJA INDERA SETIA
Raja Indera Setia adalah putra sulung Datuk Raja Muda. Nama lahirnya adalah Sa’omo sehingga beliau dikenal juga dengan nama Datuk Sa’omo. Raja Indera Setia naik tahta pada tahun 1820 dan memerintah hingga tahun 1876. Pada masa pemerintahannya, beliau berhasil mengembangkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Malaysia, seperti Penang, Perak, dan Johor. Beliau lalu memindahkan pusat pemerintahan dari Parupuk ke Sontang. Pada masa pemerintahannya, seluruh kedatuan di Batu Bara, termasuk Kedatuan Limah Puluh dipaksa menjadi kerajaan bawahan Belanda sebagai akibat dari jatuhnya Kesultanan Siak Sri Inderapura ke tangan Belanda (semua kedatuan di Batu Bara adalah abdi Kesultanan Siak) yang memaksa Kesultanan Siak menandatangani kontrak monopoli dagang dengan Belanda pada 1 Februari 1858. Karena tidak memiliki putra pewaris, tahta Kedatuan Limah Puluh diberikan pada keponakannya pada 1876.
4.RAJA ONGKU
Raja Ongku adalah keponakan Raja Indera Setia. Beliau adalah putra sulung dari dari Pangeran Ismail (sepupu Raja Indera Setia) dan cucu dari Pangeran Jenal (putra kedua Datuk Paduka Raja dan adik dari Datuk Raja Muda). Raja Ongku diangkat menjadi raja sebab Raja Indera Setia tidak memiliki pewaris. Nama lahirnya adalah Wan Bagus sehingga beliau juga dikenal dengan nama Datuk Wan Bagus. Selain bergelar Raja Ongku dari Kedatuan Limah Puluh, beliau juga mendapat gelar dari Kesultanan Siak Sri Inderapura karena diakui sebagai salah-satu panglima dari Siak dengan nama Tengku Panglima Besar Said Kasim yang bergelar “Sultan As-saidi Syarif Kasim” (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 53, 2010). Raja Ongku naik tahta pada tahun 1876 dan memerintah hingga tahun 1901. Pada masa pemerintahannya, beliau berhasil mempertahankan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Malaysia, seperti Penang, Perak, dan Johor. Namun, akibat monopoli dagang Belanda, Kedatuan Limah Puluh terpaksa harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh Belanda, termasuk pembuatan berbagai perkebunan seperti perkebunan tembakau dan perkebunan karet (1885) sebagai bagian dari program culture stelsel yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Bersama dengan raja-raja Batubara yang lain, pada 31 Mei 1884 Raja Ongku juga terpaksa menandatangani perjanjian perdagangan, termasuk pemungutan pajak dan cukai, yang semuanya menjadi hak monopoli pemerintah Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan syahbandar kerajaan menjadi tidak memiliki kuasa lagi. Raja Ongku dan raja-raja Batubara lainnya juga terpaksa menjadi bawahan pemerintahan afdeling (setingkat kabupaten) Belanda pimpinan seorang residen (setara bupati) yang berkedudukan di Labuhan Ruku, dan kemudian disatukan dengan afdeling Asahan yang pusatnya di Tanjung Balai, sedangkan status pemerintahan Batu Bara diubah menjadi onder afdeling (setingkat kecamatan) yang pusatnya masih di Labuan Ruku. Kedudukan para raja Batu Bara sendiri diubah menjadi self bestiur. Walau menjadi raja yang terpaksa tunduk pada Belanda tetapi pada masa pemerintahannya sastra dan kebudayaan di Kedatuan Limah Puluh meningkat pesat. Beliau juga adalah raja pertama yang menerapkan Sistem Tungkat (sistem pemerintahan khas Sumatera Timur), yang terdiri dari enam Tungkat atau enam penghulu. Para Tungkat ini semacam wakil-wakil raja disetiap kampung. Sistem Tungkat ini terus berlangsung hingga Kedatuan Limah Puluh menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia. Raja Ongku meningga pada 1901 dan tahta Kedatuan Limah Puluh lalu diberikan pada sepupunya, Pangeran Alang, yang adalah pewaris sah raja terdahulu.
5.RAJA INDERA MUDA
Raja Indera Muda adalah putra sulung Raja Ongku. Nama lahirnya adalah Alang sehingga beliau juga dikenal dengan nama Tok Alang (Pangeran Alang). Raja Indera Muda naik tahta pada tahun 1901 dan memerintah hingga tahun 1937. Beliau adalah raja Kedatuan Limah Puluh yang memindahkan pusat pemerintahan dari Sontang ke Simpang Dolok. Pada masa pemerintahannya, beliau terpaksa harus tunduk dan mengikuti peraturan yang dibuat oleh Belanda, termasuk menambah perkebunan-perkebunan seperti perkebunan tembakau, perkebunan karet, perkebunan kopi, dan perkebunan kelapa sawit, termasuk memperluas perkebunan-perkebunan yang sebelumnya telah dibuat pada tahun 1885. Walau menjadi raja yang terpaksa tunduk pada Belanda tetapi pada masa pemerintahannya perdagangan di Kedatuan Limah Puluh meningkat pesat. Pada masa pemerintahannya juga dibangun lapangan terbang Torab (atau Terab) di Simpang Dolok (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 54, 2010). Beliau juga menambah Tungkat (penghulu) dari enam Tungkat menjadi tujuh Tungkat. Sistem Tungkat ini terus berlangsung dan menjadi pemimpin-pemimpin di wilayah Kedatuan Limah Puluh hingga Kedatuan Limah Puluh menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia, sebab beliau menolak menunjuk putra sulungnya, Pangeran Bawang, yang miliki kasus kriminal sebagai pewaris. Dan juga, beliau enggan menjadikan putra bungsunya, Pangeran Ibrahim, yang saat itu masih berusia 13 tahun sebagai raja. Beliau memilih menyerahkan kekuasaan pada Tujuh Tungkat yang menjabat saat itu jika dia meninggal (wafat pada tahun 1937). Keputusannya ini walaupun tidak menyenangkan hati keluarganya tetapi dikemudian hari justru menyelamatkan nyawa keluarganya sebab pada Revolusi Sosial (1946), seluruh keluarga kerajaan di Sumatera Timur diburu oleh rakyat (yang diyakini dihasut oleh kaum komunis) dan sebagian besar dibunuh. Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain di Sumatera Timur, Kedatuan Limah Puluh hanya kehilangan seorang anggota keluarga kerajaan dan seorang juru-tulis kerajaan yang diculik dan tidak pernah dikembalikan ke keluarganya. Berkat sistem Tungkat yang dipertahankan oleh Raja Indera Muda ini, sistem kekuasaan adat dan budaya di Kedatuan Limah Puluh bisa dipertahankan.
6.RAJA INDERA SETIA
Raja Indera Setia adalah putra ketiga Raja Ongku. Beliau adalah adik dari Raja Indera Muda. Nama lahirnya adalah Pangeran Ingah Mansyur. Beliau naik tahta pada tahun 1939 dan memerintah hingga Kedatuan Limah Puluh bersatu dibawah pemerintahan Republik Indonesia. Raja Ingah Mansyur menjadi raja setelah terjadi kekosongan kekuasaan atas tahta Kedatuan Limah Puluh selama dua tahun. Selama dua tahun itu, pemerintahan Kedatuan Limah Puluh dijalankan oleh Tujuh Tungkat. Namun, Kontlir Batubara yang menjabat saat itu, Tengku Noor, mengangkat Pangeran Ingah Mansyur sebagai raja Kedatuan Limah Puluh untuk mengakhiri kekosongan kekuasaan. Pengangkatan dirinya sebagai raja Kedatuan Limah Puluh berdasarkan hasil musyawarah Tujuh Tungkat yang menjabat saat itu. Raja Indera Setia mengalami banyak hal selama masa pemerintahannya. Berbagai peralihan kekusaan, dari Belanda ke Jepang, dari Jepang ke Republik Indonesia, dan agresi militer Belanda, hingga peristiwa berdarah di Sumatera Timur yang kini kita kenal dengan nama Revolusi Sosial. Pada awal pemerintahannya, Belanda memutuskan pusat pemerintahan Kedatuan Limah Puluh dipidahkan ke Bulan Bulan. Pada masa pemerintahannya juga, beliau terpaksa harus tunduk dan mengikuti peraturan yang dibuat oleh Belanda pada masa pemerintahan sebelumnya. Belanda juga mendatangkan tenaga kerja dari Jawa ke Batubara untuk bekerja di perkebunan-perkebunan, yang di kemudian hari menjadi malapetaka bagi anggota keluarga kerajaan dan para bangsawan Batubara dan Sumatera Timur. Banyak hal buruk yang terjadi pada masa pemerintahannya, seperti datangnya Balatentara Dai Nippon di Teluk Penai pada tahun 1942 setelah berhasil mengalahkan armada Belanda. Ketika itu, wilayah Bulan Bulan dijadikan sebagai pusat latihan prajurit sekaligus salah-satu pertahanan militer Jepang (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 127, 2010). Awalnya, rakyat Batubara, termasuk rakyat Kedatuan Limah Puluh, mendukung kedatangan Balatentara Jepang sebab rakyat sangat membenci pendudukan Belanda. Tetapi, lama-kelamaan rakyat merasa bahwa pendudukan Jepang jauh lebih buruk dari masa kolonial Belanda. Dan, Kedatuan Limah Puluh adalah kerajaan yang mengalami penindasan terparah diantara kedatuan-kedatuan lain di Batubara, sebab wilayah Kedatuan Limah Puluh adalah basis militer tentara Jepang. Rakyat Batubara memang hanya sedikit yang dijadikan romusha dan jugun ianfu, itupun hanya rakyat Batubara yang didatangkan Belanda dari Pulau Jawa, tetapi melihat penindasan yang dilakukan tentara Jepang dan juga sikap tidak hormat mereka pada tempat-tempat ibadah membuat geram rakyat Batubara. Setelah pendudukan Jepang berakhir pada 1945, Kedatuan Limah Puluh menjadi basis perjuangan rakyat Sumatera Timur melawan pasukan Belanda yang kembali datang ke Sumatera. Simpang Dolok pun dijadikan basis Badan Perwakilan Rakyat (BPR) Negeri Limah Puluh. Kedatuan Limah Puluh pun sukarela bergabung dan menyetujui transaksi kekuasaan dari sistem self bestiur peninggalan Belanda dengan sistem republik. Raja Setia Muda tetap menjadi pemimpin Kedatuan Limah Puluh tetapi wakil Republik Indonesia di Limah Puluh adalah OK.Muhammad Nurdin. Sebenarnya, rakyat Sumatera dan pemerintahan Republik Indonesia tidak berniat menghapus kedatuan-kedatuan di Batubara dan Sumatera Timur. Tetapi, saat itu kubu komunis terinspirasi pada penggulingan Czar Nicholas II Romanov dari Kekaisaran Rusia dan Revolusi Bolshevic oleh pihak komunis dan juga penggulingan Kaisar Pu Yi dari Kekaisaran Qing (Manchu) di Tiongkok oleh kubu revolusioner. Mereka menganggap sistem kerajaan adalah bentuk feodalisme yang bertentangan dengan paham komunis dan harus dihapus. Pergolakan sosial ini bergejolak di Sumatera Timur dan Jawa, dimana kubu komunis berusaha menjatuhkan dan menghapus eksistensi Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran di Solo. Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Pakualaman tidak terdampak revolusi ini karena sultan-sultan dari kedua kerajaan itu dikenal anti kolonial dan memiliki pamor yang sangat tinggi dan dilindungi langsung oleh Soekarno. Tetapi, dibandingkan dengan di Jawa, dampak Revolusi Sosial yang terjadi di Sumatera Timur adalah yang terparah karena jauh dari Jakarta. Semua istana kerajaan, kesultanan, dan kedatuan di Sumatera Timur dikepung dan diterobos, kecuali istana Kesultanan Deli. Sebagian besar anggota keluarga kerajaan, terutama para pria, diculik dan tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kontlir Batu Bara yang mengangkat Raja Setia sebagai penguasa resmi Kedatuan Limah Puluh, Tengku Noor, adalah salah-satu pangeran Sumatera yang diculik dan dibunuh. Pemerintah Republik Indonesia mengutuk keras peristiwa ini tetapi para bangsawan Sumatera Timur sudah terlanjur banyak yang terbunuh. Raja Indera Setia adalah salah satu raja yang diculik namun berhasil kembali dengan selamat. Tetapi cucunya, Pangeran Ahmad (OK.Ahmad), dan juru tulisnya menjadi korban penculikan yang tidak pernah dikembalikan dan tidak diketahui dimana makamnya. Raja Indera Setia menjadi raja terakhir Kedatuan Limah Puluh. Secara sukarela, dia memberikan tampuk kekuasaan kepada pemerintah Republik Indonesia.
Kerajaan Pangkalan adalah kedatuan yang dipimpin oleh suami dari salah-satu putri angkat Datuk Belambangan. Putri angkatnya ini dengan seorang bangsawan Pagaruyung dari wilayah Pangkalan yang bernama Datuk Panglima Muda. Setelah menikah, Encik Panglima Muda Br.Sinaga dan suaminya lalu diberikan sebagian wilayah Batubara di pesisir Selat Malaka yang diberi-nama Kedatuan Pangkalan (sesuai dengan nama daerah asal suaminya di Pagaruyung yang berasal dari wilayah pesisir Sungai Kapuk di Rantau Lima Puluh Koto, Pagaruyung, sebab “pangkalan” berarti “pesisir”) dengan pusat pemerintahan di Talawi. Datuk Panglima Muda adalah raja pertama di Kedatuan Pangkalan dengan gelar “Raja Semuangsa Tua”. Kedatuan Pangkalan ini biasanya juga disebut “Kedatuan Pesisir”. Tidak jarang juga kedatuan ini disebut “Kedatuan Pangkalan Pesisir” oleh orang-orang dari luar Batubara.
Raja-raja Kedatuan Pangkalan adalah:
1.RAJA SEMUANGSA TUA
Raja Semuangsa Tua adalah raja pertama Kerajaan Pangkalan (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 61, 2010). Pada masa pemerintahannya, beliau membangun pemukiman di Pesisir dan menjadikan tempat itu sebagai pusat pemerintahannya hingga kedatuan ini bergabung dengan Republik Indonesia. Fokus pertama pemerintahannya adalah membangun dan memperkuat tata pemerintahan serta tatanan hidup masyarakat. Beliau menjadikan hasil perkebunan kelapa dan hasil laut sebagai komoditi ekspor utama daerahnya. Hasil laut yang diasinkan adalah salah-satu produk yang paling terkenal dari kedatuan ini. Selain menjadi leluhur raja-raja Kerajaan Pangkalan, Raja Semuangsa Tua juga adalah leluhur dari semua raja Kerajaan Pagurawan sebab putra keduanya, Pangeran M.Idris, adalah pendiri Kerajaan Pagurawan yang bergelar Raja Pamuncak. Raja Semuangsa Tua wafat diusia tua, 83 tahun (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 64, 2010).
2.RAJA SEMUANGSA I
Raja Semuangsa I adalah raja kedua Kerajaan Pangkalan. Nama lahirnya adalah Pangeran Jalil. Karena dia adalah putra mahkota maka sebelum menjadi raja beliau dikenal dengan nama Raja Muda Jalil (Datuk Muda Jalil). Pada masa pemerintahannya, beliau membangun dan mengembangkan pemukiman di Pesisir dan meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Selat Malaka. Perdagangan antara Kerajaan Pangkalan dengan dunia luar menjadi sangat maju pada masa pemerintahannya. Pada masanya juga, wilayah Kerajaan Pangkalan mulai dihuni pendatang-pendatang dari etnis Tionghoa walau tidak lebih banyak jumlahnya dari etnis Tiongjoa di Kerajaan Limah Puluh. Beliau juga sangat memperhatikan kualitas spiritual rakyatnya dengan membangun masjid-masjid diseluruh wilayahnya, walau sebagian besar kini sudah tidak ada lagi. Raja Semuangsa I adalah raja Kerajaan Pangkalan yang memperkenalkan sistem Tungkat di kerajaannya. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Raja Semuangsa I digantikan oleh adik bungsunya, Pangeran Husin.
3.RAJA SEMUANGSA II
Raja Semuangsa II adalah raja ketiga Kerajaan Pangkalan. Nama lahirnya adalah Pangeran Husin. Ketika ayahnya masih hidup, beliau dan kakaknya, Raja Semuangsa I, diserahi kewajiban yang setara dengan Raja Muda (Putra Mahkota) sehingga beliau dikenal juga dengan nama Datuk Muda Husin. Fokus dalam pemerintahan beliau adalah meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Selat Malaka. Perdagangan antara Kerajaan Pangkalan dengan dunia luar sudah maju pada masa pemerintahannya. Wilayah Kerajaan Pangkalan juga sudah dihuni pendatang-pendatang dari etnis Tionghoa. Raja Semuangsa II juga mempertahankan sistem Tungkat sebagai unsur penting dalam pemerintahan di kerajaannya. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Raja Semuangsa II digantikan oleh putra keduanya, Johan Pahlawan.
4.RAJA JOHAN PAHLAWAN
Raja Johan Pahlawan adalah raja keempat Kerajaan Pangkalan. Beliau bukan putra sulung Raja Semuangsa II. Kemungkinan kakaknya, Pangeran Abdul, meninggal sebelum mewarisi tahta dan sebelum menjadi putra mahkota sehingga sesuai dengan tradisi Melayu, putra Pangeran Abdul (Pangeran Abdullah) tidak masuk dalam daftar suksesi teratas. Inilah mengapa suksesi diturunkan oleh garis Raja Johan Pahlawan dan putranya hingga keturunannya tidak memiliki penerus laki-laki lagi. Fokus dalam pemerintahan beliau adalah meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Selat Malaka. Perdagangan antara Kerajaan Pangkalan dengan dunia luar sudah maju pada masa pemerintahannya. Wilayah Kerajaan Pangkalan juga sudah dihuni pendatang-pendatang dari etnis Tionghoa. Beliau tetap mempertahankan sistem Tungkat sebagai unsur penting dalam pemerintahan di kerajaannya. Pada masa pemerintahannya, Belanda sudah berkonflik dengan Kesultanan Siak. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Raja Johan Pahlawan digantikan oleh putra keduanya, Raja Indera Jaya.
5.RAJA INDERA JAYA
Raja Indera Jaya adalah raja kelima Kerajaan Pangkalan. Beliau bukan putra sulung Raja Johan Pahlawan melainkan putra keduanya. Beliau bisa menduduki tahta adalah karena kakaknya, Pangeran Ibrahim, meninggal sebelum mewarisi tahta dan tidak memiliki keturunan laki-laki. Fokus dalam pemerintahan beliau adalah meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Selat Malaka. Wilayah Kerajaan Pangkalan juga sudah dihuni pendatang-pendatang dari Jawa sebagai bagian dari program culture stelsel Belanda yang gencar-gencarnya membuka berbagai perkebunan. Beliau tetap mempertahankan sistem Tungkat sebagai unsur penting dalam pemerintahan di kerajaannya. Pada masa pemerintahannya, Belanda berhasil menaklukan Kesultanan Siak sehingga semua kerajaan-kerajaan bawahan Belanda, termasuk kedatuan-kedatuan di Batu Bara, harus tunduk pada Belanda. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Raja Indera Jaya digantikan oleh putra keduanya, Raja Indera Johan.
6.RAJA INDERA JOHAN
Raja Indera Johan adalah raja keenam Kerajaan Pangkalan. Gelar beliau menggabungkan gelar kakeknyanya, Indera Jaya, dan gelar kakek-buyutnyanya, Johan Pahlawan. Beliau bukan putra Raja Indera Jaya melainkan salah-satu cucunya. Mengapa bisa beliau yang menduduki tahta adalah karena ayahnya, Pangeran Mohammad Yatim, meninggal sebelum mewarisi tahta. Walau mungkin ayahnya belum sempat diangkat sebagai putra mahkota, tapi Raja Indera Johan-lah yang mewarisi tahta kakeknya sebab adik ayahnya, Putri Saimah, adalah seorang wanita. Fokus dalam pemerintahan beliau adalah mempertahankan eksistensi Kedatuan Pangkalan ditengah-tengah berbagai tekanan yang diberikan pemerintah Hindia Belanda. Wilayah Kerajaan Pangkalan juga sudah dihuni pendatang-pendatang dari Jawa sebagai bagian dari program culture stelsel Belanda yang gencar-gencarnya membuka berbagai perkebunan sehingga membuat rakyat asli Batu Bara malah terpinggirkan. Beliau tetap mempertahankan sistem Tungkat sebagai unsur penting dalam pemerintahan di kerajaannya. Pada masa pemerintahannya, Belanda berhasil menguasai semua kedatuan di Batubara dan juga di Sumatera Timur. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Raja Indera Johan tidak memiliki putra. Beliau digantikan oleh paman jauhnya, Abdul Jalil.
7.RAJA ABDUL JALIL
Raja Abdul Jalil adalah putra sulung Pangeran Abdullah. Kakeknya, Pangeran Abdul, adalah putra sulung Raja Semuangsa II. Beliau terhitung sebagai paman dari Raja Indera Johan. Beliau adalah raja terakhir Kedatuan Pangkalan dan memerintah hingga Kedatuan Pangkalan bersatu dibawah pemerintahan Republik Indonesia. Raja Abdul Jalil menjadi raja karena keponakan jauhnya, Raja Indera Johan, tidak memiliki keturunanan. Raja Indera Johan sebenarnya masih memiliki kerabat-kerabat yang lebih dekat, yaitu sepupunya, Pangeran Ali, dan keponakannya, Pangeran Ismail. Tetapi, Pangeran Ali tampaknya lebih ingin mendalami dan menggeluti agama Islam dan tidak tertarik untuk menjadi raja dan keputusannya ini juga mempengaruhi putranya, Pangeran Ismail, sehingga tahta diberikan pada keturunan Raja Semuangsa II yang lain yaitu Abdul Jalil. Raja Abdul Jalil memiliki seorang adik perempuan yang bernama Putri Zaenab. Bibinya, adik ayahnya, bernama Putri Halimah. Ayah dan bibinya adalah sepupu dari Raja Indera Jaya (ayah raja sebelumnya). Kontlir Batubara yang menjabat saat itu, Tengku Noor, sebagai perpanjangan tangan Belanda menyetujui pengangkatan Abdul Jalil sebagai raja Kedatuan Pangkalan agar tidak ada kekosongan kekuasaan akibat tidak adanya penerus laki-laki dari keluarga kerajaan. Pengangkatan dirinya sebagai raja Kedatuan Pangkalan tentunya juga berdasarkan hasil musyawarah Tungkat yang menjabat saat itu.
Raja Abdul Jalil mengalami banyak hal selama masa pemerintahannya. Berbagai peralihan kekusaan, dari Belanda ke Jepang, dari Jepang ke Republik Indonesia, dan agresi militer Belanda, hingga peristiwa berdarah di Sumatera Timur yang kini kita kenal dengan nama Revolusi Sosial. Pada masa pemerintahannya juga, beliau terpaksa harus tunduk dan mengikuti peraturan yang dibuat oleh Belanda pada masa pemerintahan sebelumnya. Belanda juga mendatangkan tenaga kerja dari Jawa ke Batubara untuk bekerja di perkebunan-perkebunan, yang di kemudian hari menjadi malapetaka bagi anggota keluarga kerajaan dan para bangsawan Batubara dan Sumatera Timur. Banyak hal buruk yang terjadi pada masa pemerintahannya, seperti datangnya Balatentara Dai Nippon di Teluk Penai pada tahun 1942 setelah berhasil mengalahkan armada Belanda. Awalnya, rakyat Batubara, termasuk rakyat Kedatuan Pangkalan, mendukung kedatangan Balatentara Jepang sebab rakyat sangat membenci pendudukan Belanda. Tetapi, lama-kelamaan rakyat merasa bahwa pendudukan Jepang jauh lebih buruk dari masa kolonial Belanda. Untungnya, Kedatuan Pangkalan adalah kerajaan yang tidak terlalu mengalami penindasan dibandingkan dengan kedatuan-kedatuan lain di Batubara. Setelah pendudukan Jepang berakhir pada 1945, Kedatuan Pangkalan harus menghadapi agresi militer Belanda sebab Kedatuan Limah Puluh secara sukarela bergabung dan menyetujui transaksi kekuasaan dari sistem self bestiur peninggalan Belanda dengan sistem republik. Pada masa-masa transisi ini, peran Kedatuan Pangkalan tidak sebesar peran kedatuan-kedatuan lainnya sebab wilayah Kedatuan Pangkalan adalah wilayah yang terkecil. Tetapi, hal ini justru menyelamatkan keluarga kerajaan Pangkalan dari pembantaian masal para bangsawan ketika Revolusi Sosial meletus di Sumatera Timur. Sebenarnya, rakyat Sumatera dan pemerintahan Republik Indonesia tidak berniat menghapus kedatuan-kedatuan di Batubara dan Sumatera Timur. Tetapi, saat itu kubu komunis menganggap sistem kerajaan adalah bentuk feodalisme yang bertentangan dengan paham komunis dan harus dihapus. Pergolakan sosial ini bergejolak di Sumatera Timur dan Jawa, dimana kubu komunis berusaha menjatuhkan dan menghapus eksistensi Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran di Solo. Tetapi, dibandingkan dengan di Jawa, dampak Revolusi Sosial yang terjadi di Sumatera Timur adalah yang terparah. Semua istana kerajaan, kesultanan, dan kedatuan di Sumatera Timur dikepung dan diterobos, kecuali istana Kesultanan Deli. Sebagian besar anggota keluarga kerajaan, terutama para pria, diculik dan tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Pemerintah Republik Indonesia mengutuk keras peristiwa ini tetapi para bangsawan Sumatera Timur sudah terlanjur banyak yang terbunuh. Entah mengapa, keluarga kerajaan Pangkalan tidak ada yang diculik dan terbunuh. Ini mungkin dikarenakan usia Raja Abdul Jalil yang sudah berusia lanjut dan tidak memiliki keturunan. Selain itu, Kedatuan Pangkalan memang memiliki anggota keluarga kerajaan yang paling sedikit dan sebagian besar dari mereka tidak tinggal di Batu Bara. Dan lagi, rata-rata anggota keluarga kerajaan Pangkalan adalah wanita.
Kerajaan Lima Laras adalah kedatuan yang dipimpin oleh suami dari salah-satu putri angkat Datuk Belambangan. Putri angkatnya ini dengan seorang bangsawan Pagaruyung dari wilayah Lima Puluh Koto yang bernama Datuk Ayung. Setelah menikah, Encik Ayung Br.Sinaga dan suaminya lalu diberikan sebagian wilayah Batubara di pesisir Selat Malaka yang diberi-nama Kedatuan Lima Laras (sesuai dengan nama daerah asal suaminya di Pagaruyung yang berasal dari wilayah lima anak sungai di Rantau Lima Puluh Koto, Pagaruyung, sebab “laras” berarti “anak sungai”). Dalam sejarah perjuangan Indonesia, raja-raja Kedatuan Lima Laras termasuk yang paling vokal menentang Belanda, selain raja-raja Deli, Siantar, Serdang, dan Siak.
Raja-raja Kedatuan Lima Laras adalah:
1. RAJA AYUNG
Raja Ayung adalah raja pertama Kerajaan Lima Laras (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 75, 2010). Fokus utama beliau pada masa pemerintahannya adalah membangun pemukiman dan membuka lahan-lahan baru untuk perkebunan. Beliau juga berusaha membangun dan memperkuat tata pemerintahan serta tatanan hidup masyarakat. Beliau menjadikan hasil perkebunan kelapa dan hasil laut sebagai komoditi ekspor utama daerahnya. Raja Ayung digantikan oleh putranya, Pangeran Masidin.
2. RAJA SRI INDERA
Raja Sri Indera adalah raja kedua Kerajaan Lima Laras. Nama lahirnya adalah Pangeran Masidin. Karena beliau adalah putra mahkota maka sebelum menjadi raja beliau dikenal dengan nama Raja Muda Masidin (Datuk Muda Masidin). Pada masa pemerintahannya, beliau meneruskan usaha-usaha ayahnya untuk membangun dan mengembangkan pemukiman penduduk dan meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Selat Malaka. Perdagangan antara Kerajaan Lima Laras dengan dunia luar menjadi sangat maju pada masa pemerintahannya. Pada masanya juga, wilayah Kerajaan Lima Laras mulai dihuni pendatang-pendatang dari etnis Tionghoa walau tidak lebih banyak jumlahnya dari etnis Tionghoa di Kerajaan Limah Puluh. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Raja Sri Indera digantikan oleh putranya, Pangeran Rahma.
3. RAJA SRI ASMARA
Raja Sri Asmara adalah raja ketiga Kerajaan Lima Laras. Nama lahirnya adalah Pangeran Rahma. Karena beliau adalah putra mahkota maka sebelum menjadi raja beliau dikenal dengan nama Raja Muda Rahma (Datuk Muda Rahma). Pada masa pemerintahannya, beliau meneruskan usaha-usaha ayahnya meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Selat Malaka. Perdagangan antara Kerajaan Lima Laras dengan dunia luar sudah sangat maju pada masa pemerintahannya. Pada masanya juga, wilayah Kerajaan Lima Laras sudah dihuni pendatang-pendatang dari etnis Tionghoa, Jawa, dan etnis Melayu yang datang dari Malaysia. Kerajaannya ini juga membuka hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Arab, Tiongkok, dan India. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Raja Sri Asmara digantikan oleh putranya, Pangeran Amirudin.
4. RAJA LAKSAMANA PUTRA
Raja Laksamana Putra adalah raja keempat Kerajaan Lima Laras. Nama lahirnya adalah Pangeran Amirudin. Karena beliau adalah seorang haji sejak masih menjadi pangeran maka beliau dikenal juga dengan nama Pangeran Haji Amirudin (Datuk Haji Amirudin). Pada masa pemerintahannya, beliau meneruskan usaha-usaha ayahnya meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri di Selat Malaka. Perdagangan antara Kerajaan Lima Laras dengan dunia luar sudah sangat maju pada masa pemerintahannya. Beliau adalah raja pertama Kerajaan Lima Laras yang berseteru dengan Belanda dan menjadi salah-satu raja Batubara yang berani paling berani melawan praktek monopoli dagang Belanda. Sebenarnya, Raja Laksamana Putra tidak menutup peluang dagang dengan Belanda asalkan bukan sistem monopoli dagang. Hubungan antara Kedatuan Lima Laras dengan Belanda walau dingin tetapi tidak saling serang. Namun, situasi mulai berubah ketika Belanda mulai mengganggu wilayah-wilayah Kesultanan Siak dan bersiteru dengan Inggris mengenai wilayah-wilayah di Semanjung Malaka. Hasil dari Traktat London yang ditanda-tangani pada 17 Maret 1824 memang lebih menguntungkan Inggris dan merugikan Belanda, tetapi dampak dari Traktat London ini sangat merugikan kerajaan-kerajaan di wilayah pesisir Selat Malaka terutama Kesultanan Siak Sri Inderapura. Traktat London membuat wilayah Johor lepas dari Kesultanan Siak dan dicaplok oleh Inggris. Selain itu, Belanda juga menganggap beberapa wilayah Kesultanan Siak adalah haknya sehingga menimbulkan perseteruan dengan pihak istana Siak. Belanda keluar sebagai pemenang dalam konflik ini sehingga Kesultanan Sri Inderapura jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1864 dan raja Siak, Sultan Abdul Jalil Jalalludin, dipaksa turun tahta oleh Belanda. Kabar ini sampai pada kedatuan-kedatuan Batubara sehingga membuat raja-raja Batubara, yang sangat menghormati Kesultanan Siak sebagai kerajaan pelindung, sangat marah pada Belanda. Mereka enggan meminta restu pada pemerintah Belanda di Bengkalis untuk setiap kegiatan adat dan politik. Ketidak-hormatan raja-raja Batubara ini membuat Belanda geram. Tetapi, Belanda tidak memiliki alasan untuk menyerbu Batubara, hingga kesempatan yang dinanti-nanti tiba. Ketika itu, raja Kedatuan Bogak, Raja Baqi, iri hati pada kesuksesan Kerajaan Lima Laras dan meminta pihak Belanda menyerbu Kerajaan Lima Laras. Belanda memanfaatkan momentum ini dengan segera mengerahkan pasukannya dengan alasan Kerajaan Lima Laras mengancam keselamatan sekutu Belanda. Maka, pada 12 September 1865 pasukan angkatan laut dan angkatan darat Belanda tiba di Batubara dan langsung menyerbu Kerajaan Lima Laras. Penyerbuan ini menyebabkan Raja Laksamana Putra terpaksa melarikan diri dan meminta perlindungan pada Kerajaan Serdang. Putra mahkotanya, Pangeran Abdullah, memilih tinggal dan melawan penyerbuan Belanda. Sayangnya, pasukan Kerajaan Lima Laras kalah. Istana kerajaan dibakar oleh Belanda dan Pangeran Abdullah ditawan. Satu bulan kemudian, pada 1 Oktober 1865 Raja Laksamana Putera ditangkap setelah Belanda berhasil mengalahkan Kesultanan Serdang. Raja Laksamana Putera dan Pangeran Abdullah dibuang ke Pulau Jawa. Beliau digantikan oleh adiknya, Pangeran Jakfar.
5. RAJA SRI INDERA
Raja Sri Indera adalah raja kelima Kerajaan Lima Laras. Nama lahirnya adalah Pangeran Jafar. Pada masa pemerintahannya, beliau meneruskan perjuangan kakak dan keponakannya melawan Belanda. Sebenarnya, Raja Sri Indera dilantik sebagai raja oleh Belanda dengan berbagai kesepakatan yang menguntungkan Belanda. Tetapi, Raja Sri Indera rupanya sangat dendam pada Belanda yang mengasingkan kakaknya. Secara sembunyi-sembunyi, beliau tetap menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di pesisir Selat Malaka dan dengan Inggris. Tingkahnya ini terdengar oleh Belanda tetapi Belanda tidak berhasil menangkapnya sebab Raja Sri Indera selalu berhasil mengelak dari semua tuduhan Belanda dan tidak ada kapal-kapal dagangnya yang berhasil ditangkap oleh Belanda saat mereka melakukan berbagai perdagangan gelap. Raja Sri Indera digantikan oleh putranya, Pangeran Muhammad Yudha.
6. RAJA SRI DIRAJA
Raja Sri Diraja adalah raja keenam dan raja terakhir Kerajaan Lima Laras. Nama lahirnya adalah Pangeran Muhammad Yudha, sehingga beliau juga dikenal dengan nama Raja Madyoeda (dibaca: Raja Mat-yuda). Pada masa pemerintahannya, beliau meneruskan perjuangan paman dan sepupunya melawan Belanda. Ayahnya, Raja Sri Indera, dilantik sebagai raja oleh Belanda dengan berbagai kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan Belanda dan merugikan Kerajaan Lima Laras. Ini semakin membuat Raja Sri Diraja membenci Belanda. Beliau terus melanjutkan aktivitas dagang secara sembunyi-sembunyi dengan kerajaan-kerajaan di pesisir Selat Malaka dan dengan Inggris. Tingkahnya ini terdengar oleh Belanda tetapi Belanda tidak berhasil menangkapnya sebab Raja Sri Diraja selalu berhasil mengelak dari semua tuduhan Belanda dan tidak ada kapal-kapal dagangnya yang berhasil ditangkap oleh Belanda saat mereka melakukan berbagai perdagangan gelap. Tetapi, lama-kelamaan aktifitasnya ini semakin meresahkan pemerintah Hindia Belanda sehingga pihak Belanda memberikan ultimatum pada Raja Sri Diraja dan semua raja di Batubara untuk menaati kesepakatan dengan Belanda, terkait kontrak monopoli dagang, jika tidak ingin diserang dan dihancurkan. Raja Sri Diraja terpaksa menaati ultimatum Belanda ini untuk menghindari serbuan dan kehancuran kerajaannya, tetapi beliau tetap melanjutkan aktifitas perdagangan gelapnya dengan lebih rapih dan hati-hati. Raja Sri Diraja meninggal pada 3 Juni 1919, hanya 2 hari setelah istananya selesai dibangun. Beliau dimakamkan disamping istana tersebut. Sepeninggalnya, keturunannya diperbolehkan untuk tetap menempati Istana Niat dan menjadi penguasa adat Lima Laras, tetapi tidak diperbolehkan menjadi kepala pemerintahan. Tahta raja, sebagai kepala adat, Kerajaan Lima Laras diturunkan pada putranya, Pangeran Abdul Gani, dan kini diteruskan pada cucunya, Datuk Armansyah, sebagai cucu sulung dari Raja Sri Diraja.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA:
-Sejarah Batu Bara Dari Masa Ke Masa; M.Yusuf Morna; Pemerintah Kabupaten Batu Bara; Batu Bara, Sumatera Utara, Indonesia; 2010
DAFTAR WEBSITE:
id.wikipedia.com/asahan
id.wikipedia.com/batu_bara
_________________________________________________________________________________
Copyrights (Hak Cipta): Deleigeven Media
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Deleigeven Media. Cantumkan link aktif artikel ini dalam setiap kutipan jika ingin mengutip konten artikel ini.
Penyusun:
Writer: Deleigeven
Editor : Juliet
Publisher : Deleigeven Media
ada no hp atau WA penulis yang bisa dihubungi? saya dari museum uang sumatera, do kota medan yang menyimpan ratusan keping mata uang kerajaan batubara, perlu tambahan data sejarah untuk mendeskripsikan mata uang kerajaan batu bara tersebut.
ReplyDeleteHp/WA saya 087875976129.
terima kasih.
Panglima syaid kasim masak iya tak punya keturunan,Mhd.soleh itu keturunan siapa jadinya?
ReplyDeletewan bagus adalah besan syaid kasim,karena pernikahan fatimah binti bagus dengan mhd.soleh bin kasim yang dikaruniai putra putri dan salah satu putranya bernama ingah mansyur (ingah lonto) yang merupakan uwak kandung dari datuk muda idris ruslan bin amiruddin bin mhd.soleh bin kasim,terima kasih...
ReplyDeleteAssalamu'alaikum Wr. Wb.
ReplyDeleteSaya Rizki Anak ke 3 dari Indra Johan Bin, Mohammad Yatim, Bin Indra Jayo, Bin Datuk Johan.
dalam hal Keturunan dan tahta Datuk Simuangso perlu ditinjau kembali, karena banyak kesalahan fakta. ayah saya Indra Johan masih ada dan Pusara Kakek saya Muhammad Yatim dan Indra Jayo (Unyang saya) masih ada di Perkuburan Mesjid Lama.
untuk itu coba ditelusuri kembali.
Salam saudara dari Malaysia yang berketurunan Lima Laras Batu Bara
ReplyDeletesalam dari malaysia. saya mencari susur galur moyang sy dr Batu Bara tapi tidak punya info.
ReplyDelete